Jalan Masih Sangat Panjang...
Niatnya baik, ingin memajukan pendidikan. Namun, kebijakan yang dibuat justru kontroversial dan menimbulkan polemik. Hingga akhir tahun 2009, polemik itu belum berakhir dan dibiarkan berlarut-larut hingga mengarah ke kontraproduktif.
Kebijakan yang kontroversial itu beragam, mulai dari yang menyangkut siswa, guru, hingga status sekolah. Yang menyangkut siswa, misalnya, soal penyelenggaraan ujian nasional yang tak kunjung selesai.
Meski sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan pemerintah soal ujian nasional, tidak serta-merta keputusan itu dipatuhi pemerintah. Ujian nasional 2010 tetap akan dilanjutkan dengan beragam argumentasi. Ujian nasional, yang mestinya untuk pemetaan mutu pendidikan, juga akan tetap dijadikan salah satu syarat kelulusan siswa.
Usul banyak kalangan agar kelulusan siswa dikembalikan kepada guru yang lebih mengetahui kondisi siswa sehari-hari ditolak mentah-mentah. Pemerintah yang bertugas membuat kebijakan di bidang pendidikan juga akan mengevaluasi kualitas siswa. Inilah kontroversi yang belum ada solusinya.
Begitu pun soal guru. Kebijakan soal sertifikasi tujuannya baik, untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, kenyataannya, dari sekitar 2,7 juta guru, baru sekitar 350.000 guru yang sudah lolos sertifikasi dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Pemberian tunjangan ini pun menimbulkan kecemburuan di kalangan sesama guru.
Di sisi lain, berdasarkan hasil evaluasi Departemen Pendidikan Nasional, semangat dan kegairahan guru untuk meningkatkan mutu, seperti mengikuti seminar, membuat makalah, dan hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru, hanya meningkat menjelang sertifikasi. Setelah lolos sertifikasi, semangat guru untuk mengejar kualitas justru menurun.
Padahal, mutu guru hingga saat ini masih menyedihkan. Sebanyak 88 persen guru taman kanak-kanak tidak layak mengajar. Adapun di tingkat sekolah dasar (SD), 77,8 persen guru tidak layak mengajar, termasuk latar belakang pendidikannya yang tidak memadai.
Kondisi pendidikan semakin parah dengan masih minimnya sarana dan prasaran pendidikan. Berdasarkan data Depdiknas, hingga tahun 2008 baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP baru 63,3 persen. Itu pun dengan koleksi buku yang minim. Belum lagi jumlah ruang kelas yang rusak dan menuntut segera direnovasi.
Di tengah serba keterbatasan ini, Depdiknas giat mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah berstandar internasional dengan dalih untuk menggenjot mutu sekolah. Namun, tingginya biaya sekolah di sekolah berstandar internasional ini memunculkan kritik keras karena melahirkan diskriminasi pendidikan. Hanya anak-anak dari keluarga ekonomi kuat yang sanggup masuk sekolah ini.
”Ke depan, diskriminasi pendidikan akan dihapuskan. Siapa pun harus bisa mengenyam pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakannya,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.
Mendiknas juga berjanji akan membenahi pola seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang sangat beragam, banyak jalur, dan biayanya sangat mahal.
Tantangan ganda
Di bidang kesehatan, permasalahan yang harus dihadapi juga tidaklah ringan. Di satu sisi, Indonesia masih bergulat dengan tingginya kasus-kasus ”penyakit dunia ketiga” yang berhubungan dengan buruknya lingkungan masyarakat. Sebut, misalnya, penyakit kusta, filariasis atau kaki gajah, malaria, dan demam berdarah dengue.
Penyakit-penyakit tersebut sekitar 10 tahun lalu hampir musnah, tetapi kini muncul kembali dan kasusnya cenderung meningkat. Penyakit kusta yang tahun 2006 tercatat 22.763 kasus, misalnya, tahun 2007 naik menjadi 23.652 kasus dan tahun 2008 sampai September tercatat 17.441 kasus.
Begitu pun penyakit kaki gajah yang tahun 2006 tercatat 10.427 kasus, tahun 2007 naik menjadi 11.473 kasus. Tahun 2008, pengidap penyakit ini naik lagi menjadi 11.699 kasus.
Tak berhenti di sini, Departemen Kesehatan juga dihadapkan pada tingginya kasus penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah melalui imunisasi. Sebut, misalnya, penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus, polio, campak, dan hepatitis. Berkembangnya penyakit ini tidak terlepas dari cakupan imunisasi dasar seperti BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis yang menurun.
Di sisi lain, Depkes juga dihadapkan pada merebaknya ”penyakit-penyakit negara maju” yang disebabkan gaya hidup tak sehat, misalnya obesitas, jantung, dan diabetes.
Banyaknya persoalan yang dihadapi Depkes menimbulkan gagasan agar peran Depkes direformasi. Seiring dengan menguatnya desentralisasi, Depkes semestinya lebih berperan dalam membuat peraturan, pembinaan, riset kesehatan, dan pengawasan pembangunan kesehatan. Adapun penanganan kesehatan di masyarakat lebih banyak diserahkan kepada dinas-dinas daerah.
