Selasa, 26 April 2011

Soal Bocor, UN Diulang

Selasa,

26 April 2011

EKSPEIDI HUMANIORA ONLINE

Soal Bocor, UN Diulang

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh meninjau kesiapan soal ujian nasional SMP yang akan didistribusikan dari SMP Negeri 5 Yogyakarta, Senin (25/4). Ujian yang menjadi salah satu penentu kelulusan murid SMP tersebut berlangsung serentak mulai Senin kemarin. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)***

GORONTALO, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Ujian nasional untuk siswa SMA dan madrasah Aliyah di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, terpaksa diulang untuk mata ujian Fisika karena terjadi kebocoran soal. Ujian yang seharusnya dilaksanakan Kamis (21/4) diulang sepekan berikutnya pada 28 April.

Polisi masih terus mengusut pihak yang membocorkan soal ujian tersebut. Dari informasi yang dihimpun Kompas, kebocoran soal ujian untuk pelajaran Fisika diketahui dari laporan seorang guru SMA negeri kepada anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Ia mengeluh karena diminta mengisi naskah soal Fisika oleh wakil kepala sekolahnya pada Rabu (20/4) atau sehari sebelum UN Fisika berlangsung.

Anggota DPRD Gorontalo bersama tim panitia UN dan polisi kemudian melakukan penyelidikan. Tidak ditemukan kerusakan segel pada naskah soal. ”Namun, naskah soal yang diserahkan sebagai bukti sama persis dengan naskah asli,” kata Ketua Panitia UN Provinsi Gorontalo Asna Aneta.

Setelah berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Gorontalo, akhirnya ujian nasional Fisika dibatalkan dan dilakukan ujian susulan pada Kamis (28/4) pekan depan.

Ditunda akibat gempa

Di Provinsi Papua dan Papua Barat, pelaksanaan UN tingkat SMP diundur sehari, Selasa (26/4). Hal ini karena di kedua provinsi hari Senin (25/4) ditetapkan sebagai libur perayaan Paskah hari kedua.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala SMP se-Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Ferry Simatuw mengatakan, kemungkinan soal UN bocor relatif kecil karena model soal berbeda dengan daerah lain.

Di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, tiga SMP gagal menyelenggarakan UN hari pertama akibat rangkaian gempa bumi yang mengguncang wilayah itu, Senin. Orangtua yang panik menjemput paksa anak-anaknya karena khawatir terjadi gempa susulan dan tsunami.

Ketiga sekolah itu adalah SMP Negeri 1, SMPN 5, dan SMPN 10. Total peserta UN di ketiga sekolah itu sebanyak 823 siswa. ”Kami tidak bisa berbuat banyak karena orangtua menjemput ke sekolah dan memulangkan anak-anaknya,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Kendari Kasman Arifin.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, keterlambatan distribusi soal masih terjadi. Namun, secara umum penyelenggaraan UN SMP berjalan lancar. Begitu pula di kota-kota lain, seperti Yogyakarta, Bandung, Purwakarta, Garut, Surabaya, Semarang, Padang, dan daerah lain.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan M Aman Wirakartakusumah mengatakan, sekolah yang menghadapi masalah dalam penyelenggaraan UN bisa menyelenggarakan UN susulan.(TIM KOMPAS)***

Source : Kompas, Selasa, 26 April 2011

KOMENTAR

Ada 10 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • Mauli Siahaan

Selasa, 26 April 2011 | 11:12 WIB

Gimana bagi mereka yang jujur, tetapi harus mengulang, dimana letak keadilannya. Kesalahan orang lain harus ditimpakan kepada mereka yang jujur dan bekerja keras. Ingat pak Menteri, para pengawas, guru, dan sekolah ingin semua muridnya lulus dengan cara apapun sehingga akan menghalalkan segala cara. Hari ini (26/04/11) lewat sekilah info di RCTI diberitakan para murid yang sedang ujian nasional sedang asik menyontek tetapi dibiarkan oleh pengawas dengan pura-pura tidak melihatnya. Apakah dengan demikian masih terus mempertahankan UN dengan karakter orang-orang Indonesia seperti ini? Hanya membuang-buang uang yang begitu besar tanpa hasil yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • Marno Sumarno

Selasa, 26 April 2011 | 16:35 WIB

UN itu tambah merusak moral, kecurangan tetap ada. UN adalah bukan sistem evaluasi yang tepat, anehnya pemerintaah bangga, katanya UN tambah bagus kecurangan berkurang. UN itu jangan untuk menentukan kelulusan berapapun prosentasenya, tapi hanya untuk mematakan.

Balas tanggapan


  • komarudin mangunjaya

Selasa, 26 April 2011 | 06:34 WIB

Pesan buat pak Menteri kalau nanti pak Menteri ikut diresufle atau tidak menjabat lagi apa sistem UNAS tidak berubah lagi..? saya amati selama Unas dipegang oleh pak menteri selalu berubah-rubah..contoh kemaren ada ujian ulang kalau peserta tidak lulus..sekarang sistem 40-60 UAS dan UNAS yang menjadi pertanyaan kenapa setiap ganti menteri sistem unas juga ikut berganti..??? apakah pak menteri tidak menyadari semua yang jadi korban siswa dan orang tua..mungkin pak menteri belum punya anak..??? Kami usul tolong kembalikan sistem UNAS kesekolah masing-masing seperti dulu karena otoritas pendidikan yang tau kepala sekolah bukan pak menteri

Balas tanggapan

« 1 2

Sabtu, 16 April 2011

UN 2011 SMA/SMK Digelar 18-21 April

Sabtu, 26 April 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

UJIAN NASIONAL

UN 2011 SMA/SMK Digelar 18-21 April

Editor: Benny N Joewono

Ilustrasi: UN untuk SMA/MK, SMALB, dan SMK dilaksanakan 18-21 April 2011, UN untuk SMP/MTs dan SMPLB: 25-28 April 2011, dan UN untuk SD/MI dan SDLB: 10-12 Mei 2011. (HERU SRI KUMORO/KOMPAS)***

TERKAIT:

BIAK, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Pelaksanaan Ujian Nasional 2010/2011 bagi siswa SMA/SMK atau sederajat se-Kabupaten Biak Numfor, Papua, akan dimulai serentak pada 18-21 April 2011.

"Kegiatan UN 2011 sedikit mengalami perubahan kebijakan di mana jika seorang siswa tak lulus UN 2011 maka yang bersangkutan bisa menempuh ujian nasional pendidikan kesetaraan paket A (setara SD) paket B (setara SMP) sera paket C (setara SMA) atau mengulang kembali pada sekolah yang bersangkutan," ungkap Pelaksana Harian Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Biak, Kamaruddin SPd, Minggu (23/1/2011).

Sesuai kebijakan secara nasional jajaran kementerian pendidikan nasional pada pelaksanaan UN 2010/2011 tidak memberlakukan ujian mengulang bagi siswa tak lulus ujian nasional sebagaimana berlaku pada 2010.

Keputusan Kementerian Pendidikan Nasional tak memberikan kesempatan ujian mengulang, lanjut Kamaruddin, maka peluang siswa yang tidak lulus UN diberikan solusi mengulang sekolah atau mengikuti pendidikan paket guna mencegah murid bersangkutan putus sekolah.

Untuk mendapatkan hasil maksimal pada pelaksanaan UN 2011 jajaran Disdik Biak melalui sekolah di berbagai jenjang pendidikan telah melakukan program pengayaan materi melalui les tambahan mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional 2011.

Dengan adanya les tambahan di setiap sekolah, diharapkan para siswa lebih siap menguasai materi pelajaran yang diberikan guru bidang studi bersangkutan serta mampu meraih prestasi persentase kelulusan siswa lebih besar pada 2011.

Sesuai jadwal Ujian Nasional 2011 untuk jenjang pendidikan SMA, SMALB, dan SMK berlangsung 18-21 April 2011, sementara jadwal UN Susulan SMA/MK, SMALB, dan SMK pada 25-28 April 2011, sedangkan Ujian Praktik Kejuruan untuk SMK paling lambat satu bulan sebelum pelaksanaan UN.

Untuk jadwal Ujian Nasional SMP/MTs, SMP/MTs dan SMP luar biasa dimulai 25-28 April 2011 dan ujian susulan 3-6 Mei 2011, sementara jenjang pendidikan SD/MI sederajat berlangsung 10-12 Mei 2011 dan UN susulan 18-20 Mei 2011.

"Saya imbau siswa SD,SMP dan SMA/SMK se-kabupaten Biak Numfor yang mengikuti UN 2011 dapat meningkatkan frekuensi belajarnya serta memperbanyak latihan menjawab soal-soal mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional mendatang," harap Kamaruddin. ***

Source : Kompas,com, Minggu, 23 Januari 2011 | 11:00 WIB

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • fatana septiyanti

Jumat, 25 Februari 2011 | 19:23 WIB

sejak dari smp, angkatan saya selalu yang menjadi korban kebijakan


  • Itha

Jumat, 18 Februari 2011 | 16:01 WIB

tidakkah ada keputusan yang konsisten mengenai pelaksanaan UN...?!


  • moh bakri

Senin, 24 Januari 2011 | 10:01 WIB

]kenapa kebijakan selalu berubah dan bikin bingung yang dibawah

Utomo Danandjaja : "Istigasah Menjelang UN"

Sabtu,
16 April 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Istigasah Menjelang UN

Oleh Utomo Danandjaja

Istigasah menjelang ujian nasional adalah fenomena yang terjadi setiap tahun menjelang UN.

Kepala sekolah mengajak guru-guru mendampingi para siswa untuk mengikuti istigasah ini dua atau tiga hari, siang-malam, berturut-turut. Fenomena ini menggambarkan kondisi kejiwaan para kepala sekolah yang merasa terancam oleh kegagalan UN yang akan datang. Maka, fenomena istigasah adalah gambaran ketidakberdayaan individu-individu yang pada saatnya memunculkan hasrat untuk melarikan diri, berlindung pada doa istigasah.

Doa istigasah berarti meminta tolong kepada Tuhan, bersifat pribadi, tidak harus dengan suara keras. Doa istigasah oleh guru menggambarkan, guru tak yakin bahwa usaha yang dilakukan selama setahun mendampingi muridnya belajar mempersiapkan UN sudah cukup sehingga harus dilengkapi dengan doa. Alhasil, kegagalan UN yang mungkin terjadi tidak lagi menjadi tanggung jawab guru dan murid yang ujian, tetapi karena Tuhan tidak mau menolong guru dan murid-murid.

UN sudah menjadi ancaman, bukan saja bagi para murid, melainkan juga kepala sekolah dan guru-guru. Dan, rasa terancam ini ditularkan melalui istigasah bersama menjelang UN.

Padahal, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, dua atau tiga hari dibutuhkan sebagai waktu tenang untuk menghadapi UN. Istigasah justru membangunkan rasa cemas muridmurid yang akan menghadapi UN. Para murid gelisah dan tak percaya diri dengan usaha yang sudah mereka lakukan bersama guru.

Mengapa UN bisa demikian mencemaskan, bukan hanya bagi murid, melainkan juga guru dan kepala sekolah? Bagi murid, UN terkait dengan persoalan masa depan, sedangkan bagi kepala sekolah dan guru, UN terkait dengan prestasi.

Pemerintah tidak paham

Sesungguhnya pada 2005 beberapa orangtua, murid, guru, dan pemerhati pendidikan yang menyadari bahwa UN menimbulkan kecemasan dan ketidakberdayaan telah mengadu ke pengadilan negeri. Mereka menggugat bahwa penyelenggaraan UN melanggar hak asasi anak. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan ini. Pemerintah justru naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan terakhir mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasasi ini pun ditolak Mahkamah Agung pada September 2009.

Namun, tahun 2010 Menteri Pendidikan Nasional tetap menyelenggarakan UN, bahkan mempertinggi tensi kecemasan dengan berbagai upaya melibatkan polisi sebagai pengawas dan para pejabat tinggi serta kepala dinas pendidikan wilayah menandatangani akta kejujuran. Janji akan berbuat jujur ini adalah bukti ketidakpahaman para pejabat pendidikan terhadap keputusan Mahkamah Agung.

Keputusan Mahkamah Agung tidak menyalahkan timbulnya kecurangan dalam UN, tetapi menunjukkan bahwa UN adalah praktik yang melanggar hak asasi anak, yaitu rasa aman. Seharusnya yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional bukan mencegah kecurangan dengan mengerahkan polisi dan janji para pejabat, melainkan menghapuskan kecemasan, ketakutan, dan ketidakberdayaan yang tidak hanya dirasakan siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah.

