Selasa, 29 Maret 2011

88,8 Persen Sekolah Tak Lampaui Mutu Standar

Selasa,

29 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

88,8 Persen Sekolah Tak Lampaui Mutu Standar

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Sampai saat ini, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Pada kondisi itu, pemerintah justru gencar menggelontorkan dana untuk menciptakan rintisan sekolah bertaraf internasional.

Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal (SPM), sedangkan 48,89 persennya pada posisi SPM. Hanya 10,15 sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan. Pemerintah menggenjot rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI) 0,65 persen.

Kondisi itu terungkap dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan Komisi X DPR di Jakarta, Senin (21/3) malam. Rapat membahas dana alokasi khusus, postur anggaran pendidikan 2010, persiapan ujian nasional, hingga SBI.

Pada jenjang pendidikan dasar, hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang SD, baru 3,29 persen dari 146.904 sekolah yang masuk kategori sekolah standar nasional (SSN) atau sekolah ideal.

Sebanyak 44,84 persen layanan pendidikan SD bahkan di bawah SPM. Sebanyak 51,71 persen lainnya baru masuk kategori standar minimal.

Pada jenjang SMP, 28,41 persen dari 34.185 sekolah masuk kategori SSN. Lainnya, 26 persen SMP masuk kategori di bawah SPM dan 44,54 SMP memenuhi SPM.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar memuat ketentuan minimal yang harus dipenuhi sekolah. Untuk lokasi SD, misalnya, mesti terjangkau jalan kaki maksimal 3 kilometer. Sementara untuk SMP 6 km.

Dalam satu rombongan belajar SD, maksimal siswa 32 orang, sedangkan SMP 36 orang dan harus ada ruang kelas dilengkapi meja dan kursi sesuai jumlah siswa. Kenyataannya, banyak sekolah berjubel siswa dengan mebeler tak memadai.

Guru di SD minimal 6 orang. Di SMP, satu guru untuk tiap mata pelajaran. Itu pun belum bisa dipenuhi. Soal buku teks yang harus disediakan sekolah hingga kini belum terpenuhi.

Theresia EE Pardede (Fraksi Partai Demokrat) mempertanyakan kesenjangan tajam itu. ”Kalau buru-buru mengejar RSBI, kesenjangan makin tajam,” katanya.

Menurut Nurhasan Zaidi (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), jika sekolah di kategori SPM banyak, mesti ada skala prioritas. ”Lompatan ke RSBI menciptakan ketimpangan yang menjadi-jadi. Apalagi jika yang dikejar cuma agar siswa jago bahasa Inggris. Jepang justru menerjemahkan buku asing ke bahasa Jepang untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.

Mendiknas mengatakan, tiap sekolah harus naik kelas. ”Kami tetap mengembangkan SBI, tetapi tentu dengan jaminan mutu yang diawasi ketat,” kata Mohammad Nuh. (ELN)***

Source : Kompas, Rabu, 23 Maret 2011

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • Fachrizal Daniel

Kamis, 24 Maret 2011 | 08:25 WIB

Konsep Pendidikan Nasional sebenarnya udah jelas dan terang benderang, namun implementasi yang masih gelap gulita (baca : meraba-raba)!

Balas tanggapan


  • UNTUNG PURNOMO

Rabu, 23 Maret 2011 | 08:02 WIB

RSBA saya kira lebih baik bagi dunia pendidikan di Indonesia, rintisan sekolah berstandar akhirat.

Balas tanggapan


  • Yan lim

Rabu, 23 Maret 2011 | 22:41 WIB

ga guna , harap surga akhirat tp ciptakan kebodohan di dunia . Uda ga zaman omg akhirat2 , emg maw ketinggalan trus .

Balas tanggapan

BOS : SDM Daerah Dinilai Tak Mampu Tangani

Senin,

28 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)

SDM Daerah Dinilai Tak Mampu Tangani

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Demi percepatan penyaluran dana bantuan operasional sekolah, pemerintah pusat akan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di daerah. Kemampuan daerah dinilai sumber keterlambatan penyaluran dana itu.

”Apa susahnya? Mekanisme ada, uang sudah di daerah, penerima, dan form pengisian jelas. Kalau mau, bisa dilembur, diajari. Pasti bisa. Tolong beri perhatian khusus BOS. Kalau tidak bisa, tanya daerah lain,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Selasa (22/3).

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan, tak alasan lambat menyalurkan dana BOS. Daerah yang lambat terancam sanksi administrasi. ”Tolong daerah segera mengacu ke Peraturan Mendiknas No 37/2010. Segera cairkan dan salurkan karena sudah di ambang pintu,” katanya.

Mendiknas membantah anggapan bahwa sumber persoalan pada perundang-undangan atau mekanisme penyaluran. Alasannya, semua data jelas, seperti data siswa, sekolah, dan nomor rekening sekolah. Tata cara penggunaan dana BOS pun dirinci pada Permendiknas No 37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. ”Masalah di penyaluran,” katanya.

Menurut Indonesia Corruption Watch, akar masalah keterlambatan penyaluran dana BOS justru berawal dari Permendiknas No 37/2010. Tercatat, hingga Selasa sore, baru 276 dari 497 kabupaten/kota yang menyalurkan dana BOS ke sekolah.

Menurut Mendiknas, mekanisme baru itu mematuhi UU No 10/2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011. Kewenangan pendidikan dasar di daerah karena fisik sekolah ada di daerah. (LUK)***

Source : Kompas, Rabu, 23 Maret 2011

Senin, 28 Maret 2011

BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH : SDM Daerah Dinilai Tak Mampu Tangani

Senin,

28 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH

SDM Daerah Dinilai Tak Mampu Tangani

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Demi percepatan penyaluran dana bantuan operasional sekolah, pemerintah pusat akan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di daerah. Kemampuan daerah dinilai sumber keterlambatan penyaluran dana itu.

”Apa susahnya? Mekanisme ada, uang sudah di daerah, penerima, dan form pengisian jelas. Kalau mau, bisa dilembur, diajari. Pasti bisa. Tolong beri perhatian khusus BOS. Kalau tidak bisa, tanya daerah lain,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Selasa (22/3).

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan, tak alasan lambat menyalurkan dana BOS. Daerah yang lambat terancam sanksi administrasi. ”Tolong daerah segera mengacu ke Peraturan Mendiknas No 37/2010. Segera cairkan dan salurkan karena sudah di ambang pintu,” katanya.

Mendiknas membantah anggapan bahwa sumber persoalan pada perundang-undangan atau mekanisme penyaluran. Alasannya, semua data jelas, seperti data siswa, sekolah, dan nomor rekening sekolah. Tata cara penggunaan dana BOS pun dirinci pada Permendiknas No 37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. ”Masalah di penyaluran,” katanya.

Menurut Indonesia Corruption Watch, akar masalah keterlambatan penyaluran dana BOS justru berawal dari Permendiknas No 37/2010. Tercatat, hingga Selasa sore, baru 276 dari 497 kabupaten/kota yang menyalurkan dana BOS ke sekolah.

Menurut Mendiknas, mekanisme baru itu mematuhi UU No 10/2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011. Kewenangan pendidikan dasar di daerah karena fisik sekolah ada di daerah. (LUK)***

Source : Kompas, Rabu, 23 Maret 2011

Selasa, 22 Maret 2011

Perbaikan Pipa Bocor Sempat Mengganggu Jalur

Selasa

22 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Perbaikan Pipa Bocor Sempat Mengganggu Jalur

PERBAIKAN PIPA PDAM – Perbaikan pipa PDAM “Tirta Darma Ayu” Indramayu yang melintasi Jalan Bima Basuki Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat masih berlangsung hingga Selasa (22/3/2011) sore. Perbaikan pipa ini terlihat sempat mengganggu jalur lalu-lintas di wilayah itu. Dan tampaknya, sudah sekitar dua pekan revitalisasi pipa yang bocor tersebut belum rampung. Dalam gambar, terlihat para pekerja yang juga karyawan PDAM “Tirta Darma Ayu” Indramayu tengah bekerja. (Satim)*** Foto-foto : Satim

KANTOR BKP INDRAMAYU

Senin

21 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE












KANTOR BKP INDRAMAYU Kantor Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Kantor ini terletak di Jalan Raya Terusan Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu (dekat Terminal Sindang). (Satim)*** Foto-foto : Satim

SMA NEGERI 1 SINDANG (RSBI)

Senin

21 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

SMA NEGERI 1 SINDANG (RSBI) – Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, satu-satunya sekolah lanjutan tingkat atas yang lebih dulu berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di “Kota Mangga” Indramayu. Izin RSBI juga diperoleh SMP Negeri 2 Sindang sejak tahun 2006. Gambar di atas memperlihatkan bangunan SMA Negeri 1 Sindang dari kejauhan. (Satim)*** Foto : Satim

Minggu, 13 Maret 2011

Dua Kementerian Tangani Pendidikan Kebangsaan

Jumat,

11 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Dua Kementerian Tangani Pendidikan Kebangsaan

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Dalam Negeri memilih Universitas Indonesia sebagai penyelenggara pusat pendidikan kebangsaan bekerja sama dengan Program Pembangunan PBB.

”Pusat Pendidikan Kebangsaan ini akan jadi mitra melaksanakan kajian-kajian sehingga kita tahu Indonesia ke depan seharusnya seperti apa,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam penandatanganan nota kesepahaman Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan Nasional tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kebangsaan di Jakarta, Senin (7/3).

Penyelenggaraan pendidikan kebangsaan sejalan dengan agenda pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Institusi pendidikan itu diharap menghasilkan metode dan pendekatan demi meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berdemokrasi serta berbangsa.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengakui, pusat pendidikan kebangsaan penting karena dalam berbangsa dan bernegara selalu ada dinamika sosial dan politik. ”Pendidikan kebangsaan sangat diperlukan,” katanya.

Rektor UI Gumilar R Somantri menyebutkan, negara ini perlu terus membangun demokrasi yang sejalan dengan nilai universal dan Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa.

”Pengembangan pendidikan kebangsaan bukan hanya untuk membangun generasi baru yang cinta bangsa, serta para politisi yang tahu praktik politik beretika. Namun, wadah ini mesti jadi inspirasi untuk membawa pemikiran inovatif yang membawa bangsa beradaptasi menghadapi tantangan ke depan dalam koridor Pancasila,” katanya.

Sebenarnya, Indonesia punya nilai-nilai sendiri untuk maju seperti negara lain, tetapi belum mengembangkannya dalam format yang tepat. ”Bangsa ini harus tahu mau bagaimana. Harus punya ukuran, standar, dan peraturan jelas dengan mengkaji apakah betul Pancasila yang menyinari batang tubuh peraturan yang ada,” kata Gamawan. (ELN)***

Source : Kompas, Selasa, 8 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • saafroedin bahar

Rabu, 9 Maret 2011 | 04:43 WIB

Semangat kebangsaan memang memerlukan penyegaran setiap hari, demikian Ernest Renan, sehingga adanya pusat pendidikan kebangsaan ini patut kita sambut baik. Namun ada sedikit catatan : semangat kebangsaan tidak hanya bisa dibina melalui pendidikan, tetapi juga -- bahkan lebih utama -- melalui kinerja pemerintahan negara yang dibentuk berdasar semangat kebangsaan itu, yang benar-benar dapat dirasakan oleh Rakyat banyak sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara.

Balas tanggapan


  • riza nur ubaidillah

Selasa, 8 Maret 2011 | 19:25 WIB

terkesan utopis....

Balas tanggapan

Izin Baru RSBI Dihentikan

Jumat,

11 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Izin Baru RSBI Dihentikan

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional mulai tahun 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional yang izinnya diberikan pada 2006-2010.

”Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam acara ”Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan” yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3).

Pemerintah juga sedang menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia. Fasli mengatakan, dari kajian sementara, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim.

RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal, berkisar Rp 15 juta dan uang sekolah sekitar Rp 450.000 per bulan. Di sisi lain, alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI.

Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen.

Adapun soal kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level notice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary.

Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah.

Fasli mengatakan, SBI bukanlah tujuan akhir. ”Jadi, tidak ada target Indonesia mesti punya berapa banyak SBI. Kami memfasilitasi sekolah untuk jadi RSBI dan SBI karena itu amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi tentu nanti dibuat aturannya yang lebih baik lagi,” katanya.

Dari RSBI yang ada, kata Fasli, akan dievaluasi secara ketat. Ada RSBI yang nanti dijadikan SBI, ada yang tetap RSBI, dan ada yang diturunkan kembali menjadi sekolah reguler.

Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Slamet mengatakan, SBI yang paling penting mutunya. Jika sekolah sudah merasa unggul, pengayaan untuk menjadi SBI tidak harus mengambil dari negara lain. ”SBI itu mestinya tetap mengutamakan keunggulan lokal, karakteristik Indonesia, regional, dan global,” katanya.

Hywel Coleman, konsultan di British Council, yang juga pengajar di Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, RSBI tidak harus menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. ”Menyiapkan siswa berwawasan global, jangan diartikan sempit dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah,” ujarnya.

Menurut Coleman, globalisasi juga jangan diartikan siswa harus bisa bersaing dengan siswa dari negara lain. ”Di dunia global, sekolah internasional justru harus menyiapkan diri sebagai mitra atau sahabat negara lain. Sekolah internasional harus diartikan sebagai upaya sekolah menyiapkan siswa untuk bisa hidup bersama dalam perbedaan dan keanekaragaman,” katanya. (ELN)***

Source : Kompas, Kamis, 10 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 10 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • moch syahiful

Jumat, 11 Maret 2011 | 09:05 WIB

RSBI cenderung membeda-bedakan pendidikan yang seyogyanya dapat dinikmati semua kalangan,

Balas tanggapan


  • supriyono koempoel

Kamis, 10 Maret 2011 | 19:25 WIB

Memang aneh negeri ini...disetiap provinsi..kabupaten/kota dan bahkan di seluruh kecamatan sudah ada pejabat dari dinas pendindikan...lha kok wakil menteri baru tahu tentang kelemahan RSBI...wah...jadi selama ini cuma magata ya...alias makan gaji buta..

Balas tanggapan


  • nana suryana

Kamis, 10 Maret 2011 | 17:27 WIB

RSBI/SBI tidak sesuai dengan konsep mencerdaskan kehidupan bangsa sebab dengan biaya yang tinggi justru telah terjadi kapitalisme di bidang pendidikan...masalah kualitas memang lebih dari sekolah biasa. Tapi yang perlu difikirkan apakah SBI dan RSBI bisa menjangkau masarakat level bawah dengan tanda kutif..artinya bisa di akses oleh siswa tak mampu/miskin yang berprestasi.Ingat kepintaran bukan hanya milik orang kaya saja...Allah menganugrahkah kepintaran akal kepada semua manusia.Tolong pemerintah pikirkan konsep pendidikan yang cocok untuk masyarakat Indonesia...bukankah pendidikan yang ideal itu untuk menghasilkan tingkah laku sikap mental dan moral yang baik.

Balas tanggapan


  • AGUS SETIAWAN

Kamis, 10 Maret 2011 | 16:36 WIB

Iya jadi bukan sekolah berbiaya internasional (SBI), tetapi mutunya sama saja dengan sekolah biasa.

Balas tanggapan


  • Novi Adi

Kamis, 10 Maret 2011 | 15:26 WIB

Selain SBI (sekolah berkedok international), yg perlu benar2 dihentikan adalah model2 ujian masuk mandiri di PTN, karena ini sami mawon dg SBI, alias diskriminasi kaya miskin doang.

Balas tanggapan


  • Reza Mago

Kamis, 10 Maret 2011 | 12:09 WIB

sudah tahu konsep imperialisme kok dipakai?ngomong tinggi soal nasionalisme dan pancasila,tapi terkesan tidak paham sama sekali tentang hal seperti ini.apa suda keebakan denan demokrasi liberal yg terjadi saat ini.munafik bila kita bilang demokrasi pancasila.karena fakta tidak berkata demikian

Balas tanggapan


  • Lie thongspeed

Kamis, 10 Maret 2011 | 10:14 WIB

ha nggeh leres meniko kang mas...SBI mestinya meningkatkan mutu pendidikan yang semakin merakyat dan membangun karakter mendasar yang ber-Indonesia raya bukan memindahkan penjajahan di dalam kelas atau sekolah.

Balas tanggapan


  • aloys susilarto

Kamis, 10 Maret 2011 | 10:11 WIB

Setelah ada gugatan dari beberapa pihak yg menyangsikan keberhasilan RSBI dan SBI. sampe tuntutan mundur Mendiknas, baru terungkap bahwa pelaksanaan program tsb memang tdk sesuai yg diharapkan.Program tsb sebaiknya sgr di perbaiki dan disempurnakan, shg orangtua yg telah membyar mahal , tdk merasa dirugikan. Selesaikan periode sekolah yg 3 th, kemudian evaluai . bisa di teruskan, di tutup atau di buka terbatas. Ini suatu pelajaran utk pembuat program2 baru, harus di uji coba terbatas dulu sebelum di buka secara nasional.

Balas tanggapan


  • Leo Agung Christanto

Kamis, 10 Maret 2011 | 10:02 WIB

iyalah...bikin ruwet aja....ujung2nya hasilnya juga sama...cuman gengsi doang..................

Balas tanggapan


  • nugroho nugroho

Kamis, 10 Maret 2011 | 06:19 WIB

Dari awal memang RSBI kurang didukung dgn konsep yg jelas dan di tingkat operasional terjadi banyak penyimpangan. pemerintah tidak memiliki mekanisme kontrol mutu dan peningkatan mutu yg sistematik dan terprogram

Balas tanggapan

Sekolah "Siasati" RSBI

Minggu

13 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Sekolah "Siasati" RSBI

Suasana belajar-mengajar di SDN 11 Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (10/3). Sekolah ini berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sejak tiga tahun terakhir. Setiap kelas pada program RSBI hanya diisi 28 murid dan diasuh dua guru.(KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)***

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Kualitas guru di sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional sebenarnya banyak yang belum memenuhi syarat, terutama kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Meski demikian, sejumlah sekolah menyiasatinya dengan beragam cara.

Sejumlah sekolah, misalnya, menyiasati rendahnya kemampuan guru berbahasa Inggris dengan merekrut guru-guru honorer untuk mengajar berbagai mata pelajaran dalam Bahasa Inggris. Tenaga honorer yang lebih disukai umumnya sarjana lulusan luar negeri karena lebih fasih berbahasa Inggris.

Di sekolah lainnya, guru yang seharusnya mengajar dalam Bahasa Inggris hanya menggunakan bahasa tersebut saat membuka pelajaran dan mengakhiri mata pelajaran. Sementara pelajaran disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Dari penelitian dan evaluasi yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional terungkap, lebih dari 80 persen guru dan kepala sekolah kemampuan bahasa Inggris-nya sangat rendah. Berdasarkan hasil test of english for international communication (TOEIC), para guru dan kepala sekolah berada di level novice (100-250) dan elementry (255-400).

Kemampuan berbahasa Inggris yang rendah justru ada di guru-guru Matematika dan sains (Fisika, Biologi, dan Kimia). Padahal, di RSBI seharusnya mereka menyampaikan pelajaran dalam bahasa Inggris.

Dari sisi jenjang pendidikan, di tingkat SD kurang dari 50 persen kepala sekolah yang berpendidikan S-2. Sementara di tingkat SMP/SMA/SMK, sekitar 65-80 persen kepala sekolah sudah S-2.

Khusus untuk guru, di tingkat SD baru sekitar 10 persen yang berpendidikan S-2. Adapun guru SMP/SMA/SMK yang berpendidikan S-2 sebanyak 18-23 persen.

Meski RSBI banyak yang belum memenuhi syarat, kenyataannya sekolah yang bermetamorfosis menjadi RSBI melonjak pesat. Dalam waktu kurang lima tahun, sudah ada 1.329 SD, SMP dan SMA/SMK berstatus RSBI.

Pengajuan baru

Lardi, Kepala Seksi Manajemen SMP dan SMA Dinas Pendidikan DKI Jakarta, mengakui jika masalah sumber daya guru di RSBI masih menghadapi kendala, utamanya dalam penguasaan bahasa Inggris. ”Memang masih terbatas dalam penggunaan bahasa Inggris. Supaya murid tidak bingung, saat menjelaskan konsep-konsep pelajaran menggunakan pengantar bahasa Indonesia,” ujarnya.

Pada kenyataannya, kendala tersebut tidak menghalangi Dinas Pendidikan DKI memperbanyak RSBI. Hingga tahun 2010 sudah ada 40 sekolah RSBI. Pada tahun ini, sebenarnya DKI mengajukan enam sekolah lagi, tetapi nasibnya tak jelas.

Untung Suwantoro, Kepala SD RSBI 11 Jakarta, mengatakan sejak dibuka kelas internasional untuk kelas 1-3 SD tahun 2007, minat orangtua murid, guru, dan komite sekolah untuk mengembangkan RSBI sangat baik. ”Kemampuan guru dalam berbahasa Inggris memang harus ditingkatkan. Ini tantangan buat kami,” ujarnya.

M Nur, Kepala SMP RSBI 19 Jakarta, mengatakan, untuk mengatasi lemahnya kemampuan guru berbahasa Inggris, guru-guru honorer yang fasih berbahasa Inggris diangkat. (ELN)***

Source : Kompas, Sabtu, 12 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • Mitchel Vinco

Sabtu, 12 Maret 2011 | 10:47 WIB

"untuk mengatasi lemahnya kemampuan guru berbahasa Inggris, guru-guru honorer yang fasih berbahasa Inggris diangkat" Wah, wah... bagaimana dengan nasib guru-guru tetap? Dimutasi? Atau dicuekin dan diberi jam sedikit, sehingga kesempatan sertifikasi pun sirna? Bukan ini tujuan pendidikan sebenarnya kan?!

Balas tanggapan


  • surjanto budiwalujo

Sabtu, 12 Maret 2011 | 08:16 WIB

Pejabat Kemdiknas dari pusat sampai daerah menyederhanakan bahwa syarat SBI adalah 8 x Standar Nasional Pendidikan. Benar-benar aneh Siapa sih yang mengakui lulusan SBI dari Indonesia ?

Balas tanggapan


  • TEGUH WIYONO

Sabtu, 12 Maret 2011 | 07:51 WIB

Sekolah yang akan dijadikan RSBI sebaiknya memiliki guru yang level kemampuan berbahasa Inggrisnya intermediate, minimal ada 75% dari jumlah guru di sekolah tersebut. Sehingga sekolah harus terlebih dahulu berusaha mempersiapkan gurunya menguasai Bahasa Inggris sebelum ditetapkan sebagai RSBI.