Apa pun langkah yang akan dilakukan, yang jelas, penanganan kesehatan dan juga pendidikan yang dicita-citakan membutuhkan waktu sangat panjang. Butuh keseriusan dan kerja keras pula untuk menggapainya....(TRY HARIJONO)***
Source : Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 | 02:54 WIB
Kebijakan yang kontroversial itu beragam, mulai dari yang menyangkut siswa, guru, hingga status sekolah. Yang menyangkut siswa, misalnya, soal penyelenggaraan ujian nasional yang tak kunjung selesai.
Meski sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan pemerintah soal ujian nasional, tidak serta-merta keputusan itu dipatuhi pemerintah. Ujian nasional 2010 tetap akan dilanjutkan dengan beragam argumentasi. Ujian nasional, yang mestinya untuk pemetaan mutu pendidikan, juga akan tetap dijadikan salah satu syarat kelulusan siswa.
Usul banyak kalangan agar kelulusan siswa dikembalikan kepada guru yang lebih mengetahui kondisi siswa sehari-hari ditolak mentah-mentah. Pemerintah yang bertugas membuat kebijakan di bidang pendidikan juga akan mengevaluasi kualitas siswa. Inilah kontroversi yang belum ada solusinya.
Begitu pun soal guru. Kebijakan soal sertifikasi tujuannya baik, untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, kenyataannya, dari sekitar 2,7 juta guru, baru sekitar 350.000 guru yang sudah lolos sertifikasi dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Pemberian tunjangan ini pun menimbulkan kecemburuan di kalangan sesama guru.
Di sisi lain, berdasarkan hasil evaluasi Departemen Pendidikan Nasional, semangat dan kegairahan guru untuk meningkatkan mutu, seperti mengikuti seminar, membuat makalah, dan hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru, hanya meningkat menjelang sertifikasi. Setelah lolos sertifikasi, semangat guru untuk mengejar kualitas justru menurun.
Padahal, mutu guru hingga saat ini masih menyedihkan. Sebanyak 88 persen guru taman kanak-kanak tidak layak mengajar. Adapun di tingkat sekolah dasar (SD), 77,8 persen guru tidak layak mengajar, termasuk latar belakang pendidikannya yang tidak memadai.
Kondisi pendidikan semakin parah dengan masih minimnya sarana dan prasaran pendidikan. Berdasarkan data Depdiknas, hingga tahun 2008 baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP baru 63,3 persen. Itu pun dengan koleksi buku yang minim. Belum lagi jumlah ruang kelas yang rusak dan menuntut segera direnovasi.
Di tengah serba keterbatasan ini, Depdiknas giat mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah berstandar internasional dengan dalih untuk menggenjot mutu sekolah. Namun, tingginya biaya sekolah di sekolah berstandar internasional ini memunculkan kritik keras karena melahirkan diskriminasi pendidikan. Hanya anak-anak dari keluarga ekonomi kuat yang sanggup masuk sekolah ini.
”Ke depan, diskriminasi pendidikan akan dihapuskan. Siapa pun harus bisa mengenyam pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakannya,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.
Mendiknas juga berjanji akan membenahi pola seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang sangat beragam, banyak jalur, dan biayanya sangat mahal.
Tantangan ganda
Di bidang kesehatan, permasalahan yang harus dihadapi juga tidaklah ringan. Di satu sisi, Indonesia masih bergulat dengan tingginya kasus-kasus ”penyakit dunia ketiga” yang berhubungan dengan buruknya lingkungan masyarakat. Sebut, misalnya, penyakit kusta, filariasis atau kaki gajah, malaria, dan demam berdarah dengue.
Penyakit-penyakit tersebut sekitar 10 tahun lalu hampir musnah, tetapi kini muncul kembali dan kasusnya cenderung meningkat. Penyakit kusta yang tahun 2006 tercatat 22.763 kasus, misalnya, tahun 2007 naik menjadi 23.652 kasus dan tahun 2008 sampai September tercatat 17.441 kasus.
Begitu pun penyakit kaki gajah yang tahun 2006 tercatat 10.427 kasus, tahun 2007 naik menjadi 11.473 kasus. Tahun 2008, pengidap penyakit ini naik lagi menjadi 11.699 kasus.
Tak berhenti di sini, Departemen Kesehatan juga dihadapkan pada tingginya kasus penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah melalui imunisasi. Sebut, misalnya, penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus, polio, campak, dan hepatitis. Berkembangnya penyakit ini tidak terlepas dari cakupan imunisasi dasar seperti BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis yang menurun.
Di sisi lain, Depkes juga dihadapkan pada merebaknya ”penyakit-penyakit negara maju” yang disebabkan gaya hidup tak sehat, misalnya obesitas, jantung, dan diabetes.
Banyaknya persoalan yang dihadapi Depkes menimbulkan gagasan agar peran Depkes direformasi. Seiring dengan menguatnya desentralisasi, Depkes semestinya lebih berperan dalam membuat peraturan, pembinaan, riset kesehatan, dan pengawasan pembangunan kesehatan. Adapun penanganan kesehatan di masyarakat lebih banyak diserahkan kepada dinas-dinas daerah.
Apa pun langkah yang akan dilakukan, yang jelas, penanganan kesehatan dan juga pendidikan yang dicita-citakan membutuhkan waktu sangat panjang. Butuh keseriusan dan kerja keras pula untuk menggapainya....(TRY HARIJONO)***
Source : Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 | 02:54 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar