Rabu,
17 April 2013
MAJU TERUS
EKSPEDISI HUMANIORA
Soeratin dan
Semangat Perbaikan PSSI
Oleh Football
Fandom | Arena – 21
jam yang lalu
n bendera pertama PSSI.
(Tempo/Seto Wardhana)*Edisi 83 Tahun PSSI*
Ditulis oleh: Sirajudin Hasbi
Pada 19 April 2013, Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI) genap berusia 83 tahun. Usia yang sudah tak bisa dibilang
muda. Jika PSSI diibaratkan manusia, tentunya PSSI merupakan seorang yang sudah
tua yang mungkin tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan dunia selamanya.
Tetapi, sebagai organisasi yang membidani olahraga paling
populer di Indonesia, PSSI tentunya tak boleh terlalu cepat menjadi memori
sejarah. Organisasi ini perlu tetap eksis dan berkontribusi positif, seperti
yang dicita-citakan oleh Ir. Soeratin, pendirinya.
Kondisi terkini sepak bola Indonesia jelas membuat miris
hati kita, terlebih Ir. Soeratin yang sudah mencurahkan hidupnya semata untuk
sepak bola Indonesia. Dia sudah berkorban banyak. Dia memimpin PSSI selama 11
periode (waktu itu kongres berlangsung setahun sekali) bukan karena politik
uang atau nafsu berkuasa, melainkan karena dia dianggap sebagai orang yang
mampu, punya totalitas, dan mampu mengayomi berbagai insan sepak bola
Indonesia. Meskipun itu artinya harus mengesampingkan kehidupan pribadi.
Ir. Soeratin lahir di Yogyakarta, 17 Desember 1898.
Lelaki bernama lengkap Soeratin Soesrosoegondo ini dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang terpelajar. Ayahnya mengajar di Kweekschool, dan penulis buku
“Bausastra Basa Jawi”. Soeratin pun tumbuh menjadi lelaki yang cerdas dan
memiliki kesempatan untuk terus bersekolah — hingga mengenyam studi di Koningen
Wilhelmina School di Jakarta.
Selepas merampungkan studi di Wilhelmina, Soeratin
meneruskan ke Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, dekat Hamburg, Jerman pada
tahun 1920. Dari sekolah inilah, Soeratin bisa lulus sebagai insinyur sipil
pada tahun 1927 dan berhak menyematkan gelar Ir. di depan namanya.
Soeratin bukanlah orang yang lupa pada tanah air walaupun
hidup di Jerman begitu nyaman. Pada 1928 dia kembali ke nusantara dan bekerja
di sebuah perusahaan konstruksi terkemuka Belanda. Perusahaan jasa konstruksi
ini membangun infrastruktur, seperti jembatan dan gedung di Tegal, Bandung dan
beberapa daerah lain.
Pada masa itu pergerakan nasional sedang menggeliat
setelah adanya Sumpah Pemuda tahun 1928. Sulit bagi Soeratin untuk tidak ikut
terlibat. Ada keinginan untuk memanfaatkan ilmunya bagi tanah leluhur dan juga
menghapuskan penjajahan di bumi nusantara.
Namun, bukan gerakan politik yang dipilih oleh Soeratin.
Dia lebih memilih memanfaatkan olahraga sebagai sarana memupuk rasa persatuan.
Sepak bola yang sudah populer kala itu dipilih sebagai olahraga yang dijadikan
alat untuk menjalin hubungan antar pemuda di berbagai daerah di Indonesia.
Terlebih pula Soeratin merupakan penggemar olahraga sebelas lawan sebelas ini.
Pekerjaannya yang berpindah-pindah mempermudah Soeratin
untuk menjalin komunikasi dengan kawan-kawan di daerah. Dia pun didukung penuh
oleh keluarganya untuk terlibat dalam pergerakan nasional. Terlebih lagi
istrinya, R. A. Srie Woelan, adalah adik kandung Dr. Soetomo, pendiri Budi
Utomo, organisasi pemuda masa pergerakan nasional.
Dalam waktu yang relatif cepat Ir. Soeratin sudah mampu
menjalin komunikasi intens dengan tokoh sepak bola di daerah dengan basis sepak
bola kuat seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Solo, Madiun, hingga
Surabaya untuk mempermudah langkah mendirikan organisasi sepak bola yang
bersifat nasional. Pertemuan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi untuk
menghindari intel Belanda.
Akhirnya pada 19 April 1930, tokoh sepak bola dari
berbagai daerah berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI, yang ketika itu merupakan
kependekan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Penggantian kata
“Sepak Raga” menjadi “Sepak Bola” baru dilakukan saat kongres Solo tahun 1950.
Kongres di Yogyakarta sendiri dihadiri oleh Voetbalbond Indonesische Jakarta
(VIJ, yang kini kita kenal dengan nama Persija), BIVB Bandung (Persib), PSIM
Mataram, PPSM Magelang, VVB Solo (Persis), IVBM Madiun, serta SIVB Surabaya
(Persebaya).
Setelah terbentuk PSSI, kemudian diselenggarakan
kompetisi sepak bola yang bersifat nasional secara rutin mulai tahun 1931.
Dengan diadakannya kompetisi ini bisa menarik minat berbagai klub sepak bola
yang sebelumnya belum bergabung menjadi bergabung dengan PSSI. Organisasi ini
juga aman dari pengawasan Belanda yang mulai melarang organisasi politik. Klub sepak
bola Hindia Belanda pun sering melakukan latih tanding dengan klub anggota
PSSI.
Saat itu PSSI bukannya tanpa masalah. Pernah ada dualisme
seperti yang terjadi saat ini. PSIM Mataram pernah berselisih dengan PSSI
pimpinan Soeratin, sebagaimana dituliskan dalam artikel Pandit Football ini.
Pada tahun 1934, PSIM keluar dari PSSI dan membentuk Persatuan Olah Raga
Indonesia (Porsi). PSSI menyikapinya dengan membentuk Persim Mataram. Namun,
akhirnya PSIM kembali bergabung ke PSSI pada tahun 1937.
Ketika mulai sibuk dengan kegiatan di sepak bola,
Soeratin pun keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia kemudian mendirikan
usaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Tetapi usaha itu hancur
setelah Jepang datang. Perang berlangsung, Soeratin pun bergabung dengan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Saat itu PSSI dinonaktifkan dan berada di bawah
Taiikukai, asosiasi olahraga Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Ir. Soeratin menjadi
salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api. PSSI pun aktif kembali. Sayangnya,
Soeratin tidak terus hidup layak. Beliau meninggal dalam kemiskinan dan
kesunyian. Tahun 1959, beliau akhirnya meninggal di rumahnya yang amat
sederhana di jalan Lombok Bandung yang berdindingkan bambu 4x6 meter setelah
berjuang melawan penyakitnya yang sempat tak terobati lantaran tidak mampu
menebus obat.
Hingga kini belum ada usaha maksimal menghargai jasa
Soeratin selain namanya diabadikan di Piala Soeratin, kejuaraan junior. Dia
sempat diusulkan sebagai pahlawan nasional melalui Rapat Paripurna Nasional
PSSI 2005 (Kep/09/Raparnas/XI/2005) tetapi sayang, hingga kini gelar itu belum
diperoleh karena masalah administrasi.
Tetapi dengan gelar pahlawan nasional atau tidak, dengan
namanya disematkan sebagai nama stadion sepak bola atau tidak, nama Soeratin —
dengan kelebihan dan kekurangannya — tetap akan harum di Indonesia, terlebih
bagi publik pecinta sepak bola.***
Source : Footbal Fandom, Rabu, 17 April 2013
BACA JUGA:
BACA JUGA:
Pelatih Soviet Pertama yang Menggunakan Komputer untuk Melatih
Masih Tajam Meski Sudah Tua
Sepak Bola Indonesia Kurang Sabar
Pemain Terbaik Indonesia Gaya Permainannya Sudah Kuno
Bagaimana Idealnya Membangun dan Mengelola Klub Sepak Bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar