Kamis, 25 Maret 2010

Sebagai wartawan, tulisan-tulisan Rosihan Anwar tersebar di berbagai media

ROSIHAN ANWAR. (Kompas/Elok Dyah Messwati)***




Semangat Menulis Rosihan Anwar

Oleh Elok Dyah Messwati

Sebagai wartawan, tulisan-tulisan Rosihan Anwar tersebar di berbagai media. Usia 87 tahun tidak mampu menyurutkan semangatnya untuk menulis. Dia tetap aktif berkegiatan, meliput, menulis buku, menghadiri berbagai diskusi dan bedah buku, serta mendatangi banyak undangan.

Namun, usia pula yang membuat fisik Rosihan tak lagi sekuat dulu. Belakangan ini dia mulai sakit-sakitan. Terkadang tekanan darahnya naik dan ini membuat dia merasa kliyengan. Pada lain waktu, dia merasa napasnya sesak. Tetapi, meski mulai kerap merasa sakit, hal itu tak menghambat produktivitasnya.

Akhir tahun lalu, dia pergi ke Eropa. Rosihan meliput sampai ke Belanda. Kegiatan ini membakar semangatnya. Ia pergi ditemani putrinya, dr Naila Karima Anwar, menantunya dr Robby, serta sejarawan Rusdi Husein yang juga dokter.

”Desember 2009, saya diundang Radio Netherland Wereldomroep. Selama 10 hari saya di Belanda. Sebelum berangkat saya check up. Dokter paru-paru mengizinkan saya pergi, tapi dokter jantung melarang karena tekanan darah saya tinggi. Seminggu kemudian saya check up lagi, tekanan darah saya normal, maka berangkatlah....”

Di Belanda, ia mengenang kembali masa liputan 60 tahun lalu ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung 23 Agustus-2 November 1949. KMB itu membahas penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Negara Federal Republik Indonesia Serikat, 27 Desember 1949. Rosihan pun menyempatkan diri ke Paris untuk bernostalgia.

Sepulang dari Belanda dan Perancis, banyak tulisan ia hasilkan. ”Saya harus tetap mencari uang. Meski memang anak dan cucu saya memberi uang kepada Ibu Rosihan, tetapi saya tetap harus bertanggung jawab. Ini agar dapur ngebul,” ujarnya.

Ia menulis untuk harian Kompas sebanyak 16 halaman kertas kuarto tik dua spasi. Ia menulis artikel itu selama dua hari.

”(Hasil liputan itu) di Suara Pembaruan dimuat empat kali, Pikiran Rakyat dimuat tujuh kali, dan Rakyat Merdeka dimuat 10 kali. Untuk artikel di satu surat kabar itu, saya menulisnya masing-masing dua hari. Semua saya tik dengan mesin tik karena saya ini gaptek (gagap teknologi) ha-ha-ha,” ujar Rosihan.

Rencananya, semua tulisan hasil liputan Rosihan selama di Eropa itu akan dibukukan Penerbit Kompas. Buku itu akan diluncurkan pada ulang tahunnya yang ke-88 tanggal 10 Mei 2010.

Ingatan kuat

Selain semangat menulisnya yang tak menyurut, hal istimewa lain dari Rosihan adalah ingatannya yang kuat. Tentang ingatan itu, katanya, ”Saya sebenarnya enggak bisa menghafal nama-nama orang Jawa yang panjang-panjang. Kalau ingatan saya dinilai kuat, itu karena my mind is busy! Setiap hari saya sibuk berpikir, apa yang mau saya tulis hari ini?”

Sekarang ia sedang memikirkan rencana buku ”Sejarah Kecil—Petite Histoire Indonesia” jilid keempat. Ia akan menulis tentang drama keluarga dalam buku tersebut.

Rosihan lalu bercerita tentang keterkaitan mesin tik dengan kelancaran ide menulisnya.

”Kalau mendengar bunyi tik... tik... tik... pikiran saya jalan. Saya punya laptop juga, tapi kalau ngetik enggak keluar bunyinya dan saya harus mengecek di layar komputer, itu mengganggu saya. Ini membuat ide dalam kepala saya buyar. Lalu saya berikan laptop saya untuk cucu,” katanya.

Agar dapat terus beraktivitas, Rosihan menyadari kesehatan memegang peran penting. Karena itu, ia rutin melakukan pemeriksaan kesehatan sekali dalam setahun.

”Dua anak saya (berprofesi) dokter. Mereka yang mendorong saya untuk memeriksa kesehatan secara rutin,” ujarnya.

”Selain menjaga kesehatan, saya terus berpikir bagaimana tetap mendapatkan penghasilan. Apalagi, sekarang saya sering sakit dan perlu uang yang tidak sedikit untuk menjaga kesehatan. Untuk sekali CT-Scan, misalnya, sudah menghabiskan Rp 4,5 juta. Belum lagi Ibu Rosihan (istrinya), setahun ini sakit osteoporosis,” ujarnya.

Tentang menjaga kesehatan, Rosihan berpendapat, pikiran yang tenang berkontribusi pada kondisi fisik seseorang. Karena itulah dia selalu memilih bahan bacaannya. Ia menyukai buku-buku sejarah, membaca koran terutama pada judul beritanya, sedangkan tulisan para pakar ia lewati agar tak membebani pikiran.

”Saya sudah tahu mereka (pakar) menulis apa, mau bercerita tentang apa. Saya lebih suka menonton televisi, siaran luar negeri, seperti BBC, CNN, dan Fox, itu bisa memenuhi rasa ingin tahu saya. Informasi itu membuat saya tak ketinggalan zaman,” katanya.

Rosihan juga rajin berolahraga. Setiap hari, seusai shalat Subuh, dia berjalan kaki di kawasan sekitar rumahnya.

”Saya berjalan kaki sambil berzikir, 45 menit cukuplah. Saya sudah berkeringat. Biarpun hujan, saya tetap jalan kaki dengan memakai payung. Kata dokter, jalan kaki itu bagus untuk metabolisme tubuh dan pengaturan napas,” katanya.

Pola makan pun dia jaga. ”Makan itu jangan berlebih, jangan sampai kekenyangan. Saya banyak makan sayur, buah, dan ikan,” kata Rosihan.

Bersyukur

Produktivitas dan semangat menulis yang ditunjukkan Rosihan mempunyai sejarah panjang. Dia menjadi penulis lepas untuk berbagai media setelah surat kabar yang ia dirikan, Pedoman, diberedel.

Pemberedelan Pedoman yang sampai tiga kali pun tak menghentikan semangatnya menulis. Pedoman pertama kali diberedel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu diberedel Pemerintah Orde Lama (Soekarno) pada 7 Januari 1961, dan terakhir diberedel oleh Pemerintah Orde Baru (Soeharto) tanggal 18 Januari 1974.

”Saya habis... bis! Oplah Pedoman saat diberedel tahun 1961 itu 42.000. Waktu diberedel tahun 1974, oplahnya 45.000,” cerita Rosihan yang menerima penghargaan Bintang Mahaputra III.

Sejak tak ada lagi Pedoman, Rosihan lalu menjadi penulis lepas. Ia tak hanya menulis untuk media dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti majalah Asia Week, Hongkong; The Straits Times, Singapura; New Straits Times, Kuala Lumpur; The Hindustan Times, New Delhi; Het Vriye Volk, yang diterbitkan di Belanda; dan The Melbourne Age, Australia.

”Teman-teman memberi saya kesempatan menulis. Tetapi, saat umur mencapai 60, saya tak boleh lagi menulis. Ada aturan di luar negeri, orang berusia 60 dianggap tak bisa menulis. Padahal, saya belum pikun ha-ha- ha,” kata Rosihan, yang pada Hari Pers Nasional di Palembang, Februari lalu, mendapat penghargaan Spirit Jurnalisme dan hadiah uang Rp 25 juta.

Ia menjalani hidup dengan bersyukur. Ia mengingat pesan dalam satu episode Oprah Winfrey Show: paling penting dalam hidup adalah jujur pada diri sendiri, bersyukur setiap hari, mengubah hidup (berjuang), menolong orang lain, dan berpikir positif.

ROSIHAN ANWAR

• Lahir: Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922

• Istri: Siti Zuraida (86)

• Anak:
- dr Aida Fathya Anwar (60)
- Omar Luthfi Anwar (58)
- dr Naila Karima Anwar (56)
- Cucu 6 orang dan Cicit 2 orang

• Pendidikan:
- Hollandsch Inlandsche School (HIS), Padang, Sumatera Barat, 1935
- Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang, 1939
- Algemeene Middlebare School (AMS) Bagian A II, Yogyakarta, 1942

• Pekerjaan antara lain:
- Pemred ”Pedoman”, 1948-1961 dan 1968-1974
- Pengajar dan Penatar Jurnalistik, 1970-an
- Wartawan koran ”Merdeka”, 1945-1946 - Pendiri/pemimpin majalah mingguan ”Siasat”, 1947-1957
- Pemred majalah bulanan ”Citra Film”, 1981-1982

• Penghargaan, antara lain:
- Bintang Mahaputera Utama III, 1973
- Pena Emas PWI Pusat, 1979
- Third ASEAN Awards in Communication, 1993
- Bintang Aljazair, 2005
- Penghargaan Spirit Jurnalisme-HPN, Februari 2010

Source : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010 | 04:13 WIB

Jumat, 12 Maret 2010

Toleransi pada Selembar Tenun Alor

Nurjanah Ubah menyelesaikan tenun ikat pesanan seragam kantor dinas setempat di Kecamatan Teluk Berlian, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Senin (23/11). Satu lembar kain diselesaikan selama dua minggu dan dijual dengan harga mulai dari Rp 350.000 per potong. (Kompas/Lucky Pransiska)***

KERUKUNAN WARGA

Toleransi pada Selembar Tenun Alor

Oleh Iwan Santosa dan Samuel Oktora

Menjelang senja di sudut kota Kalabahi, Pulau Alor, Mama Nurjanah Ubah (48) membetulkan jilbab lalu menarik mesin tenun, menjalin benang di atas sehelai kain Alor indah bermotif Salib Putih bertuliskan huruf GMIT.

Nurjanah, wanita asal Pulau Pantar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), bersama sembilan perempuan lain perajin tenun tradisional Alor sedang sibuk menyelesaikan tenunan yang akan dipakai para rohaniwan dan penatua Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). ”Ini pesanan kain tenun untuk GMIT. Sudah sering saya buat bersama teman-teman. Waktu sidang Sinode GMIT, kelompok kita juga dipercaya membuat tenunan yang dipakai para pendeta,” kata Nurjanah.

Kelompok-kelompok perajin tenun yang ada di Alor selama ini menghimpun para mama Nasrani dan Muslim untuk bekerja bersama menambah penghasilan keluarga. Tenun Alor yang menjadi pemersatu warga mulai bangkit kembali sejak sepuluh tahun terakhir semasa kepemimpinan Bupati Ans Takalapeta (1998-2008).

Di sekeliling rumah Nurjanah, warga Muslim dan Nasrani tinggal bersebelahan. Tidak ada sesuatu yang ganjil atau patut dipermasalahkan bagi mereka atas warna-warni kehidupan di Pulau Alor.

Buat warga Alor, perbedaan agama tidak pernah menjadi persoalan. Warga pantai di sebelah barat Alor yang umumnya Muslim dan warga di timur dan Pegunungan Alor yang Nasrani adalah satu saudara. Identitas bersama sebagai orang Alor meleburkan perbedaan keyakinan.

”Orang gunung dan orang pantai itu saudara. Kami di Pulau Pantar menghargai perbedaan dan tetap bersaudara,” kata Dursila Polinggomang, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Alor, yang berasal dari Pulau Pantar.

Menurut Dursila, saat misi Gereja dan dakwah Islam berkembang di Pulau Pantar, para tetua mengimbau agar di dalam satu keluarga ada yang menganut Islam dan Kristen. ”Toh semuanya untuk mengajarkan kebaikan bagi semua orang,” kata Dursila yang lahir dari keluarga pendeta.

Di Kalabahi, gereja dan masjid leluasa didirikan. Menjelang Idul Adha pun malam takbiran berlangsung leluasa, Kamis malam (26/11).

”Kita juga angkat bela (angkat saudara) dengan warga pendatang dari pulau lain seperti Lomblen atau Adonara,” kata Nurjanah. Angkat bela atau dikenal di Ambon sebagai Pela Gandong membuat dua kelompok menjadi satu darah.

Pada masa lalu, ujar Nurjanah, upacara dilakukan dengan mencampurkan darah dalam satu mangkuk sebagai pengikat kekal persaudaraan warga dari kelompok yang berbeda menjadi satu keluarga besar.

Kebersamaan itu menyebar di seluruh Pulau Alor. Di Kolana, Kecamatan Alor Timur, yang menjadi salah satu pusat komunitas Kristen dan Kerajaan Kolana pada masa lalu, toleransi juga berkembang. Salah satu keluarga Raja Kolana ada yang menganut Islam. Beberapa warga Kolana juga kawin-mawin dengan warga Timor Leste yang beragama Katolik Roma.

”Keluarga mertua perempuan saya asli Timor Leste. Di sebelah barat Dili hingga kini masih ada permukiman warga asal Kolana. Mereka hidup rukun dengan warga asli Timor Leste,” kata John Karibera (47), warga Kolana, yang lama tinggal di Dili hingga penentuan pendapat berakhir kerusuhan yang memaksa seluruh keluarganya mengungsi.

Wujud kebersamaan lain ditampilkan di Museum Daerah Alor di Jalan Diponegoro, Kalabahi. Dalam sebuah lemari, sebuah Alkitab tua berbahasa Belanda disandingkan dengan foto Al Quran tertua dari kulit kayu beserta perlengkapan keagamaan kuno lainnya dari India serta patung era Kerajaan Majapahit.

Rivai Panara, dan Since Retebana, pegawai museum setempat, fasih menceritakan sejarah Islam dan Kekristenan di Pulau Alor. Di dinding museum terpajang foto Raja Alor yang Muslim dan Nasrani berdampingan.

Di daerah Alor terdapat beberapa kerajaan yang kemudian dihapuskan pada tahun 1950-an setelah Republik Indonesia berdiri. Namun, secara informal, raja dan bangsawan masih menjadi bagian penting dari kehidupan lokal warga Alor.

Bupati Alor Simeon Tapali yang menerima rombongan Ekspedisi Garis Depan Nusantara dan Kompas, di Kalabahi, mengatakan, warga Alor hidup bersama dalam kedamaian. ”Ada sekitar 178.000 orang Alor yang hidup di sembilan dari 15 pulau yang ada di Pulau Alor. Toleransi beragama tumbuh secara alamiah di sini,” kata Tapali.

Di balik toleransi warga Alor, ada persoalan sosial yang menghantui, yakni tawuran pemuda antarkampung. ”Kebanyakan pemuda di kota yang sekolah tinggi justru menganggur. Sebagian besar pengin jadi pegawai pemerintah. Kalau ada seratus lowongan, ada seribu yang mendaftar. Akhirnya rasa kecewa sering muncul dalam bentuk tawuran,” ujar Christofel Karibuy, warga Alor.

Kerusuhan antarkampung itu mulai muncul dalam empat tahun terakhir dan kerap menelan korban. Kerusuhan itu hanya terjadi di seputar Kecamatan Mutiara di Kalabahi. Tidak pernah terjadi kerusuhan di kampung-kampung di Alor.

Menurut Simeon Tapali, pihaknya berupaya menciptakan program bantuan modal bagi pemuda di Kalabahi agar memiliki usaha sendiri sehingga tidak mudah tersulut kerusuhan.

Di dataran tinggi Alor di sekitar Desa Tanglapuy tersedia ribuan hektar lahan siap olah. ”Kalau mau kerja bertani dan beternak di desa sebetulnya masih gampang mencari uang di Alor,” kata Hizkia Lazay, seorang tetua warga Kalona.

Sejauh pengamatan Kompas, dataran tinggi Alor dengan ketinggian lebih dari 800 meter dari permukaan laut sangat sejuk dan subur. Perekonomian adalah kunci langgengnya kedamaian di Pulau Alor. Para mama telah merintisnya lewat usaha kain. Sehelai kain Alor seharga Rp 400.000, dan sarung Rp 250.000, cukup membuat mereka bertahan di masa paceklik musim kering yang mendera.

Seharusnya pemuda Alor di Kalabahi belajar dari toleransi dan lapangan kerja yang diciptakan para mama mereka yang rukun-bersatu dengan tekun menenun sehelai kain indah yang juga dipasarkan bersama. ***

Source : Kompas, Sabtu, 28 November 2009 | 03:05 WIB

Supersemar dan Arsip Bangsa

Supersemar dan Arsip Bangsa

Oleh Asvi Warman Adam

Setelah 44 tahun dikeluarkan, naskah autentik Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar belum ditemukan sampai hari ini.

Dokumen yang ada pada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) terdiri atas beberapa versi dengan sejumlah perbedaan.

Hal ini sangat memprihatinkan karena arsip ini sebetulnya memiliki nilai yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Indonesia era Orde Baru. Surat itu yang memberi kewenangan tidak terbatas bagi Mayor Jenderal Soeharto (”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”) pada situasi kritis saat peralihan kekuasaan pasca-Gerakan 30 September (G30S).

Kasus ini menyadarkan kita bahwa bangsa Indonesia belum menghargai pentingnya arsip. UU Kearsipan tahun 1971 sudah menegaskan, barang siapa yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkan kepada ANRI dapat dihukum penjara maksimal 10 tahun. Namun, sampai sekarang belum ada pihak yang menyerahkan dokumen Supersemar yang teramat penting itu.

Pentingnya arsip

Dalam mengabadikan perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa dan sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, bentuk arsip yang tersimpan pada ANRI tak hanya berbentuk konvensional (tekstual dan kartografik), melainkan juga dalam bentuk media baru (film, video, rekaman suara, foto, mikrofilm, dan format lainnya).

Arsip, selain menjadi catatan sejarah, dapat pula dijadikan barang bukti di pengadilan. Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang (indo) Belanda pergi ke kantor arsip untuk mengetahui asal-usul keturunannya. Mereka bisa bebas dari tawanan Jepang jika dapat menunjukkan bukti keturunan orang Indonesia meski bukan dari hasil pernikahan. Arsip dapat jadi bukti apabila terjadi sengketa batas suatu daerah di Tanah Air.

Bukan sekadar bukti autentik tentang seorang tokoh, suatu lembaga, atau sebuah peristiwa, arsip juga sekaligus menjadi bahan utama penulisan sejarah. Kita dapat menulis suatu aspek dari peralihan kekuasaan tahun 1998 dengan membandingkan arsip tulisan Presiden Soeharto dengan ketikan dari Sekretariat Negara. Banyak penulis yang keliru menganggap Presiden Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Saat itu Soeharto hanya menulis dengan tulisan tangan ”Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof Dr BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD ’45-nya.”

Sementara itu pada naskah Sekretariat Negara yang dibacakan Soeharto pada 21 Mei 1998, tertulis beberapa pertimbangan yang menyebabkan dia mengambil keputusan ”berhenti dari jabatan Presiden”.

Dari wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, diketahui bahwa opsi ”berhenti dari jabatan Presiden” itu diambil agar keputusan Soeharto tak tergantung kepada MPR. Seandainya mengajukan permohonan mengundurkan diri, tentu ia perlu menyampaikan laporan di depan sidang MPR.

Kesadaran sejarah

Perlu didorong munculnya kesadaran sejarah dari perorangan, lembaga, masyarakat, dan instansi pemerintahan. Arsip personel/keluarga seorang tokoh nasional sejauh menyangkut hal-hal yang perlu diketahui umum seyogianya diserahkan kepada ANRI. Keluarga Bung Karno, dalam hal ini Rachmawati Soekarnoputri, memiliki arsip-arsip mengenai hari-hari terakhir Presiden Soekarno; terutama mengenai perawatan beliau sebelum wafat. Terdapat beberapa bundel catatan perawat dari hari ke hari mengenai perkembangan kesehatan Sang Proklamator, termasuk penanganan medis yang dilakukan serta obat yang diberikan. Semua memperlihatkan bahwa mantan Presiden RI pertama itu tidak dirawat sebagai semestinya. Sebaiknya pimpinan ANRI menghubungi putri Bung Karno tersebut agar arsip yang penting itu (sungguhpun amat menyedihkan) dapat disimpan di tempat yang tepat dan aman.

Arsip mengenai pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah perlu disimpan dengan baik sehingga dapat menjadi bahan bagi penulisan tentang sejarah demokrasi di Tanah Air. Dalam sebuah seminar di ANRI, saya mengetahui bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya satu organisasi politik yang sangat peduli tentang pentingnya arsip partai. Diimbau agar masing-masing partai menyerahkan arsip statis yang mereka miliki kepada ANRI. Selain itu tentu saja semua Kementerian seyogianya melakukan hal yang sama. Saya sering bertanya apakah kita miliki arsip tentang diplomasi mengenai Timur Timur?

Akhirnya, sebaiknya dipikirkan betapa ANRI tidak lagi membawahi arsip nasional yang berada di sejumlah provinsi. Pengelolaan oleh provinsi tidak menjamin pelestarian arsip lama dan penambahan arsip baru.

Asvi Warman Adam,

Ahli Peneliti Utama LIPI

Source : Kompas, Kamis, 11 Maret 2010 | 03:29 WIB

Bangunan Cagar Budaya : Jam Gadang Miring

Bagian dalam Jam Gadang di Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, Rabu (10/3), setelah dilakukan perbaikan berupa konsolidasi struktur bangunan dengan cara menginjeksikan bahan kimia ke sejumlah titik bangunan yang mengalami keretakan. Jam Gadang dibangun tahun 1926. (Kompas/Ingki Rinaldi)***

Jam Gadang Miring

BPPI dan Kedutaan Belanda Akan Merehabilitasi

BUKITTINGGI - Bangunan Jam Gadang di Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, yang terdiri atas lima lantai diketahui miring. Kemiringan terjadi di beberapa lantai dengan sudut deviasi mencapai dua derajat.

Menurut Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Catrini P Kubontubuh, Rabu (10/3), data itu diperoleh berdasarkan pengukuran detail oleh tim ahli pada November 2009. Ia mengatakan, miringnya Jam Gadang yang baru diketahui setelah pengukuran detail dengan citra tiga dimensi dari alat pemindai laser itu belum membahayakan keutuhan bangunan dan keselamatan pengunjung.

Kata Catrini, ambang batas toleransi sudut kemiringan bangunan adalah lima derajat. Ia memastikan, studi lebih komprehensif dengan melibatkan sejumlah ahli dalam bidang struktur bangunan, praktisi penguatan bangunan pasca-gempa, dan geolog akan dilakukan dalam waktu hingga dua pekan mendatang.

”Kami akan putuskan (dimulainya) kegiatan rehabilitasi setelah survei,” kata Catrini seusai Sosialisasi Rehabilitasi Jam Gadang di Aula Istana Bung Hatta, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Menurut Catrini, upaya rehabilitasi Jam Gadang yang merupakan kerja sama antara BPPI dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda lewat program Share Heritage Fund sedianya akan dimulai pada Mei 2010.

Anggota Dewan Pimpinan BPPI, Pia Alisjahbana, mengatakan, belum mengetahui berapa dana yang dibutuhkan untuk rehabilitasi. Namun, imbuh Pia, pada prinsipnya berapa pun dana dan kapan pun dibutuhkan akan disediakan.

”Paling penting itu pengawasannya (penggunaan dana),” kata Pia. Wali Kota Bukittinggi Ismet Amzis mengatakan, pihaknya menyambut positif rencana rehabilitasi tersebut sembari mengatakan bahwa disediakan pula sejumlah dana APBD untuk kepentingan pengembangan kawasan di sekitarnya.

Dalam sambutan tertulisnya, Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda Paul AJM Peters mengatakan, pelestarian gedung-gedung tua dilakukan dengan tujuan tidak sekadar sebagai monumen, tetapi agar memiliki nilai pakai sebagai identitas lokal dan aset ekonomis pariwisata.

Bangunan Jam Gadang yang dirancang seorang arsitek bernama Yazid Abidin atau Angku Acik yang berasal dari Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, itu didirikan pada tahun 1926. Bangunan tersebut didirikan tanpa besi penyangga dan adukan semen, melainkan campuran kapur, putih telur, dan pasir putih.

Mesin Jam Gadang dihadiahkan Ratu Belanda dan didatangkan dari Rotterdam, Belanda, lewat Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Pada mesin Jam Gadang terdapat tulisan B Vortmann di bagian atas yang menandakan nama atau perusahaan pembuat dan tulisan Recklinghausen 1926 yang menandakan sebuah kota di bagian utara Jerman dan tahun pembuatan mesin jam tersebut.

Saat gempa bumi tahun 2007, bangunan Jam Gadang mengalami kerusakan di bagian dalam dan luarnya. Kerusakan meliputi struktur utama, retakan di simpul atau tumpuan bangunan pada lantai 1, 2, dan 3 serta retakan horizontal di sekeliling dinding bangunan pada ketinggian sekitar 1,5 meter dari lantai pertama.

Ketua Kelompok Kerja Dokumentasi dan Publikasi BP3 Batusangkar Teguh Hidayat mengatakan, upaya darurat penguatan bangunan Jam Gadang pascagempa 2007 itu dilakukan dengan menyuntikkan cairan kimia khusus. Upaya konsolidasi bangunan sementara itu merupakan langkah awal penyelamatan. (INK)***

Source : Kompas, Kamis, 11 Maret 2010 | 04:31 WIB

Kamis, 04 Maret 2010

Media Massa "Berani" Suarakan Reformasi

Para anggota delegasi partai saat menghadiri kongres Partai Komunis China di Gedung Agung di Beijing, China, Rabu (3/3). Kongres seperti ini biasanya digambarkan sebagai semacam forum pengesahan parlemen bagi para petinggi Partai Komunis China untuk mengesahkan perundang-undangan. (AFP/Liu Jin)***

CHINA

Media Massa "Berani" Suarakan Reformasi

BEIJING, Rabu - Belasan surat kabar di China pekan ini mengambil langkah berani yang tergolong jarang terjadi. Mereka berani menyalahkan sistem komunisme era Mao Zedong yang menyebabkan melebarnya kesenjangan pendapatan antara warga kaya dan miskin.

Kolom editorial 13 surat kabar di seluruh negeri, Senin (1/3), serempak mengungkapkan potensi ketegangan pada masa datang. Isu ini dicuatkan menjelang hajatan politik terbesar China, Kongres Rakyat Nasional, yang dimulai pada Jumat.

Dalam pertemuan tahunan itu memang akan dibahas tema persatuan dan perubahan. ”China sudah pernah merasakan kegetiran sistem registrasi rumah tangga,” demikian salah satu isi editorial itu.

”Kebebasan bergerak merupakan hak asasi manusia,” demikian bagian lain dari editorial itu. Kolom editorial itu ”ditandai” dengan logo dari 13 surat kabar.

Registrasi rumah tangga (keluarga) atau hukou bertujuan untuk mendata setiap warga China dan menggolongkannya sebagai warga kota dan desa. Kebijakan itu merujuk kejadian saat revolusi China saat Mao Zedong ingin mengendalikan migrasi dari desa-desa ke kota-kota di China.

Kekakuan dan dampak negatif sistem ini semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir. Ada jutaan pekerja migran yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari pekerjaan di kota-kota China yang maju pesat.

Namun, hingga sekarang status kependudukan mereka tetap sebagai warga di daerah asal. Dengan status itu pekerja migran tidak dapat mengakses layanan pemerintah di kota-kota, seperti pendidikan. Mereka akhirnya tidak memiliki tingkat pendidikan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan di kota.

Anak-anak pekerja migran yang lahir di kota tetap dicatat sebagai warga di daerah asal orang. Mereka hanya bisa mengikuti pendidikan normal di desa. Hal ini dianggap sebagai bibit kesenjangan pada masa datang.

PM berjanji

Perdana Menteri Wen Jiabao menanggapi perlawanan publik terhadap sistem hukou lewat chatting online, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Dia mengatakan, pemerintah akan mengubah sistem tersebut.

Editorial mencatat komentar-komentar Wen Jiabao sebagai sebuah tanda harapan. Bersuara dengan kompak sebenarnya bukanlah hal yang lazim untuk media-media Pemerintah China, apalagi aspirasi itu menantang pemerintah pusat.

Pada Selasa sejumlah editorial, termasuk jaringannya, tidak lagi menampilkan komentar itu. Mungkin telah terkena sensor editornya sendiri.

Editor Yunnan Information Paper, Tan Zhiliang, mengatakan, mereka menerbitkan editorial sebagai suatu hal yang rutin. Para editor menilai bahwa kongres nasional yang dimulai pekan ini merupakan momentum tepat untuk menurunkannya.

Sejumlah reporter bertekad untuk tidak mau membiarkan isu itu tenggelam.

Topik soal reformasi yang diajukan sejumlah media itu masih terbatas, belum menyentuh hak-hak asasi paling hakiki, kebebasan mengeluarkan pendapat. Namun, keberanian setengah hati ini bisa menjadi embrio demokrasi di China. (AP/CAL)***

Source : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010 | 04:16 WIB

Masih Memprihatinkan, Anggaran Untuk Pemeliharaan Situs Budaya

SITUS BUDAYA

Dana Perawatan Hanya Cukup untuk Babat Rumput

CIREBON - Pemerintah Kota Cirebon menganggarkan Rp 207 juta untuk merawat empat situs budaya di kota itu dalam setahun. Dana itu diperkirakan hanya cukup untuk membabat rumput, memberi makan monyet, dan pengecatan berkala.

Situs yang masuk dalam anggaran itu adalah Taman Sunan Kalijaga, Tamansari Suryanegara, Jembatan Kuta Kosot, dan Kelenteng Tiao Kak Sie. Bangunan tersebut rata-rata sudah berdiri sejak abad XV saat Sunan Gunung Jati berkuasa. Sebagian bangunan tidak hanya butuh perawatan, tetapi juga perbaikan karena sarana umum penunjang obyek wisata masih minim.

Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Budaya Kota Cirebon Abidin Aslich di sela-sela seminar revitalisasi keraton di Keraton Kasepuhan, Rabu (3/3), mengatakan, dana Rp 207 juta itu hanya cukup untuk membabat rumput, mengecat, dan memberi makan monyet. Ia mengakui kemampuan Pemkot dalam menyediakan dana terbatas.

Sebagai gambaran, Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Budaya tahun ini mendapatkan anggaran Rp 4,9 miliar, termasuk gaji pegawai. Dibandingkan dengan APBD Kota Cirebon yang mencapai Rp 600 miliar, anggaran untuk dinas itu sangat kecil sehingga pos pemeliharaan situs pun kecil.

Akan tetapi, dibandingkan dengan tahun lalu, nilai anggaran perawatan kali ini lebih besar. Tahun lalu Pemkot hanya menganggarkan Rp 173 juta untuk perawatan situs. Tahun ini setidaknya ada kenaikan Rp 34 juta.

Kondisi situs

Penambahan dana perawatan dinilai sangat perlu karena berimbas pada kondisi situs. "Tahun-tahun lalu, karena tidak diberi makan, monyet-monyet di situs Sunan Kalijaga sering merusak rumah warga, naik ke atap, dan memelorotkan genting. Tapi, setelah mereka diberi makan, tidak merusak lagi," kata Abidin.

Pangeran Arief Natadiningrat, putra Sultan Kasepuhan XIII, juga mengatakan, perawatan situs budaya memang sangat mahal. Untuk merevitalisasi taman di sekitar Bangsal Pagelaran Keraton Kasepuhan diperkirakan butuh Rp 4 miliar. Pemerintah pusat hanya mengabulkan setengah dari kebutuhan dana revitalisasi taman.

Arief mengaku banyak bergantung pada Pemkot, provinsi, dan pusat untuk pendanaan keraton. Kini pihaknya mencoba menggali dana dari lembaga swadaya masyarakat di luar negeri dan program tanggung jawab sosial dari perusahaan di Cirebon.

Keraton, lanjutnya, sebenarnya bisa mandiri untuk merawat bangunan bersejarahnya asal ada aset yang bisa digunakan untuk mendapatkan pemasukan. Menurut dia, aset milik keraton saat ini masih ditempati pemerintah daerah sehingga keraton tidak bisa mendapatkan hasilnya. "Jumlahnya 337 hektar di Kota Cirebon saja. Jika ini bisa dikelola untuk pertanian, hasilnya bisa membuat kami mandiri," kata Arief. (NIT)***

Source : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010 | 14:43 WIB

Kata Ulil A Abdalla : Agama Seharusnya Martabatkan Manusia

Ulil Abshar Abdalla menyampaikan pidato kebudayaan mengenai sejumlah refleksi tentang kehidupan sosial-keagamaan kita saat ini di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (2/3). (Kompas/Priyombodo)***

Agama Seharusnya Martabatkan Manusia

Elite Agama Bertugas Mendewasakan Masyarakat

JAKARTA - Kita memerlukan cara keberagamaan Islam yang memartabatkan manusia. Dalam proses pemaknaan terhadap kitab suci, manusia mesti diposisikan sebagai subyek mulia yang mampu mendialogkan wahyu dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi.

Lewat konsep ijtihad, agama diharapkan mampu menjawab persoalan kontemporer yang tak pernah muncul dalam generasi masa lampau.

Demikian diungkapkan intelektual muda Islam, Ulil Abshar Abdalla, dalam pidato kebudayaan bertajuk ”Sejumlah Refleksi tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat Ini” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (2/3) malam. Acara ini diselenggarakan Forum Pluralisme Indonesia, hasil bentukan sejumlah lembaga sosial-keagamaan untuk mendukung dan menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaruan agama.

”Tugas intelektual Muslim mendatang adalah bagaimana mempertimbangkan aspek pengalaman manusia sebagai subyek yang karim itu dalam perumusan hukum agama, dalam memahami ketentuan-ketentuan yang dianggap berasal dari Tuhan. Manusia sebagai subyek sejarah dengan seluruh kerumitannya tidak bisa diabaikan dalam pemahaman agama,” katanya.

Pemahaman keagamaan semacam itu disebut khalafisme dan diajukan para pemikir Muslim liberal dan progresif. Khalafisme menghendaki, pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut perkembangan peradaban manusia. ”Khalafisme tidak menolak Quran dan sunah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual.”

Cara pandang khalafisme berusaha merevisi pemahaman salafisme yang masih menyelimuti modus keberagamaan umat Islam sekarang ini. Dalam salafisme, peran akal sehat, konteks kesejarahan, dan visi etis sebuah doktrin terus diabaikan. Mereka memahami agama dengan memberikan tekanan tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sembari mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia.

Bagi Ulil, gerakan salafisme punya beberapa kelemahan. Seluruh ajaran dari masa lampau dianggap masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Seluruh teks kitab suci dinilai terang-benderang sehingga tak membutuhkan penafsiran. Kalau ada tafsir, mereka terjebak pada ”otoritarianisme hermeneutik”—hanya ada satu jenis penafsiran yang dianggap absah dan absolut.

Perubahan

Ulil mengajak kaum agama untuk mendamaikan antara keimanan dan perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. ”Kita semestinya bersikap lebih moderat dengan menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, antara otentisitas dan modernitas.”

Dia mengkritik kaum elite agama yang tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong mereka menghormati perbedaan tafsir dan paham dalam masyarakat. Elite justru meresahkan masyarakat dengan menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa waswas dan instabilitas dalam masyarakat. Tugas elite seharusnya mendewasakan masyarakat sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. (IAM)***

Source : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010 | 04:59 WIB