Minggu, 24 Oktober 2010

Kirab Budaya Ciayumajakuning : Gaya Pantura, Jadi Bagian Sendi Tradisi

TANAH AIR

Gaya Pantura, Jadi Bagian Sendi Tradisi

Anak-anak peserta pawai mengenakan kostum topeng tari Cirebon saat Kirab Budaya Ciayumajakuning melintas di Jalan Siliwangi, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (16/10). Kirab budaya yang menjadi rangkaian Festival Topeng Nusantara 2010 ini menampilkan sejumlah kesenian daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, seperti tari topeng Cirebon, Buroq, dan Berokan. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

Oleh Siwi Yunita Cahyanignrum dan Timbuktu Harthana

Bukan tanpa alasan pantai utara Cirebon terpilih menjadi kota awal tempat diselenggarakannya Festival Topeng Nusantara, Sabtu (16/10) pekan lalu. Wilayah pantai utara kaya akan ragam tarian topeng. Di sana tarian topeng berubah versinya, tetapi di lain sisi ia bertahan menjadi bagian dari sendi-sendi tradisi masyarakat desa.

Dalam buku Deskripsi Kesenian Daerah Cirebon yang ditulis Yoyo Nur Suwiryo, para penari keraton memopulerkan tari dengan bebarang atau mengamen di pelosok-pelosok desa. Mereka menarikan tarian topeng dalam lima tingkatan, yakni Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, dan Klana.

Lima karakter itu mencerminkan perjalanan hidup dan watak manusia. Panji menceritakan tentang karakter manusia yang baru lahir, yakni suci dan bersih. Samba menggambarkan karakter anak-anak atau remaja. Rumyang merupakan penggambaran manusia pada masa puber yang mulai bergejolak. Tumenggung menggambarkan manusia dewasa. Adapun Klana, gambaran manusia yang terjebak dalam kabut angkara murka.

Tarian-tarian itu dibawa oleh para penari ke penjuru pantura, menembus Priangan, menyebar ke Sunda Kelapa, bahkan ke Banten. Lewat interaksi bebarang itu, tari topeng menjadi meluas dan merakyat. Topeng tidak hanya dikenal di Cirebon, tetapi juga di Indramayu, Majalengka, Subang, Banten, hingga Priangan.

Di Sunda Kelapa, yang kini dikenal sebagai Jakarta, menurut Endo Suanda, pengamat tari dari Bandung, tarian topeng bersenyawa dengan budaya China, menjadi bentuk tarian tunggal. Tarian itu tetap memakai topeng klana dan jingga, tetapi baju yang dikenakan sudah berkerah koko atau berunsur China. Di Priangan, tari topeng berpadu dengan tari topeng Jawa yang juga masuk ke daerah itu. Di pesisir pantura, topeng menjelma menjadi banjet. Tarian khas pesisiran yang justru tak lagi memakai topeng.

Penjenjangan seperti itu, menurut Iman Taufik, salah seorang penggagas Festival Topeng Nusantara, menunjukkan mengakarnya tradisi tari—setidaknya untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya. Itu sebabnya, kemudian Cirebon dipilih sebagai pusat Festival Topeng Nusantara karena di daerah ini kehidupan warganya sudah lama menyatu dengan dunia tari topeng.

Pengakaran itu diduga bahkan sudah dimulai sejak era Sunan Kalijaga—sekitar lima ratus tahun lampau. Kalijaga menggunakan tarian—dan khususnyapergelaran wayang kulit—sebagai media dakwah dan diplomasi.

15 gaya tarian

Di Cirebon sendiri, tarian topeng berkembang menjadi tarian rakyat yang hidup di desa-desa. Perkembangan itu tak lepas dari kebijakan Belanda pada masa pemerintahan Daendels pada abad ke-17 yang membatasi dana kesenian di Keraton Cirebon. Pembatasan itu membuat para senimannya memilih pulang ke desanya masing-masing.

Toto Amsar, Ketua Pusat Studi Topeng Cirebon, menemukan lebih dari 15 versi gaya topeng Cirebon yang pernah hidup di pantura. ”Desa-desa asal para seniman keraton itulah yang mengembangkan berbagai gaya tarian topeng Cirebon,” katanya.

Beberapa desa yang mengembangkan gaya tari topeng, di antaranya, adalah Losari, Slangit, Gegesik, Susukan, Kreyo, dan Kalianyar yang ada di wilayah Kabupaten Cirebon; Desa Tambi, Pekandangan, Lelea, dan Bongas di Indramayu; Jatitujuh di Majalengka; dan Cipunagara di Subang.

Tarian topeng di tiap-tiap daerah itu bisa ditarikan dengan bermacam-macam gaya, tergantung dari asal desanya. Gaya Losari dari Cirebon timur, misalnya, ditarikan dengan gerakan kayang atau meliukkan tubuh ke belakang. Gaya ini tidak terdapat pada tarian topeng dari daerah lain.

Letak geografis Losari yang lebih dekat dengan Jawa Tengah membuat gaya topengnya terpengaruh tarian topeng Jateng yang mengisahkan cerita Panji, pangeran dari Jenggala. Tarian versi Losari ini biasa disebut juga topeng lakonan. Ada tujuh tarian topeng yang biasanya ditampilkan dalam satu rangkaian, yakni samba, patih jayabadra, kili padagunata, jinggan anom, tumenggung magangdiraja, klana bandopati, dan rumyang.

Sementara tarian dari wilayah barat, yaitu Palimanan, Gegesik, Susukan, Tambi, Kreo, dan Kalianyar, gerakan tariannya lebih mencerminkan simbol-simbol perjalanan hidup manusia. Urutan tariannya tak terikat pada pembabakan yang berjumlah lima, yaitu panji, samba (pamindo), rumyang, temenggung, dan klana.

Sukarta (70), dalang wayang, yang juga cucu maestro tari topeng suji dari Palimanan, menuturkan, perbedaan gaya salah satunya dipengaruhi oleh postur tubuh penari.

Kakek buyutnya, Ki Wentar, sengaja membuat bermacam posisi berdiri disesuaikan postur tubuh anak didiknya. Selain dari postur tubuh, perbedaan gerak juga bisa dipengaruhi penafsiran serta kepantasan gerak.

Endo Suanda, peneliti tari Cirebon, juga melihat perbedaan gaya antardaerah dikarenakan ada penyesuaian selera penonton dan estetika gerak di atas panggung.

Keragaman aturan gaya dalam tari topeng Cirebon itu justru menunjukkan bahwa tari topeng Cirebon adalah tarian rakyat, yang liberal mengikuti kreasi dalangnya.

Pada masa keemasan, penari topeng juga punya pengaruh, tepatnya perluasan pengaruh magi topeng ke ranah sosial.

Penari senior dari Palimanan, Nini (nenek) Keni Arja (60), misalnya, bercerita, dulu dirinya dan sejumlah penari topeng sampai dianggap sebagai sosok yang mumpuni ketika sedang menari di panggung.

Sosok penari dipercaya oleh masyarakat penontonnya sebagai perantara energi penyembuhan dan perantara pemberi berkah kebaikan. Peran seperti itu pernah dijal;ani juga oleh penari almarhumah Sawitri (dari Losari) almarhumah Rasinah (Indrmayu), dan penari pria almarhum Sujana Arja (Selangit, Palimanan). Yang terakhir ini adalah kakak kandung Nini Keni Arja.

Karena itu, ketika masih pentas di panggung, Keni Arja sering kali diminta memberi nama anak penonton yang baru dilahirkan. ”Sudah tak terhitung jumlahnya, saya diminta menjadi perantara pengobat penyakit dari penonton,” kata Keni.

Dalam sebuah panggung topeng itu, warga tak lagi melihat Keni sebagai manusia sehari-hari, tetapi sosok lain yang dianggap lebih digdaya (sakti).

Surut

Namun, masa keemasan topeng mulai surut. Dari 15 gaya yang pernah ada, kini hanya ada lima gaya yang bertahan, yakni Losari, Slangit, Gegesik, Palimanan, dan Pekandangan atau Tambi.

Di Gegesik yang menjadi pusat perkembangan tari, penari topeng kini tak sebanyak dulu. Menurut Nurdin M Noer, budayawan Cirebon, pada tiga dekade lalu hampir semua warga di Gegesik bisa menari topeng, entah itu anak penari, ataupun petani biasa. Topeng pun menjadi sesuatu yang wajib dipunyai. Namun, kini hal itu tak berlaku lagi. Jumlah penari hanya bisa dihitung dengan jari.

Keni Arja mengakui, susutnya minat pada tari topeng tak terlepas dari berubahnya selera masyarkat. Dulu, 30-40 tahun silam, dia hampir tak pernah berhenti menari karena selalu mendapatkan tawaran untuk menari.

Jika dirata-rata, 20 hari dalam sebulan hidupnya di atas panggung. Namun, kini, tawaran menari maksimal hanya datang 1-2 kali dalam sebulan sebab tariannya kalah bersaing dengan tarling dan organ tunggal.

Kini, para penari mudalah yang mencoba mempertahankan kekayaan tarian topeng yang tersisa. Topeng gaya Losari yang dulu dipopulerkan oleh Sawitri kini dilanjutkan oleh cucunya, Nur Anani atau Nani.

Topeng slangit juga diwarisi oleh Inu Kertapati. Adapun Wangi Indriya dan Aerly Rasinah masih tetap menjaga topeng gaya Indramayu.

Meski tak lagi populer di dunia pertunjukan, topeng hingga kini masih hidup dalam tradisi agraris dan pesisir warga di Pantura.

Di Lelea, sebuah kecamatan di pelosok Indramayu, tari topeng masih ditarikan setiap kali menjelang musim tanam setahun sekali.

Tari topeng mengiringi tradisi ngarot atau tradisi mencari jodoh remaja setempat. Ketika muda-mudi dipertemukan dalam arak-arakan, tari topeng akan dimainkan.

Topeng juga menjadi tarian yang wajib setiap kali ada upacara sedekah bumi atau sedekah laut di berbagai kampung nelayan, seperti Bondet, atau Gebang di Cirebon, hingga Eretan di Indramayu.

Hingga detik ini, upacara penghormatan di makam leluhur masyarakat desa di Tambi, Indramayu, masih diawali dengan permainan tari topeng.

Source : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 04:43 WIB


Topeng Nusantara, Pergulatan dengan Roda Waktu

TANAH AIR

Topeng Nusantara, Pergulatan dengan Roda Waktu

Seniman tari topeng Cirebon, Keni Arja, berlatih di sanggarnya di Desa Slangit, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, 11 Oktober. Para seniman tari topeng, salah satunya Keni Arja, masih berusaha melestarikan kesenian yang semakin ditinggalkan itu. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana

Nasib topeng yang jadi kekayaan peradaban Nusantara kini terimpit zaman. Topeng dan seni tarinya tak punya banyak pilihan lagi: bergeser mengikuti selera zaman atau mati berhenti dan terlupakan di roda waktu yang terus berlari.

Festival Topeng Nusantara, yang berlangsung Sabtu (16/10) di Cirebon dan Kuningan, Jawa Barat, adalah cermin bergesernya tradisi purba topeng dan tari topeng Nusantara. Sepanjang festival itu, topeng hadir dalam kemeriahan arak-arakan kesenian tradisional yang diikuti 1.000-an seniman dan rakyat. Topeng juga berusaha diabadikan dalam rekor Muri, membuat 5.031 topeng hanya dalam waktu lima jam (pukul 09.00-14.10).

Ratusan topeng, gambaran kekayaan peradaban Nusantara dari abad ke abad, juga diangkat sebagai sajian hiburan. Meski awalnya tari topeng sesungguhnya berkembang dan bagian dari wilayah abu-abu, pertemuan ritual kepercayaan dan seni tradisi. Dalam forum Cirebon itulah, sebagian darinya dijelmakan kembali jadi pergelaran penuh gebyar dan menghibur.

Tarian Rampak Klana dalam pembukaan Festival Topeng Nusantara di Gedung Negara, Sabtu pekan lalu di Cirebon, adalah contoh tari topeng yang menjadi tarian hiburan.

Di Kuningan, masih dalam rangkaian Festival Topeng Nusantara, tarian topeng Hudoq dari suku Dayak Kenyah dan Modang, Kalimantan Timur, mampu hadir sebagai hiburan dan memecah kesunyian di panggung puncak Festival Topeng Nusantara.

Menurut Wardiansyah, sesepuh suku Dayak Kenyah, para penari adalah media perantara roh-roh nenek moyang. Mereka datang untuk memberikan nasihat bertani kepada sang du- kun dan mengusir hama pertanian.

Wardiansyah, dukun dalam tarian itu, harus menata ulang tariannya. Jika lazimnya tarian ini melibatkan 13 penari topeng, kini cukup 6 penari topeng. Di panggung, proses komunikasi dengan arwah leluhur pun sebatas simbolik.

Sajian topeng panji pun begitu. Panji, menurut penari senior Cirebon, Keni Arja, dulunya dimainkan oleh penari dengan posisi membelakangi penonton. Penari dalam panji saat itu adalah simbol imam dan penonton adalah makmum atau pengikut. Penari panji akan menghadap kotak topeng yang dalam tarian adalah simbol alam semesta seisinya.

Sekarang, ketika panji naik ke panggung pertunjukan, posisi penari pun diubah menghadap penonton, memenuhi estetika pertunjukan.

Di daerah pesisir Indramayu dan Cirebon, pada dekade ini, tari panji bahkan tak populer lagi. Kalaupun ada tari panji, tarian dihadirkan hanya dalam waktu enam menit. Waktu sesingkat itu, bagi dalang topeng seperti Wangi Indriya, sangat tak cukup untuk menghidupkan panji, yang dipercaya memuat dengan filosofi tinggi.

Meski sanggup beradaptasi, ketika ditanggap, Wangi akan menawar jatah waktu pentas dan rangkaian gamelannya. Ia menolak jika harus menarikan tayub sesudahnya.

Pergeseran makna

Dalam buku Menusa Cirebon, Nurdin M Noer, budayawan Cirebon, menyebutkan, ada ajaran Islam dalam setiap gerak yang ditampilkan dalam tari topeng panji. Sunan Kalijaga-lah yang menyelipkannya sebagai bentuk tuntunan. Gerakan merentangkan tangan sepanjang pundak merupakan simbolisasi huruf Allah dalam tulisan arab. Gerakan itu juga diibaratkan sebagai bentuk kepasrahan kepada Ilahi. Ketika tarian tidak tampil utuh, pesan yang disampaikan akan susut, bahkan tak sampai. Pesan yang tak sampai bisa saja terjadi pada tarian lain yang semula adalah ritual.

Limbeng, etnomusikolog dari Sumatera Utara, mengatakan, pesan-pesan di balik tarian topeng, seperti gotong royong, tak lagi sampai. ”Dulu orang menari untuk mengingatkan agar bergotong royong karena setelah menari, mereka bekerja bersama. Seiring dengan waktu, tradisi itu mulai pudar,” kata Limbeng.

Endo Suanda, pengamat tari topeng dari Bandung, melihat pergeseran tradisi tak bisa dihindari. Ketika kini topeng dan tariannya lebih sering disajikan di panggung tontonan, artinya ada upaya penyesuaian dengan zaman. Tentu saja kemudian ada yang hilang dan ada adaptasi. ”Memang isi dari kekayaan topeng tak bisa terlihat sepenuhnya. Tapi, itu lebih baik daripada terlupakan,” kata Endo.

Iman Taufik, Pembina Yayasan Prima Adrian Tana yang menggagas festival itu, mengatakan, festival merupakan ajang memopulerkan kekayaan bangsa kepada publik nasional dan dunia.

Sebagaimana tema festival, ”Celebrating Our National Heritage”, festival ini sengaja merayakan perubahan itu....

Source : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 02:59 WIB

Manusia Prasejarah di Karst Citatah

ARKEOLOGI

Manusia Prasejarah di Karst Citatah

Petugas Balai Arkeologi Bandung dibantu masyarakat dan Balai Kepurbakalaan, Sejarah, dan Nilai Tradisional melakukan penggalian di Goa Pawon, Padalarang, Jawa Barat, Rabu (25/8). Pada penggalian 23 Agustus-2 September ditemukan berbagai peralatan manusia prasejarah. (KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG)***

Oleh Cornelius Helmy

”Nu maot diurus nu hirup ditalantarkeun.” Kata-kata dalam bahasa Sunda, yang artinya: yang mati diurus tapi yang hidup ditelantarkan, itu kerap didengar para arkeolog dan peneliti beberapa tahun belakangan ini saat terlibat dalam pelestarian kawasan Karst Citatah, Bandung Barat.

Namun, hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk terus bergelut dengan sesuatu yang mereka yakini. Ada kehidupan yang hilang di Karst Citatah.

Lewat penggalian terus-menerus, Balai Arkeologi (Balar) Bandung kembali menemukan apa yang mereka cari. Mereka menemukan ribuan alat dari batu obsidian dan tulang mamalia dalam lapisan tanah dengan rentang kronologi 5.600-9.500 tahun lalu. Alat-alat itu diduga digunakan manusia prasejarah di sana untuk kegiatan sehari-hari. Alat itu berupa pisau, bor, penyerut, bahkan mata tombak. Juga ditemukan perhiasan dari taring binatang, kulit kerang, dan gigi ikan hiu.

”Semua digunakan manusia prasejarah Goa Pawon karena tahun asalnya sama,” ujar arkeolog Balar Bandung Lutfi Yondri, yang ditemui saat penggalian dasar Goa Pawon di tahun 2010, akhir Agustus lalu.

Penelitian ini merupakan rangkaian aktivitas penelitian arkeologi sejak tahun 2003. Setelah tim Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menggali dan menemukan beberapa benda dari gerabah, obsidian, dan tulang binatang di Goa Pawon tahun 2000, Balar Bandung lalu menindaklanjutinya tiga tahun kemudian dan menemukan temuan lebih besar.

Mereka menemukan sisa rangka manusia yang lalu disebut dengan inisial R (Rangka)—dengan nomor urut berdasar urutan penemuan. Rangka R1 hanya terdiri dari atap tengkorak, rahang bawah, rahang atas yang diwarnai dengan hematid (pewarna merah) di kedalaman 80 cm. Ada juga R2— tulang tengkorak belakang.

Penggalian tahun 2004, tim Balar Bandung gembira bukan kepalang karena menemukan R3—rangka manusia dalam posisi terlipat (flexed) di kedalaman 143 cm. Dilihat dari posisi melipat, itu adalah pemakaman kuno. Walau saat ditemukan kondisinya sudah sangat rapuh, penemuan itu hingga kini adalah yang terbesar di Jabar. Di lapisan bawah dari temuan R3, ditemukan R4 tapi tidak seutuh R3. Rangka ini terdiri dari bagian tengkorak, dan tulang-tulang bagian badan, serta lengan-yang amat rapuh.

Sempat kosong setahun, di tempat yang sama tim mengembangkan penggalian, membuka kotak-kotak ekskavasi baru. Hasilnya, ditemukan tulang tungkai, rahang atas dan bawah—R5. Lutfi mengatakan, penggalian terbaru menguatkan fakta dari penemuan sebelumnya di Jabar atau daerah lain di Pulau Jawa, yaitu soal pola migrasi manusia prasejarah.

Temuan itu membuktikan manusia prasejarah pernah tinggal di Jawa Barat. Sebelumnya para ahli menarik jalur garis migrasi dari Asia ke Pulau Jawa langsung ke Jawa Tengah.

Ketika dicocokkan dengan kebiasaan manusia prasejarah di beberapa karst di Jawa Timur dan Jawa Tengah, terlihat ada kemiripan. Penguburan manusia terlipat juga ditemukan di Song Keplek di Pacitan, Jawa Timur (usia: 5.900 tahun lalu); Song Gentong di Tulungagung, Jawa Timur (8.760 tahun lalu); Song Terus di Pacitan, Jawa Timur (9.200 tahun lalu); dan Goa Braholo di Gunung Kidul, Yogyakarta (9.780 tahun lalu).

Dari orientasi arah penguburan, manusia prasejarah di Song Gentong memiliki pola sama. Kedua kuburan mengarah ke barat laut tenggara. Proses pewarnaan dengan hematid juga dilakukan pada temuan di Song Keplek. Besar kemungkinan mereka memiliki garis keturunan sama yang terus menjauh dari tempat asalnya karena kebutuhan perburuan hewan. Mereka berpindah seiring migrasi hewan buruan.

Fakta lain, manusia prasejarah Pawon gemar menjelajahi daerah yang jauh dari tempat tinggalnya. Contohnya, penemuan batu obsidian hanya ada di sekitar Nagreg, Kabupaten Garut, dan di sekitar Subang. Jarak antara Nagreg dan Goa Pawon sekitar 30 kilometer. Dengan penemuan itu, bisa dipastikan bahwa manusia prasejarah Pawon melakukan perjalanan panjang mencari batu obsidian.

Pada penemuan gigi hiu dan kerang, 5.600-9.500 tahun lalu diperkirakan laut terdekat dengan Goa Pawon ada di Pantai Subang-sekitar 40 km dari Goa Pawon. Menarik diteliti bahwa mereka memiliki sistem navigasi atau penanda tertentu agar mereka bisa pulang.

”Bukan tidak mungkin, manusia prasejarah di Jatim dan Jateng awalnya adalah bagian dari manusia prasejarah Jabar yang memiliki pola migrasi untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Dengan penemuan itu, Lutfi semakin bersemangat menggali di sekitar Goa Pawon untuk melihat kemungkinan adanya bekas kegiatan yang sama atau lebih tua. Ia yakin ada semacam permukiman di Jabar, setidaknya ditemukan kerangka manusia prasejarah lain. Sasarannya adalah goa kapur di sekitar Pawon. Data mahasiswa pencinta alam Ganesha ITB menyatakan, tidak kurang 50 goa kapur ada di pegunungan Rajamandala.

Salah satu bukti adalah temuan serpihan tulang manusia di Goa Tanjung—sekitar 300 meter dari Goa Pawon—tahun 2009. Setelah penelitian lanjutan, ditemukan 7-8 fragmen tulang kaki manusia, panjang 20-30 cm. Usia tulang diperkirakan sama dengan usia manusia Pawon.

Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Tony Djubiantono mengatakan, penelitian lanjutan bisa menjadi aktivitas penting mengungkap perkembangan manusia prasejarah di Indonesia. Ia menyambut baik niat Balar Bandung terus meneliti untuk mengungkap misteri manusia prasejarah di Indonesia. Namun, usaha itu tidak akan mudah mendapat hasil. Mereka harus adu cepat dengan perusakan dan eksploitasi kawasan kapur. Geolog Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo mengatakan, mayoritas goa-goa kapur di Karst Citatah terancam rusak akibat penambangan. Lemahnya peraturan hukum turut memengaruhi.

”Aturan seperti UU No 24 Tahun 1992 tentang Perlindungan Kawasan Karst, UU No 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, dan niat Pemerintah Kabupaten Bandung Barat untuk melindungi Karst Citatah tidak terlihat kekuatannya,” ujar koordinator KRCB ini.

Ketua Masyarakat Geografi Indonesia T Bachtiar mengatakan, setidaknya beberapa goa kapur di kawasan Karst Citatah dalam kondisi kritis. Goa itu ada di Pasir Bancana, Pasir Masigit, dan Gunung Hawu.

Goa di Pasir Bancana adalah goa buntu berbentuk vertikal dan horizontal. Saat ini goa itu rusak di sisi timur, barat, dan utara. Goa di Pasir Masigit adalah goa vertikal, dan kini rusak di sisi timur, utara, dan selatan. Juga goa vertikal dan horizontal di Gunung Hawu yang kini rusak di sisi timur. Bachtiar mengatakan, bila rusak dan hancur tentu sangat merugikan masyarakat Jabar di berbagai bidang. Ini merupakan bukti minimnya penjagaan tempat bersejarah, hilangnya aspek pendidikan dan potensi wisata. Ia menerangkan, minimnya penjagaan terhadap empat goa itu pasti berpengaruh pada usulan Jabar yang ingin Goa Pawon menjadi warisan dunia UNESCO.

”Padahal, apabila bisa dimanfaatkan dengan baik, potensi wisata dari kematian manusia prasejarah dan lokasi tempat tinggalnya bisa membuat warga di sekitarnya sejahtera. Bukan lagi anggapan hanya memikirkan yang sudah mati. Hal itu sudah dipraktikkan di negara maju seperti Jepang, Belanda, dan Perancis,” ujar Bachtiar. ***

Source : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 04:35 WIB

Jumat, 22 Oktober 2010

Kolaborasi Musik Multietnik Saratuspersen yang Asyik...

BENTARA PENTAS MUSIK

Kolaborasi Musik Multietnik Saratuspersen yang Asyik...

Iringan musik etnik grup Saratuspersen mengiringi tari tradisional Sammy Management di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (21/ 10). Kolaborasi musik dan tari tradisional oleh dua kelompok seni asal Bandung tersebut memberi sentuhan lain sebuah pertunjukan yang dinamis.(KOMPAS/Lucky Pransiska)***

Menjelang tampil di Esplanade Theatre, Singapura, 30-31 Oktober 2010, dalam Pesta Raya, Malay Festival of Arts, kelompok musik kolaborasi multietnik Saratuspersen dan Sammy Management unjuk kebolehan pada Bentara Pentas Musik di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (21/10) malam.

Itu penampilan kali kedua di BBJ setelah penampilan pertama, November 2009, yang ketika itu penampilan pertama Saratuspersen di Jakarta setelah melanglang buana selama sembilan tahun dari suatu festival ke festival lain di mancanegara.

Bahkan, seusai pentas di Singapura, Saratuspersen berkeliling memenuhi undangan untuk tampil di Swiss, Belgia, Jerman, Jepang, Belanda, dan Australia.

Walau tertunda sekitar 30 menit karena hujan, penampilan Saratuspersen dan Sammy Management tetap ditunggu-tunggu para penggemarnya.

Diawali komposisi terbaru ”Jangan ke Mana-mana”, permainan instrumen musik gamelan Bali terasa dominan. Meski demikian, kolaborasi multietnik tetap memberikan nuansa yang khas Saratuspersen.

Tidak hanya instrumen musik yang menggabungkan beberapa genre/disiplin musik-musik daerah yang ditampilkan, tetapi Saratuspersen, yang secara musikal juga menggunakan gaya dan genre musik Timur dan Barat, secara umum juga menampilkan vokalis dan tarian.

Pada komposisi ”Ubud”, misalnya, tidak saja musiknya enak dinikmati, tetapi tarian yang dibawakan Sammy dan kawan-kawan juga menghangatkan suasana dingin setelah Jakarta diguyur hujan. Tidak saja musiknya yang terasa baru, tarian yang diangkat dari akar budaya Bali ini juga tampil baru karena dikolaborasikan juga dengan akar budaya Jawa Barat.

Secara konseptual, Saratuspersen adalah kelompok musik yang merepresentasikan semangat pluralisme dan universalisme. Universalisme dalam arti membangun harmoni multikultural (antaretnis dan antara Timur dan Barat).

Semalam, lebih dari 12 komposisi ditampilkan. Berdiri pada 1 September 2001, Saratuspersen telah menghasilkan beberapa karya, di antaranya Midnight Sky (instrumental), Sundanesse in Bali (instrumental), Ubud (instrumental), Latinamina (instrumental), Ilusi (instrumental), Love (instrumental), dan Bersama (instrumental + vocal).

(NAL)***

Source : Kompas, Jumat, 22 Oktober 2010 | 04:50 WIB

WAYANG : Menembus Brunei, Gamang di Negeri Sendiri

WAYANG

Menembus Brunei, Gamang di Negeri Sendiri

Pertunjukan Wayang Menak dengan lakon Amir Hamzah Berguru dibawakan dalang Ki Junaedi dari ISI Yogyakarta, di tengah Seminar dan Pengenalan Wayang Menak yang diadakan oleh Asosiasi Wayang ASEAN bekerja sama dengan Angkatan Sasterawan dan Sasterawani Brunei, di Dewan Bahasa dan Pustaka, Bandar Seri Begawan, Brunei, yang berlangsung pada 13-17 Oktober 2010. (ARDUS M SAWEGA)***

Satu jam sebelum keberangkatan delegasi dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia ke Brunei dengan misi mengenalkan wayang menak Indonesia kepada masyarakat Brunei, Rabu (13/10), dalang wayang suket Ki Slamet Gundono melayangkan pesan singkat secara beruntun yang memuat kegalauannya akan eksistensi wayang di Tanah Air.

Ia melaporkan sejumlah insiden yang menimpa pementasan wayang kulit di beberapa daerah, terutama di sekitar Solo, Jawa Tengah, yang mendapat intimidasi dari kelompok orang yang mengatasnamakan agama.

”Kasus terakhir di Bekonang. Saat jejer wayangan, datang kelompok itu sehingga wayangan terpaksa berhenti, lalu terjadi nego. Karena dalang dan tuan rumah bertahan, wayangan tetap dilanjutkan. Ini juga terjadi di Forum Watak. Wayangan mereka anggap musyrik,” tulis Slamet Gundono dalam pesan singkatnya.

Ketua Dewan Kesenian Sukoharjo Joko Ngadimin menjelaskan, insiden di Desa Sembung Wetan, Bekonang, terjadi pada Sabtu (9/10) malam. Sekitar 300 orang ”mengamuk” setelah terpancing provokasi dari warga penonton wayang kulit. Pentas wayang sempat terhenti beberapa saat, tetapi bisa berjalan lagi.

Berbagai kalangan menilai aksi sweeping yang dilakukan oleh kelompok itu terhadap pergelaran wayang di berbagai daerah, baik di kota dan pedesaan di sekitar Solo belakangan ini, merupakan intimidasi terhadap bentuk ungkap budaya yang selama ini memiliki daya hidup di masyarakat.

Pengurus Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) dan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) yang menerima laporan spontan menyampaikan keprihatinannya. Ketua Umum Senawangi H Solichin meminta agar insiden-insiden yang menimpa dalang dan pentas wayang di daerah hendaknya dilaporkan berikut datanya secara rinci.

Ketua Pepadi Ekotjipto mengidentikkan aksi kelompok yang mengatasnamakan agama tersebut sebagai premanisme. ”Sekarang ini premanisme merebak di kalangan elite, baik yang berkedok agama, politik, maupun lainnya. Para dalang harus berani menghadapi premanisme seperti itu,” ujar Ekotjipto.

Sekretaris Jenderal Senawangi Amb Tupuk Sutrisno mengungkapkan, pihaknya telah melaporkan fenomena yang tengah merundung dunia pertunjukan wayang di Tanah Air itu kepada Sekjen Kementerian Agama Nazaruddin yang ditemui di Bandar Seri Begawan, Brunei, pekan lalu. ”Pak Nazaruddin berpesan agar persoalan ini tidak di-blow up. Kita juga diminta introspeksi karena menurut beliau, dalam kasus sweeping itu, sering kali didapati warga yang mabuk-mabukan dan bermain judi,” katanya.

Lolos sensor

Bayang kecemasan terhadap dunia wayang di Tanah Air itu sejenak terlupakan saat rombongan Senawangi menginjakkan kaki di Bumi Brunei. Di negeri yang menganut asas Melayu Islam Beraja ini, Senawangi sengaja ”menawarkan” pertunjukan wayang menak kepada rakyat Brunei (400.000 jiwa). Langkah ini sebagai tindak lanjut Sidang APA III di Manila, Februari 2010.

Brunei adalah satu-satunya negara, dari 10 negara anggota ASEAN, yang belum memiliki seni pertunjukan wayang. Pengertian ”wayang” di sini—disepakati oleh ASEAN Puppetry Asociation (APA) atau Asosiasi Wayang ASEAN—bukan hanya wayang kulit, tetapi juga wayang golek, wayang beber, atau seni pertunjukan boneka (marionnette), termasuk pertunjukan teater tradisional yang membawakan kisah wayang.

Di Brunei, pengertian ”wayang” adalah segala jenis teater, termasuk film. ”Pertunjukan wayang yang dibuat, seperti tayangan di televisi, biasanya sebagai media pendidikan untuk anak. Adapun wayang sebagai budaya tradisi, serta dipertunjukkan secara berkala seperti di Indonesia, belum terdapat di Brunei,” papar Dr Zefri Ariff, budayawan dari Angkatan Sasterawan dan Sasterawani Brunei (Asterawani) dalam Seminar Wayang ASEAN, di Dewan Bahasa dan Pustaka, Bandar Seri Begawan.

Pembicara lain dalam seminar adalah Prof Ghulam-Sarwar Yousof (Malaysia), Dr Suyanto (Indonesia), Prof Amihan Bonifacio-Ramolete (Filipina), dan Dr Chua Soo Pong (Singapura). Seminar yang diikuti pengenalan wayang menak oleh Didy Indriani Haryono dari Senawangi ini dibuka oleh Pejabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, Datin Adina binti Othman.

Didy Haryono memaparkan, wayang menak yang memuat ajaran Islam berkembang di Jawa pada abad ke-17. Kisah menak diangkat dari ”Hikayat Amir Hamzah” yang populer di masyarakat Melayu. ”Menak artinya bangsawan atau ningrat. Ini berhubungan dengan sistem kerajaan yang berlaku di Jawa saat itu,” ujar Didy seraya menambahkan, karena itu jenis wayang menak cocok untuk dibawakan di Brunei mengingat pemerintahannya juga menganut sistem kerajaan (monarki absolut).

Tawaran dari Senawangi yang memilih wayang menak sebagai pertunjukan di Brunei, menurut Tupuk Sutrisno, sebagai ”perjalanan panjang menembus Brunei”. Dari Kedutaan Besar RI di Brunei, pihaknya memperoleh gambaran tentang kesulitan yang bakal dihadapi di Brunei mengingat masyarakatnya berpegang teguh pada nilai-nilai agama (Islam). Selain itu, semua pertunjukan untuk umum harus melalui prosedur sensor.

Sebagai prosedur awal, untuk pertunjukan wayang di Brunei itu, pihak Senawangi harus mengantungi ”surat kebenaran” atau semacam letter of trust. Surat sakti tersebut baru diterima Senawangi tiga hari menjelang keberangkatan ke Brunei. Dan, sebelum dipertunjukkan untuk umum pada Sabtu (16/10), baik wayang menak dengan lakon ”Amir Hamzah Berguru” serta wayang purwa dengan lakon ”Anoman Duta” mesti menjalani uji sensor yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri Brunei.

Ada delapan pegawai kementerian yang dikirim untuk menyaksikan pertunjukan wayang yang dibawakan oleh dalang Ki Junaedi (wayang menak) dan Ki Anton Surono (wayang purwa). Setelah 20 menit menyaksikan pergelaran, petugas sensor menyatakan wayang dari Indonesia itu lolos untuk dipertunjukkan.

Apresiasi

Penonton yang hadir di Balai Sarmayuda, tempat pementasan, umumnya mengapresiasi pertunjukan wayang dari Jawa itu. Mereka tampak surprise ketika menyaksikan wayang purwa yang dibawakan Ki Anton Surono yang atraktif dengan dialog-dialog berbahasa Inggris berlogat Tegal, tetapi justru terasa komunikatif.

Sait Haji Jali, Dayangku Hj Fatimah, dan Pangiran Ratna Surya dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei menyatakan kekaguman mereka akan budaya wayang yang berkembang di Indonesia. ”Akan sangat sayang kalau budaya tradisi seperti ini punah,” ujar Sait.

Ketiganya tidak melihat wayang identik dengan budaya Hindu, atau sebagai media pemujaan terhadap dewa-dewa. ”Kalau dalam pertunjukan wayang itu didahului dengan mantra-mantra atau pakai sesaji dan membakar kemenyan sehingga orang menjauhi syariat agama, itu yang tidak boleh,” tutur Dayangku Hj Fatimah.

Ketua APA Brunei H Abdul Hakim bin H Moh Yassin mengatakan, setelah menyaksikan pertunjukan wayang dari Indonesia, kalangan budayawan akan mengkaji lebih lanjut bentuk wayang yang cocok diciptakan di Brunei. Tentang anggapan bahwa Pemerintah Brunei melarang pertunjukan boneka sebagai identik pemujaan kepada dewa, Zefri Ariff menjelaskan, larangan itu tidak seketat seperti disangkakan orang. Pasalnya, maskot ayam KFC atau Donald Bebek berbentuk patung pun bisa diterima di Brunei.

