Selasa, 22 Juni 2010

Seleksi Siswa Baru Harus Transparan

Seleksi Siswa Baru Harus Transparan

FGII: RSBI Rentan Timbulkan Segregasi Pendidikan

BANDUNG, KOMPAS - Seleksi siswa baru melalui jalur prestasi di sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) harus mengedepankan transparansi dan sosialisasi kepada masyarakat. Semua siswa yang mengajukan diri memiliki kesempatan sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.

"Sejauh ini masalah transparansi dan sosialisasi sudah diperhatikan RSBI. Saya harap terus berlanjut hingga proses seleksi selesai," ujar Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Wahyudin Zarkasyi, Senin (21/6) di Bandung.

Sekolah RSBI tengah menyeleksi siswa melalui jalur prestasi. Jalur ini, antara lain, meliputi bidang seni, olahraga, agama, informasi teknologi, dan keluarga tidak mampu.

Wahyudin menegaskan, transparansi dan sosialisasi mutlak diperlukan karena syarat penerimaan siswa baru lewat jalur prestasi sudah diatur dengan jelas. Peraturan wali kota atau bupati telah menetapkan kategori apa yang harus dipenuhi terkait dengan penerimaan siswa baru lewat jalur prestasi atau nonakademik.

"Jangan sampai minimnya transparansi dan sosialisasi menimbulkan pandangan buruk masyarakat. Sekolah harus jujur dan berani menerapkan aturan yang ditetapkan," ujarnya.

334 siswa

Humas SMA 5 Bandung Mujiono mengatakan, untuk tahun ajaran 2010/2011 pihaknya menerima 334 siswa. Dari jumlah itu, 224 siswa berasal dari jalur akademik dan 120 orang dari jalur nonakademik atau prestasi.

Menurut dia, pendaftaran siswa jalur prestasi masuk pada tahap seleksi 52 orang yang mengajukan diri, yaitu lewat jalur seni (9 orang), olahraga (18 orang), pembinaan dan prestasi (21 orang), serta keluarga tidak mampu (4 orang). Mereka akan menjalani tes untuk memperebutkan 12 kursi atau 10 persen dari total kuota sekolah untuk jalur nonakademik sebanyak 120 orang.

Ia berjanji seleksi berjalan transparan. Pihaknya menetapkan standar lebih ketat bagi peserta, di antaranya melalui pengecekan langsung latar belakang calon siswa. Contohnya, untuk siswa berprestasi olahraga, dilihat sejauh mana kebenaran prestasi yang diraih. Sama untuk calon siswa dari keluarga tidak mampu, sekolah akan mengecek ke rumah untuk melihat kondisi ekonominya.

"Kami tidak mau berdebat atau membuat kesepakatan dengan calon siswa atau orangtuanya. Kalau ternyata tidak sesuai dengan aturan, kami akan gugurkan dan berikan kesempatan kepada calon siswa lain yang lebih layak," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan bersikukuh RSBI rentan menimbulkan segregasi pendidikan. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik seharusnya tidak dikaitkan dengan pembiayaan. Bila hal ini masih terus berlangsung, sulit memeratakan pendidikan yang layak dan berkualitas di Indonesia. (CHE)***

Source : Kompas, Selasa, 22 Juni 2010 | 12:05 WIB

Kalender Pendidikan Kacau karena UN Dipercepat

Banyaknya "Waktu Kosong" Rugikan Siswa

Kalender Pendidikan Kacau karena UN Dipercepat

JAKARTA - Kalender pendidikan belajar-mengajar sekolah sebaiknya disusun ulang karena banyak ”waktu kosong” atau tak efektif bagi siswa, terutama siswa kelas IX dan XII. Waktu tak efektif terutama antara pelaksanaan ujian nasional dan pengumumannya yang terlalu lama.

Begitu pula antara ujian nasional (UN) ulangan dan pengumumannya serta jarak dengan pendaftaran siswa/mahasiswa baru terlalu lama. Waktu tak efektif tersebut hampir dua bulan sehingga kurang baik bagi siswa.

Sejumlah guru di berbagai daerah, Senin (21/6), mengatakan, menjelang pelaksanaan UN, siswa disibukkan dengan latihan-latihan soal sejak bulan Februari-Maret. Materi pelajaran semester genap pun dipadatkan sehingga materi detail tak bisa disampaikan. Sebaliknya, setelah UN, justru banyak waktu kosong siswa.

Kepala SMP Negeri 4 Bogor Hasanuddin mengatakan, waktu tidak efektif siswa tahun ini lebih panjang karena jadwal UN dimajukan untuk mengakomodasi UN ulangan. Jika jadwal UN tidak dimajukan, waktu kosong siswa hanya 2-3 minggu.

”Selain UN dipercepat, UN ulangan juga tidak ada di dalam kalender pendidikan. Sekolah memang jadi agak repot karena materi semester genap harus selesai lebih cepat,” ujarnya.

Fadiloes Bahar dari Serikat Guru Kota Tangerang mengatakan, baik siswa maupun sekolah kerap menganggap, jika UN berakhir, berarti berakhir pula proses belajar-mengajar. Padahal, siswa masih harus menjalani ujian sekolah.

”Ujian sekolah menjadi nomor dua. Itu sebabnya banyak siswa yang nilai ujian nasionalnya lebih tinggi daripada nilai ujian sekolah,” kata Fadiloes.

Evaluasi kembali

Fadiloes khawatir, kalender kegiatan belajar-mengajar yang kacau akan kembali terjadi pada tahun ajaran mendatang. Untuk itu, ia meminta pemerintah agar mengkaji secara cermat kalender pendidikan untuk tahun mendatang.

Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman menyatakan, banyaknya waktu tak efektif kurang bagus bagi siswa. Karena itu, ia mengusulkan agar setelah UN proses belajar tetap berlanjut dengan penekanan pada pembelajaran karakter.

”UN mereduksi atau mempersempit pembelajaran siswa karena siswa hanya disiapkan untuk menghadapi UN, tidak untuk belajar,” ujarnya.

Ahli evaluasi pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Said Hamid Hasan, mengusulkan, perlu ada mekanisme atau pengaturan jadwal ujian, pengumuman, dan proses seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya yang lebih jelas dan teratur. ”Perlu ada pemikiran tentang kualitas pendidikan yang lebih jelas,” ujarnya. (LUK/Kompas)***

Source : Kompas, Selasa, 22 Juni 2010 | 03:13 WIB

Senin, 21 Juni 2010

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional : Sebagian Besar Dana untuk Fisik

Sebagian Besar Dana untuk Fisik

RSBI Tidak Meningkatkan Mutu

JAKARTA - Sebagian besar anggaran dari pemerintah dan orangtua pada proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional hanya digunakan untuk pengembangan sarana prasarana fisik. Dengan demikian, peningkatan mutu pendidikan pada RSBI tidak sesuai dengan harapan.

Dari temuan studi awal proyek RSBI oleh Koalisi Pendidikan dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diungkapkan Minggu (20/6), didapati bahwa mayoritas sekolah RSBI hanya mengandalkan sarana fisik, seperti mesin pendingin ruangan atau internet. Kondisi dan kesiapan guru masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris pada proses belajar-mengajar.

Lody Paat dari Koalisi Pendidikan mengingatkan, banyak RSBI tak sesuai dengan namanya karena penggunaan bahasa Inggris pun masih minim. Dari hasil diskusi dengan guru terungkap, banyak guru tidak bisa berbahasa Inggris dan kesulitan dalam menjelaskan materi pelajaran dalam bahasa itu. ”Peningkatan mutu pendidikan tak harus melalui RSBI, apalagi jika implementasinya kacau seperti ini,” ujarnya.

Lody menambahkan, RSBI justru mengundang perdebatan karena jika dilihat dari nilai-nilainya, RSBI mengutamakan kompetisi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah yang seharusnya membantu sekolah meningkatkan mutu pendidikan justru mendorong setiap sekolah untuk bersaing satu sama lain. Padahal, dari nilai-nilai Pancasila tidak disebutkan kata-kata persaingan, yang ada yaitu nilai-nilai kerja sama dan kebersamaan. ”Seolah-olah sekolah harus bersaing untuk meningkatkan mutu pendidikan. Apa tidak ada cara lain,” ujarnya.

Privatisasi

Untuk itu, menurut Ade Irawan dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, pihak ICW mendesak pemerintah menghapus RSBI karena mendorong kastanisasi dan antidemokrasi. RSBI justru mendorong konsep privatisasi pendidikan semata-mata karena anggaran minim dari pemerintah.

”Untuk menjawab masalah anggaran, pemerintah justru dorong privatisasi pendidikan melalui RSBI,” ujarnya.

ICW mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit penggunaan dana RSBI karena pengelolaan yang amatir. Pasalnya, tidak ada proses evaluasi dan pengawasan kualitas pembelajaran. ”Tak ada upaya mengawal anggaran sehingga kerap ditemukan indikasi korupsi,” ujarnya. (LUK/KOMPAS)***

Source : Kompas, Senin, 21 Juni 2010 | 04:41 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Dino @ Senin, 21 Juni 2010 | 05:36 WIB
RSBI, Lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan ketidakterbukakan dalam soal pengelolaan keuangan. bahkan dari sejumlah daerah RSBI dijadikan sapi perahan

Sabtu, 12 Juni 2010

Tajuk Rencana KOMPAS : Sekolah Berlabel Internasional

TAJUK RENCANA

KOMPAS, Sabtu, 12 Juni 2010 | 04:29 WIB

Sekolah Berlabel Internasional

Sejenak mari kita belokkan perhatian. Alih-alih pelengkap keasyikan bergosip video porno, praksis pemerintahan yang berakhir tanda tanya, dan gegar Piala Dunia 2010.

Lima tahun sudah diselenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) jenjang dasar dan menengah, umum dan kejuruan. Sudah diperoleh sejumlah sekolah bertaraf internasional (SBI), sudah pula ada yang didrop dari status RSBI ke status sekolah reguler.

Benar kritik RSBI menciptakan kastanisasi sekolah. Benar harapan agar RSBI tidak dijadikan merek dagang menjual sekolah. Kritik dan harapan sebaiknya tidak dianggap sepi, tidak digolongkan ekses. Membiarkan berarti menaruh pupuk berkembangnya benih kecurigaan.

Rencana evaluasi RSBI hendaknya tidak selesai dengan membereskan ekses. Tidak hanya menyangkut penarikan dana dan kriteria penilaian, tetapi juga maksud dasar kebijakan RSBI. Setiap era selalu ada eksperimen, di antaranya yang serba unggul dengan beragam nama, seperti sekolah unggulan, pembangunan atau teladan, dan sekarang bertaraf internasional.

Era globalisasi menjadi batu sendi dan pemicu kebijakan RSBI. Salah satu cirinya bahasa pengantar Bahasa Inggris. Muaranya hasil lulusan dan praksis pendidikan setaraf internasional. Syarat terpenting perbaikan prasarana dan sarana belajar, termasuk faktor guru.

Ujung-ujungnya duit. Perlu droping dana khusus, seperti tahun 2008-2010 setiap SMP berstatus RSBI Rp 300 juta per tahun dan setiap SMA RSBI Rp 300 juta-Rp 600 juta. Begitu RSBI dinyatakan SBI, dana dihentikan. Sekolah dianggap sudah memenuhi empat kriteria: infrastruktur, guru, kurikulum, dan manajemen.

Sekolah ibarat barang dagangan seiring dengan pemberlakuan standar tunggal manajemen ISO. Dengan standar itu, tanpa disadari, bukan juga ekses, tercipta kastanisasi sekolah seperti yang dikritik kolumnis Darmaningtyas, mulai dari yang internasional hingga pinggiran—bersaing dengan swasta internasional yang makin bertebaran di kota besar atas nama usaha bisnis.

Kita tidak ingin terjebak dalam pola eksperimen masa lalu. Pembukaan UUD 45 mengamanatkan mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan bangsa bukan untuk segelintir warga—yang berkemampuan finansial—melainkan untuk sebanyak mungkin warga bangsa. Kita dukung kebijakan mengatasi masalah distribusi guru. Sekadar contoh, meskipun tidak mudah, kemudahan mutasi guru antarprovinsi setidaknya merupakan terobosan, mengingat 68 persen sekolah di perkotaan kelebihan guru dan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.

Kenyataan hampir 65 tahun merdeka, tetapi masih jutaan anak bersekolah di bawah cibiran ”kandang ayam”, tentu lebih perlu prioritas daripada membangun sekolah unggulan bertaraf internasional. Sekalian mencegah, jangan sampai ”bertaraf internasional” menjadi sekadar ”bertarif internasional”! ***

Jumat, 11 Juni 2010

RSBI Ditangani Provinsi

RSBI Ditangani Provinsi

Pemerintah Kota/Kabupaten Tetap Bisa Mengucurkan Dana

JAKARTA - Kewenangan pengelolaan sekolah-sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI diserahkan kepada pemerintah provinsi. Kebijakan ini menggunakan payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.

Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Adapun kewenangan pengelolaan sekolah non-RSBI dari tingkat SD hingga SMA tetap berada di tangan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Demikian dikemukakan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Kamis (10/6) di Jakarta. ”Dengan PP Nomor 38 itu, semakin jelas peran provinsi yang akan melakukan pengawasan dan antisipasi penyimpangan, memastikan transparansi, dan perencanaan yang lebih jelas soal RSBI. Supaya tidak ada lagi keraguan provinsi, kami meminta pengertian dari semua kabupaten/kota,” kata Fasli.

Pengalihan tanggung jawab dan wewenang dari kabupaten/kota ke provinsi ini, kata Fasli, dilakukan agar provinsi bisa ikut memberikan bantuan pendanaan yang besar kepada RSBI. Meskipun demikian, kabupaten/kota tetap bisa ikut memberikan bantuan anggaran pada RSBI.

”Payung hukumnya sudah berlapis. Yang penting sekarang, bagaimana implementasinya di setiap sekolah. Kami berharap pengelolaan RSBI bisa dilakukan lebih baik oleh provinsi,” kata Fasli.

Fasli berharap, dengan PP 38 Tahun 2007 itu pemerintah provinsi bisa memulai proses transisi kewenangan pengelolaan RSBI dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi. ”Saat ini sudah mulai ada pembicaraan antara provinsi dan kabupaten/kota bagaimana melakukan transformasi itu,” ujarnya.

Merek dagang

Praktisi pendidikan Arief Rachman mengingatkan untuk tidak menjadikan RSBI sebagai sarana menjual dan memopulerkan sekolah dan harus betul-betul konsisten dengan standar internasional. RSBI juga harus bisa menjamin keadilan sehingga tidak terjadi kesenjangan di antara sekolah standar biasa dan standar internasional.

”Dari dulu kita punya sekolah unggulan, kelas akselerasi, sekarang RSBI. Ini semua tidak boleh menghilangkan asas keadilan. Pelayanannya tidak boleh memberi kesan diskriminasi. Idealnya memang semua sekolah mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi semua variasi kecerdasan intelektual, emosional, dan sosial. Ini yang seharusnya jadi fokus pemerintah,” kata Arief. (LUK/Kompas)***

Source : Kompas, Jumat, 11 Juni 2010 | 03:59 WIB

RSBI Membutuhkan Peraturan Pemerintah

LAYANAN PENDIDIKAN

RSBI Membutuhkan Peraturan Pemerintah

JAKARTA - Sampai saat ini belum ada aturan terperinci yang secara khusus mengatur pelaksanaan rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Akibatnya, terjadi kerancuan pelaksanaan RSBI di beberapa daerah, termasuk pungutan dana pada orangtua siswa yang besarnya tidak memiliki standar.

”Peraturan pemerintah soal RSBI harus ada,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Rully Chairul Azwar dalam talkshow tentang RSBI dan sekolah berstandar internasional (SBI), Rabu (9/6) di Jakarta.

Payung hukum yang ada saat ini hanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Kedua payung hukum itu hanya menyebutkan pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional.

Rully Chairul Azwar mengatakan, di dalam peraturan pemerintah (PP) tentang RSBI itu harus dijelaskan secara rinci, antara lain, tentang kualifikasi calon siswa yang masuk, kualitas pembelajaran, dan kurikulum. Sementara standar biaya kegiatan belajar-mengajar bisa diatur lebih rinci di dalam peraturan menteri.

”Cepat keluarkan PP atau Permendiknas khusus tentang RSBI agar tidak lebih banyak korban yang jatuh. Berdasarkan PP itu, masyarakat bisa mengawasi pelaksanaan RSBI,” kata Rully.

Peraturan daerah

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyatakan, penyelenggaraan RSBI hendaknya dipayungi peraturan daerah, minimal peraturan bupati atau peraturan wali kota. ”Di sana ada koridor-koridor, apakah gratis atau membayar dengan limitasi tertentu. Itu bisa diatur lebih lanjut oleh peraturan sesuai dengan level otonomi itu,” ujarnya.

Saat ini, pemerintah tengah mengevaluasi RSBI dan mencari model-model yang baik sebagai rujukan di kabupaten, kota, dan provinsi. Untuk mencapai RSBI bermutu, diperlukan kontribusi bukan hanya dari pemerintah pusat dan daerah, melainkan juga kelompok masyarakat, perusahaan, ataupun orangtua.

”Tapi, kalau dari orangtua tentu harus ada aturan main yang jelas dan atas dasar kebersamaan dan kesepakatan. Tidak harus dipaksa-paksa dengan SK (surat keputusan),” ujarnya.

Pemerintah juga tengah mendata sekolah-sekolah RSBI yang memungut dana dari masyarakat. Variasi pungutan yang ada, kata Fasli, di antaranya gratis atau tanpa pungutan, tanpa uang pangkal dengan SPP agak tinggi, dan uang pangkal tinggi dengan SPP rendah. ”Kalau tanda-tanda itu tidak sejalan lagi dengan koridor Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tentu kita akan turun tangan,” ujarnya.

Sekretaris Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas Bambang Indriyanto menambahkan, ketika mencanangkan RSBI, pihaknya telah mengantisipasi berbagai hal, termasuk pemberian bantuan langsung atau block grant untuk membantu RSBI di tingkat SMP (selama 4 tahun) dan SMA (5 tahun). ”Bantuan itu bisa diperpanjang, tetapi batas waktunya masih dibicarakan,” ujarnya.

Jika RSBI telah mendapatkan bantuan dari APBN dan APBD, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengingatkan, sekolah seharusnya tidak perlu lagi menarik pungutan dari orangtua siswa. Ade menilai, ada yang salah dalam proses penganggaran sekolah. Seharusnya, penetapan biaya pendidikan dilakukan setelah rencana kegiatan belajar-mengajar disusun dan disepakati oleh orangtua siswa dan sekolah. ”Saat ini, calon siswa baru mendaftar sudah disodori biaya yang sangat tinggi,” ujarnya. (LUK/Kompas)***

Source : Kompas, Kamis, 10 Juni 2010 | 04:26 WIB

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Sony Tjahyani @ Kamis, 10 Juni 2010 | 13:49 WIB
Biaya untuk Program RSBI tahun ajaran 2010/2011 SMA 2 Tangsel mohon ditinjau kembali, memberatkan orang tua yang bekerja sebg PNS.

sapta @ Kamis, 10 Juni 2010 | 10:06 WIB
Di DKI SMA negeri reguler saja (bukan RSBI) bayarannya mahal, tak terjangkau rakyat, masak anak cukup SMP saja. Tolong perjuangkan suara kami Bapak/Ibu Yth.

priyono @ Kamis, 10 Juni 2010 | 10:01 WIB
Jangan sampai jadi Rintisan Sekolah Banyak Iuran

sapta @ Kamis, 10 Juni 2010 | 09:54 WIB
SMAN reguler saja (bukan SMAN RSBI) bayarannya mahal, tak terjangkau rakyat, padahal itu di DKI. Masak anak cukup SMP saja. Tolonglah kami Bapak/Ibu Yth.

Rabu, 09 Juni 2010

Miss Lebanon Jadi Duta Angklung

MARTINE ANDRAOS
Miss Lebanon Jadi Duta Angklung

Jawa Barat Diajak Berpromosi di Lebanon

BANDUNG - Ratu kecantikan dari Lebanon atau Miss Lebanon 2009 Martine Andraos dinobatkan sebagai duta angklung oleh Saung Angklung Udjo (SAU). Martine dianggap mampu mempromosikan alat musik asli Jawa Barat itu di Lebanon.

"Sebagai duta pariwisata dan budaya negaranya, tentu ia mengerti pentingnya pelestarian kebudayaan tradisional. Maka, kami ajak dia ikut mengampanyekan angklung sebagai budaya asli Indonesia," kata Direktur Operasional SAU Satria Yanuar Akbar di Bandung, Senin (7/6). Martine mengaku bangga atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. Menurut dia, angklung merupakan alat musik yang unik dan membawa kebahagiaan ketika dimainkan. "Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Saya berjanji mempromosikan angklung kepada masyarakat Lebanon," kata Martine.

Selain kunjungan kebudayaan, kedatangan Martine ke Indonesia sekaligus untuk meresmikan pembangunan gedung sekolah dasar di Padang, Sumatera Barat, yang dilakukannya beberapa waktu lalu.

"Dana pembangunan dihimpun Martine dari pengusaha asal Lebanon pada acara charity night. Uang yang terkumpul 50.000 dollar AS digunakan untuk membangun sekolah itu," kata Kepala Penerangan Sosial Budaya KBRI di Beirut, Lebanon, Ahmad Sofyan.

Promosikan Jabar

Menurut Ahmad, Indonesia berpotensi menjadi tujuan wisata bagi wisatawan asal Lebanon. "Orang Lebanon senang dengan wisata yang berhubungan dengan alam dan kesenian tradisional. Mereka suka dengan sawah, bukit, dan pegunungan," katanya.

Indonesia dinilai memiliki citra yang baik di mata masyarakat Lebanon. "Citra Indonesia sangat bagus. Kita lebih dikenal lewat Pasukan Garuda yang menjaga perdamaian di sana," ujarnya. Ahmad berharap dapat membawa lebih banyak wisatawan Lebanon ke Indonesia. Hingga bulan ini jumlah kunjungan wisatawan asal Lebanon ke Indonesia mencapai lebih 1.000 orang. Jumlah itu meningkat dari tahun lalu sebanyak 760 wisatawan.

Namun, lanjut Ahmad, Jabar masih kurang dilirik wisatawan Lebanon. Bali masih menjadi tujuan utama wisatawan Lebanon. "Maka, kami mengajak agen perjalanan dari Jabar untuk berpromosi di Lebanon. Apalagi, Jabar memiliki potensi ecotourism yang tidak dimiliki Lebanon," ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Satria menilai pemerintah provinsi dan pihak swasta perlu bersinergi dalam mempromosikan kesenian dan kebudayaan Jabar. "Kami sudah berupaya proaktif mengenalkan kesenian Jabar ke dunia. Seharusnya, pemerintah yang menjadi pemimpin, bukan swasta. Padahal, pihak swasta terus berkembang," tuturnya.

Satria menambahkan, SAU akan berangkat ke Perancis memperkenalkan kesenian angklung pada akhir Agustus. "Salah satu tujuan kampanye kami adalah menyadarkan masyarakat dunia bahwa angklung milik Indonesia. Jadi, kampanye ini tidak milik kami saja, tapi milik bangsa Indonesia," ujarnya.

Menurut Satria, perjalanan SAU ke Perancis dibiayai Kementerian Pendidikan Nasional melalui program beasiswa unggulan Rp 70 juta. "Kami sangat berterima kasih atas pembiayaan ini. Ini merupakan wujud komitmen menciptakan jati diri bangsa lewat kesenian," tuturnya. (*) Foto-foto : deplu.go.id/dailystar.com.ib

Source : Kompas, Selasa, 8 Juni 2010 | 12:53 WIB

Pendekar Pendidikan Anak Jalanan

DIDIT HARI PURNOMO. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)***

Pendekar Pendidikan Anak Jalanan

Oleh Maria Serenade Sinurat

Di mata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapa pun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti ”rumah” dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan.

Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri. SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka.

Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga. Di sanggar, Didit menjadi bapak. Istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan.

Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan perilaku. ”Jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah,” ujar pensiunan pegawai TVRI ini.

Pendidikan perilaku hanya satu dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun Matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan. ”Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan,” katanya.

Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Pendidikan praktis

Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga. Setiap tiga hari dalam seminggu, tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual.

Lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas di lapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke jalanan. Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan.

Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya. Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk di pangkuan ibundanya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya. ”Kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan,” kata Didit.

Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri. ”Jika mereka kembali ke jalan, artinya mereka tidak lulus. Kalau tidak, berarti lulus,” kata Didit.

Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana. ”Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma,” kata Didit. SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.

Kasih sayang

Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. ”Kasih sayang,” kata kakek satu cucu ini. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat.

Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan. Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri.

Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan. Di balik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan.

Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka ”komunitas sekolah malam”. Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit.

Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.

Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung pada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.

Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya, diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan. ”Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal. Saya senang luar biasa,” kata Didit.

Ada lagi, Mu’ad (18). Dua tahun lalu, Kompas bertemu Mu’ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. Namun, kini Mu’ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.

Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang, Dia kian optimistis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyarakat.***

Source : Kompas, Rabu, 9 Juni 2010 | 04:25 WIB

Selasa, 08 Juni 2010

12 RSBI Turun Status

12 RSBI Turun Status

Jabatan Kepala Sekolah Imbal Jasa dalam Pilkada

JAKARTA - Sebanyak 12 SMP/SMA/ SMK berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional di beberapa daerah turun status menjadi sekolah standar nasional atau SSN. Sekolah yang statusnya turun tersebut bisa mengikuti program RSBI kembali dari awal.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto, Senin (7/6), mengatakan, hasil evaluasi tahunan terhadap rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) menunjukkan ke-12 RSBI itu tidak memenuhi persyaratan.

”Kami masih memberikan kesempatan bagi SMK untuk memperbaiki diri. Namun, untuk SMA dan SMP langsung drop karena tidak sesuai standar,” ujarnya.

Menurut Suyanto, untuk sekolah berstatus RSBI tidak ada kompromi. ”Penilaiannya go atau no go. Kami ingin membangun sekolah berkualitas sehingga tidak boleh sembarangan,” kata Suyanto.

Proses evaluasi sudah dilakukan sejak tahun kedua sekolah itu menjadi RSBI. Poin-poin yang dinilai, antara lain, adalah kepemimpinan kepala sekolah, proses pembelajaran, dan penggunaan dua bahasa dalam kegiatan belajar-mengajar. Hasil evaluasi terhadap ke-12 sekolah berstatus RSBI itu menunjukkan, faktor kegagalan paling utama ada pada kepemimpinan kepala sekolah.

”Banyak sekolah di daerah yang tercampuri urusan politik daerah,” kata Suyanto.

Ia memberikan gambaran, sejumlah kepala sekolah diganti oleh orang-orang yang termasuk tim sukses bupati atau wali kota dalam pemilihan kepala daerah.

”Jabatan kepala sekolah sebagai balas jasa keberhasilan dalam pemilihan kepala daerah,” kata Suyanto.

Sekarang, lanjut Suyanto, sudah ada perjanjian antara pemerintah pusat dan daerah. Jika ada kepala sekolah berstatus RSBI yang akan diganti, daerah harus memberi tahu terlebih dahulu. ”Langkah ini untuk menghindari muatan politik,” ujarnya.

Bukan di Jakarta

Suyanto tidak menjelaskan nama ke-12 RSBI yang turun status tersebut. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, tidak ada satu sekolah RSBI pun di DKI Jakarta yang turun status.

Menurut dia, evaluasi dilakukan terhadap RSBI yang sudah berjalan enam tahun. ”Program RSBI di DKI Jakarta baru berjalan empat tahun. Jadi, kami baru melakukan evaluasi dua tahun mendatang,” ujarnya.

Menurut Suyanto, perlakuan berbeda yang diberikan kepada SMK karena pemerintah kesulitan untuk mencari sekolah pengganti yang bisa dijadikan sebagai RSBI.

Direktur Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas Joko Sutrisno mengatakan, dari hasil evaluasi terhadap SMK berstatus RSBI ternyata masih ada sekolah yang belum menerapkan penggunaan dwibahasa di dalam kegiatan belajar-mengajar. Padahal, penggunaan dwibahasa di sekolah ini yang menjadi faktor utama di RSBI.

”Evaluasi masih berjalan. Sudah ketahuan ada 6-7 SMK, sebagian ada di Jakarta. Mereka sudah diberi peringatan yang keras,” ujarnya.

Selain penggunaan dwibahasa, di beberapa SMK juga ditemukan persoalan penggunaan teknologi informasi komunikasi sebagai sarana pembelajaran. Persoalan ini terkait dengan ketersediaan perangkat-perangkat yang masih minim. ”Kami masih memberikan kesempatan memperbaiki karena RSBI ini masih harus dituntun,” kata Joko.

Secara terpisah, anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah (Partai Golkar), menilai RSBI sebenarnya masih menghadapi persoalan pada aspek legal, konsep, dan faktual, antara lain, seperti pemenuhan kualifikasi guru dan sarana-prasarana. Akibatnya, definisi RSBI tidak jelas dan menciptakan pemahaman yang beragam.

Padahal, idealnya, RSBI adalah upaya menyamakan kualitas sekolah di dalam negeri dengan di negara lain.

Ferdiansyah menambahkan, sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah turunan dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang bisa memperjelas soal pungutan dari orangtua siswa. ”KeMendiknas terlalu banyak janji untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang menyangkut peserta didik,” ujarnya. (LUK/Kompas)***

Source : Kompas, Selasa, 8 Juni 2010 | 04:27 WIB

Senin, 07 Juni 2010

Peran Daerah Amat Penting bagi RSBI

Peran Daerah Amat Penting bagi RSBI

Program dan Kualitas Guru Mestinya Didahulukan

JAKARTA - Peran pemerintah daerah sangat penting dalam penyelenggaraan rintisan sekolah berstandar internasional. Jika peran pemerintah daerah cukup besar dalam pendanaan, RSBI bisa diselenggarakan tanpa pungutan apa pun kepada masyarakat.

”Selain mendapat kucuran dana dari pemerintah, kekurangannya dipenuhi pemerintah provinsi,” kata Ketua Komisi E DPRD Papua Max Mirino di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Mirino, dibutuhkan kesadaran semua pihak, baik legislatif maupun eksekutif di daerah, serta kesadaran masyarakat. ”Kami ingin pendidikan Papua maju agar bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Karena itu, siswa-siswa cerdas yang miskin kami beri kesempatan seluas-luasnya,” kata Mirino.

Kepala SMK Negeri 2 Kabupaten Mimika Selsius Efraem Aron mengatakan, RSBI di Papua sudah mendapat anggaran dari pemerintah provinsi, tapi belum semua pemerintah kabupaten/kota membantu. ”Padahal butuh dana cukup besar untuk membuat program,” ujarnya.

Program didahulukan

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua James Modouw mengatakan, di Papua belum ada RSBI yang fisiknya berstandar internasional. Yang dibangun bukan fisik sekolah terlebih dahulu, melainkan kualitas guru, program pembelajaran, dan kurikulum.

”Baru nanti akan ketahuan fasilitas apa yang dibutuhkan,” kata James Modouw, seusai melepas 20 guru RSBI Papua yang mendapat beasiswa Australian Leadership Award Fellowships (ALAF) dan AusAID. Mereka akan dilatih di University of the Sunshine Coast, Queensland, Australia, selama tiga bulan.

”Faktor penentu selalu dilihat pada sarana prasarana. Paradigma ini harus diubah menjadi penekanan di proses pembelajaran dan peningkatan kualitas guru,” kata James.

Di Provinsi Papua ada delapan RSBI tingkat sekolah menengah atas/kejuruan. Dalam waktu dekat akan ada 1 RSBI tingkat SMP. James mengaku belum ada satu pun yang telah memenuhi seluruh standar pemerintah.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto menjelaskan, RSBI diizinkan memungut biaya dari orangtua meski telah menerima APBN dan APBD. Pungutan itu untuk pengembangan menuju standar kualitas SBI, yakni proses pembelajaran (30 persen), sarana penunjang belajar mengajar (25 persen), manajemen (20 persen), dan subsidi siswa miskin dan kesiswaan (25 persen).

Anggaran dari APBD provinsi/kabupaten/kota untuk biaya investasi operasional rutin. ”Setiap RSBI harus mengalokasikan minimal 20 persen ’kursi’ untuk peserta didik tidak mampu,” kata Suyanto. (LUK/CHE/Kompas) ***

Source : Kompas, Senin, 7 Juni 2010 | 04:24 WIB


Muhammad N. Hata : Kebenaran Sejarah Dalam Babad Dermayu

Kebenaran Sejarah Dalam Babad Dermayu

Oleh Muhammad N. Hata

Sejak aliran postrukturalisme meruntuhkan paradigma struktur bangunan modernisme yang menjalar ke segala aspek, nalar dikotomis dan prioritas pada yang sentral (bukan periveri) semakin menjauh dari ranah dinamika intelektual mutakhir. Karena implikasi yang ditimbulkannya yang tidak manusiawi dan klaim kebenaran (truth claim) yang sepihak. Model pemikiran demikian kini tengah mengalir kemana-mana, salah satunya adalah karya sastra.

Kebenaran sastra dan kebenaran sejarah tidak dapat dihadapkan secara konfrontatif, kedua kebenaran ini memiliki porsinya sendiri-sendiri atau parameternya masing-masing dan memiliki struktur logika yang berlainan pula. Namun pada segi-segi tertentu, tidak sedikit kaum sejarawan mencaplok beberapa poin yang ada dalam karya sastra. Sastra yang dimaksud adalah sastra klasik. Seperti kisah penaklukan beberapa kerajaan yang berjumlah 48 oleh Sultan Agung, dan perjalanannya sewaktu masih muda yang mana dalam logika manusia modern sulit dicerna, yaitu dalam pertemuannya dengan Nyi Roro Kidul -membawa tari serimpi-, Imam Syafi’i di Mekkah -membawa apem/ cimplo-, dan lain-lainnya. (Babad Nitik).

Persoalan benar dan tidaknya cerita tersebut, itu hanya sebuah karya sastra, sebuah imajimanasi manusia adiluhung, dan sebagai cerminan zamannya. Namun seringkali dijadikan sumber referensi oleh sekian banyak sejarawan lalu dicari legitimasinya hingga terciptalah sejarah, dan dinikmati oleh sekian banyak manusia. Inilah kebenaran sejarah yang masuk ke pikiran kita, sebuah kebenaran hasil dari sortiran karya sastra klasik atau kebenaran fiksi.

Kebenaran Sejarah Dermayu

Begitu banyak genre sastra di tanah air, salah satunya babad, yang dikategorikan sebagai karya sastra sejarah, yaitu karya sastra yang banyak memuat aspek kesejarahan selain warna mistisnya yang kental. Sisi kesejarahan inilah yang seringkali dijadikan rujukan oleh sejarawan. Begitu juga dengan Babad Dermayu.

