BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Khulafaur Rasyidin merupakan
para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa
pemerintahan Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan Radhiallahu Ta’ala
anhum, dan Ali ibn Abi Thalib Karamallahu Wajhahu dimana sistem pemerintahan
yang diterapkan adalah pemerintahan yang Islami karena berundang-undangkan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Nabi Muhammad
Shallallahu’Alaihi Wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan Beliau Shallallahu’Alaihi Wasallam sebagai pemimpin politik umat
Islam setelah Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat.
Nabi Muhammad SAW nampaknya
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah Beliau wafat,
jenazahnya belum segera dimakamkan. Sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar malah
disibukkan berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka menggelar
musyawarah siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin umat Islam pengganti Nabi
Muhammad SAW.
Musyawarah itu
berjalan cukup alot, karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar,
sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat
ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu’anhu terpilih.
Tampaknya, semangat
keagamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat
Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat
Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah
(Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah
saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Muhammad SAW wafat,
untuk menggantikan Beliau dalam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama,
dan kepala pemerintahan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Siapa saja
yang dimaksud dengan Khalifaur Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin berikut
biografi singkatnya ?
2. Gerakan
dakwah apa saja yang beliau lalukan demi terjaganya ajaran Islam hingga
sekarang ?
3. Bagaimana sistem politik pada masa Khulafaur Rasyidin
?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah “Dakwah Khulafaur Rasyidin” ini adalah :
1.
Mengetahui sejarah
pembentukan Khulafaur Rasyidin.
2.
Mengetahui siapa saja
Khulafaur Rasyidin dan bagaimana sistem politik pemerintahannya.
3.
Sebagai bahan
pelajaran dan kajian ilmu pengetahuan dalam syi’ar Islam hingga di zaman
sekarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
Yang termasuk Khulafaur Rasyidin pasca wafatnya Nabi Muhammad SWA berikut
biografi singkatnya dalah sebagai berikut :
A. Biografi
singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin
v Abu Bakar As-Shidiq
Nama asli Abu Bakar Ash-Shidiq ialah Abdullah ibn Abi
Quhaafah ‘Utsman ibn Umar, yang sanad keturunannya masih bersambung dengan Nabi
SAW yaitu pada Ka’ab. Beliau dilahirkan 5 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad
SAW.
Adapun pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah
dilakukan atas kesepakatan orang Muhajirin dan Anshor lantaran terjadinya
kevakuman dalam kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar
menjadi khalifah ialah Umar ibn Khatthab kemudian diikuti oleh seluruh orang
Muhajirin dan Anshor.[1]
v Umar ibn
Khatthab
Umar ibn Khattab dilahirkan 13 tahun setelah
tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Nama asli Khalifah Umar ibn Khatab ibn
Nufail ibn Abdil Uzza ibn Rabbah. Beliau juga dijuluki Abu Hafshin yang
didapatkan dari Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad SWA melihat sifat tegas
yang dimilikinya. Abu Hafshin adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang
pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat.
Kekhalifahan Umar ibn Al Khaththab berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3
hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 Hijriyah hingga 26 Dzulhijjah Tahun
23 Hijriyah.[2]
v ‘Utsman ibn ‘Affan
‘Utsman ibn ‘Affan adalah seorang saudagar atau
pedagang, ia termasuk saudagar yang sukses dan berhasil, beliau terkenal
lembut, sabar, tekun dan pemurah. Dengan ketekunan yang dimilikinya serta
kemurahan hatinya dalam berdagang, pada usia yang masih muda, ia sudah
berdagang di negeri Syam dan Hirah. Pada waktu itu, negeri Syam masih dijajah
kerajaan Romawi, sedangkan Hijrah merupakan jajahan Persia. Dengan berbekal pengalaman
berdagang, ia memiliki kakayaan yang banyak dan sahabat yang banyak. Beliau
berasal dari suku Umayyah ibn Abdu Syams ibn Abdu Manaf, dengan nama asli
‘Utsman ibn ‘Affan ibn Abi al-Ash. Sebelum Beliau masuk Islam beliau tidak
banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad SAW, Beliau hanya mengetahui tentang
beberapa kepribadian Nabi Muhammad SAW dari perang lain. Yang Beliau ketahui, bahwa
Nabi Muhammad SAW memiliki kejujuran. Selain itu, ia juga mengetahui sedikit
tentang kepemimipinan Nabi Muhammad SAW.
Adapun keinginan Beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW
kemudian disampaikan kepada sahabatnya, yaitu Abu Bakar. Kebetulan, rumah Abu
Bakar tidak terlalu jauh dari rumahnya. Beliau masuk Islam sebelum Nabi Muhammad
SAW masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya raya. Beliau menjabat
sebagai khalifah sesudah ‘Umar ibn Al Khaththab r.a berdasarkan kesepakatan
ahlu syura. Beliau dilahirkan 5 tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan
Dzulhijah tahun 35 Hijriyah dalam usia 90 tahun. Menurut salah satu pendapat
ulama, Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang tahun 35 Hijriyah
hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah.[3]
v Ali ibn Abi
Thalib
Ali Ibn Abi Thalib lahir 32 tahun setelah tahun
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau
merupakan putra dari paman Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama asli Ali ibn
Abi Thalib ibn Abdul Mutholib ibn Hasyim.
Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk
Islam dari kalangan anak-anak. Rasulullah shallallahu‘Alaihi Wasallam menyerahkan
kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar, yang dengan perantara
perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran.
Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah
‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam
keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun.
Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah 12 hari.[4]
B. Gerakan
dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin
1) Dakwah pada masa Abu Bakar As-Shidiq
Abu Bakar yang memerintah selama dua setengah tahun tepatnya
dua tahun tiga bulan dua puluh hari. Walau masa pemerintahannya sangat singkat,
namun sarat dengan amal dan jihad. Di saat Abu Bakar memerintah, tiba-tiba
Madinah dikejutkan oleh gerakan yang menggerogoti sistem Islam yang meluas
hampir ke semenanjung Arabia.
Bentuk gerakan tersebut ialah : murtad dari agama
Islam karena mengikuti nabi palsu yaitu Musailamah al-Kadzab, Thulaihah al-Asad
dan al-Aswad al-Anasi dari Yaman. Kemudian muncul gerakan keengganan
(membangkang) untuk membayar zakat karena mengikuti Malik ibn Nawiroh dari Bani
Tamim.
Selain menghadapi rongrongan dari dalam Islam sendiri
Abu Bakar juga melakukan ekspansi wilayah keluar daerah diantara hingga
mencapai Bashrah, Qatar, Kuwait, Iraq, bahkan hingga daerah kekuasaan
kekaisaran Romawi yang meliputi Mesir, Syiria, dan Palestina.
Gerakan dakwah yang paling menonjol pada Khalifah Abu
Bakar, ialah pengumpulan Al-Qur’an. Alasan utama dikumpulkannya Al-Qur’an,
ialah rasa kekhawatiran seorang Umar ibn Khatthab terhadap masa depan Islam
jika kadar intinya yang menjaga Islam dengan Al- Qur’an (Qurra dan Huffadz)
gugur satu per satu di medan perang.[5]
2) Dakwah pada masa Umar ibn Khatthab
a. Penyempurnaan
Fath Irak
Irak dijadikan pangkalan kekuatan kaum Muslimin untuk
melakukan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya. Irak saat itu meliputi
kawasan Kuffah (ibu kota Islam pada masa Ali), kemudian Baghdad (ibu kota Islam
pada masa Abbasiyah), dan Samra yang didirika pada masa Mu’tasyim.
b. Iran
Setelah Irak ditaklukkan, kemudian negeri-negeri lain pun
di Persia juga ditaklukkan, diantaranya negeri-negeri di seberang sungai.
Dengan demikian habislah riwayat Imperium Persia.
c. Syam dan Palestina
Ketika khalifah pertama Abu bakar meninggal dunia
sedang berlangsung di Syam dibawah komando Khalid ibnn Walid, dibantu oleh Abu
Ubaidah ibn Jarrah, Amr ibn Ash, Yazid ibn Abi Sufyan Syurahbil ibn Hasanah.
Ketika Umar diangkat menjadi Khalifah, beliau mengangkat Abu Ubaidah sebagai
panglima teringgi untuk kawasan Syam. Khalid dikirimi surat pengunduran dirinya
sa’at perang sedang berlangsung. Pakar sejarah berpendapat, peristiwa ini
terjadi pada perang Yarmuk. Khalid menerima keputusan itu, beliau tetap aktif
ikut dalam peperangan dibawah komando Abu Ubaidah. Sebagian ahli sejarah
mengatakan, ditunjuknya Abu Ubaidah oleh Umar karena kondisi di lapangan saat
itu membutuhkan pemimpin yang kriterianya ada pada Abu Ubaidah, beliau memiliki
keahlian dalam hal lobby dan administrasi, sedangkan keahlian Khalid adalah
strategi perang.
d. Yordania
Dalam upaya perluasan daerah kewilayah ini, kaum
muslimin harus mengambil jalan terakhir, yaitu menghadapi pasukan Romawi
yang tidak mau mempersilahkan kaum muslimin melakukan dakwah secara
damai. Kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran.
e. Syiria
Pasukan Islam melanjutan perjalanannya menuju Dimasyq
(damaskus) dibawah komando Ubaidillah ibn Jarrah. Setelah Syiria tunduk,
pasukan bergerak menuju ke utara. Yaitu Hims, Hamat, Halb, Shoid, dan Bairut.
f. Palestina
Sejak terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, negeri
Palestina tidak bisa dipisahkan dengan kaum muslimin. Aqhsa adalah negeri suci
ketiga yang diperintahkan kepada kaum muslimin untuk dikunjungi. Berdasarkan
kenyataan tersebut, kaum muslimin betul-betul serius untuk membebaskan negeri
ini dari kekuasaan Romawi. Namun akhirnya mereka memilih damai, dan meminta
kepada pasukan agar langsung menghadirkan Umar ibn Khatthab perihal tersebut.
Di pintu negeri Palestina, Umar disambut oleh Beartrick Ciprunius dan sebagian
pemimpin kaum muslimin.
Pada kesepakatan itu, Umar membuat kesepakatan untuk
memberikan rasa aman, yaitu keamanan harta benda dan jiwa, serta syiar
keagamaan kepada penduduk asli. Kesepakatan itu dikenal dengan perjanjian Umar.
Ketika waktu sholat ashar Umar menolak untuk sholat di
gereja Qiamat, tetapi beliau sholat di luarnya, khawatir dikemudian hari kaum
muslimin mengikuti sunnah Umar. Perbuatan Umar ini menegaskan bagaimana
toleransi kaum muslimin dengan orang yang tidak seagama.
g. Ekspedisi
kawasan Maghribi
Ekspedisi penyiaran Islam keluar kawasan Arab,
kemudian memecah diri ke beberapa penjuru. Disamping gerakan kearah Timur
mereka juga bergerak kearah Barat. Pasukan sebesar 4.000 orang prajurit muslim
bergerak ke Mesir dibawah Panglima Amr ibn Ash.
Sepanjang perjalanan pasukannya makin bertambah,
sampai mencapai 20.000 orang. Hal ini menimbulkan kesan bagi orang Islam telah
membangkitkan daya tarik untuk bergabung dalam pasukan dibawah panji-panji
Islam. Sukses kembali ada di prajurit berkuda kaum muslimin yang telah terlatih
pula. Seruan kalimat Allahu akbar disetiap medan perang
tampaknya menimbulkan efek ganda. Disatu sisi, berhasil membangkitkan semangat
dan ketegaran bagi umat Islam dalam melaksanakan misi suci mereka dalam
penyebaran Islam. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Khalid ibn Walid
adalah menjadikan kota Heliopolis sebagai ibu kota Islam di Mesir. Dalam
perkembangan selanjutnya kota ini dikenal dengan sebutan Cairo Lama yang kelak
mejadi ibu kota Mesir.
Setelah mendapatkan izin dan restu khalifah pasukan
Amr ibn Ash meneruskan ekspedisinya ke kawasan matahari tenggelam di jalur
Afrika Utara. Dalam ungkapan bahasa Arab, kawasan itu disebut kawasan Magribi,
yang berasal dari dari kata ghurubi syamsy yang berarti tenggelam
matahari.
Tidak seorang prajurit dan orang Arab berhak atas
kawasan baru itu. Semua kawasan dan kekayaan baru langsung menjadi milik Islam.
Penguasa setempat tidak dipaksa untuk memeluk Islam, kecuali atas kemauan
sendiri. Mereka diberi hak untuk meneruskan kepemimpinan otonom di kawasan
mereka, namun tetap berkewajiban untuk membayar pajak perlindungan (jizyah)
kepada kekhalifahan di Madinah.[6]
3) Dakwah pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan
Melalui proses yang panjang, maka terpilihlah ‘Utsman
ibn ‘Affan sebagai khalifah. Pada masa kekhalifahannya langkah yang diambil
ialah sebagai berikut:
a. Perluasan wilayah
Pada
masa khalifah ‘Utsman inilah pertama kali dibentuk angkatan laut untuk
menyerang daerah kepulauan yang terletak di laut tengah. Masa ini juga dibangun
kapal perang sehingga dapat menaklukkan wilayah hingga mencapai Asia dan
Afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, juga Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes dan sisa dari wilayah Persia.
b. Sosial
budaya
Membangun
bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota.
Membangun jalan, jembatan, masjid, rumah, penginapan para tamu dalam berbagai
bentuk serta memperluas Masjid Nabawi di Madinah.
Namun
pada pertengahan kedua pemerintah ‘Utsman retak ditimpa perpecahan yang
disebabkan karena kebijakan ‘Utsman dalam mengganti para gubernur yang diangkat
Umar yang didominasi dari keluarga Bani Umayyah. Sebagai contohnya, khalifah
‘Utsman mengganti Sa’ad ibn Abi Waqash yang merupakan gubernur Kufah dengan
Walid ibn Uqbah yang merupakan saudara se-ibu khalifah ‘Utsman.
c. Penetapan
Mushaf ‘Utsmani
Umat Islam
pada masa khalifah ‘Utsman tinggal dalam wilayah yang sangat luas dan
terpencar-pencar, sehingga penduduk masing-masing daerah tersebut membaca
ayat-ayat Al- Qur’an menurut bacaan yang mereka pelajari dari tokoh sahabat
yang terkenal dari wilayah mereka (di Syiria masyarakat mengacu pada bacaan
Ubay ibn Ka’ab, di Kufah masyarakat mengacu pada bacaan Abdullah ibn Mas’ud).
Persoalan tersebut menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam.
Untuk
mengatasi hal tersebut, khalifah ‘Utsman membentuk sebuah tim yang bertugas
untuk menyalin dan mengkodifikasikan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu mushaf
resmi yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Mushaf tersebut dibuat lima buah,
empat buah dikirim ke wilayah Makkah, Syiria, Kufah, Bashrah dan satu tinggal
di Madinah. Mushaf hasil kerja dari tim kodifikasi Al Qur’an pada masa khalifah
‘Utsman yang tinggal di Madinah disebut dengan Mushaf ‘Utsmani atau Mushaf
Al-Imam yang sampai sekarang masih kita gunakan, bahan digunakan di selruh
penjuru dunia.[7]
4) Dakwah pada masa Ali ibn Abi Thalib
Sejarah kepemimpinan khalifah Ali adalah sejarah
terakhir masa kekhalifahan umat Islam dalam sejarah setelah masa kenabian. Pada
saat diangkat menjadi khalifah, mewarisi kondisi yang sedang kacau. Ketegangan
politik terjadi akibat pembunuhan atas khalifah ‘Utsman. Seluruh jabatan
gubernur saat itu hampir seluruhnya diduduki oleh keluarga Umayyah. Para
gubernur ini menuntut Ali untuk mengadili pembunuh ‘Utsman.
Gerakan dakwah yang telah dilakukan oleh khalifah Ali
secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut:
a)
Merombak para pejabat
teras, terutama pejabat yang di dominasi oleh keluarga Bani Umayyah.
b)
Menyamakan kedudukan
seseorang dimata hukum. Seperti ketika khalifah Ali menuduh seorang Yahudi
mengambil baju besi kepada hakim. Dipihak Ali memiliki keyakinan, bahwa si
Yahudi tersebut mencuri baju besinya. Sedangkan di pihak Yahudi bersikukuh,
bahwa baju besi itu ia dapat dengan membelinya dari orang lain. Hakim pun
kemudian memutuskan bahwa yang berhak atas baju besi itu adalah si Yahudi
karena dari pihak Ali tidak dapat menghadirkan saksi bahwa baju besi itu milik
beliau. Hal inilah yang membuat si Yahudi terkesima dan terkagum-kagum, betapa
adilnya hukum Islam. Bahkan karena kejadian ini sampai membuat si Yahudi
bersyahadat dan menyatakan ke-Islamannya.[8]
C. Sistem
Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Awal Persoalan
Meninggalnya
Nabi Muhammad SAW, menimbulkan kevakuman pemimpin yang hampir tidak mungkin
digantikan oleh orang lain. Ia bukan hanya seorang pemimpin negara (sebagai
pemimpin negara mungkin ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga
seorang nabi, pembuat undang-undang, guru spiritual, dan pribadi yang mempunyai
visi trasendental.
[1][1] Sangat sulit menggantikan Muhammad dalam
kualitas-kualitas tersebut.[2][2]
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliu wafat. Beliau
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama
setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh
Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu
berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar,
sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Hal ini sebagaimana yang sudah dijelaskan di
awal pembahasan masalah Khulafaur Rasyidin.
Di dalam bukunya Fiqih Siyasah,
Mujar Ibnu Syarif memaparkan bahwa Khilafah adalah pemerintahan Islam yang
tidak dibatasi oleh teritorial,sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai
suku dan bangsa.Pada intinya,khalifah merupakan kepemimpin umum yang mengurusi
agama dan kenegaraan sebagai wakil dari nabi SAW.
Dalam bahasa Ibn
Khaldun,kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimun di
dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul dakwah Islam ke
seluruh dunia.[3][3]
Dalam Al Qur’an terdapat dua
bentuk kata khalifah,yaitu dalam surat Al Baqarah : 30 yang berarti : “ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." dan
dalam surat shaad : 26 yang berarti; “ Hai Daud, Sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan.
Menurut Watt, khalifah dalam
pengertian yang dipakai sebagai gelar Abu Bakar serta Khulafaur Rasyidin adalah bukanlah diambil
dari ayat di atas, melainkan pengertian yang diambil dari pemakaian
sehari-hari. Dalam bahasa arab, khalifah mempunyai makna dasar pengganti.[4][4]
Dalam bahasa Arab kuno, terjemahan
lazim untuk khalifah adalah pembantu atau wakil pelaksana. Jadi makna ini
menunjukkan kepada orang-orang yang diberi kekuasaan untuk melaksanakan sesuatu. Dari kata dasar
pengganti atau wakil atau pembantu inilah Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman,
serta Ali akhirnya menyandang gelar sebagai Kalifah al Rasyidin, yang berarti
mendapat bimbingan yang benar. Karena mereka melaksanakan tugas sebagai
pengganti Nabi Muhammad SAW menjadi kepala negara Madinah al-Munawwaroh dan sebagai
pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam pidato penganugerahan
sebagai Khalifah, mereka mengadakan kontrak sosial dengan masyarakat Islam, bahwa
mereka akan bekerja sama dengan masyarakat yang dipimpinnya. [5][5]
Dengan demikian para Khalifah menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam
menduduki jabatan duniawi sebagai pemimpin politik kepala negara, dan jabatan
ukhrawi sebagai pemimpin agama. Bukan menggantikan nabi dalam jabatan
kerasulan. Karena nabi tidak akan tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu
wahyu pun yang diturunkan setelah berakhirnya kenabian Muhammad SAW.[6][6]
3. Sistem Politik Yang Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar Al Shidiq : Politik Konsolidasi
Nama
lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at Tamimi. Pada zaman sebelum Islam, ia
bernama Abdul Ka’bah, kemudian oleh Nabi Muhammad SAW diganti dengan Abdullah.
Ia dijuluki pula dengan Abu Bakar (pelopor pagi hari) sehingga nama ini yang
banyak digunakan, karena ia menjadi pelopor masuk Islam saat masyarakat Makkah
masih dalam kegelapan Jahiliyyah. Gelar Al Shidiq diperolehnya karena ia segera
membenarkan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai peristiwa, terutama tentang
peristiwa Isra’ Mi’raj.[7][7]Abu
Bakar adalah pilihan yang paling ideal, lantaran dialah yang semenjak awal telah
mendampingi Nabi Muhammad SAW, dan paling paham tentang risalah Nabi Muhammad
SAW.[8][8]
Masa
kekhalifahan Abu Bakar yang berlangsung selama 2 tahun,11-13 H (632-634 M), diawali
dengan pidato yang memberi komitmen bahwa dirinya diangkat menjadi pemimpin
umat Islam sebagai khalifah rasulillah, yaitu menggantikan Rasul melanjutkan
tugas-tugas kepemimpinan agama dan kepemimpinan pemerintahan. Penegasan ini
membawa implikasi bahwa Abu Bakar akan selalu menjadikan nilai dasar Islam yang
dibawa rasul sebagai dasar dari kepemimpinannya.
Pengangkatan
Abu Bakar sebagai khalifah, pada satu sisi memberikan keuntungan tersendiri
bagi berlanjutnya pemerintahan negara Madinah. Namun pada sisi lain munculnya
penolakan orang-orang Arab, terutama orang-orang yang baru masuk Islam.
Penentangan
terhadap negara Madinah yang dilakukan oleh suku-suku Arab merupakan sebuah
realitas bangsa Arab yang sangat sulit menerima kebenaran, sangat sulit untuk
tunduk pada ajaran yang baru, yang tidak umum berkembang pada lingkungan
mereka.
Gerakan
oposisi dan penetangan mereka yang disebut Riddah dibagi menjadi :
(1).
Gerakan melepas kesetiaan kepada ajaran
Islam, kembali kepada kepercayaan semula. Gerakan Riddah ini secara politik
merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan.[9][9]
(2). Gerakan menolak membayar zakat. Penolakan
mereka membayar zakat disebabkan pandangan salah mereka tentang zakat yang
dikira pajak.
(3).
Gerakkan yang mengangkat diri mereka
menjadi nabi : seperti yang dilakukan Musailamah al Khazzab (pendusta) yang
menyatakan bahwa nabi telah mengangkat dirinya sebagai mitra di dalam kenabian.