Respons positif serta apresiasi masyarakat Brunei terhadap wayang Indonesia itu melegakan dan merupakan sebuah kejutan bagi delegasi dari Senawangi. Namun, di Tanah Air, eksistensi kesenian wayang justru mendapat tantangan baru. Bukan karena transformasi sosial atau modernitas yang menggilas nilai-nilai luhur di dalam wayang, melainkan ”momok” yang lain....

(Ardus M Sawega, Wartawan di Solo) ***

Source : Kompas, Jumat, 22 Oktober 2010 | 05:18 WIB

Kamis, 21 Oktober 2010

Mendidik Abdi Dalem untuk Mempertahankan Keistimewaan

SIMBOLISME KERATON YOGYAKARTA

Mendidik Abdi Dalem untuk Mempertahankan Keistimewaan

Abdi dalem bersiap menerima sabdatama dari Sultan Hamengku Buwono X pada pembukaan pawiyatan (pendidikan) untuk abdi dalem di Bangsal Kencono, Keraton Yogyakarta, Kamis (30/9). (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)***

Oleh Erwin Edhi Prasetya

Tersamar dan simbolis. Bahkan terhadap masalah sangat serius bagi masyarakat Yogyakarta saat ini pun, Sultan Hamengku Buwono X tetap berbicara simbolis. Pawiyatan atau pendidikan bagi abdi dalem keraton adalah kritik kerasnya yang disamarkan.

Alkisah, tahun 1757, dua tahun setelah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, Sultan Hamengku Buwono (HB) I memulai sistem pendidikan ala Keraton Yogyakarta bagi rakyat, abdi dalem, dan kerabat keraton.

Banyak hal diajarkan, mulai dari seni sastra, sejarah dan tata negara, hukum, pendidikan Al Quran dan tafsirnya, hingga keahlian menatah dan menyungging wayang kulit, membuat gamelan, bertani dan irigasi, menunggang kuda, memanah, dan ilmu perang.

Pendiri Yogyakarta yang visioner itu sadar betul bahwa melalui pendidikan, Yogyakarta akan jadi negara unggul, maju, dan kokoh di berbagai bidang. Sayangnya, sejak Sultan HB II, pawiyatan itu ditiadakan seiring dengan makin kuatnya pengaruh Belanda. Setelah 253 tahun lewat, cara Sultan HB I itu dilanjutkan Sultan HB X.

Pertanyaannya, mengapa inspirasi itu bersumber dari kancah sejarah yang begitu lama dan dari leluhurnya yang di masa mudanya bergelar Pangeran Mangkubumi alias Raden Mas Soedjono itu?

Merunut kisah sejarah tentang Raden Mas Soedjono yang gemar mempelajari pengetahuan arsitektur, perang dan bela diri, kerohanian dan filsafat, ia rupanya juga menghidupi zaman perang dan penindasan dari Kompeni Belanda. Penobatannya sebagai raja, ditandai dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang dirumuskan Kompeni (dan pecahlah Keraton Surakarta menjadi Surakarta dan Yogyakarta), adalah hasil maksimal usaha HB I melawan praktik politik kotor Kompeni di seantero Nusantara.

Apa benar Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang kini macet dan tidak jelas nasibnya itu punya substansi yang sama dengan isi Perjanjian Giyanti 1755? Silakan menimbangnya cermat.

Yang diteken dan disahkan di Desa Giyanti ketika itu pada intinya adalah penindasan dan pembungkaman terhadap Sultan HB I dan wilayah Keraton Yogyakarta. Pada Pasal 3 Giyanti disebut: Sebelum pepatih dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia kepada Kompeni di tangan Gubernur Jenderal Belanda. Pasal 4: Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan pepatih dalem dan bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari Kompeni. Pasal 5: Sultan akan mengampuni bupati yang selama dalam peperangan memihak Kompeni. Pasal 9: Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dan Kompeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.

Kini, dalam zaman berbeda, kesumpekan yang sama agaknya membuat gerah masyarakat dan kalangan Keraton Yogyakarta. Keraton pun menghidupkan lagi pawiyatan abdi dalem. Pawiyatan akan mendidik 1.200 abdi dalem dan setiap angkatan dididik 100 orang dalam workshop setiap Senin dan Kamis pukul 10.00-13.00. Pilihan Senin dan Kamis konon berkaitan dengan hari puasa yang baik.

Saat membuka pawiyatan perdana di Bangsal Kencono, Keraton Yogyakarta, Kamis (30/9), Sultan HB X mengemukakan, pawiyatan dirasa perlu dilaksanakan kembali melihat perkembangan modernitas. Modernitas dengan segala perubahannya harus tetap diimbangi derap langkah majunya kebudayaan Jawa. Abdi dalem harus menjadi agen pelestari budaya Keraton Yogyakarta. ”Kenyataannya, tak semua abdi dalem mumpuni dalam kebudayaan,” kata Sultan.

Pawiyatan pun diisi dengan pengajaran aspek kebudayaan yang tak tampak (intangible) dan yang tampak (tangible); dari soal filsafat, sejarah, bahasa dan sastra, busana, tata krama dan tradisi keraton, pusaka, wayang, gamelan, sampai arsitektur.

Hari itu, ratusan abdi dalem punokawan dan keprajan (abdi dalem yang bertugas di pemerintahan daerah) duduk bersila menunggu di halaman Bangsal Kencana. Dengan pakaian tradisional Jawa peranakan warna biru dengan keris terselip di pinggang, mereka maju duduk di kursi yang ditata rapi di teras Bangsal Kencana. Didahului sembah kepada raja, mereka duduk di hadapan Sultan.

”Dengan pawiyatan, Sultan Hamengku Buwono X ingin membangun peradaban baru untuk tetap eksisnya Keraton Yogyakarta,” ujar Kanjeng Raden Tumenggung Yudha Hadiningrat, cucu Sultan HB VIII, yang menjabat Wakil Penghageng Parentah Hageng Keraton Yogyakarta (Sekretariat Keraton).

Sejak pawiyatan digulirkan, suasana Keraton berubah. Para abdi dalem, yang belajar dengan duduk lesehan, memasang mata dan konsentrasi penuh.

Materi bahkan disampaikan memakai laptop dan proyektor untuk menampilkan foto-foto bagian-bagian Keraton. ”Banyak hal baru yang saya dapatkan,” ungkap Purwo Semantri (45), abdi dalem yang sudah 10 tahun mengabdi.

Purwo Semantri adalah abdi dalem di Sekretariat Keraton yang bekerja pukul 10.00-13.00 setiap hari, dengan honor Rp 100.000 sebulan. Sehari-hari ia membatik di rumahnya, tak jauh dari Keraton. Purwo meneruskan tugas bapaknya sebagai abdi dalem. ”Saya jadi abdi dalem sebagai ungkapan terima kasih kepada Keraton yang sudah mengizinkan saya dan keluarga tinggal di tanah Keraton gratis. Karena itu, saya harus loyal kepada Keraton.”

Dalam konteks dan konstelasi politik nasional saat ini—di mana otonomi daerah telah menjalar demikian pelik dan penuh permainan uang meski di sana- sini satu-dua daerah berhasil meraih kemajuan dan menyejahterakan rakyat—harus diakui aspirasi mayoritas masyarakat di DIY sangat diabaikan oleh pemerintah pusat.

Saat ini, misalnya, masa jabatan HB X dan Paku Alam (PA) IX sebagai gubernur dan wakil gubernur berakhir pada Oktober 2011, setelah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto (saat itu) memutuskan perpanjangan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tiga tahun ke depan sejak Oktober 2008 itu.

Saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya dulu, Sultan HB IX (ayah HB X) menyatakan bergabung dengan NKRI. Presiden Soekarno pun pada 19 Agustus 1945 memberikan piagam kedudukan kepada Sultan HB IX dan PA VIII, isinya menyatakan keduanya tetap pada kedudukannya. Sultan HB IX dan PA VIII mengeluarkan Amanat 5 September yang menyatakan Yogyakarta bersifat kerajaan dan keduanya sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Dalam draf RUUK DIY yang diterima Komisi A DPRD DIY, pada Pasal 8 disebutkan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dapat berasal dari Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta, kerabat Keraton dan Paku Alaman, dan umum.

Namun, di sisi lain, kita melihat betapa istimewanya tiga provinsi lain yang dianggap ”bermasalah” di era reformasi: Nanggroe Aceh Darussalam, Papua Barat, dan Papua. Sejak beberapa tahun lalu, ketiga provinsi itu masing-masing menerima dana otonomi khusus bernilai puluhan miliar rupiah. Aceh dengan peraturan daerah dan syariahnya dan Papua dengan bendera Bintang Kejoranya—terus bergulir dan seperti tidak dicegah karena pertimbangan integrasi nasional.

Inilah mengapa isu referendum untuk menentukan nasib sendiri kini memanas kembali di Yogyakarta. Masuk akal karena DIY dan masyarakat Yogyakarta tidak memperoleh dana otonomi khusus, bahkan cenderung terus ”dicampakkan” sejak zaman Soeharto.

Jadi, jelaslah kini, pawiyatan itu sesungguhnya sebuah sinyal bahwa Keraton—dan orang Yogyakarta—gusar dengan keadaan. (Hariadi Saptono)***

Source : Kompas, Kamis, 14 Oktober 2010 | 04:39 WIB

Ada 9 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • m.gathul paimo suromenggolo

Kamis, 14 Oktober 2010 | 15:13 WIB

Sebagai wong Yogya asli yang sudah merantau keliling nusantara lebih dari 30 tahun, saya ingin kembali untuk bergabung dengan masyarakat Yogya apabila referendum bakal digelar. Yakin akan lebih bagus daripada bergabung dengan negeri bedebah /republik pembohong.... Maju terus pawiyatan !

Balas tanggapan

  • Bintarto Padmosoewirjo

Kamis, 14 Oktober 2010 | 11:07 WIB

Saya sangat mendukung semua komnetar yang dilayangkan publik tentang hal ini. Memang Pemerintah NKRI sekarang ini hampir tidak peduli dengan ke-istimewaan Jogja, propinsi yang telah sangat ikut berjasa tetap menjaga berdirinya NKRI. Kalau sampai ada (sebagian) warga negara yang sampai (hati) mempersoal- kan diskriminasi perlakukan terhadap DIY, dibanding dengan NAD dan Papua, ya tentu karena sudah ada alasan kuat. Duwit triliunan rupiah digerojokkan ke NAD yang masa lalunya kelam, berontak terhadap NKRI, lalu Papua (yang sesungguhnya salah urus Pemerintah Pusat, membiarkan rakyat Papua tetap sengsara, sementara sumber daya alamnya disedot habis-habisan oleh bangsa asing) yang tak henti-hentinya minta referendum, maka suara-suara (warga DIY) yang membuat hati bergidik, menuntut referendum juga, adalah juga kesalahan Pemerintah Pusat. Mau dikemanakan Repblik ini?

Balas tanggapan

  • Hery Nugroho

Kamis, 14 Oktober 2010 | 11:03 WIB

[Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang dirumuskan Kompeni (dan pecahlah Keraton Surakarta menjadi Surakarta dan Yogyakarta),] Seingat saya, Perjanjian Giyanti itu menghasilkan pecahnya KERATON MATARAM menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta.

Balas tanggapan

  • Akhi sowak

Kamis, 14 Oktober 2010 | 09:45 WIB

merdeka saja...menjadi bangsa yang lebih bermatabat dari pada ikut indonesia yang penuh tipu daya dan banyak menjadi antek asing

Balas tanggapan

  • edy setijono

Kamis, 14 Oktober 2010 | 09:40 WIB

mari kita dorong terjadinya harmonisasi adat dan demokrasi. keistimewaan bukanlah label yang harus diperdebatkan, tetapi lebih merupakan pengejawantahan atas substansi dari peran dan karya serta keberpihakan kraton ngayogyakartahadiningrat pada kepentingan rakyat. selanjutnya perlu dijadikan guru atas peran kesultanan dimasa lampau sekaligus penyempurnaan posisinyanya dimasa kini untuk keterjaminan manfaat sebesar-besarnya keberadaan kesultanan bagi rakyat dimasa yang akan datang.

Balas tanggapan