Sabtu, 20 Februari 2010

Pelajar Ramai-Ramai Naik Angkutan Gratis

Angkutan Sekolah Gratis

Para siswa SMPN 3 Satu Atap, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, bergelantungan dan duduk di atap mobil angkutan yang membawa mereka berangkat ke sekolah, Selasa (12/1). Pihak sekolah menyediakan angkutan gratis kepada 35 siswa yang tinggal di daerah terpencil agar mereka bisa tetap sekolah. (Foto : Kompas/Hendra A Setyawan)***

33 Kepala Sekolah Subang Study Banding di SMPN 2 Sindang

Kondisi Gedung Sekolah Bertaraf Internasional

SMPN 2 Sindang, Kabupaten Indramayu. (Foto : Satim)


33 Kepala Sekolah Subang

Study Banding di SMPN 2 Sindang

INDRAMAYU – Sebanyak 33 Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat melakukan study banding ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Sindang, Kabupaten Indramayu yang berstatus satu-satunya SMP Sekolah Bertaraf Internasional di wilayah III Cirebon.

Konon, study banding itu dalam rangka mencari pengalaman dan pengetahuan tentang pengelolaan sekolah yang berkualitas sehingga bisa mencapai prestasi belajar mengajar yang unggul dibanding sekolah-sekolah lainnya. “Prestasi itu telah dibuktikan oleh SMPN 2 Sindang ini yang telah bertaraf internasional, karena kualitas dan manajemen sekolahnya yang jauh lebih unggul dibanding lainnya,” ungkap salah seorang perwakilan Kepala Sekolah SMP Kabupaten Subang sambil melihat-lihat sistem belajar mengajar yang ada di SMPN 2 Sindang itu.

Keterangan yang dihimpun ToeNTAS News, SMPN 2 Sindang dalam perjalanannya tidak mudah untuk mencapai sekolah yang berkualitas dan dipercaya oleh masyarakat dari berbagai daerah. Perjuangannya dimulai bagaimana cara mengajar yang baik dan berkualitas, sehingga mampu mencetak murid-muridnya yang berkualitas, berakhlak mulia, dan siap bersaing dengan sejumlah murid-murid sekolah lainnya dalam melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya.

Prestasi tertinggi berkat kegigihan Dr. H. Abdul Tolib MPd dalam memimpin SMPN 2 Sindang sekitar empat tahun lalu. Lolos dari status Sekolah Standar Nasional (SSN) dengan prestasi kualitas pendidikan siswa dan manajemen sekolahnya yang dinilai terbaik oleh tim penilai dari Departemen Pendidikan Pusat. Kemudian SMPN 2 Sindang diusulkan olehnya untuk meningkatkan statusnya menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dan ternyata lolos dalam pengujian status tersebut.

Maka, sejak dua tahun lalu, SMPN 2 Sindang sudah berpredikat sebagai SMP RSBI satu-satunya di wilayah III Cirebon. Sistem belajar siswanya pun sudah diterafkan dengan standar internasional, seperti penguasaan bahasa Inggris dalam setiap mata pelajaran serta sudah menggunakan teknologi canggih dalam ruang kelasnya yang difasilitasi dengan ruangan sejuk, nyaman, dan ber-AC.

Meski statusnya kini tengah ditingkatkan lagi untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dari yang semula RSBI, namun dalam pertemuan dengan Dr. H. Abdul Tolib MPd di ruang kerjanya, ia tidak pernah menampilkan hal-hal kesombongan atas prestasi sekolah yang dipimpinnya itu.

“Yang penting, kami terus berjuang untuk selalu meningkatkan kualitas dan manajemen SMPN 2 Sindang ini. Semoga saja, perjuangan keras kami mampu memberikan kepercayaan kepada lembaga terkait dan masyarakat. Setidaknya, berkat prestasi SMPN 2 Sindang ini mampu membawa nama baik Kabupaten Indramayu. Kritik dan saran dari semua pihak untuk kemajuan pendidikan di SMPN 2 Sindang ini, sangat kami hargai,” ujar mantan Kepala SMPN Lelea dan Kandanghaur Indramayu itu. (Satim/ToeNTAS News)***


Rabu, 10 Februari 2010

Kunjungan Presiden Bambang susilo Yudhoyono Dalam Rangka HARI PERS NASIONAL

KUNJUNGAN PRESIDEN SBY PADA HARI PERS 2010

Sambut Presiden

Siswa sekolah dasar di Palembang menyambut rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melewati Jalan Demang Lebar Daun, Selasa (9/2). Presiden melakukan kunjungan dalam rangka Hari Pers Nasional. (Kompas/Wisnu Aji Dewabrata)***

Presiden SBY Meminta Pers Bangun Demokrasi

Presiden: Bangun Demokrasi

Mahasiswa Berunjuk Rasa Menyambut Yudhoyono

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan pers untuk mendukung terbangunnya demokrasi yang berorientasi dari dan untuk rakyat. Pers diyakini sebagai salah satu elemen yang mempunyai kekuatan di negeri ini dan perlu menggunakan kekuatan itu secara konstruktif.

Pesan tersebut disampaikan Presiden Yudhoyono pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (9/2).

Presiden menekankan bahwa demokrasi yang ingin dicapai di negeri ini mestilah demokrasi yang benar-benar bertumpu pada rakyat, bukan berpusat pada negara, dan bukan pula demokrasi yang berpusat pada media massa.

”Di banyak negara ada fenomena yang disebut media-centered democracy. Ahli komunikasi politik mengatakan, kalau itu menjadi mazhab baru dalam demokrasi, itu juga bisa merintangi. Kita dengan sadar tidak menuju ke situ. Kita menuju people-centered democracy, peran pers juga mesti menuju ke situ,” ujarnya.

Presiden juga menilai, saat ini pers memegang surplus kekuasaan. Karena itu, amat penting untuk memastikan kekuasaan media itu digunakan secara tepat dan konstruktif. Pada masa lalu, sebagai lembaga eksekutif, presiden juga pernah memegang surplus kekuasaan. Namun, melalui amandemen undang-undang dasar, kekuasaan presiden itu sudah dilucuti.

”Pers bisa memilih, menentukan, membatasi dalam keadaan apa power yang surplus itu digunakan dengan baik, untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Presiden.

Menurut Presiden, kekuasaan kerap mempunyai kecenderungan untuk menyimpang. Karena itu, mekanisme checks and balances perlu selalu diterapkan, tidak terkecuali bagi pers.

Pada kesempatan itu, Presiden juga menyampaikan apresiasi kepada pers di Indonesia yang kini tengah menata sendiri tata nilainya dalam kehidupan demokrasi. Hal itu antara lain tecermin dengan mulainya diratifikasi standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan wartawan. Ratifikasi standar, menurut Presiden, adalah bagian dari upaya pers menerapkan sensor sendiri.

”Ada teori batas kepatutan. Dewan Pers sendiri yang bisa menentukan batas itu. Ada istilah bahasa menunjukkan bangsa, silakan diaplikasikan dalam kehidupan pers,” ujar Presiden.

Sebelum menyampaikan pesannya untuk pers Indonesia, Presiden juga memberikan kuliah perdana bagi siswa yang mengikuti program Sekolah Jurnalistik Indonesia di Palembang. Presiden menekankan, Indonesia telah lulus mengatasi dua ujian di masa lalu dan mesti siap menghadapi ujian di masa depan.

Ujian pertama adalah krisis 1998 dan pelaksanaan agenda reformasi yang penuh tantangan pada tahun-tahun berikutnya. Adapun ujian kedua ialah krisis yang mengguncang dunia pada 2008-2009.

Begitu buruknya dampak krisis 1998 sehingga Indonesia pernah diramalkan akan tercerai-berai dan runtuh. Namun, Indonesia terbukti mampu bertahan, perekonomian menjadi lebih kuat, stabilitas politik terbangun, dan agenda reformasi dapat dijalankan meski belum selesai.

Belajar dari krisis 1998, Indonesia menjadi lebih siap ketika dunia kembali diguncang krisis pada 2008-2009. Presiden Yudhoyono mengingatkan, dunia internasional pun memandang Indonesia telah mengambil langkah-langkah kompeten dalam merespons krisis 2008-2009.

”Apakah lima tahun mendatang takkan ada lagi krisis. Kita tidak tahu, tetapi harus selalu siap. Jadi, mari satukan energi bangsa. Bangun lingkungan dalam negeri yang kondusif, politik harus stabil, demokrasi harus jalan, situasi sosial baik, dan hukum ditegakkan,” ujar Presiden.

Pada puncak peringatan HPN 2010 itu, Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring juga menyampaikan imbauan agar media massa lebih menjaga keseimbangan dalam penyampaian informasi kepada publik.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono menjelaskan, HPN 2010 diperingati dengan sejumlah kegiatan, antara lain ratifikasi standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan wartawan oleh 18 perusahaan pers nasional.

Pada peringatan HPN 2010, PWI juga memberikan penghargaan Kartu Pers Nomor 1 kepada 80 wartawan dan tokoh pers, di antaranya Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawati Diah, Dahlan Iskan, Pia Alisjahbana, Karni Ilyas, Ishadi SK, dan Tarman Azzam. Selain itu, diberikan pula penghargaan Karya Jurnalistik Adinegoro, Penghargaan Anugerah Spirit Jurnalisme, Penghargaan Pena Emas, dan Medali Emas Kemerdekaan Pers.

Perlu agenda

Pada kesempatan terpisah, terkait dengan pesan Presiden kepada pers, pengamat politik, J Kristiadi, menegaskan, media perlu selalu mencermati isu pokok dan menjalankan agenda sendiri untuk mendorong perbaikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Agenda utama yang paling krusial dijalankan pers, menurut Kristiadi, adalah berperan mengurangi politik uang yang sistemik dalam proses pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.

Agenda lain yang mesti dijalankan pers adalah turut membangun peradaban bangsa yang berkualitas. ”Mengharapkan partai memberi pendidikan politik kepada rakyat sampai sekarang ini masih seperti menggantang asap. Jadi, peran pers sangat diharapkan,” ujar Kristiadi.

Ketua Umum Perhimpunan Jurnalis Indonesia Ismed Hasan Putro menilai, kemerdekaan pers merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan.

Di Palembang sekelompok mahasiswa berunjuk rasa menyambut kedatangan Presiden. Aksi terkait kasus Bank Century itu pun dibubarkan polisi. Selain itu, sekelompok massa juga berdemo mendukung pemerintahan SBY-Boediono. (CAS/DAY/WAD/MAM)***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010 | 02:47 WIB

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

bondan nusantara @ Rabu, 10 Februari 2010 | 10:15 WIB
Anjuran yang baik bagi Pers kita!

sukartono @ Rabu, 10 Februari 2010 | 07:50 WIB
Khusus Indonesia DEMOKRASI ternyata mati kutu begitu berhadapan (FTA) dengan Cina yg KOMUNIS ...terbukti KOMUNIS yg diharamkan itu mengalahkan DEMOKRASI ..

fatkhul @ Rabu, 10 Februari 2010 | 07:41 WIB
Pers pd dasarnya baik krn mrpk "sumber informasi", namun oknumlah yg membuat pers kadang-kadang tidak mendidik. Bombastis,egois dan juga ada tipuannya.

rakyat @ Rabu, 10 Februari 2010 | 07:19 WIB
demokrasi BERTUMPU pada rakyat dan kemamkmuran BERTUMPU pada rakyat bukan pada penjabat (cerntury BERTUMPU pada penguasa)

UNJUK RASA WARTAWAN : Kebebasan Pers Harus Dijamin

UNJUK RASA MASIH MARAKNYA KEKERASAN TERHADAP WARTAWAN

Puluhan wartawan dari media cetak dan elektronik di Kota Medan, Sumatera Utara, meletakkan kartu tanda pengenal, kamera foto, dan kamera video sebagai bentuk protes terhadap masih maraknya kekerasan terhadap wartawan. Hal itu dilakukan dalam aksi memperingati Hari Pers Nasional di halaman kantor Gubernur Sumut, Selasa (9/2). (Kompas/Khaerudin)***

UNJUK RASA WARTAWAN

Kebebasan Pers Harus Dijamin

MEDAN - Peringatan Hari Pers Nasional di Medan, Selasa (9/2), diwarnai unjuk rasa wartawan berbagai media cetak dan elektronik yang tergabung dalam berbagai organisasi kewartawanan di Medan. Mereka memprotes kekerasan yang masih terus terjadi terhadap wartawan dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik.

Unjuk rasa digelar sejak pukul 09.30 di Bundaran SIB, Jalan Gatot Subroto, Medan. Selain wartawan, unjuk rasa diikuti sejumlah organisasi masa kepemudaan yang mendukung terjaminnya kebebasan pers tanpa intimidasi dan ancaman kekerasan terhadap wartawan.

Dari Bundaran SIB, wartawan bergerak menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara di Jalan Imam Bonjol.

Puluhan wartawan kemudian ditemui Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga. Kepada Chaidir, wartawan mengeluhkan masih ada intimidasi dan kekerasan terhadap aktivitas jurnalistik meski undang-undang menjamin pekerjaan mereka.

Bahkan, unjuk rasa memperingati Hari Pers Nasional ini sempat diwarnai keprihatinan atas penyekapan petugas Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Adam Malik, Medan, terhadap lima wartawan saat hendak meliput dugaan malapraktik di rumah sakit tersebut.

Chaidir secara khusus juga mengungkapkan keprihatinan atas tindakan penyekapan yang dilakukan petugas RSUP Adam Malik terhadap lima wartawan.

Menurut Chaidir, DPRD Sumut akan segera memanggil manajemen RSUP Adam Malik terkait tindakan tersebut.

Organisasi kewartawanan yang ikut berunjuk rasa, antara lain, adalah Forum Jurnalis Medan (FJM), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumut, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Forum Jurnalis Perempuan (FJP), dan Forum Wartawan Kesehatan Medan.

Setelah berunjuk rasa di DPRD, wartawan melanjutkan aksinya di kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro, Medan. Namun, tidak satu aparat Pemerintah Provinsi Sumut pun yang datang menemui wartawan.

Sekretaris Daerah Pemprov Sumut RE Nainggolan mengaku terlambat datang untuk menyampaikan keprihatinannya atas kekerasan yang masih menimpa wartawan di Medan.

Kekerasan

Menurut Ketua IJTI Sumut Syaiful Anwar, meski pekerjaan wartawan dilindungi undang-undang, masih ada pihak yang melakukan kekerasan terhadap wartawan.

Dia mencontohkan penyekapan petugas RSUP Adam Malik terhadap wartawan yang tengah meliput dugaan malapraktik di rumah sakit tersebut.

Dia mengatakan, kasus penyekapan terhadap wartawan ini tidak hanya melukai kebebasan pers, tetapi juga menunjukkan buruknya kinerja pelayanan publik aparatur pemerintah, seperti petugas rumah sakit. ”Ini, kan, sudah menunjukkan buruknya pelayanan instansi pemerintah,” katanya.

Ketua FJM Arif Rifian juga mengecam tindakan kekerasan petugas instansi pemerintah terhadap wartawan. Menurut dia, seharusnya petugas di instansi pemerintah memahami betul Undang-Undang Pokok Pers.

Ketua AJI Medan Rika Yus menyebutkan, sepanjang tahun 2009 terjadi sedikitnya 11 kasus kekerasan terhadap wartawan di Sumut.

Dia mengatakan, unjuk rasa memperingati Hari Pers Nasional ini juga sekaligus bentuk keprihatinan terhadap masih terjadinya kekerasan terhadap wartawan. (BIL) ***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010 | 03:08 WIB

HARI PERS 2010 (3) : Gerakan Budaya Membaca Koran

BUDAYA MEMBACA KORAN

Siswa SD Negeri Joglo 76, Kadipiro, Solo, Jawa Tengah, membaca koran bersama dalam rangka ikut merayakan Hari Pers Nasional di halaman sekolah mereka, Selasa (9/2). Kegiatan ini dinilai pihak sekolah sebagai bentuk kampanye membudayakan gemar membaca sejak dini serta menjadikan koran sebagai salah satu sumber informasi yang bermanfaat. (KOMPAS/Heru Sri Kumoro)***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010

HARI PERS : Media Bersuara, Elite Tak Mau Mendengar

HARI PERS

Media Bersuara, Elite Tak Mau Mendengar

JAKARTA - Masyarakat menilai, media masih mampu menjadi alat untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Namun, suara masyarakat yang disampaikan media itu kurang didengar oleh pemerintah ataupun elite politik.

Masyarakat juga menilai bahwa kebebasan pers pada masa kini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Informasi apa pun yang dibutuhkan masyarakat sudah diberikan media massa. Bahkan, untuk informasi yang tabu dibicarakan pada masa lalu, saat ini sudah bisa didapatkan oleh masyarakat.

Demikian, antara lain, dikemukakan sejumlah kalangan masyarakat yang ditemui Kompas di Jakarta, Selasa (9/2). Mereka ditanya komentarnya seputar peranan media massa dalam menyuarakan kepentingannya terkait Hari Pers.

”Media sudah menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat, tetapi pemerintah dan elite politiknya tidak mau mendengar. Jika pemerintah memang mau memperbaiki nasib rakyatnya, elite harus mau mendengar keluhan rakyat,” kata Wigiyatno (33), petugas satuan pengamanan di salah satu perkantoran di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Menurut dia, media massa memiliki peran penting dalam menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah dan elite politik. ”Ada media massa saja pemerintah dan elite sudah kayak begitu, suka seenaknya sendiri. Apa jadinya kalau tidak ada pers?” ujarnya, menambahkan.

Jika pemerintah mau mendengar rakyat dan memperbaiki negara, kata Pendi, warga Kelurahan Kenari, yang sehari-hari bekerja sebagai penjual nasi soto di dekat rumahnya, demonstrasi tidak mungkin terjadi. Kenaikan harga beras yang mencekik masyarakat tentu tidak akan terjadi jika pemerintah segera merespons persoalan rakyat.

Pendi menambahkan, melalui media massa, baik televisi maupun koran, masyarakat bisa memperoleh informasi tentang sejumlah peristiwa dan persoalan sosial kemasyarakatan lainnya. Bahkan dengan sajian informasi di media massa, masyarakat bisa menilai langsung wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat.

”Kayak nonton lawak kalau lihat para politisi beradu argumen soal (Bank) Century,” ujar Pendi yang suka melihat tayangan sidang Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century melalui televisi.

Lebih baik

Manik (45), seorang petugas keamanan, mengatakan, kebebasan media massa dalam menyajikan informasi lebih baik dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. ”Sekarang, semua hal bisa diketahui oleh masyarakat, misalnya kasus Bank Century, masyarakat jadi mengetahui bagaimana perjalanan penyelesaian kasus itu. Bagi saya, berita Bank Century karena menyangkut uang rakyat,” kata Manik.

Manik berharap media massa tetap menyerukan keadilan, kesejahteraan masyarakat. ”Berita- berita yang disampaikan kepada publik juga harus merupakan fakta yang benar. Janganlah masyarakat ini dibohongi terus-menerus,” ungkapnya.

Aris (35), seorang sopir taksi, mengatakan, media massa harus jeli dalam melihat suatu peristiwa. ”Media harus pintar memilih informasi apa saja yang akan diberikan kepada masyarakat,” kata Aris.

Ichsan (30), seorang pegawai swasta, mengungkapkan, media massa memang sudah terbuka, tetapi jenis informasi yang diberikan kepada masyarakat belum variatif. Menurut Ichsan, berita- berita yang disajikan sebagian besar terkait dengan kasus korupsi dan kriminalitas.

”Memang berita-berita jenis itulah yang diminati masyarakat sehingga media massa juga pasti menyajikan berita tersebut karena pasti ditonton oleh masyarakat. Jarang sekali media massa memberikan informasi mengenai bagaimana memulai usaha kecil-menengah. Padahal, berita seperti itu juga pasti dibutuhkan oleh masyarakat,” tutur Ichsan.

Hal senada disampaikan Heppi Nurfianto, seorang pegawai swasta. Dia mengungkapkan, media massa memiliki kecenderungan untuk memihak kepentingan publik. ”Sebuah fenomena sosial yang terjadi dan diberitakan, kemudian bisa memengaruhi kebijakan publik. Contohnya, kasus Prita dan Bibit-Chandra di KPK,” katanya.

Penilaian atas pentingnya peran pers sebagai pembawa aspirasi rakyat itu berbeda dengan survei Litbang Kompas yang menyebutkan, sebagian besar pembaca berita koran, penonton televisi, dan pengakses internet menilai sebagian besar orientasi pemberitaan media massa untuk kepentingan komersial mengalahkan kepentingan masyarakat (Kompas, 8/2).

Namun, Wigiyatno mengaku belum melihat adanya kemungkinan informasi yang disajikan media massa disusupi oleh kepentingan elite ataupun pemilik media massa. Ia menilai, informasi yang disajikan media massa masih berimbang.

”Masyarakat sudah pintar. Jadi, walaupun pemerintah atau elite membela mati-matian tentang suatu hal, masyarakat sudah bisa menilai,” ujarnya. (MZW/SIE)***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010 | 02:47 WIB

Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

bondan nusantara @ Rabu, 10 Februari 2010 | 10:20 WIB
Para elit INGATLAH! Suara rakyat adalah suara Tuhan!!!!

Mia @ Rabu, 10 Februari 2010 | 10:19 WIB
Benar,pers sudah membuka lebar2 banyak permasalahan bangsa ini. Para elit aja yg pura2 buta,tunggu aja sampe Allah benar2 menutup mata kalian. Saran bwt pers,tolong expose rakyat yg miskin dan daerah2 tertinggal. Buat tayangan2 atau artikel untuk meningkatkan kemandirian rakyat,dg bekerjasama dg Pak Ciputra,misalnya. Sudah lebih dr setengah abad negara ini merdeka,tp Indonesia msh stagnant jd negara berkembang,pdhl SDAnya melimpah. Semoga Indonesia segera keluar dr ketidakadilan ini.Amin

Res Fobia @ Rabu, 10 Februari 2010 | 08:54 WIB
Diperlukan semacam gugus kendali mutu dan evaluasi kinerja pejabat publik berbasis informasi dan pengetahuan yang sebelumnya telah dipandu pers.

da silva @ Rabu, 10 Februari 2010 | 08:12 WIB
tdk usah heran krn sebagian elite/pejabat kita sdh bermuka badak alias tdk memiliki "rasa malu". Tuhan pun mereka berani kibuli apalagi kita, rakyat biasa.

rakyat @ Rabu, 10 Februari 2010 | 07:25 WIB
MEDIA menyuarakn rakyat tdk didengar penjabat,politikus (suaranya mengedepankan etika,budaya yg baik,budipekerti) TIDAK menyuarakan yg mengedepankan UANG sih

HARI PERS : Penghargaan PWI untuk Ibas, Puan, dan Karoline

HARI PERS

Penghargaan PWI untuk Ibas, Puan, dan Karoline

Menyaksikan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, menyampaikan sambutan di podium merupakan kesempatan langka karena putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini tergolong pendiam di depan publik. Bahkan, ia begitu kalem saat berkampanye pada pemilu untuk anggota legislatif 2009.

Namun, Senin (8/2) malam, Ibas, begitu ia dipanggil, berhasil ditampilkan di podium oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ibas tampil untuk menerima penghargaan sebagai salah satu dari tiga anggota DPR periode 2009-2014 yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) yang diberikan Pengurus Nasional Masyarakat Pers Pemantau Pemilu (Mapilu) yang berada di bawah naungan PWI.

Selain Ibas, dua anggota DPR lainnya yang memenuhi BPP dan menerima anugerah itu berasal dari PDI-P. Puan Maharani, putri mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, meraih BPP dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V, sedangkan Karoline Margret Natasa, putri Gubernur Kalimantan Barat Cornelius, meraih BPP dari Daerah Pemilihan Kalimantan Barat.

Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengatakan, penghargaan itu diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada figur yang paling besar mendapat kepercayaan rakyat karena ketiganya terpilih sebagai anggota DPR dengan suara terbanyak. Menurut Margiono, sebagai putra-putri ”orang besar”, ketiganya terbukti telah belajar dari orangtua untuk juga menjadi ”orang besar”.

Namun, pengamat politik J Kristiadi punya pendapat berbeda. ”Tiga-tiganya populer secara matematis, antara lain, karena orangtua mereka dikenal. Tetapi, untuk populer dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, masih harus dibuktikan dulu bagaimana mereka berempati pada persoalan rakyat dan bisa menemani rakyat yang mengalami kepahitan hidup,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Ibas, yang menyampaikan sambutan dengan membaca catatan, mengatakan, penghargaan itu akan memotivasinya mengemban tugas sebaik mungkin di dunia politik yang dipandangnya keras dan penuh tantangan.

Puan Maharani dalam pidato tanpa teks menyebutkan, ia masih harus belajar dan menimba pengalaman dari konstituennya. Sementara Karoline Margret Natasha yang juga tak menggunakan teks dalam sambutannya mengatakan, demokrasi tidak bisa berjalan tanpa peran media.

Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2010, Selasa kemarin, PWI juga memberikan penghargaan Kartu Pers Nomor Satu kepada 80 wartawan yang menjadi contoh terbaik, antara lain Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawati Diah, dan Pia Alisjahbana. (Nur Hidayati)***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010 | 03:55 WIB

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Khairunnisa Pardede @ Rabu, 10 Februari 2010 | 15:45 WIB
Hareee geenneee...????!!! Wake up PWI? Be a real man....

sekhudin @ Rabu, 10 Februari 2010 | 15:04 WIB
Organisasi sebesar PWI ko masih malu-malu bikin penghargaan padahal setahu saya banyak sekali anggota sering teraniaya dlm menjalankan tgs coba pikirkan itu?

Syamsi @ Rabu, 10 Februari 2010 | 10:13 WIB
Ha ha PWI memberi penghargaan kpd pembeli suara pd pemilu kemaren. PWI ga punya kerjaan ih . .

arifai @ Rabu, 10 Februari 2010 | 10:07 WIB
PWI ngapain ngurusin hasil BPP? PWI mau menjual diri. Insan pers sebenarnya kan sdh tahu suara bisa dibeli saat pemilu kemaren. Penilaian itu ga bermutu!

HARI PERS (1) : Membangun Sekolah Jurnalisme di Indonesia

HARI PERS (1)

Membangun Sekolah Jurnalisme di Indonesia

Oleh Wisnu Dewabrata

Rabu siang pekan lalu, wajah tujuh mahasiswa semester akhir Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang baru saja mengikuti sidang komprehensif di kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, tampak tegang dan tidak terlalu senang.

Raut muka tegang mereka sangat terlihat ketika memasuki ruang sidang tempat keempat dosen penguji, yang beberapa jam lalu ”menyidang” mereka, sudah ”duduk manis” menunggu. Seolah cuplikan film bergenre suspense, cuaca di luar saat itu pun terkesan sangat tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur, diselingi kilatan dan bunyi petir bergantian.

Boleh jadi semua itu menjadi semacam firasat buruk, yang kemudian menjadi kenyataan. Keempat dosen penguji menyatakan mereka tidak lulus. Mereka dinilai tak menguasai teori-teori seputar ilmu komunikasi, terutama terkait bidang jurnalisme, alih-alih mampu mengikuti perkembangan termutakhir.

Keputusan untuk tidak meluluskan seperti itu diakui Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) Herlina Agustin sebagai upaya mereka menjaga standar kualitas kelulusan mereka. Apalagi selama ini tuntutan para perusahaan media massa sangat tinggi.

Tak cuma itu, pihak jurusan juga menggelar berbagai upaya perbaikan dan pembenahan. Beberapa mata kuliah ”dipangkas”, dari total sebelumnya 155 sistem kredit semester (SKS) menjadi hanya 146 SKS untuk jenjang strata I. Selain itu, porsi mata kuliah praktik dan jurusan ditambah bobotnya menjadi setidaknya 40 persen dari total SKS.

Untuk mendekatkan mahasiswa ke dunia kerja, mereka pun dibebani mata kuliah praktik kerja lapangan (job training) di media elektronik dan cetak.

Diakui memang ada banyak cara untuk meningkatkan standar kualitas dan kompetensi para calon jurnalis lulusan Jurusan Ilmu Jurnalistik Fikom Unpad. Namun, menurut Dekan Fikom Unpad Deddy Mulyana saat ditemui secara terpisah, semua langkah itu mensyaratkan banyak hal, mulai dari ketersediaan alokasi anggaran yang memadai hingga aturan kebijakan pendukung lain. Kalau memang mau serius, banyak perombakan harus dilakukan, tidak hanya di tingkat internal fakultas, tetapi juga sampai ke tingkat kebijakan pendidikan tinggi nasional.

Dengan begitu, mimpi untuk membangun Sekolah Jurnalisme (School of Journalism) andal dan profesional di tingkat nasional, seperti sudah lama ada di negara maju, bisa terwujud. Namun, sayangnya, perkembangan Sekolah Jurnalisme di Tanah Air diyakini masih terbilang tertinggal. Hal itu disampaikan Leo Batubara, mantan anggota Dewan Pers, saat ditemui secara terpisah.

Menurut Leo, India jauh lebih maju ketimbang Indonesia dalam hal itu. Perusahaan media massa di sana, menurut dia, tak perlu lagi repot merekrut dan mendidik para calon wartawan mereka, apa pun latar belakang keilmuan mereka, lantaran hal itu sudah selesai dilakukan di sekolah-sekolah jurnalisme yang ada. Mereka juga memiliki standar kompetensi tertentu, yang juga telah ditetapkan dan disepakati bersama. Tidak hanya itu, Pemerintah India pun dinilai Leo jauh lebih mendukung.

Sejak masih dijajah Belanda sampai sekarang Indonesia tidak pernah peduli untuk mendirikan sekolah jurnalisme yang baik. Sementara di India, ada ratusan sekolah yang setiap tahun melahirkan jurnalis yang memenuhi standar, mampu membuat berita yang mencerahkan dan mengkritik demi kepentingan masyarakat banyak. Di Indonesia, kebanyakan media massa mendirikan sendiri lembaga pendidikan dan pelatihan. Hal itu pun hanya bisa dilakukan terutama oleh perusahaan media yang mapan dan punya kemampuan finansial. ”Sementara selebihnya, ya, tidak punya standar kompetensi wartawan,” ujar Leo.

Menurut Leo, di Indonesia sebetulnya ada banyak potensi sekolah jurnalisme, mulai dari yang ada di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hingga berbagai lembaga pendidikan jurnalistik swasta semacam di Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS) Jakarta; Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), dan juga beberapa organisasi profesi kewartawanan.

Wartawan ”abal-abal”

Namun, sayang, setiap lembaga punya standardisasi sendiri. Akibatnya Indonesia kekurangan wartawan berkualitas yang punya standar kompetensi wartawan. Sementara di luar sana ada banyak wartawan abal-abal, wartawan amplop, dan pemeras yang merajalela. Akibatnya mereka yang merusak citra media massa benaran dan juga mencoreng kebebasan pers.

”Para wartawan amplop seperti itu bisa terus ada dan terpelihara karena para pejabat, pengusaha, dan aparat bermasalah lebih suka membayar mereka,” gugat Leo.

Pendapat senada disampaikan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja. Menurut dia, reformasi berdampak memicu ledakan (booming) media massa, mulai dari media cetak, radio, hingga elektronik. Untuk media massa cetak, lonjakannya bahkan sampai empat kali lipat dari sebelumnya yang hanya 300 surat kabar, tabloid, dan majalah. Lonjakan terjadi karena surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) mudah sekali diberikan pemerintah setelah sebelumnya surat izin itu dipakai sebagai cara mengontrol pers oleh rezim Orde Baru.

”Ada yang serius, ada pula yang hanya mengandalkan berita sensasi tanpa peduli standar jurnalisme yang profesional,” ujar Atmakusumah.

Atmakusumah lebih lanjut meminta adanya standardisasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan jurnalistik, terutama yang ada di tingkat perguruan tinggi. Selama ini perguruan tinggi lebih memilih memfokuskan diri pada pengajaran teori ketimbang praktik. Beberapa kemampuan yang, menurut dia, harus dikembangkan dalam kurikulum pengajaran di sana adalah kemampuan menulis dan mengumpulkan berita, kemampuan melobi narasumber, penguasaan ilmu pengetahuan umum dan bahasa asing, serta pemahaman hukum dan kode etik jurnalistik. Dia juga menyarankan semua perguruan tinggi terkait duduk bersama membahas semua persoalan dan kendala yang ada, termasuk menetapkan standar kompetensi bersama.

Lebih lanjut, saat dihubungi secara terpisah, pengajar senior Program Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Zulkarimein Nasution, mengatakan, upaya sinkronisasi standar kurikulum sebenarnya sudah dilakukan. Pada pertengahan April 2007 sedikitnya 30 lembaga pendidikan tinggi, yang menjalankan jurusan atau program studi ilmu jurnalistik, se-Indonesia berkumpul dan sepakat mendirikan Asosiasi Pendidikan Jurnalisme Indonesia (AP-J-Indonesia).

Menurut Zulkarimein, disepakati pula standar ukur (benchmark) yang diacu adalah model Curricula for Journalism Education dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Dalam model itu disebutkan, pendidikan jurnalistik harus mengajarkan dasar-dasar jurnalisme seperti kemampuan berpikir kritis dan komprehensif, analitis, serta memiliki pemahaman dasar tentang metode pembuktian dan riset. Selain itu, harus diajarkan teknik penulisan komprehensif dan koheren, baik secara deskriptif maupun naratif, termasuk dengan menggunakan metode analisis.

Kurikulum pendidikan jurnalistik juga diharapkan mampu membuat orang menguasai berbagai macam pengetahuan, mulai dari politik, ekonomi, budaya, agama, hingga institusi sosial, baik dalam konteks nasional maupun internasional, dan juga pengetahuan tentang isu dan perkembangan aktual serta pengetahuan umum tentang sejarah dan geografi.

Lebih lanjut dalam peringatan Hari Pers Nasional tahun 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, Dewan Pers, organisasi profesi wartawan, dan sejumlah pimpinan perusahaan pers yang akan hadir rencananya akan meratifikasi Piagam Palembang berisi empat kesepakatan. Selain berisi Standar Kompetensi Wartawan, Piagam Palembang juga berisi ketetapan Standar Perusahaan Pers, Standar Kode Etik Jurnalistik, dan Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Sejumlah kalangan meyakini keempat standar itu, terutama terkait Standar Kompetensi Wartawan, akan mampu menjawab berbagai pertanyaan dan gugatan terhadap kebebasan pers, yang selama ini kerap dituduh sudah kebablasan. Selain itu, diyakini pula, dengan kejelasan standar kompetensi tadi, profesi wartawan akan disetarakan dengan sejumlah profesi lain, seperti pengacara atau dokter, yang punya standar kerja dan bayaran yang terukur. ***

Source : Kompas, Selasa, 9 Februari 2010 | 03:51 WIB

Pers Indonesia Masih (Terus) Terancam


Pers Indonesia Masih (Terus) Terancam

Oleh Wisnu Dewabrata

Jika dilihat sepintas, boleh jadi hubungan pemerintah dan pers selama ini berjalan baik dan ”mesra”. Pascareformasi, pers tidak lagi dihantui ancaman beredel macam ketika Orde Baru berkuasa. Dampaknya, pers bebas memberitakan nyaris apa pun yang terjadi di kolong langit negeri ini.

Secara sepintas, kemesraan hubungan pers dan pemerintah tadi terepresentasi dari nyaris tidak pernah absennya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional. Hal ini setidaknya dalam tiga tahun terakhir.

Bahkan, dalam setiap peringatan Hari Pers, Presiden Yudhoyono mendapatkan kehormatan berpidato sekaligus memberikan ”wejangan” dan kritik. Kedekatan seperti itu tentu tidak bakal terjadi jika hubungan di antara keduanya berjalan tidak harmonis.

Memang tak banyak hal baru disampaikan Presiden Yudhoyono dalam beberapa kesempatan acara peringatan itu. Apa yang disampaikan relatif ”sama dan sebangun”. Pada intinya mengingatkan pers agar tidak sembarangan, apalagi tanpa bertanggung jawab, menjalankan peran dan fungsinya menjadi pilar keempat demokrasi (the fourth estate).

Otokritik

Dalam pidatonya di puncak peringatan Hari Pers Nasional kali ini di Palembang, Sumatera Selatan, Presiden Yudhoyono mengingatkan pentingnya upaya sensor diri (self-censorships) dalam pemberitaan, peliputan yang seimbang, dan juga mengetahui berita mana yang masih dalam kepatutan dan mana yang sudah di luar kepatutan.

Jika dalam peringatan kali ini Presiden Yudhoyono menggunakan istilah sensor diri, pada peringatan sama dua tahun lalu di Semarang, Jawa Tengah, dia menggunakan istilah otokritik. Menurut Presiden Yudhoyono saat itu, media massa harus selalu ingat untuk melakukan otokritik sekaligus aktif menjadikan kebebasan pers agar bisa membawa manfaat bagi negara.

Wanti-wanti pemerintah itu bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan atas besarnya peran dan kemampuan pers, terutama dalam memengaruhi opini masyarakat dan kebijakan, baik yang tengah disusun maupun yang sedang berjalan.

Tidak hanya itu. Boleh jadi secara tersirat, pengakuan atas kekuatan dan kemampuan pers yang teramat besar tadi menyebabkan Presiden Yudhoyono juga meminta pers dan media massa bisa ”membikin benar” pemerintah jika pemerintah melakukan kesalahan. Hal itu ditegaskan Presiden dalam pidato pada peringatan Hari Pers Nasional tahun 2009 di Jakarta.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, kebebasan pers kemudian malah dimaknai berbeda, terutama oleh pemerintah dan kalangan politisi. Bahkan, muncul tuduhan kemudian, kebebasan pers sudah kebablasan. Dengan alasan itulah lalu muncul keinginan dan upaya dari sejumlah kalangan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers walaupun belakangan ini upaya itu juga tak berlanjut setelah mendapat sejumlah penentangan.

Ancaman pidana

Meski begitu, bukan berarti berbagai upaya ”mengerdilkan” kembali kebebasan dan independensi pers kemudian berhenti begitu saja. Sejumlah kalangan mengaku yakin ancaman ”pengerdilan” dan bahkan pengkriminalisasian pers masih terus berjalan dengan banyak siasat lain. Salah satunya dengan menciptakan berbagai aturan legislasi, baik UU maupun peraturan pemerintah, yang walau hanya satu atau dua pasal berpotensi mengancam kebebasan pers, sekaligus mengkriminalkan pers dan wartawan.

Sebut saja Rancangan UU tentang Rahasia Negara, yang bisa dijadikan salah satu contoh ekstrem, betapa masih kentalnya paradigma dan cara berpikir pemerintah yang ingin membatasi peran dan kebebasan pers. Dalam RUU yang disusun dan diajukan Kementerian Pertahanan itu terdapat sejumlah pasal, terutama tentang sanksi bagi pelanggar, yang mencantumkan nilai denda uang yang sangat tinggi dan fantastis, sehingga berpotensi kuat membangkrutkan perusahaan pers yang dianggap melanggar.

Memang pada ”menit-menit terakhir” RUU Rahasia Negara itu dibatalkan pembahasannya oleh Presiden Yudhoyono. Namun, tidak ada jaminan RUU itu tidak akan ”bangkit” kembali dari ”kubur”-nya. Apalagi, mengingat pemerintah dan anggota legislatif periode 2009-2014 sepakat memasukkan kembali RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional 2009-2014.

Saat dihubungi secara terpisah, Leo Batubara dari Dewan Pers menegaskan ada banyak pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang juga berpotensi kuat mengkriminalkan wartawan dan media pers. Pasal-pasal itu bahkan bertambah dalam sejumlah draf revisi yang diajukan, mulai dari pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie hingga Presiden Yudhoyono sekarang.

”Selama ini di KUHP ada 37 pasal yang bisa mengkriminalkan pers. Pada zaman Habibie, jumlahnya ditambahi jadi 42 pasal. Sedangkan pada zaman Presiden Yudhoyono oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia diubah menjadi 62 pasal. Kenaikan itu dilakukan by design dan sengaja,” ujarnya lagi.

Menurut Leo, sedikitnya ada empat modus untuk membungkam pers. Keempat modus itu adalah regulasi perizinan dan pemberedelan, kriminalisasi pers melalui legislasi, penetapan hukuman denda bernilai besar, dan terakhir dengan jalan memperbesar rezim ketertutupan yang berdampak memperkecil akses terhadap informasi publik.

Selain KUHP dan RUU Rahasia Negara, Leo mencatat sejumlah UU yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan mengkriminalkan jurnalis. UU itu antara lain UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1), UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

”Saya melihat pemerintah sampai sekarang masih belum siap dikritik dan diinvestigasi. Mereka tidak keberatan kalau ada pers atau jurnalis abal-abal memeras narasumber dan menerima amplop karena mengalokasikan dana khusus untuk itu. Namun, kalau ada pers benar menjalankan fungsi kontrol mereka, misalnya dengan menginvestigasi kemungkinan penyelewengan uang negara, pemerintah justru sangat alergi,” papar Leo.

Saat ditemui secara terpisah, akhir pekan lalu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria kepada Kompas membenarkan ada kecenderungan pemerintah ingin kembali mengendalikan ruang kemerdekaan, yang telah diperoleh masyarakat sipil sebagai berkah reformasi. Tren itu diyakini terjadi dalam lima tahun terakhir. Kebebasan pers dianggap banyak mengganggu kepentingan politisi, aparat pemerintah, dan pebisnis bermasalah.

”Rezim pemerintah pada era reformasi memang berwajah ganda. Mereka selalu akan mengaku menjunjung tinggi kebebasan pers agar dianggap menghormati prinsip demokrasi. Namun, di kesempatan lain mereka cari akal (siasat), membuat sebanyak mungkin aturan hukum yang bisa kembali mengontrol kebebasan pers. Sayangnya, hal itu membuat pers dan perusahaan media massa berhati-hati, bahkan takut membuat liputan investigatif terkait dugaan penyelewengan,” ujar Nezar. Inilah tantangan pers saat ini. ***

Source : Kompas, Rabu, 10 Februari 2010 | 03:53 WIB

Menggugat (Hari) Pers


Menggugat (Hari) Pers

Oleh Mukhtaruddin Yakob

Hari Pers Nasional atau HPN 2010 menjadi tonggak sejarah baru. Pada acara puncak di Palembang, Sumatera Selatan, 9 Februari, para pemimpin perusahaan pers nasional akan meratifikasi Piagam Palembang. Piagam ini berisi kesepakatan menerapkan empat produk Dewan Pers: standar perusahaan pers, standar kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.

Ini tentu langkah maju bila benar-benar dijalankan dan dijalankan dengan benar. Selebihnya, HPN diisi dengan seremoni dan mungkin sedikit renungan. Namun, pers tetap saja tak beranjak dari berbagai persoalan yang melilitnya selama ini: modal, sumber daya manusia, hingga keredaksian. Sistem penggajian dan upah layak masih merupakan persoalan mendasar. Organisasi pers, seperti PWI, tak bisa berbuat banyak. Organisasi pers tertua di Indonesia ini sebatas menjembatani persoalan pekerja pers dengan publik, bukan terhadap perusahaan. Demikian pula AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Melonjak

Jumlah media massa di era reformasi luar biasa melonjak. Semasa Orde Baru terdapat 289 media cetak, enam stasiun televisi, dan 740 radio. Setahun sesudah reformasi, media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan, hampir enam kali lipat. Kira-kira empat media terbit saban hari dalam setahun itu.

Era reformasi belum bisa menumbuhkan pers profesional sebagaimana diharapkan para sesepuh pers di Tanah Air. Wartawan masih merupakan pekerjaan sampingan sebelum seseorang dapat pekerjaan lain. Gejala ini terutama bagi pers daerah yang kesulitan mengembangkan diri.

Profesionalisme dan kesejahteraan bagai dua sisi mata uang. Sebagian berpendapat, pekerja pers akan profesional bila kesejahteraan terpenuhi. Betul bahwa bisa dihitung dengan jari perusahaan yang menggaji wartawannya dengan bagus.

Lebih dari 10 persen perusahaan pers membayar karyawannya sesuai dengan standar upah minimum regional. Selebihnya memprihatinkan. Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara pada seminar HPN 2009 di Jakarta, mengutip wartawan senior Rosihan Anwar, mengatakan bahwa 80 persen wartawan adalah ”pemeras”. Namun, kata Leo, biasanya yang diperas para pemeras juga!

Banyak pekerja pers yang dikenal sebagai kontributor sama sekali tak bergaji. Jangankan gaji tetap, mereka tak menerima selembar kontrak kerja pun meski telah bertahun-tahun bekerja pada perusahaan pers tertentu. Padahal, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 59 menyebutkan status kontrak hanya bisa diperpanjang sekali dalam setahun, selebihnya seseorang harus diberhentikan dengan pesangon atau diangkat sebagai karyawan tetap.

Namun, siapa peduli? Organisasi pers tak berkutik: apakah PWI, AJI, atau IJTI. Maka, kampanye anti-amplop yang ditawarkan AJI tidak efektif. Toh, AJI tidak memiliki konsep kompensasi pengganti amplop sebab kelindan organisasi tidak jalan antara organisasi pers dan perusahaan pers.

Wajah kita

Para pekerja pers dalam pemberitaan selalu mempersoalkan buruh yang tidak digaji layak atau sejumlah pekerja yang dipecat. Mungkin mereka lupa akan nasib sendiri yang tidak digaji atau bekerja tanpa ikatan hukum. Jadi, apa beda pekerja pers dengan buruh?

Euforia pers masa reformasi memudarkan citra pers sebab pada masa ini berbagai ”perusahaan” pers didirikan dengan maksud tertentu. Perusahaan penerbitan semacam ini memperdagangkan kartu pers. Mereka sama sekali tak membayar para pekerja pers. Selembar ”kartu pers” menjadi senjata ampuh untuk mendapat keuntungan. Dengan itu, para ”pekerja pers” mengancam dan mendapat imbalan (baca: amplop). Anehnya, pejabat atau perusahaan yang diperas tak risih menyodorkan sejumlah uang kepada mereka. Gerombolan ini hidup enak dari hasil sweeping ke kantor-kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan. Bisa dibayangkan, pendapatan mereka justru lebih besar daripada gaji seorang karyawan perusahaan pers yang sesungguhnya.

Moral dan etiket tidak lagi jadi acuan. Boro-boro profesional, ”pekerja pers” jenis ini menulis berita saja belum becus. Wajar saja apabila citra pers model inilah yang dominan di mata masyarakat. Seharusnya, hal ini perlu disadari para pencetus pers Indonesia: memperbaiki citra pers dan menjadikan pers sebagai pekerjaan yang bergengsi dan bisa memberi penghidupan layak. HPN seharusnya langkah inovatif menaikkan nilai tawar bagi profesi wartawan.

Mukhtaruddin Yakob,

Pekerja Pers, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh

Source : Kompas, Selasa, 9 Februari 2010 | 04:15 WIB