Setiap tahun upaya yang dilakukan hanya mengantisipasi ancaman terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan. Namun, ragam antisipasi tersebut justru dirasakan sebagai ancaman yang mempertinggi kecemasan.

UN adalah pelaksanaan dari Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, ”Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”

Adapun Pasal 58 Ayat (1) adalah pasal yang mengatur evaluasi hasil belajar peserta didik, bukan ”penilaian akhir penyelesaian jenjang pendidikan”. Di sana tertuang, ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Jadi, kebijakan UN sebagai keputusan Mendiknas tidak mempunyai dasar hukum dan bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung.

Walaupun tidak ada aturan hukumnya, UN bisa saja diselenggarakan sebagai evaluasi hasil belajar peserta didik secara nasional. Hanya saja, pola dan mekanisme penyelenggaraannya tidak boleh melanggar hak asasi anak (tidak menyebabkan kecemasan, ketakutan, dan rasa tidak percaya diri).

Kecemasan yang ditimbulkan UN adalah karena UN sebagai alat evaluasi akhir peserta didik untuk pemberian ijazah kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar. Padahal, untuk memperoleh ijazah tersebut peserta didik harus lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan (sekolah) yang terakreditasi, bukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional ataupun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Kewenangan pendidik

Jadi, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Adapun evaluasi untuk memperoleh ijazah diselenggarakan oleh sekolah. Sebetulnya, berangkat dari pesan Pasal 57 Ayat (1) yang berbunyi ”Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional...”, memungkinkan Mendiknas menyelenggarakan UN tanpa menimbulkan rasa terancam atau takut bagi peserta didik.

Jadi, UN diselenggarakan bukan sebagai ujian penyelesaian suatu jenjang pendidikan. Sebab, mutu pendidikan tidak hanya ditentukan dari evaluasi peserta didik, tetapi juga harus dievaluasi lembaga dan program pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Fungsi UN seperti yang sekarang ini terbatas pada pemetaan mutu pendidikan secara nasional.

Selain pilihan waktu untuk menghindari kesan penyelesaian sebuah jenjang satuan pendidikan, perbaikan UN perlu dilakukan pada alat ujinya, yaitu soal. Mutu soal harus dapat mengukur perkembangan kecerdasan.

Pada zaman ebtanas, bentuk soal bukan hanya pilihan ganda. Soal ujian sebanyak 50 soal yang terdiri dari 35 soal pilihan ganda, 5 soal pilihan salah atau benar, 5 soal melengkapi, dan 5 soal esai. Saat itu UN berada di bawah tanggung jawab Direktorat Evaluasi. Saat ini UN terdiri atas 50 soal pilihan ganda dan diselenggarakan oleh BSNP. Setelah ujian diselenggarakan oleh badan independen (BSNP), soal ujian bukannya makin bermutu, malah melanggar hak asasi anak.

Dalam kaitan ini, Mendiknas dituntut punya keberanian melakukan beberapa perubahan. Pertama, penyelenggaraan UN tidak dikaitkan dengan kelulusan penyelesaian suatu jenjang pendidikan. Kedua, UN tidak diselenggarakan pada akhir tahun dan kelas akhir pada satu jenjang pendidikan. Ketiga, UN tidak diembel-embeli ancaman yang menakutkan peserta didik.

Utomo Danandjaja,

Direktur Institute for Education Reform

Universitas Paramadina

Source : Kompas, Sabtu, 16 April 2011

KOMENTAR

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini.


