29 Maret 2011
EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE
88,8 Persen Sekolah Tak Lampaui Mutu Standar
JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Sampai saat ini, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Pada kondisi itu, pemerintah justru gencar menggelontorkan dana untuk menciptakan rintisan sekolah bertaraf internasional.
Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal (SPM), sedangkan 48,89 persennya pada posisi SPM. Hanya 10,15 sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan. Pemerintah menggenjot rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI) 0,65 persen.
Kondisi itu terungkap dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan Komisi X DPR di Jakarta, Senin (21/3) malam. Rapat membahas dana alokasi khusus, postur anggaran pendidikan 2010, persiapan ujian nasional, hingga SBI.
Pada jenjang pendidikan dasar, hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang SD, baru 3,29 persen dari 146.904 sekolah yang masuk kategori sekolah standar nasional (SSN) atau sekolah ideal.
Sebanyak 44,84 persen layanan pendidikan SD bahkan di bawah SPM. Sebanyak 51,71 persen lainnya baru masuk kategori standar minimal.
Pada jenjang SMP, 28,41 persen dari 34.185 sekolah masuk kategori SSN. Lainnya, 26 persen SMP masuk kategori di bawah SPM dan 44,54 SMP memenuhi SPM.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar memuat ketentuan minimal yang harus dipenuhi sekolah. Untuk lokasi SD, misalnya, mesti terjangkau jalan kaki maksimal 3 kilometer. Sementara untuk SMP 6 km.
Dalam satu rombongan belajar SD, maksimal siswa 32 orang, sedangkan SMP 36 orang dan harus ada ruang kelas dilengkapi meja dan kursi sesuai jumlah siswa. Kenyataannya, banyak sekolah berjubel siswa dengan mebeler tak memadai.
Guru di SD minimal 6 orang. Di SMP, satu guru untuk tiap mata pelajaran. Itu pun belum bisa dipenuhi. Soal buku teks yang harus disediakan sekolah hingga kini belum terpenuhi.
Theresia EE Pardede (Fraksi Partai Demokrat) mempertanyakan kesenjangan tajam itu. ”Kalau buru-buru mengejar RSBI, kesenjangan makin tajam,” katanya.
Menurut Nurhasan Zaidi (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), jika sekolah di kategori SPM banyak, mesti ada skala prioritas. ”Lompatan ke RSBI menciptakan ketimpangan yang menjadi-jadi. Apalagi jika yang dikejar cuma agar siswa jago bahasa Inggris. Jepang justru menerjemahkan buku asing ke bahasa Jepang untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
Mendiknas mengatakan, tiap sekolah harus naik kelas. ”Kami tetap mengembangkan SBI, tetapi tentu dengan jaminan mutu yang diawasi ketat,” kata Mohammad Nuh. (ELN)***
Source : Kompas, Rabu, 23 Maret 2011
Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.
Kamis, 24 Maret 2011 | 08:25 WIB
Konsep Pendidikan Nasional sebenarnya udah jelas dan terang benderang, namun implementasi yang masih gelap gulita (baca : meraba-raba)!
Rabu, 23 Maret 2011 | 08:02 WIB
RSBA saya kira lebih baik bagi dunia pendidikan di Indonesia, rintisan sekolah berstandar akhirat.
Rabu, 23 Maret 2011 | 22:41 WIB
ga guna , harap surga akhirat tp ciptakan kebodohan di dunia . Uda ga zaman omg akhirat2 , emg maw ketinggalan trus .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar