Minggu, 30 Mei 2010

Buruk UN Guru Dicela

Buruk UN Guru Dicela

Oleh Toto Subandriyo

Pasca-pengumuman hasil ujian nasional lima tahun lalu, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Riswandha Imawan (almarhum) menulis, ”Seandainya dari 30 siswa suatu sekolah dua anak tidak lulus, itu salah muridnya. Jika satu kelas tidak lulus semua, itu salah gurunya. Namun, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di Tanah Air tidak lulus, itu salah sistemnya” (Kompas, 4 Juli 2005).

Prahara ujian nasional (UN) 2005 kembali terulang. Hasil UN 2010 tingkat SMA/MA/SMK yang diumumkan serentak 26 April 2010 menunjukkan kenyataan yang menyedihkan.

Dari 16.467 SMA/MA/SMK peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah siswanya tidak lulus semua (Kompas, 28/4). Pengumuman UN SMP/MTs/SMP Terbuka nyaris serupa, 561 sekolah lulus nol persen (Kompas, 7/5).

Rasa cemas sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum UN pada seluruh komponen masyarakat: siswa, guru, orangtua, sekolah, pemerintah daerah. Ritual istigasah yang digelar di beberapa daerah menjelang pelaksanaan UN adalah refleksinya. Ritual itu sebagai wujud kepasrahan kepada Sang Pencipta setelah berbagai upaya ditempuh.

Dalam try out, masih banyak siswa tidak lulus. Ternyata hasil try out itu cukup mencerminkan hasil UN 2010 yang sebenarnya. Klimaksnya, prahara UN 2005 nyaris terulang. Banyak guru shock dan banyak siswa menangis histeris. Bahkan, di Yogyakarta, kota yang selama ini menjadi barometer pendidikan negeri ini, persentase ketidaklulusannya justru tertinggi di Jawa.

Salah urus

Banyak suara miring menyikapi buruknya hasil UN tahun ini, salah satunya dialamatkan kepada sosok guru. Padahal, kalau mau jujur mengakui, sistem pendidikan di Republik ini sebenarnya telah salah urus sangat parah selama bertahun-tahun. Wajah bopeng dunia pendidikan tecermin, antara lain, pada seringnya pendidikan dijadikan proyek: mulai dari uji coba kurikulum sampai block grant yang tidak tepat sasaran, mulai dari pengabaian kesejahteraan guru hingga kerusakan gedung sekolah.

Presiden kedua Amerika Serikat John Adams pernah menegaskan, ”Pembangunan pendidikan rakyat jelata lebih penting daripada harta milik orang-orang kaya di seluruh negara.” Tampak betapa penting arti pendidikan sebagai investasi masa depan suatu bangsa.

Masalahnya, anggaran di Indonesia sudah sarat beban. Beban utang yang harus dibayar pemerintah tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6 anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketenagakerjaan.

Pendidikan negeri ini memang penuh ironi. Para pemimpin selalu beretorika ingin menjadikan bangsa ini besar, tetapi kurang menaruh perhatian pada pendidikan. Inilah negara dengan jumlah mobil mewah terbanyak di Asia, tetapi sekaligus negara dengan jumlah anak-anak usia sekolah terbesar yang tak dapat melanjutkan sekolah.

Politisasi dunia pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun membuat sektor pendidikan terpuruk. Akibatnya angka indeks pembangunan manusia selalu rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga.

Peran guru

Beberapa tahun lalu, apresiasi terhadap sektor pendidikan negeri ini amat rendah. Salah satunya terlihat dari penghargaan terhadap profesi guru. Maka, sosok guru pun seperti yang digambarkan dalam lirik lagu ”Oemar Bakri” karya Iwan Fals: sosok miskin yang ke mana-mana memakai sepeda kumbang. Selama bertahun-tahun para guru dipolitisasi dan dimarjinalkan dengan jargon heroik ”pahlawan tanpa tanda jasa”.

Stereotip semacam ini menjadikan para lulusan terbaik SMA nyaris tak ada yang bercita-cita menjadi guru karena tidak menjanjikan dari sisi materi. Mengingat peran sentral guru dalam menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa, sudah saatnya pemerintah mengapresiasi lebih profesi guru.

Saatnya lulusan terbaik SMA/ MA/SMK mendapat beasiswa ikatan dinas untuk melanjutkan pendidikan ke fakultas pendidikan dan menjadi guru di almamaternya dengan imbalan gaji dan fasilitas memadai.

Memang materi bukan satu-satunya ukuran tingkat kebahagiaan dan status sosial seseorang. Namun, dalam era di mana materi dipuja seperti sekarang, rasanya munafik menisbikan faktor ini.

Tanpa pembenahan sistem pendidikan yang diikuti dengan perbaikan nasib dan status sosial para guru, putra-putri terbaik bangsa ini tidak akan pernah tertarik menekuni profesi guru. Jika hal itu yang terjadi, fenomena involusi pendidikan yang berlangsung secara sistemik akan menggerogoti dan membangkrutkan bangsa dan negara ini.

Toto Subandriyo, Orangtua Murid;

Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera) Tegal

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:31 WIB

100 Persen Tidak Lulus di Sekolah-sekolah Kecil

Siswa Sekolah Menengah Pertama Borobudur, Jakarta, menangis bahagia karena berhasil lulus ujian akhir nasional seusai pengumuman kelulusan di sekolah mereka, Jumat (7/5). Sebanyak 54 siswa dari 97 peserta ujian di sekolah tersebut dinyatakan tidak lulus dan harus mengikuti ujian ulang pada 17-20 Juni 2010. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***

100 Persen Tidak Lulus di Sekolah-sekolah Kecil

Pengumuman Kelulusan Ditanggapi Biasa

JAKARTA - Ketidaklulusan 100 persen banyak menimpa sekolah-sekolah dengan jumlah siswa kecil, di bawah 30 siswa. Sebagian besar sekolah itu adalah SMP terbuka. Sekolah tersebut ditengarai juga terbatas sarana dan prasarananya. Sementara itu, kemarin tidak tampak ada eforia.

Pengumuman kelulusan ujian nasional, Jumat (7/5), tidak dilakukan dengan cara yang sama. Sebagian sekolah ada yang membagikan amplop kepada orangtua murid, ada sekolah membagikan amplop pengumuman langsung kepada murid, dan ada pula yang melarang murid ke sekolah karena mereka yang tidak lulus ditelepon langsung ke rumah mereka.

Maria Regina Nayenggita (15) dari SMP Mater Dei, Kota Tangerang Selatan, Banten, bersama dua temannya, Irene Indraswari dan Goretti Praptaningtyas, bergembira setelah tahu dirinya lulus. ”Seneng banget. Enggak sangka. Padahal, biasa-biasa saja belajarnya. Latihan soal terus di sekolah sampai bosan,” kata Goretti yang mendapat nilai 36,80.

SMP kecil

Pengumuman di SMP Gotong Royong, Yogyakarta, pengumuman diwarnai tangis karena hanya dua dari peserta UN lulus. Meskipun punya kesempatan mengulang, murid yang gagal merasa malu dan kecewa.

”Perasaan saya campur aduk, belum tahu mau apa setelah ini,” ujar Titin Andrajani (15), salah satu murid yang tak lulus. Dia gagal di mata pelajaran Matematika dan IPA. Beberapa sekolah menyebut kebanyakan tidak lulus di mata pelajaran Bahasa Inggris. Murid di SMP Gotong Royong kebanyakan datang dari keluarga tak mampu sehingga mereka tak mampu membeli buku pelajaran.

Di Kota Samarinda ada delapan sekolah lulus 0 persen dengan jumlah siswa 97 orang, atau rata-rata 12 orang per sekolah.

Sementara dari 105 sekolah di Jawa Tengah yang tingkat kelulusannya 0 persen, 82 di antaranya adalah SMP terbuka yang berisi siswa sudah bekerja.

”Waktu mau UN, saya memang tidak belajar karena harus bekerja,” kata Jumainah (15), salah satu siswa SMP Negeri Terbuka 1 Cepiring, Kendal, Jawa Tengah, seusai mengambil hasil kelulusan ujian nasional di sekolahnya. Dari 11 siswa SMPN Terbuka 1 Cepiring yang mengikuti UN, semua tidak lulus.

SMPN Terbuka 1 Cepiring memiliki 19 siswa, hanya 11 ikut UN. Kebanyakan siswa di sekolah yang menginduk ke SMPN Cepiring ini bekerja sebagai buruh, pembantu rumah tangga, nelayan, dan penjaga toko. Kepala SMPN 1 Cepiring Indar Suci Mulyani mengakui, rendahnya motivasi siswa menjadi penyebab ketidaklulusan.

Di Tegal, persentase kelulusan beberapa sekolah anjlok lebih dari 50 persen. Sejumlah kepala sekolah mengaku sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan bimbingan kepada siswa. Kepala SMP Negeri 13 Kota Tegal Dwi Setiawan mengatakan, sebagian siswa tidak lulus pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Dia menyebutkan, kualitas input siswa, kekurangan sarana laboratorium bahasa, juga majunya jadwal ujian sebagai faktor yang memengaruhi turunnya angka kelulusan. (AHA/BRO/ARA/ENY/IRE/HEN/MDN/GAL/HAN/EGI/EKI/ELN/LUK/WIE/KOR/ILO/INK)***

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:24 WIB

96,43 Persen Siswa SMP di Provinsi Banten Lulus

UJIAN NASIONAL

96,43 Persen Siswa SMP di Provinsi Banten Lulus

SERANG - Sebanyak 96,43 persen dari 158.497 siswa SMP dan madrasah tsanawiyah di Provinsi Banten lulus ujian nasional. Mirisnya, di Jakarta Timur, ada sekolah SMP yang seluruh siswanya tak lulus.

Di SMP Negeri 13 Serang, dari 266 siswa yang ikut ujian, ada 7 anak yang tidak lulus. ”Mata pelajaran yang harus mereka ulang bervariasi, terutama IPA,” kata Kepala SMP Negeri 13 Serang Andang di Serang, Jumat (7/5).

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Negeri 14 Kota Serang Tolhah mengatakan, SMP yang ia pimpin memberi tiga kali latihan ujian dengan capaian yang terus meningkat dari 35 persen, 76 persen, dan 80 persen.

Selain melatih kemampuan siswa dalam mengerjakan soal, kata Tolhah, latihan ujian ini juga membiasakan siswa untuk mengerjakan menggunakan lembar jawaban komputer sehingga tidak lagi canggung ketika mengikuti ujian.

Jaksel tertinggi

Di wilayah DKI Jakarta, angka kelulusan ujian nasional tertinggi diraih siswa SMP di Jakarta Selatan (Jaksel) diikuti Jakarta Timur (Jaktim).

Kepala Seksi SMP Suku Dinas Pendidikan Dasar (Sudin Dikdas) Jaksel Murhanuddin saat dihubungi mengatakan, tahun ini ada 32.929 siswa SMP di Jaksel yang ikut ujian nasional.

Dari jumlah tersebut, 4.393 siswa tidak lulus atau sekitar 13 persen. ”Kebanyakan dari sekolah swasta,” ujarnya.

Murhanuddin menambahkan, dari delapan sekolah di DKI yang dinyatakan lulus 100 persen, enam di antaranya berada di Jaksel.

Menurut Kepala Seksi Sudin Dikdas Jaktim Nasrudin, ada satu sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus UN, yaitu SMP Satia Bhakti, dengan jumlah siswa yang ikut ujian 21 orang. Ia menambahkan, tingkat kelulusan terendah di SMP negeri ada di SMP Negeri 25.

”Dari 261 siswa, 197 di antaranya atau 75 persen dinyatakan tak lulus,” kata Nasrudin.

Kepala Sudin Dikdas Jakarta Pusat Zainal Soleman mengatakan, siswa SMP di wilayahnya yang tidak lulus ujian mencapai 31,5 persen. (CAS/WIN)***

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:49 WIB

PENDIDIKAN DI PEDALAMAN : Bagai Anak Ayam Kehilangan Induk

Murid-murid SD Negeri 63 Toho Paloh, Desa Rasan, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, bermain sepak bola di sekolah mereka, Sabtu (15/5), karena tidak ada guru yang mengajar. Banyak murid kelas IV di sekolah itu belum bisa membaca akibat kegiatan belajar-mengajar tidak normal. (KOMPAS/A HANDOKO)***

PENDIDIKAN DI PEDALAMAN

Bagai Anak Ayam Kehilangan Induk

Yehuda (10) tak langsung menjawab ketika disodori kertas dan diminta membaca rangkaian huruf ’d’ dan ’a’. Dia menggeleng dan berucap, ”Tidak tahu.”

Ketika kertas disodorkan kepada Ranusi Indra (10) yang duduk di sebelah Yehuda, jawabannya juga sama.

Kemampuan baca-tulis kedua anak itu sungguh memprihatinkan. Padahal, keduanya sudah kelas IV SD. Mereka terdaftar sebagai siswa SD Negeri 63 Toho Paloh, Desa Rasan, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Bisa dibilang, Yehuda dan Ranusi belum memiliki kemampuan dasar membaca dan menulis. ”Sekolah sering libur. Tidak ada guru yang datang mengajar,” papar Ranusi.

Begitu tak ada pertanyaan lagi, Yehuda dan Ranusi langsung berlari meninggalkan rumah Asyelen, Kepala Dusun Toho Paloh, dan bergabung dengan belasan anak yang mulai berdatangan ke lapangan depan sekolah.

Olahraga

Sabtu (15/5) pagi itu sebetulnya bukan waktu untuk mata pelajaran Olahraga. Namun, karena tak ada satu guru pun yang datang mengajar, murid-murid memilih kegiatan yang paling mereka suka: meninggalkan kelas dan bermain di lapangan.

”Seringlah Bang. Kalau hujan, kami libur berhari-hari,” ujar Beni Anjasmara, kelas III SD Negeri 63 Toho Paloh, ketika ditanya seberapa sering guru-guru secara bersamaan tak datang mengajar. Padahal, menurut catatan yang ada di sekolah itu, ada enam guru yang bertugas di sana. Dua di antaranya pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan empat lainnya sebagai guru honorer.

Akhir pekan itu, Kompas yang berkunjung ke Toho Paloh bersama Wakil Ketua DPRD Kabupaten Landak Markus Hamid mendapati kelas-kelas di SD Negeri 63 Toho Paloh tanpa aktivitas. Sepi. Tak ada guru, tak ada murid. Padahal, hari itu hari sekolah.

”Seperti inilah yang kerap terjadi di kampung ini. Kalau ada guru datang, ya mereka belajar. Kalau guru tak datang, ya pergilah anak-anak bermain,” tutur Asyelen.

”Kondisi di pedalaman sana lebih parah, Mas,” kata Hamid menimpali.

Asyelen memperkirakan, sudah dua tahun belakangan ini proses belajar-mengajar di SD Negeri 63 Toho Paloh yang memiliki sekitar 100 murid itu kacau. Tak mengherankan jika siswanya kini cenderung menunggu kabar di rumah tentang ada-tidaknya kegiatan sekolah. Ketika teman-temannya berteriak mengajak sekolah, berarti guru datang mengajar.

”Jangankan kalau hujan turun, saat cuaca cerah pun kadang guru tidak datang. Jadi, wajarlah kalau banyak anak yang sama sekali belum bisa membaca walaupun sudah kelas IV,” ujar Asyelen.

Tinggal di Ngabang

Guru-guru yang mengajar di Toho Paloh itu umumnya tinggal di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak. ”Awalnya ada guru PNS yang mau tinggal di mes di dekat sekolah, tetapi kemudian mereka memilih tinggal di Ngabang sehingga pelajaran menjadi tidak rutin,” kata Asyelen.

Toho Paloh dan Ngabang berjarak sekitar 80 kilometer. Waktu tempuh yang diperlukan sekitar tiga jam karena kondisi jalan buruk. Selepas jalan aspal dan berbatu pada 15 kilometer pertama dari Ngabang, jalan tanah dan berlumpur adalah satu-satunya akses menuju Toho Paloh dan beberapa dusun lain di Desa Rasan.

”Kami sebetulnya sudah sangat berang dengan cara mereka mengajar yang angin-anginan dan sesuka hati. Mau jadi apa anak-anak Toho Paloh kalau sampai kelas IV saja belum bisa membaca karena guru-gurunya sering tidak datang,” gugat Stefanus (40), seorang warga.

Kekesalan serupa dilontarkan mantan Kepala Desa Rasan Aliusman Semon. ”Kami mengeluh pun tidak ada gunanya. Tidak ada solusi. Datang orang baru, kelakuannya juga sama,” tutur Aliusman.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Landak Aspansius, saat ini ada 53.222 peserta didik di 417 SD negeri di Landak. Lebih dari 200 sekolah berada di kecamatan-kecamatan yang aksesnya jauh dari Ngabang dengan infrastruktur jalan buruk.

Secara terpisah, Bupati Landak Adrianus Asia Sidot menyebutkan, terdapat kekurangan sekitar 1.200 guru untuk sekolah-sekolah di pedalaman. Kekurangan guru itu beragam sebabnya, mulai dari ditinggalkan guru yang enggan mengajar, belum ada guru yang mengajar, hingga jumlah siswa sedikit.

”Perilaku guru-guru berstatus PNS yang sering mangkir mengajar itu terus kami monitor. Pembenahan kami lakukan perlahan-lahan karena kami berhadapan dengan sumber daya manusia yang telah lama bekerja nyaman sesuai dengan kehendak mereka selama Orde Baru,” kata Adrianus.

Murid-murid SD di pedalaman Landak, seperti yang terlihat di Toho Paloh dan Rasan, jelas membutuhkan perhatian ekstra agar kualitas mereka bisa lebih baik. Saat ini mereka seperti anak ayam yang ditinggalkan induknya, mengais-ngais tanah sendiri dan berjalan tanpa arah. (A Handoko)***

Source : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 03:50 WIB

Validitas Kurikulum Perlu Dicek Kembali

UJIAN NASIONAL

Validitas Kurikulum Perlu Dicek Kembali

JAKARTA - Persoalan penurunan tingkat kelulusan ujian nasional dan banyaknya siswa yang tidak mencapai standar minimal pada tahun ini harus dicek dari validitas kurikulum yang jadi acuan UN pada tahun ini.

Ahli evaluasi dari Universitas Pendidikan Indonesia, S Hamid Hasan, yang dihubungi pada Jumat (7/5) di Jakarta mengatakan, pembuatan soal mengacu pada kurikulum 1994 dan 2004 sehingga perlu dipastikan bahwa ada kesamaan materi yang didapat siswa dalam proses pembelajaran.

”Bagaimana kita bisa mengecek kesamaan materi. Masih banyak sekolah yang memakai kurikulum 1994,” kata Hamid.

Kemampuan menghafal

Selain itu, dalam tes obyektif seperti UN, konstruksi soal juga sangat memengaruhi keberhasilan siswa. Apalagi materi ujiannya lebih bersifat untuk mengetes pengetahuan dengan mengandalkan kemampuan menghafal siswa dari pelajaran di kelas satu hingga tingkat akhir.

Selain itu soal-soal juga tidak boleh multitafsir atau multimakna. Namun, kenyataannya, banyak keluhan mengenai soal-soal UN yang dinilai mengecoh siswa.

Jajang Priatna, Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, mengatakan, para guru sendiri terkadang merasa memiliki jawaban yang berbeda dengan jawaban milik pemerintah. Namun, setiap kali pelaksanaan UN, kunci jawaban resmi tidak dibuka kepada guru.

”Kan, bisa jadi acuan untuk memastikan kebenaran jawaban. Bisa saja terjadi argumentasi yang berbeda. Tetapi, ini kan dalam rangka untuk kepentingan siswa ke depan agar mereka jangan dirugikan,” kata Jajang.

Rektor Universitas Negeri Jakarta Bedjo Sujanto mengatakan, penurunan tingkat kelulusan bisa juga karena soal UN tahun ini lebih tinggi kualitasnya. Jika banyak siswa belum bisa mencapai standar, tentu harus dievaluasi di mana letak kekurangan pembelajaran pada siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda Harimurti yang mengatakan banyak siswa gagal di mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika, juga menilai soal-soal UN sulit dan tidak kontekstual sehingga menyulitkan.

Sekitar 50 persen siswa di Kota Samarinda tidak lulus. Harimurti menyatakan kekecewaannya. ”Saya cukup yakin bahwa inilah potret sesungguhnya kemampuan para siswa di Samarinda untuk UN,” ujarnya. Ia mengatakan, kegagalan ini bisa jadi akibat ketidakmampuan guru, lemahnya manajemen sekolah, dan tingginya tingkat kesulitan soal.

Sementara Kepala Dinas Kalimantan Barat Alexius Akim mengatakan, kegagalan ini merupakan persoalan serius. ”Saya sudah meminta semua kepala dinas di kota dan kabupaten untuk mencari penyebab mengapa begitu banyak sekolah yang semua siswanya tidak lulus,” ujar Akim.

Berbekal evaluasi itu, pihaknya akan membuat kebijakan bagi masing-masing sekolah tergantung penyebab kegagalan. Dia juga merekomendasikan sekolah-sekolah yang memiliki siswa kurang dari 10 orang di setiap angkatannya untuk meleburkan diri dengan sekolah terdekat.

Hamid Hasan mengatakan, tingkat kelulusan yang rendah tahun ini jangan digiring ke arah bahwa pelaksanaan UN lebih jujur dibandingkan dengan sebelumnya. Yang justru harus dicermati adalah bahwa ada persoalan dalam pelaksanaan UN yang menimbulkan ketidakadilan pada siswa.

Sementara untuk mengejar kelulusan tersebut, semua sekolah memberikan tambahan bimbingan materi UN beberapa bulan sebelumnya bahkan ada yang mulai dari bulan November.

Guru Bimbingan dan Konseling SMK Yayasan Pendidikan Tentara Pelajar 17 I Temanggung, Jawa Tengah, mengatakan, secara psikologis siswa justru stres karena harus mengikuti pendalaman materi hingga berjam-jam setiap hari. ”Akibatnya, ketika hari ujian tiba, kondisi mereka drop. Secara psikologis, pikiran, dan badan mereka sudah lelah,” ujarnya. (AHA/ELN/BRO/LUK) ***

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:06 WIB

TAJUK PENCANA PENDIDIKAN

TAJUK RENCANA

KOMPAS, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:33 WIB

Cermati Ruang Kelas!

Judul di atas berakhir tanda seru. Bermakna perintah! Mengapa? Hasil ujian nasional SMP dan sederajat menggenapkan keprihatinan kita.

Mendesak perlu dicermati apa sih yang terjadi di ruang-ruang kelas setiap hari.

Sebanyak 561 SMP dan sederajat, sebelumnya 267 SMA dan sederajat, lulus nol persen dalam ujian nasional tahun ini. Hasil itu melorot dibandingkan tahun lalu. Pernyataan hasil ini masih sementara, masih menunggu hasil ujian ulangan 10-14 Mei dan 17-20 Mei, hanya hiburan sia-sia.

Ada sesuatu yang salah dalam praksis pendidikan kita. Perlu ada pengenalan yang mendetail, mulai dari sarana fisik, kurikulum, hingga guru, termasuk cara menilai hasil belajar yang bermuara pada perbaikan. Perbaikan perlu menyeluruh, tidak sepotong-sepotong.

Hasil kedua UN mengindikasikan perlu membongkar pakem yang selama ini sudah baku, di antaranya beberapa daerah yang selama ini dibanggakan memiliki sekolah dengan hasil UN tinggi ternyata runtuh. Kawasan Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, bahkan DKI Jakarta, yang dari tahun ke tahun duduk di tangga atas kelulusan, tahun ini melorot, misalnya.

Ada apa? Tidak cukup dijawab UN berlangsung makin jujur, standar kelulusan dinaikkan, pengawasan makin ketat, dan sebagainya. Jawaban apologetis itu tidak cukup, tidak juga solusif. Pelaksanaan makin bersih, makin dijunjung tinggi kejujuran, soal makin sulit, mungkin ya betul, tetapi cukupkah lantas dicari solusi dengan memperketat pengawasan dan menurunkan standar kelulusan?

Ibarat penyakit, UN yang melorot tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu barulah simtom buruknya praksis pendidikan kita selama ini. Ada yang salah.

Guru dari hasil berbagai survei yang dilaksanakan, katakan dari laporan BE Beeby tahun 1968 dan Komisi Pembaruan Pendidikan tahun 1977, merupakan faktor kunci, terpenting dari faktor sarana dan kurikulum.

Bagaimana perlakuan kita dengan profesi ini? Kita terhenti dengan keputusan-keputusan politik minus implementasi. Begitu juga yang menyangkut penyediaan sarana. Kita lebih asyik bongkar pasang kurikulum.

Mengacu amanah Pembukaan UUD '45 ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, maksudnya tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak kita menang di olimpiade—olimpiade internasional—melainkan bagaimana semua anak bangsa ini menjadi bangsa cerdas, bukan bangsa inlander.

Titik sentralnya adalah mindset kita tentang membangun kecerdasan bangsa. Pembangunan pendidikan perlu ditempatkan sebagai pembangunan sarana infrastruktur sebuah bangsa bermartabat dan berkarakter.

Kata kuncinya, kenali betul apa yang terjadi di kelas, yakni mengubah mindset tentang praksis pendidikan yang niscaya berujung pada keputusan politik yang cerdas-cerah, dengan hasil memprihatinkan kedua UN—termasuk UN SD nanti—sebagai pintu masuk perubahan.

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:33 WIB

Hibah Rp 2,4 Triliun untuk Pendidikan

DUKUNGAN ANGGARAN

Hibah Rp 2,4 Triliun untuk Pendidikan

JAKARTA - Uni Eropa memberikan bantuan hibah Rp 2,4 triliun atau 200 juta euro untuk mendukung pemerintah mempercepat pencapaian target-target kebijakan pendidikan dasar 9 tahun sesuai dengan tujuan pembangunan milenium tahun 2015.

Dari jumlah hibah Rp 2,4 triliun, sebagian akan diberikan selama lima tahun dalam bentuk keahlian teknis dan akses pada metode pendidikan yang berhasil dipraktikkan di komunitas internasional. Bantuan selama lima tahun ini akan dikelola Bank Pembangunan Asia (ADB).

”Bantuan ini untuk memastikan setiap anak Indonesia memperoleh pendidikan dasar 9 tahun yang berkualitas. Ini bantuan anggaran pertama dari Uni Eropa (UE) dan kedua yang terbesar di Asia. Akan ada fase kedua, tetapi jumlahnya masih akan dibahas lebih lanjut,” kata Komisioner Urusan Pembangunan di Komisi Eropa Andris Piebalgs, seusai menandatangani perjanjian pendanaan hibah Uni Eropa kepada Indonesia dalam Program Dukungan Sektor Pendidikan bersama Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, Selasa (25/5) di Jakarta.

Bukan pinjaman

Nuh menekankan, bantuan dari UE itu berupa hibah dan bukan pinjaman. Hibah UE itu akan disalurkan dalam bentuk dukungan anggaran (budget support) kebijakan dan strategi dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014 untuk perluasan akses, peningkatan kualitas, dan tata kelola layanan pendidikan dasar. ”Hibah ini untuk penguatan program-program yang sudah ada dan memastikan serta mempercepat capaian-capaiannya,” kata Nuh.

Sedikitnya 25 persen dari Rp 2,4 triliun itu akan dialokasikan untuk program-program seperti peningkatan standar kualitas pendidikan dan akreditasi sekolah, peningkatan kemampuan kepala sekolah, pengawas sekolah, dan pejabat kabupaten/kota untuk mengelola penyelenggaraan pendidikan dasar. ”Bantuan untuk keahlian teknis sangat penting karena pendidikan zaman sekarang tidak sama dengan 10 tahun lalu,” kata Piebalgs.

Ia mengatakan, dunia pendidikan dinamis dan perubahannya sangat drastis sehingga metode penyampaiannya pun harus berubah. Tidak bisa lagi dengan cara konvensional.

Dukungan sektor anggaran merupakan suatu cara pelaksanaan bantuan pendidikan dengan memberikan bantuan keuangan kepada bendahara negara penerima. Dukungan anggaran ini dimasukkan dalam anggaran nasional sehingga mengikuti prosedur pengambilan keputusan dan kendali parlemen yang sama dengan anggaran pendapatan dan belanja dalam negeri.

Piebalgs mengatakan, dukungan anggaran ini tidak dirancang untuk membiayai proyek tertentu, tetapi hanya untuk mendukung pemerintah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pendidikan. ”Tidak harus ada laporan rutin atau evaluasi dari kami. Bagi kami yang penting pemerintah benar-benar melaksanakan kebijakannya. Itu saja imbal baliknya,” ujarnya. (LUK)*** Source : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 04:11 WIB

Teknologi Ubah Cara Belajar

PENDIDIKAN

Teknologi Ubah Cara Belajar

Oleh Ester Lince Napitupulu

Bak sebuah konser, sejumlah siswa SDN 01 Menteng, Jakarta Pusat, berkolaborasi dengan manis saat menyuguhkan lagu anak-anak ”Burung Kakaktua” di ruang audio visual. Berbeda dari biasanya, iringan instrumen dimainkan dari beragam simbol alat musik yang ditampilkan di layar komputer.

Alunan instrumen itu dimainkan secara bersamaan oleh sepuluh siswa pada satu layar komputer. Setiap anak memegang tetikus (mouse) dan mengklik sesuai alat instrumen yang harus dimainkan, seperti keyboard, drum, gendang, marakas (alat musik tradisional yang diguncang), dan triangle.

Kolaborasi siswa untuk memainkan musik digital secara bersama-sama dalam satu layar komputer itu hanya salah satu cara memanfaatkan aplikasi MultiPoint Mouse Software Development Kid (SDK) yang dikembangkan Microsoft. Dengan aplikasi itu, kolaborasi melalui satu personal computer (PC) bisa melibatkan sampai 25 orang.

Ananta Gondomono, Academic Program Manager Partners in Learning Microsoft Indonesia menjelaskan, teknologi MultiPoint Mouse diarahkan bagi negara berkembang dengan lembaga pendidikan yang memiliki dana terbatas untuk pengadaan perangkat keras/komputer. Dengan memanfaatkan MultiPoint Mouse lebih banyak siswa dapat menggunakan komputer dalam proses belajar-mengajar walaupun jumlah perangkat keras yang tersedia hanya sedikit.

Sekolah dapat membeli tambahan perangkat yang kemudian disambungkan pada banyak tetikus. Microsoft juga menggandeng beberapa perusahaan perangkat lunak pendidikan dari beberapa negara, salah satunya Indonesia, untuk menyediakan materi belajar yang bisa diunduh secara gratis di http://microsoft.com/multipoint/mouse-sdk/.

Secara umum, teknologi MultiPoint Mouse itu bisa dibangun dari sistem Windows yang biasa dipakai sekolah-sekolah, seperti Windows 7, Windows Vista, dan Windows XP Service Pack 3. Untuk menghubungkan banyak tetikus pada komputer tidak masalah, sebab komputer sekarang punya banyak USB port.

Jadi menyenangkan

MultiPoint Mouse hanyalah salah satu contoh masuknya teknologi ke dalam kelas yang membuat proses belajar menjadi menyenangkan. Terkait dengan pemanfaatan teknologi di dalam ruang kelas, pendidik inginkan akses teknologi yang murah, aman, dan mudah dipakai. Teknologi itu sebagai alat untuk meningkatkan kualitas dan variasi penyampaian materi pelajaran dalam kurikulum.

Ketika telepon genggam semakin tak bisa dipisahkan dari kehidupan siswa, pendidik tidak boleh melihatnya sebagai gangguan. Kehadiran telepon genggam, menurut Marcus Specht, dari Universitas Terbuka Nederland, justru menjadi kunci baru untuk belajar secara pribadi. Karena itu, inovasi teknologi dan paradigma pendidikan harus berkembang sisi demi sisi. Penyedia pendidikan, penemu teknologi, dan ahli metode instruksional harus berkolaborasi untuk mengembangkan pembelajaran dengan teknologi.

Meskipun perkembangan teknologi informasi dan komunikasi banyak mengubah cara dan suasana belajar di dalam kelas, tetapi peran guru tetap dibutuhkan. Tidak semua materi belajar bisa disampaikan dengan teknologi.

Ketika anak-anak zaman sekarang semakin melek teknologi, kebutuhan memanfaatkan teknologi informasi dan komputer dalam belajar juga tak bisa ditunda. Dari penelitian ditemukan, anak-anak sekolah mengakui belajar tentang internet dan teknologi lebih menyenangkan daripada matematika dan bahasa Inggris.

Kini semakin banyak anak yang belajar dari internet dibandingkan buku. Dan, hampir semua anak berpikir lebih asyik untuk bisa menggunakan internet selama jam istirahat sekolah dan usai sekolah.

Rod Curry dari Compaq mengatakan, pada masa mendatang, keahlian menguasai informasi sama pentingnya dengan membaca dan menghitung. Anak-anak sekolah sekarang memiliki pandangan yang jelas bahwa teknologi baru merupakan faktor yang utama dalam pendidikan.

Pelatihan teknologi untuk guru mesti mampu membuat guru percaya diri dan memiliki pengetahuan untuk merencanakan pembelajaran serta memotivasi anak-anak. Kata kunci bagi guru dalam menghadapi perkembangan teknologi yang penetrasinya juga ke ruang kelas adalah percaya diri dan kompeten.

Demikian juga dengan perkembangan video game, kata James Gee dari Universitas Wiconsin Madison. Banyak orangtua menganggapnya sebagai halangan bagi anak-anak untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah. Sebaliknya, dalam pandangan ahli pendidikan ini, video game merupakan lingkungan yang baik untuk belajar. Jika sekolah mengadopsi beberapa strategi yang digunakan dalam permainan game, mereka dapat mendidik siswa lebih efektif.

Ide kalau pendidik dapat belajar dari industri video game semakin populer sejak 2009. Ketika itu, Presiden Obama mengumumkan kampanye untuk meningkatkan pendidikan sains, teknologi, teknik, dan matematika. Beberapa perusahaan teknologi justru meluncurkan kompentesi mengembangkan video game untuk mengajar sains dan matematika.

Gloriana González, Profesor Kurikulum dan Instruksi di College of Education di Illionis, mengatakan, memanfaatkan teknologi bisa menjadi kekuatan luar biasa di dalam kelas. Guru dapat menyediakan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk belajar. Teknologi memungkinkan guru mengajar tidak dengan cara konvensional.

Bambang Juwono, Managing Director PT Pesona Edukasi, mengingatkan agar pemanfaatan teknologi dalam pendidikan juga dibarengi dengan isi bahan pelajaran yang menyenangkan. Perangkat lunak produksi anak bangsa meliputi sains dan matematika sudah diekspor ke 23 negara. Microsoft menggandeng PT Pesona Edukasi untuk membuat isi pelajaran yang bisa digunakan di seluruh dunia. ***

Source : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 04:01 WIB

52 PTAIN Gelar Seleksi Bersama

PENDIDIKAN TINGGI

52 PTAIN Gelar Seleksi Bersama

SURABAYA - Sebanyak 52 perguruan tinggi agama Islam negeri atau PTAIN di Indonesia mengadakan seleksi penerimaan mahasiswa baru bersama. Tes bersama juga untuk menghasilkan standar kualitas calon mahasiswa.

Sekretaris Umum Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) PTAIN Sudiyono, mengatakan, PTAIN di Indonesia terdiri atas 6 universitas Islam negeri (UIN), 14 institut agama Islam negeri (IAIN), dan 32 sekolah tinggi agama Islam (STAIN). ”Semua PTAIN tersebut menyelenggarakan bersama agar ada keseragaman input,” kata Sudiyono, Selasa (25/5) di Surabaya.

Selama ini, 52 PTAIN menyelenggarakan SPMB sendiri. Akibatnya, kualitas calon mahasiswa bervariasi, bergantung pada lembaganya dan tidak terukur.

Sudiyono, yang juga Kepala Biro Akademik Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, mengatakan, pendaftaran SPMB mulai tahun ini juga dilakukan secara online sehingga lebih efisien. ”Calon mahasiswa tidak perlu bolak-balik ke kampus untuk mendaftar, tes, melihat pengumuman, registrasi, dan mengikuti seleksi,” katanya.

Calon mahasiswa cukup membayar biaya pendaftaran Rp 150.000 di semua cabang BRI di Indonesia untuk mendapatkan kuitansi, PIN, dan kode akses berupa jurnal. Selanjutnya, data diri dimasukkan melalui situs www.spmb-ptain.ac.id. Setelah selesai, calon mahasiswa bisa mengunduh kartu peserta serta mencetak album yang berfungsi sebagai daftar hadir. Pendaftaran dilangsungkan pada 14-30 Juni 2010.

Sebelum ujian, pada 5 Juli 2010, kartu peserta dan album divalidasi di PTAIN tempat ujian. Calon mahasiswa juga bisa memilih sendiri lokasi ujiannya. Meskipun melakukan seleksi bersama, belum semua PTAIN menentukan kuota jumlah mahasiswa yang akan diterima.

Pembantu Rektor I IAIN Wali Songo, Semarang, Muhibbin mengatakan, kuota untuk jalur SPMB-PTAIN kemungkinan sekitar 50 persen dari sekitar 1.500 mahasiswa baru yang akan diterima. Kendati demikian, pihaknya masih akan melihat jumlah pendaftar melalui SPMB-PTAIN dan hasil ujian.

Pembantu Rektor I IAIN Imam Bonjol, Padang, Syafruddin Nurdin mengatakan, pihaknya juga belum menentukan kuota mahasiswa baru melalui jalur ini. Di IAIN Imam Bonjol disiapkan tiga jalur penerimaan untuk sekitar 1.700 mahasiswa baru, yakni penelusuran minat dan kemampuan (PMDK), pendaftaran internal reguler, dan SPMB-PTAIN.

Di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, jalur penerimaan mahasiswa baru lebih banyak. ”Meskipun jalur penerimaannya banyak, biaya pendaftaran dan biaya kuliah per semester tidak dibedakan. SPP Rp 600.000 dan Rp 900.000, tergantung jurusan sosial atau eksakta,” kata Kepala Biro Administrasi Keuangan dan Umum IAIN Sunan Ampel Shofiyah Asmu.

Pendaftaran ”online”

Secara terpisah, dalam pendaftaran seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang dilakukan online mulai tahun ini, pada praktiknya para pendaftar masih menemui hambatan. Masih cukup banyak pendaftar yang kurang cermat dalam mengisi identitas serta mengunggah foto. Padahal, hal ini dapat berakibat fatal karena foto harus sama dengan yang tercantum pada ijazah serta identitas dalam kartu peserta ujian akan dicocokkan dengan kartu identitas yang dibawa peserta.

Menurut Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Much Syamsulhadi, jumlah pendaftar yang melakukan kekeliruan, baik dalam mengunggah foto maupun keliru mengisi identitas, mencapai 500 orang. Hingga 25 Mei pukul 12.30, pendaftar yang memilih program studi di UNS mencapai 33.125 orang. Jumlah ini menempati urutan kedua terbanyak setelah Universitas Hasanuddin Makassar yang mencapai 36.869 pendaftar. (INA/EKI)***

Source : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 04:12 WIB

Dana RSBI Akan Dievaluasi

PENDIDIKAN

Dana RSBI Akan Dievaluasi

JAKARTA - Pemerintah akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dana bantuan langsung atau block grant yang telah diberikan kepada rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Kucuran dana telah dilakukan sejak lima tahun lalu.

Hingga tahun 2009, Kementerian Pendidikan Nasional telah memberikan kucuran dana kepada 320 SMA, 118 SMK, 300 SMP, dan 136 SD yang tersebar di 481 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

”Akan ada evaluasi pada tahun 2010/2011 karena pemberian dana bantuan untuk SMP memang selama empat tahun dan SMA lima tahun,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, Kamis (29/4) di Jakarta.

Untuk tingkat SMP, dana bantuan setiap sekolah Rp 400 juta pada tahun 2007 dan Rp 300 juta untuk setiap sekolah pada tahun 2008-2010. Sementara itu, untuk tingkat SMA, dana bantuan yang diberikan Rp 300 juta setiap tahunnya dari tahun 2006 hingga 2008. Untuk tahun 2009-2010, dana yang diberikan Rp 300 juta-Rp 600 juta per tahun untuk setiap sekolah.

Bisa kembali ke reguler

Menurut Mendiknas, evaluasi RSBI itu akan dilakukan secara menyeluruh dan melihat apakah semua ketentuan telah dipenuhi. ”Apabila, misalnya, RSBI itu tidak mencapai target yang telah ditentukan, sangat mungkin RSBI itu dikembalikan statusnya menjadi sekolah reguler. Sebaliknya, jika telah terpenuhi, statusnya akan langsung berubah menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI),” kata Nuh.

Apabila sekolah itu berubah status menjadi SBI, dana bantuan otomatis dihentikan. Pertimbangannya, sekolah diharapkan bisa membiayai sendiri setelah selama 4 dan 5 tahun mendapatkan bantuan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas belajar mengajar lain yang dibutuhkan.

Nuh mengingatkan, RSBI dan SBI harus memenuhi empat komponen, yaitu infrastruktur yang memadai, memiliki guru yang berkualitas, kurikulum sesuai dengan pembelajaran, dan manajemen yang baik.

”Ada syarat menjadi SBI, kualitasnya harus minimal di atas rata-rata standar nasional. Jika tidak, berarti SBI itu hanya jualan nama. SBI harus memiliki sister school dengan sekolah yang ada di luar negeri karena itu konsep dasarnya,” kata Nuh.

Sayangnya, kata Nuh, pengertian definisi ”internasional” kadang-kadang direduksi menjadi penggunaan kata-kata berbahasa Inggris di lingkungan sekolah atau dalam penyampaian materi pelajaran.

”Apa harus selalu memakai bahasa Inggris? Tidak. Tergantung sekolah itu mau memakai standar di negara mana. Kalau SBI-nya sekolah keagamaan, bisa pakai bahasa Arab. Atau bisa juga pakai bahasa Jepang,” ujarnya.

Yang paling penting sebenarnya jangan sampai RSBI atau SBI justru memunculkan eksklusivitas dan terkesan elite dengan hanya menerima calon siswa yang memiliki kemampuan finansial yang kuat.

Secara terpisah, Budi Susetiyo, dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, yang melakukan studi pengembangan kriteria sekolah standar, mandiri, dan berstandar internasional, mengatakan, kualitas RSBI perlu dipertanyakan.

”Bagi sekolah negeri, label RSBI bisa jadi alasan untuk memungut dana lebih dari masyarakat karena butuh untuk mengembangkan sekolah,” ujar Budi. (LUK/ELN)***

Source : Kompas, Jumat, 30 April 2010 | 04:46 WIB

RSBI Akan Dievaluasi

RSBI Akan Dievaluasi

Lebih Penting Amandemen UU Sistem Pendidikan Nasional

SALATIGA - Kementerian Pendidikan Nasional akan mengevaluasi semua rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Hal ini dilakukan untuk memantau mutu RSBI, sekaligus menanggapi banyaknya keluhan masyarakat soal penarikan dana yang terlalu tinggi oleh RSBI.

”Sekarang ini muncul suara sumbang dari berbagai tempat. Bahkan, RSBI dipelesetkan menjadi rintisan sekolah bertarif internasional. Kesannya RSBI itu sekolah mahal, padahal awalnya konsep RSBI itu bagaimana meningkatkan mutu pendidikan,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Hamid Muhammad yang mewakili Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh membuka English Camp SMA RSBI Jawa Tengah di Kota Salatiga, Selasa (25/5).

Menurut Hamid, penarikan dana dari masyarakat oleh RSBI, sebagian tidak disertai dengan laporan penggunaan yang transparan. Mestinya, transparansi senantiasa melekat pada RSBI.

Menurut Hamid, sekolah yang tidak lolos dalam standar RSBI statusnya akan dikembalikan menjadi sekolah standar nasional. Sementara sekolah yang memenuhi persyaratan minimal akan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Menurut dia, RSBI sangat layak dievaluasi karena program tersebut sudah berjalan sekitar lima tahun.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, pada 2009 program RSBI diikuti 136 sekolah dasar, 300 sekolah menengah pertama, 118 sekolah menengah kejuruan, serta 320 sekolah menengah atas.

”Memang RSBI boleh menarik dana dari masyarakat. Namun, belum diatur berapa dana yang boleh dipungut dari masyarakat,” ujarnya.

Menurut dia, sekolah yang bermutu dan berkualitas sudah pasti akan mahal karena membutuhkan biaya tinggi. Namun, kemahalan tersebut tidak seharusnya dibebankan seluruhnya kepada masyarakat atau orangtua siswa. Dia mengatakan, Kementerian Pendidikan Nasional sedang mencoba mencari formulasi pendanaan yang tepat, seperti pada pendanaan wajib belajar sembilan tahun yang ditanggung bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten dan kota.

Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah Kunto Nugroho mengatakan, di Jawa Tengah saat ini terdapat 12 SD, 66 SMP, 59 SMK, dan 55 SMA RSBI yang akan dievaluasi. Sekolah tersebut harus memenuhi delapan komponen pendidikan, antara lain sarana dan prasarana, standar isi, kompetensi lulusan, proses pembelajaran, dan pengelolaan.

Amandemen UU Sisdiknas

Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, sumber masalah RSBI ada pada Undang-Undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama Pasal 50 Ayat 3. Dalam undang-undang tersebut, daerah didorong untuk membentuk RSBI dan SBI.

”Kenyataannya, pembentukan RSBI dan SBI telah menciptakan kastanisasi pendidikan,” kata Darmaningtyas. Sebab, sekolah distratifikasi menjadi sekolah reguler, sekolah kategori mandiri (SKM), RSBI. SBI, dan sebagainya. Untuk RSBI dan SBI, hanya anak dari keluarga kaya yang bisa masuk sekolah tersebut karena biaya masuk dan iuran bulannya sangat mahal. ”Walaupun katanya ada beasiswa untuk keluarga miskin, kenyataannya anak-anak tersebut minder karena lingkungan sekitarnya anak-anak dari keluarga kaya,” kata Darmaningtyas.

Adanya RSBI dan SBI, lebih parah lagi, melanggar Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen, terutama Pasal 31 Ayat (3). Ayat tersebut menyatakan, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

”Dengan adanya kastanisasi pendidikan, berarti sistem pendidikan kita telah melanggar UUD 1945,” kata Darmaningtyas.

Karena itu yang lebih penting dilakukan sekarang, lanjut dia, bukan sekadar mengevaluasi RSBI tetapi mengamandemen Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai sumber masalahnya. Sejumlah anggota DPR juga sudah menyadari ”kesalahan” Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini sehingga merencanakan untuk mengamandemennya. (GAL/THY)***

Source : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 04:14 WIB

Top of Form

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Johannes @ Rabu, 26 Mei 2010 | 05:49 WIB
Evaluasi apapun harus menghasilkan perbaikan pada sistem di Sekolah. Penting untuk dibenahi adalah Gurunya, bukan dananya, apakah guru sudah siap?

Sabtu, 29 Mei 2010

Publik Menilai Biaya Pendidikan Semakin Mahal

Grafis : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010

Publik Menilai Biaya Pendidikan Semakin Mahal

Kini, tujuh tahun sejak kebijakan baru tersebut digulirkan, berbagai komplikasi permasalahan tampaknya belum usai. Setidaknya hal ini tergambar dari hasil Jajak Pendapat yang dilakukan Kompas. Soal pengetahuan terhadap adanya kebijakan sekolah unggulan saja, masih ada sepertiga lebih (35,5 persen) responden yang menyatakan belum mengetahui. Ditambah lagi soal mahalnya biaya pendidikan.

N = 677

Metode Jajak Pendapat

Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang Kompas, 27 – 29 April 2010. Sebanyak 677 responden berusia minimla 17 tahundipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis dari buku telepon terbaru. Responden berdomisili di 57 kota seluruh Indonesia. Jumlah responden si setiap kota ditentukan secara proporsional. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian + 3,8 persen. Hasil Jajak Pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat di neger ini. (JAJAK PENDAPAT Harian Umum KOMPAS)***

Sumber : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010