Indramayu secara teritorial geografis berada di wilayah Jawa Barat. Penempatannya dalam budaya berada diantara Jawa dan Pasundan, sehingga menjadi identitas yang mandiri. Dipandang dari sudut karya sastra aroma Pajajaran dan Jawa masih sangat kental sebagai implikasi dari dinamika kesusastraan pada masa itu. Namun luas wilayah Indramayu, pada masa perjalanan Wiralodra (Abad XVI) dan sebelumnya berbeda dengan luas wilayah sekarang.

Seperti dari segi penokohan, yaitu Nyi Endang Darma Ayu ketika bertempur melawan Pangeran Guru beserta 24 pasukannya, lalu disusul dengan kedua kakak dan adik wiralodra, dan terakhir dengan Wiralodra Sendiri. Jejak langkah tokoh ini memiliki banyak persamaan dengan Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi, putri raja Pajajaran ketika terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada, yang diperingati sebagai perang Bubat. Yaitu tumpahnya darah dan air mata kedua belah pihak di Palagan Bubat sebagai penyempurna sumpah palapa Patih Gajah Mada. Peristiwa ini dikenang dalam Kidung Sundayana. Sementara di Kali Cimanuk nama tempat itu di ambil dari tokoh perempuan dalam Babad tersebut, yaitu Darma Ayu atau Dermayu.

Babad Dermayu oleh beberapa komunitas daerah Indramayu seringkali dijadikan hanya sebagai sejarah, kendatipun di dalamnya memang ada unsur sejarahnya, namun sisi kesusastraan atau fiksinya juga tidak dapat dinafikan. Sementara dari sudut karya sastra jarang sekali diangkat ke ruang public (public sphere) sesuai dengan konteks atau kapasitasnya sebagai karya sastra. Mayoritas karya sastra dari segi struktural terkait dengan karya sastra yang lain. Oleh karena Babad Dermayu adalah sebuah karya sastra, maka dalam pembacaannya tidak dapat lepas begitu saja dari karya sastra yang lain. Teks ini mempunyai jalinan teks dengan teks lain yang menurut terminologi Julia Kristeva disebut dengan interteks.

Genre sastra klasik yang berbentuk prosa seperti hikayat, bo’, legenda, babad dll, bercerita tentang asal-usul. Setiap daerah di bumi nusantara memiliki asal-usul. Begitu juga dengan Indramayu. Biasanya, cerita asal-usul ini dihubungkan dengan alam metafisis, gaib, sakral, alam dewa-dewa dan sarat dengan nuansa magis. Warna demikian lebih kental di Jawa, yang berbeda dengan di Melayu, yang lebih banyak memuat sisi kesejarahannya, bahkan sisi mitologisnya hampir tak tampak sama sekali.

Penokohan dalam setiap karya sastra klasik yang genrenya prosa, kebiasaan yang sering muncul, tokoh sentralnya dihubungkan dengan tokoh besar lain pada masa sebelumnya. Seperti dalam Babad Dermayu seringkali tokoh utamanya dikaitkan dengan kebesaran Majapahit, keemasan Demak dan warna Pajajaran, sehingga mengaburkan sisi kesusastraan dan terangkat kebenaran sejarah, melegitimasi kebenaran tokoh –meski mitos- dalam sastra klasik. Ini tidak hanya dilakukan agar keagungan kepala dukuh, suku atau kerajaan dapat mengalir ke muara kerajaan yang menghubungkannya atau supaya kebesarannya sama dengan raja besar lain.

Tidak sedikit orang menyatakan bahwa tokoh dalam babad Dermayu adalah mitos, baik tokoh pertama, kedua ketiga atau ketiga. Namun bukan berarti bahwa mitos tidak penting, karena pada dasarnya semua masyarakat –pra modern, modern, dan pasca modern- itu sadar atau tidak sadar sangat membutuhkan sekali yang namanya mitos. Tidak terkecuali dengan masyarakat Indramayu. Mitos sendiri dalam fungsinya ambivalen, pada satu sisi dapat dijadikan pegangan oleh masyarakat setempat. Pada sisi yang lain, seringkali dijadikan sebagai legitimasi penguasa.

Itulah Babad Dermayu, dalam kapasitasnya sebagai karya sastra, pada prinsipnya memiliki kebenarannya sendiri, tidak harus dikontraskan dengan kebenaran sejarah. Keduanya tidak ada hubungan langsung.

Namun yang perlu dicermati, ini adalah sebuah maha karya yang mewakili zamannya. Ini adalah episteme masyarakat Indramayu pada pada masa dimana orang Indramayu berpengetahuan tinggi. Mampu mendesain sejarah dan mitos menjadi satu kesatuan utuh yang dapat diterima oleh semua golongan. Hal ini di manifestasikan dengan adanya beberapa versi –versi Babad Cirebon II, versi Kertasemaya, versi di daun lontar dan versi lainnya-, yaitu bahwa Babad Dermayu dalam perjalanannya digemari oleh masyarakat.[] Wallahu A’lam bi al-Soab.

Muhammad N. Hata,

Penulis adalah Mahasiswa Sastra, Filologi UI

Catatan : Terima kasih atas kiriman tulisan karya Anda. Tentang tulisan Anda yang berjudul "Design Demokrasi dan Dinamikanya" telah dimuat di blog pendopoindramayu.blogspot.com