Balas tanggapan


  • Muhammad Suaidi

Sabtu, 12 Maret 2011 | 07:19 WIB

Sekolah telah menjadi pelaku kebohongan. Ia telah membohongi masyarakat, negara, dan dirinya sendiri. Kalau sekolah telah menjadi pelaku kebohongan, bagaimana dengan anak-anak kita yang belajar di sana?

Balas tanggapan

SBI Salah Konsep

Jumat

11 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

SBI Salah Konsep

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Terjadi salah konsep dalam pendirian sekolah bertaraf internasional di Jakarta dan daerah lain. Karena itu, yang terjadi bukan kemajuan kualitas pendidikan, tetapi terjadi diskriminasi pendidikan, penyediaan sarana yang berlebihan, dan model pendidikan yang keliru.

Demikian pokok persoalan yang mengemuka dalam simposium ”Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan” yang diselenggarakan British Council di Jakarta, Kamis (10/3).

Hermana Soemantri, dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat, yang juga anggota Tim Perumus Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), menyatakan terkejut dengan perkembangan rintisan SBI yang jumlahnya mencapai 1.329 sekolah dalam waktu empat tahun terakhir. Namun, pendirian RSBI itu banyak yang melanggar panduan, misalnya kemampuan guru dalam berbahasa Inggris masih rendah tetapi dipaksa mengajar dalam bahasa Inggris.

Uang sekolah di RSBI juga sangat mahal, sehingga menimbulkan diskriminasi pendidikan karena hanya siswa dari keluarga kaya yang sanggup membayar. Ketentuan kuota bagi siswa miskin juga banyak tak dipenuhi.

”Terjadi salah kaprah sehingga RSBI hanya status. Kualitas pendidikan justru masih jauh dari harapan,” katanya.

Hermana menambahkan, pada awal perencanaan, SBI itu bukan mengubah status sekolah yang sudah ada. ”Namun, sejak awal mendirikan SBI dengan kualitas pendidikan dan guru di atas standar yang ditetapkan,” ujarnya.

Konsep tak jelas

Hywel Coleman, konsultan pendidikan dari British Council dan pengajar di Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, RSBI salah konsep sejak awal. Mestinya Indonesia menyiapkan siswa berwawasan internasional dengan bangga terhadap budaya bangsanya. ”Bukan dengan mengubah cara penyampaian pelajaran menggunakan bahasa Inggris,” kata Coleman.

Berdasarkan kajian serupa di Korea dan Thailand, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah ternyata tidak efektif sehingga kemudian ditinggalkan.

Satria Dharma, Ketua Umum Guru Indonesia, mengatakan, Malaysia yang menjalankan program dan pembelajaran Matematika dan Sains dalam bahasa Inggris sejak tahun 2003 menilai program itu gagal dan dihapus.

Nilawati Hadisantosa, pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, mengatakan, pemerintah harus segera mengkaji dampak RSBI yang menimbulkan kesenjangan sosial. (ELN)

Source : Kompas, Jumat, 11 Maret 2011

KOMENTAR

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • AGUS SETIAWAN

Jumat, 11 Maret 2011 | 08:08 WIB

Di sekolah RSBI dibiayai pemerintah lebih besar, masyarakatpun membayar mahal/Sekolah Berbiaya Internasional(SBI) tetapi mutunya tidak jauh beda dengan sekolah standar nasional, hal ini menimbulkan kesenjangan karena yang bisa sekolah cuma anak orang kaya saja.

Balas tanggapan


  • fransisca pruwiwidadmi

Jumat, 11 Maret 2011 | 06:58 WIB

memang perlu dikaji ulang untuk pelaksanaan di negara kita dengan pelaksanaan RSBI yang tidak sesuai misi visi awal justru memberatkan guru,siswa dan masyarakat

Balas tanggapan


  • Eko Nugroho Latif

Jumat, 11 Maret 2011 | 06:44 WIB

Sudah, dihapus saja, wong orang Inggris-nya saja bilang salah kaprah... tapi nanti kantong beberapa orang kempis lagi deh

Balas tanggapan


  • Dino Sudana

Jumat, 11 Maret 2011 | 05:17 WIB

Pak........... mengertikan para pemegang kewenangan di bidang pendidikan di negeri ini? RSBI di pahami sebagai proyek, bukan sebagai perwujudan misi bangsa. Yang penting uang dapat banyak.. PROYEK.