Di Yaman muncul orang-orang yang mengaku nabi, yaitu Aswad Ansi dan Sajjah ibn
Haris.[10][10]
(4).
Gerakan dari suku-suku pembangkang yang
mengklaim, bahwa Islam adalah agama bangsa Arab semata. Mereka berusaha meraih
kembali kemerdekaan.[11][11]
Melihat
kondisi bangsa Arab dalam wilayah kekuasaan Islam yang menolak terhadap
kekhalifahan Abu Bakar, bahkan penolakan terhadap Islam, maka orientasi politik
yang dijalankannya pertama kali adalah melakukan konsolidasi, mempersatukan
masyarakat Arab dalam kekuasaannya, dan dalam keagamaan Islam, serta tetap
dalam menjalankan ajaran agama.
Terhadap
gerakan Riddah, kembali ke ajaran nenek moyang mereka, Abu Bakar melancarkan
operasi pembersihan terhadap mereka dengan melakukan tekanan dan ajakan kembali
ke jalan Islam. Namun ketika mereka menolak, baru dilakukan peperangan. Begitu
juga ketika menghadapi orang yang tidak mau membayar zakat dan nabi-nabi palsu,
tindakan Abu Bakar adalah melakukan pembersihan, menumpas, serta memerangi mereka. Perang Riddah melawan
kemurtadan yang berjalan alot berhasil dimenangkan oleh pemerintah Abu Bakar di
bawah pimpinan Khalid ibn Walid.
Namun,
disamping itu semua, banyak dari penghafal Al Qur’an yang tewas dalam perang
tersebut. Melihat suasana ini Umar merasa cemas,dan mengusulkan kepada Abu
Bakar untuk membukukan Al Qur’an.Abu Bakar pada awalnya tidak menyetujui usulan
ini, karena tidak ada otoritas dari Nabi Muhammad SAW untuk membukukan Al-Qur’an.
Namun kemudian, ia setuju dan memberikan
tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya.
Perilaku
politik lain yang dijalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi. Ada
dua ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu Bakar, yaitu :
(1).
Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Dalam ekspansi
ini (tahun 634 M). Pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah, sebuah
kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia
(2) Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima
perang,yaitu Ubaidah,Amr ibn Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil. Ekspansi yang
dilakukan oleh keempat panglima perangnya ini dikuatkan lagi dengan kehadiran
Khalid ibn Walid untuk menguasai wilayah tersebut. Karena kemenangan tersebut
akan sangat besar artinya bagi penguasaan daerah-daerah lain di barat dan
utara. Akhirnya pasukan Islam di bawah panglima Khalid dapat mengalahkan
pasukan Romawi dalam peperangan Ajnadain pada tahun 634 M.[12][12]
Ketika
pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian Damascus, Baalbek, Homs,
Hama,Yerussalem, Mesir, dan Mesopotamia, Abu Bakar meninggal dunia, Senin 23
Agustus 634 M, setelah menderita sakit selama beberapa hari. Dalam menjalankan
politik pemerintahannya selama 2 tahun 3 bulan dan 11 hari, Abu Bakar
mengedepankan aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga
secara internal kondisi pemerintahnnya stabil.
2. Umar ibn Al Khattab Al faruq : Politik
Ekspansi
Umar
ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza merupakan keturunan dari ‘Adi, salah
satu suku bangsa Quraisy yang terpandang mulia. Ia lahir lebih muda 4 tahun
dari Rasulullah di Makkah. Umar dibesarkan dalam lingkungan yang meskipun kecil
dan tidak kaya, tapi menonjol di bidang ilmu. Karena itu, kabilah ini sering
dipercaya untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dalam suku Quraisy, seperti
pernah dilakukan oleh kakenya Nufail ibn al uzza yang sukses menyelesaikan
persengketaan antara Abd al Muttahlib dengan Hazid ibn Umayyah.[13][13]
Umar
menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun, dari tahun 13-23 H (634-644 M). Dalam masa pemerintahannya, Umar melakukan
beberapa langkan politik. Langkah politik ekspansi merupakan langkah yang
paling populer selama pemerintahan Umar. Langkah ini harus dilakukan, karena
pasukan Islam sudah menyebar ke beberapa wilayah yang dikirim oleh pemerintahan
Abu Bakar. Mau tidak mau dia harus meneruskan langkah tersebut. Umar sangat
tahu sekali kondisi psikologi pasukan Islam, yang punya semangat dakwah yang
sangat tinggi untuk menyerukan ajaran-ajaran agama Islam ke seluruh penjuru
dunia.
Selain
karena bangsa Arab (kaum Badui) terbiasa dengan kehidupan berpindah-pindah
(nomad) dan suka berperang. Penyatuan antara kedua aspek dakwah, nomad dan suka
berperang dari pasukan Islam, akhirnya digunakan untuk melakukan ekspansi dan
dengan cepat dapat menundukkan wilayah kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.
Kemenangan
besar yang didapat pasukan Islam dalam peperangan dengan pasukan Romawi di
Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di Persia disebabkan pula oleh ; (1).
Kondisi internal kedua kerajaan tersebut yang secara militer telah lemah akibat
peperangan di antara mereka, atau perang melawan pasukan Islam sebelumnya. (2).
Perilaku kedua kerajaan ini terhadap rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan
mereka bergabung dengan pasukan Islam bahkan mereka lebih memilih untuk
menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan Umar ibn Khattab.
Langkah
politik kedua sebagai akibat dari penyerbuan pasukan Islam ke daerah bekas
kekuasaan Romawi dan Sasania adalah mengkonsentrasikan pasukan Islam hanya
digunakan untuk menjalankan penaklukan dan untuk membentengi wilayah yang telah
ditundukkan.[14][14]
Langkah
politik ketiga yang dilakukan Umar ibn Khattab, adalah pasukan Islam tidak
diperbolehkan memaksakan warga taklukan untuk memeluk agama Islam. Prinsip ini
sudah pernah dijalankan pada masa Rasulullah yang memberi izin kepada pemeluk
Yahudi dan Kristen tetap berpegang pada agamanya, dengan catatan mereka harus
membayar upeti.
Gubernur
yang dikirim hanya ditugasi untuk menangani pengumpulan pajak dan upeti, mengawasi
distribusi pajak sebagai gaji tentara, dan memimpin peperangan serta
pelaksanaan Shalat jama’ah. Namun dalam perkembangannya, ada perubahan dalam
pengaturan terkait dengan urusan sosial dan administrasi kenegaraan. Meskipun
dalam penerapan antara satu propinsi dan lainnya berbeda. Di Iraq seluruh
wilayah dikuasai dan diurusi negara Khurasan, dikuasai oleh penguasa lokal, di
Mesir menghapus otonomi kekeyaan fiskal, dan kota mengatur afministrasi yang
mandiri.[15][15]
Langkah
politik keempat adalah didasari oleh keberhasilan meluaskan jajahan yang
membawa implikasi pada membanjirnya harta-harta, baik rampasan,upeti, pajak dan
lainnya. Untuk memudahkan urusan administrasi dan keuangan, maka dalam
pemerintahannya dibentuk lembaga-lembaga dan dewan-dewan, seperti Bait al
Maal (perbendaharaan negara), pengadilan, dan pengangkatan hakim, jawatan
pajak, penjara, jawatan kepolisian juga membuat aturan pembagian gaji kepada
tentara, dan tentara cadangan, pemberian gaji kepada guru-guru, muadzin dan
imam, pembebanan bea cukai, pemungutan pajak atas kuda yang diperdagangkan, pungutan
pajak atas orang-orang Kristenbani Tighlab sebagai ganti jizyah.[16][16]
Umar juga menempa mata uang dan tahun Hijrah yang dimulai dari Hijrah Rasul.[17][17]
Dalam
keagamaan tokoh cerdas ini merupakan mujtahid yang handal pada zamannya. Dia
menghasilkan ijtihad dimana pandangan-pandangannya berbeda dengan Nabi Muhammad
SAW dalam beberapa hal. Namun tidak keluar dari komitmennya yang kuat terhadap
Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Seperti peniadaan hukum potong tangan pada
tindak pidana pencurian, jatuhnya talak tiga sekaligus memasukkan lafal asshalatu
khairun min al naum dalam shalat shubuh, shalat tarawih dengan jumlah
rakaat sebanyak 20 dan lain-lain.
Pemerintahan
khalifah Umar yang berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan dan 40 hari. Dapat
dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis, selain karena dia meletakkan
prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya dengan jalan membangun jaringan
pemerintahan sipil[18][18]
juga bersifat egaliter dengan menjamin persamaan hak dalam bernegara, tidak
membedakan antara atasan dan bawahan, penguasa dan rakyat. Ketika akan
menjalankan shalat shubuh, seorang budak berkebangsaan Persia bernama Feros
atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang Umar dan menikam dengan pisau.
Khalifah terluka yang sangat parah,d an setelah 3 hari dari peristiwa penikaman
tersebut, Umar wafat pada tanggal 1 Muharram 23 H.
3. Usman ibn Affan : Politik Sentralistik dan
Nepotisme
Ia
bernama Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn Umayyah.dengan demikian ia berasal
dari bani Umayyah,walaupun tidak dimasukkan dalam dinasti Umayyah yang berkuasa
setelah Khalifah Ali. Ia lahir di Makkah dari trah bangsawan Makkah yang sangat
dihormat,dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad atau seusia Abu Bakar. Usman
merupakan sahabat nabi yang sangat kaya raya tetapi berlaku sederhana dengan
lebih menggunakan kekayaannya untuk kejayaan Islam.
Usman
menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun,dari tahun 23-35 H (644-655 M),
merupakan masa pemerintahan yang terpanjang di antara khulafa al Rasyidin. Masa
pemerintahan Usman terbagi atas dua periode, yaitu : 6 tahun pertama merupakan
pemerintahan yang baik, dan 6 tahun kedua merupakan masa pemerintahan yang
buruk.[19][19]
Kebijakan
politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan ekspansi yang dilakukan Umar ke
berbnagai wilayah di front barat,timur dan utara. Dalam ekspansi ini dimotivasi
oleh dakwah sekaligus memperluas kekuasaan, dimana hasil rampasan, serta pajak
dapat digunakan untuk meningkatkan kemajuan negara serta kesejahteraan umat
Islam.
Langkah
politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian kekuasaan pemerintah
dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) dari seluruh
pendapatan provinsi, dan menetapkan juru hitung safawi.[20][20] Langkah ini
merupakan langkah yang strategis untuk menata administrasi kenegaraan, karena
makin luasnya wilayah kekuasaan dan makin banyak pegawai, dan pasukan yang
mendapat gaji, bahkan pendapatan negara ia bagi-bagikan untuk kepentingan
kalangan migran orang Arab di daerah-daerah pendudukan yang jumlahnya semakin
meningkat. Kebijakan yang brilian inilah saling dimanfaatkan antara Usman yang
memang berasal dari aristokrat Makkah Bani Umayyah, atau bani-bani yang lain yang ada di Makkah, sehingga dapat dikatakan ia
terlalu terikat dengan kepentingan orang-orang Makkah.
Perilaku
politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati posisi penting
dalam pemerintahan Usman, dalam pandangan sahabat dan masyarakat Madinah
menjadi titik kelemahan. Maka muncullah kebencian rakyat yang pada beberapa
waktu kemudian meletuslah pembangkangan, dan pemberontakan di beberapa negeri
yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan khalifah.
Ketidak
senangan mereka terhadap Usman sebetulnya sudah sejak terpilihnya Usman menjadi
Khalifah, terutama orang-orang yang menyokong Ali ibn Abi Thalib, yaitu
orang-orang Badui dan penduduk Mesir. Kebencian ini akhirnya menimbulkan
tuduhan terhadap Usman, bahwa ia telah membagikan harta negara kepada kerabat Khalifah
seperti Hakam mendapat tanah Fadah, kemudian Abdullah diizinkan mengambil
sendiri 1/5 dari harta rampasan perang di Tripoli. Tuduhan yang lain adalah
bahwa Usman tidak bertindak atas perilaku Marwan yang mengambil dan
menyalahgunakan harta Baitul Maal dan Mu’awiyah mengambil alih tanah negara di
Suriah.[21][21]
Padahal Utsman Radhiallahu‘anhu
yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar
dan mengatur pembagian air ke kota-kota.Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Sebagai
seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha memperkenalkan edisi Al-Qur’an
standar dengan membuat kodifikasi baru dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf yang
telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan
pengkodifikasian ini karena Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di
antara penduduk yang menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al
Yaman,maka Usman menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan
shuhuf yang ada pada Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah
tersebut, maka pengkodifikasikan telah selesai dan naskah tersebut disebut
dengan mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh menyalin empat naskah dengan
pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana nantinya akan dikirim ke
Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus dibakar termasuk
shuhuf yang ada pada Hafsah.[22][22]
Namun maksud baik ini ditentang oleh sebagian kelompok muslim yang merasa
merekalah yang paling berhak atasAl-Qur’an. Usman tidak mempunyai otoritas sama
sekali untuk menetapkan edisi Al-Qur’an tersebut.[23][23]
Kebencian
terhadap Khalifah Usman makin membara di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Di
Kufah dan Basrah sebagai basis pendukung kekuatan Ali pun muncul
ketidaksenangan terhadap Khalifah. Mereka diprakarsai oleh Thalhah dan Zubair
menentang gubernur yang diangkat oleh khalifah.
Tepat
pada saat khalifah sedang membaca Al-Qur’an tanggal 17 Juni 656 H (35 M) Usman meninggal dunia karena dibunuh
pemberontak. Pemerintahan khalifah Usman masih dapat disebut sebagai
pemerintahan demokratis, karena Khalifah tidak pernah menunjukkan sifat
refresif, bahkan dia sangat baik dan shaleh. Seluruh waktunya banyak digunakan
untuk ibadah. Namun perilaku bawahannya yang tidak dapat diawasi karena faktor
usia yang telah tua dan lemah pada Usman inilah yang menjadikan pemerintahannya
berkurang demokrasinya.[24][24]
4. Ali bin Abi Thalib
Ia
bernama Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, sepupu Nabi Muhammad dan
menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti Muhammad. Ali merupakan
sahabat nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12 tahun telah masuk Islam dan
mengakui risalah. Sebagai anak Abu Thalib yang secara materi sangat kekurangan
dan ditempa dengan tauladan ayahnya yang berakhlak mulia dan terhormat, telah
membentuk Ali mempunyai watak yang lebih mementingkan aspek spiritual, sehingga
sepanjang sejarahnya Ali lebih berkonsentrasi pada perjuangan menegakkan Islam,
keagamaan, dan keilmuan tanpa menoleh sedikitpun pada aspek duniawi.
Masa
pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun,dari 36-41 H (656-661 M), diwarnai
oleh timbulnya banyak kekacauan, dan pemberontakan-pemberontakan.
Pengangkatannya sebagai khalifah tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah
dialami oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Hal ini disebabkan, karena Usman
tidak sempat menunjuk pengganti atau membentuk dewan formatur untuk memilih
khalifah. Ali diangkat melalui proses pembai’atan langsung yang dilakukan oleh
masyarakat Islam di Madinah, secara terbuka di masjid termasuk dihadiri kaum
Muhajirin dan Anshar.[25][25]
Menurut
Munawir Syadzali, setelah pembunuhan Usman, kota Madinah dalam kondisi yang
sepi dan kosong, karena banyak ditinggal oleh para sahabat ke wilayah yang baru
ditaklukkan. Kondisi ini diperparah oleh tidak amannya kota, sehingga keamanan
dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari. Hanya sedikit para sahabat
yang masih tinggal di kota Madinah dan tidak semuanya mendukung Ali, seperti
Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Abdullah ibn Umar. Mu’awiyah Amr ibn ‘Ash serta
Aisyah menganggap tidak sah dengan pembai’atan Ali sebagai khalifah karena
tidak semua ahli al halli wa al aqdi
hadir saat pembai’atannya. Ia menggugat
kepemimpinan Ali dengan alasan : (1). Ali harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya Usman (2). Hak pemilihan khalifah ada pada seluruh wilayah negara, bukan
monopoli orang-orang Madinah.
Ali
mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan
tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan
kebenaran. Setelah dibai’atnya Ali sebagai khalifah, dikeluarkannya 2 buah
ketetapan : (1). Memecat kepala-kepala daerah angkatan Usman. Dikirimnya kepala
daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu
ter[paksa kembali dsaja ke Madinah,karena tak dapat memasuki daerah yang
ditetapkannya.[26][26]
(2). Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada
famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah
atau pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali.
Terhadap
para penentangnya seperti Aisyah, Talhah serta Zubair yang menuntut supaya Ali
segera menghukum pembunuh Usman, Ali mencoba menjalankan politik secara damai.
Hal ini dilakukannya untuk menghindari pertikaian di antara masyarakat Islam.
Namun ketika kompromi ini diajukan kepada Aisyah, Thalhah serta Zubair, ditolak.
Maka peperangan tidak bisa dihindarkan lagi. Terjadilah perang Jamal (unta), karena
Aisyah janda nabi menaiki unta, pada tahun 36 H. Dalam peperangan ini, pasukan
Ali yang didukung masyarakat Anshar,masyarakat Kufah dan Mesir,dapat
memenangkan peperangan. Aisyah tertawanvdan dikembalikan ke Madinah,sedangkan
Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri bersama 20.000 kaum
muslim yang gugur.
Adapun
terhadap Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang tidak mengakui kekhalifahannya dan
menolak meletakkan jabatannya sebagai gubernur di Suriah, Ali melakukan
tindakan penyerangan terhadap penguasa Suriah itu. Peperangan terjadi di
Shiffin, dekat Sungai Euphrat pada tahun 37 H. Dalam peperangan ini sebenarnya
pasukan Mu’awiyah telah terdesak kalah, dengan terbunuhnya 7.000 orang. Namun
dalam kondisi yang terdesak ini, Mu’awiyah yang mempunyai siasat lihai, dengan
mengangkat Al-Qur’an sebagai tanda meminta damai dengan cara tahkim
(arbitrase). Dalam tahkim diusulkan agar Ali dan Mu’awiyah meletakkan jabatan
yang diklaim mereka. Karena Musa al Asyar sebagai wakil dari Ali lebih tua
daripada Amr ibn Ash wakil Mu’awiyah, maka dia lebih dahulu menyampaikan
pidato. Namun ketika Amr ibn Ash menaiki mimbar, bukannya yang diucapkan
tentang penurunan Mu’awiyah sebagaimana kesepakatan semula, tetapi mengucapkan
penerimaan turunnya Ali sebagai khalifah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai
khalifah. Peristiwa tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan
di antara kaum Muslim, namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan
Mu’awiyah membuat kedudukan Mu’awiyah sejajar dengan Khalifah Ali, dan menyulut
pertikaian baru, dengan munculnya kelompok khawarij, orang-orang yang keluar
dari barisan Ali dan menegaskan ketidak setujuannya terhadap tahkim, bahkan
berusaha membunuh Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya tidak berhukum pada hukum
Allah.
Dengan
demikian umat Islam terpecah lagi ke dalam 4 golongan, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah
(Ali), Khawarij serta kelompok yang tidak ikut dalam pertikaian politik dan
lebih concern pada kesalehan dan ilmu. Dan dengan keluarnya Khawarij
dari mendukung Ali, maka menjadi lemahlah kekuatan Ali, sehingga Mu’awiyah
dapat memperluas pengaruh dan kekuasaannya bukan saja di Suriah, tapi juga di
Mesir. Hal ini membuat Ali menyetujui perjanjian
dengan Mu’awiyah yang mengakui kekuasaan atas Suriah dan Mesir. Ketika berita
itu didengar oleh khawarij, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik
bernama Ibnu Muljam dapat membunuh Ali pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 M).[27][27] Setelah Ali terbunuh, kedudukan khalifah
dijabat oleh Hasan selama beberapa bulan sampai terjadinya perjanjian damai
yang pada intinya menyerahkan kekuasaan khilafah pada Mu’awiyah. Perjanjian itu
dibuat dengan harapan dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam satu
kepemimpinan politik. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 41 H (661 M) dan
disebut dengan ‘Am Jama’ah (tahun persatuan)[28][28].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perlu dijelaskan bahwa khilafah yang timbul setelah
wafatnya Rasulullah tidak berbentuk kerajaan, dalam arti kepala negara dipilih,
dan tidak didasarkan turun-temurun.
Tampilnya Abu Bakar al-Shidiq sebagai khalifah (11
H/632 vM-13 H/634 M) merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah
dalam sejarah Islam yang berpusat di Madinah.
Sepeninggal Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin al-Khattab
mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua. Tampilnya Umar sebagai khalifah
kedua (13 H/634 M-23 H/644 M) tidak melalui pemilihan dalam satu forum
musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukkan atau wasiat oleh pendahulunya.
Sementara itu, Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga
(23 H/644M- 35H/656M) dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari 6 orang
yang ditentukan Umar sebelum wafat. Pasca wafatnya Umar, keenam orang tersebut
berkumpul untuk bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman ibn Auf, terjadilah
permusyawarahan yang akhirnya sepakat memilih Usman bin Affan sebagai pengganti
Umar bin Khattab dengan pertimbangan lebih tua dan lebih lunak sifatnya. Pasca
pembunuhan Usman oleh para pemberontak, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi
khalifah melalui pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu menurut Munawir
Syadzali jauh dari sempurna. Semasa
kepemimpinannya Ali memerintah selama 5 tahun (35 H/656 M-40 H/660 M) dan di
akhir kepemimpinannya ia pun terbunuh oleh para pemberontak.
Ciri yang menonjol dari sisitem pemerintahan yang
mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah bukan dari turun temurun.
Tidak ada satupun dari 4 khalifah tersebut
yang menurunkan kekuasannya pada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi
cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diajarkan
Rasulullah SAW.
B.
Saran
Penulis menyadari, bahwa dalam makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan, guna perbaikan makalah kami di masa yang akan
datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Engineer, Asghar Ali.
Asal-Usul dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Al Husna.1992.
Watt, William
montgemory. Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.2002.
Engineer, Asghar Ali.
Devolusi Negara Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Yatim, Badri.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2003.
Zada, Mujar ibnu
Syarif Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran politik Islam.
Jakarta : Erlangga. 2008.
Taufiqurrahman.
Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya : Pustaka Islamika.2003.
file:///E:/MAKALAH/SEJARAH DAKWAH/Fajrifasri DAKWAH
PADA MASA KHULAFA'UR RASYIDIN.htm