  • heru santosa

Sabtu, 16 April 2011 | 16:44 WIB

Ujian Nasional sebaiknya diselenggarakan dengan tujuan untuk mengetahui prestasi akademik tiap-tiap siswa di sekolah, jadi mestinya tidak lebih hanya sekedar "memotret' saja. Yang selanjutnya perbedaan 'potret akademik' tiap-tiap siswa/sekolah tersebut secara nasional oleh BSNP dipelajari, dibahas dan dianalisis, untuk diusahakan agar tidak terjadi disparitas yang tajam antar sekolah, antar kabupaten/kota, atau antar provinsi di wilayah NKRI. Hal ini dimaksudkan untuk pengendalian mutu pendidikan (akademik) secara nasional di mana masing-masing sekolah berikut siswanya memiliki sertifikat yang kedudukan dan fungsinya bisa semacam TOEFL dalam bahasa Inggris. Jadi UN harus independen dan sama sekali tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa. Dengan demikian maksud pemerintah untuk mengetahui prestasi akademik siswa secara nasional 'apa adanya' masih tetap bisa diwujudkan dan sekolah/siswa akan menghadapi UN secara apa adanya juga sama seperti mereka mau ujian TOEFL (karena tanpa mendapat tekanan dari pihak manapun) sesuai kondisi masing-masing sekolah. Biarkan nantinya para orang tua siswa dan masyarakat yang menilai sekolah-sekolah mana yang unggul dan mana yang tidak. Perlu dicatat pola pikir orang tua siswa/masyarakat saat ini sudah jauh lebih maju.

Balas tanggapan


  • Lyha Ajaya

Sabtu, 16 April 2011 | 10:52 WIB

Ada fenomena panggung sandiwara, seakan-akan UN penting tapi masalah kebocoran dan bantuan pemda, dinas dan kepsek terhadap anak menghadapi ujian sdh rahasia umum turun temurun. Buktikan uji petik ya, agar dongkrat nilai terlihat. Siapa berani?

Balas tanggapan

Selasa, 12 April 2011

Gentong Air Bersih di Indramayu

Selasa,

12 April 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Gentong Air Bersih di Indramayu

GENTONG AIR BERSIH – Dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, pihak Dinas Cipta Karya Kabupaten Indramayu membangun sejumlah gentong air bersih di beberapa desa yang ada di Kota Mangga tersebut pada tahun 2010. Kini, nasib gentong air bersih dan sarana pelengkapnya siapa yang akan merawatnya ? Tampak dalam gambar, kondisi gentong air bersih yang ada di wilayah Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu. Gambar diambil, Sabtu (25/12/2010) sore. (Satim)*** Foto-foto : Satim

Minggu, 10 April 2011

2010, Terdapat 1,3 Juta Anak Belajar di Madrasah

Minggu,

10 April 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Upaya Meningkatkan Mutu Madrasah di Jabar

2010, Terdapat 1,3 Juta Anak

Belajar di Madrasah

BANDUNG, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Status madrasah yang mayoritas berstatus swasta membuat lembaga pendidikan ini sulit untuk meningkatkan mutunya. Jumlah madrasah swasta lebih banyak karena merupakan salah satu jalur pendidikan formal yang tumbuh dan berkembang dari inisiatif masyarakat. Berdasarkan data Kantor Kementerian Agama Jabar, pada 2010 terdapat 1,3 juta anak yang sedang belajar di madrasah, sebanyak 11,5 persen di madrasah negeri dan 88,5 persen di madrasah swasta. Untuk itulah diperlukan peran aktif semua pihak untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah.

Demikian hal ini terungkap dalam diskusi yang bertema “Membangun Sinergi untuk Meningkatkan Mutu Madrasah di Jawa Barat", yang berlangsung di Aula Pikiran Rakyat, Jln. Soekarno-Hatta No. 147, Kota Bandung, Rabu (2/3). Pada diskusi ini hadir Kepala Kanwil Kementerian Agama Jabar Saeroji, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Nanat Fatah Natsir, Ketua YPM Salman Syarif Hidayat, Ketua Persatuan Guru Madrasah (PGM) Jabar Ubay Dilakhoiri, serta para pengelola dan guru madrasah se-Jabar. Diskusi ini merupakan kerjasama Shafira, Kanwil Kemenag Jabar, LPP Salman ITB, PGM, dan Pikiran Rakyat.

Saeroji mengungkapkan, perubahan pada diri peserta didik sangat ditentukan oleh mutu proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan berjalan efektif dan bermutu tinggi jika ditangani oleh guru profesional yang berkualifikasi minimal sarjana. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak guru yang belum lulus S-1.

“Contohnya guru madrasah ibtidaiyah di Kota Bandung, 48,4 persennya belum lulus S-1. Mereka yang lulus diploma dan S-1 ternyata sebagian besar berlatar belakang pendidikan agama Islam, padahal lulusan pendidikan agama Islam bukan berarti guru madrasah,” kata Saeroji. (A-187/das)***

Source : Pikiran Rakyat Online, Rabu, 02/03/2011 - 18:13