Balas tanggapan


Konsep RSBI Tak Jelas

Kamis

10 Maret 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Konsep RSBI Tak Jelas

JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional yang dimulai sejak 2006. Karena konsepnya tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.

Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan.

Proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dalam kenyataannya menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas.

Demikian kesimpulan dari studi awal proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Tergabung dalam koalisi ini, antara lain, serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Secara terpisah, praktisi pendidikan Mochtar Buhori, Jumat (5/11/2010), mengatakan, konsep ”internasional” dalam RSBI tidak jelas. ”Standar internasional itu apanya? Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi alasan pembenar bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Ini keliru besar,” ujarnya.

Dana melimpah

Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, mengatakan, subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar per tahun. Namun, ironisnya, pemerintah menutup mata ketika sekolah melakukan pungutan tanpa batas kepada orangtua siswa.

Dari hasil penelitian Koalisi Pendidikan, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.

Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.

Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.

Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, menjelaskan, secara konsep, program RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Program RSBI tidak berkontribusi signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. ”Pemerintah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya dalam menyediakan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” kata Lody.

Secara teknis, program RSBI cenderung dipaksakan. Pelaksanaannya pun ”amatiran”, mulai dari sosialisasi, penentuan sekolah pelaksana, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas guru RSBI masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris.(ELN)***

Source : Kompas, Sabtu, 6 November 2010 | 03:00 WIB

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

Dapati Giawa

Sabtu, 6 November 2010 | 12:07 WIB

hentikanlah konsep dan istilah INTERNASIONAL untuk menjadi lebih baik dan berguna buat rakyat. Mulai dari sekolah, rumah sakit, dll. ga usah jadi istilah dalam standarisasi, yang penting tepat, berguna, efisien, melayanid engan sungguh.

Balas tanggapan

Abadullah Basrie

Sabtu, 6 November 2010 | 08:17 WIB

inilah resikonya kalau pendidikan sudah dijadikan bisnis dan dikelola oleh orang pengusaha,pemerintah(DIKNAS) agar lebih ketat melakukan pengawasan terhadap RSBI,karena dengan adanya RSBI dunia pendidikan jadi diskriminatif,seolah-olah pendidikan hanya untuk orang berduit

Balas tanggapan

ahmad abu darin

Sabtu, 6 November 2010 | 08:11 WIB

kalaupun tidak semua kebijakan pemerintah bisa dikatakan hanya mengambil ampas dari modernisasi setidaknya peraturan tentang RSBI menjadi salah satu indikasi kearah situ. proyek RSBI hanya mengedepankan bentuk , bukan esensi dari pendidikan.

Balas tanggapan

maskuri maskuri

Sabtu, 6 November 2010 | 06:19 WIB

pemerintah nampaknya akan lebih mempertahankan kebijakan yang dianggap salah soal RSBI/SBI, dari pada mendengarkan saran dan masukan dari luar yang memang benar. Ini lebih karena mempertahankan popularitas dan rasa malu.

Balas tanggapan

lindawati tanjung

Sabtu, 6 November 2010 | 04:29 WIB

inilah akibatnya kalau kebijakan pemerintah mengadopsi aspirasi kalangan pendidik yang berjiwa pengusaha....pendidikan menjadi sesuatu yang sulit dijangkau dan hanya untuk masyarakat yang berduit....akhirnya para "laskar pelangi" bukan hanya di daerah terpencil saja tapi sudah berada di kota.....beginilah nasib anak2 Indonesia yang kurang beruntung itu hanya bermimpi untuk mendapatkan walau hanya pendidikan dasar

Balas tanggapan