Salah satu yang diduga akibat dampak perubahan iklim adalah penyapnya Es Kilimanjaro.
(AFP/Ohio State University/Lonnie Thompson)***
Minggu, 13 Desember 2009 | 11:42 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Suhartono
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap keikutsertaannya dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change/UNFCCC) di Denmark, tidak sia-sia.
Konferensi Perubahan Iklim bisa menghasikan rencana aksi bersama yang konkret untuk mengurangi emisi karbon serta memastikan implementasi Bali Roadmap yang telah susah payah dicapai dalam konferensi sebelumnya di Bali, dua tahun lalu.
Hal itu disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal menjawab pers, sebelum menyertai Presiden Yudhoyono menuju Eropa di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (13/12/2009).
"Presiden berharap tidak sia-sia dan KTT tersebut dapat menghasilkan suatu program aksi yang konkret untuk mengurangi emisi karbon. Program tersebut dapat segera ditandatangani setelah KTT di Kopenhagen. Presiden juga berharap konferensi ini juga merupakan finalisasi dari Bali Roadmap yang susah payah dicapai kemarin dua tahun lalu," tandas Dino.
Menurut Dino, Presiden Yudhoyono juga merasa upayanya mendorong keberhasilan KTT di Kopenhagen ini sesuatu yang berat sekali. "Karena posisi negara maju dan negara berkembang yang masih terlalu kaku dan belum bisa dijembatani. Sekarang ini masih ada perbedaan dan belum ada kompromi mengenai kesepakatan-kesepakatan mengenai emisi karbon. Jadi, jangan beranggapan di Kopenhagen ini akan mudah pembahasannya," jelas Dino.
Dino mengakui Protokol Kyoto sangat lemah karena hanya disepakati oleh negara-negara maju. Komitmen untuk mengurangi emisi karbonnya hanya 6-8 persen. Sampai sekarang, itupun tidak pernah terjadi. Pa dahal, emisi global naik 40 persen sejak Protokol Kyoto ditandatangani. "Karena itu akan dilihat target apa yang akan disetujui oleh negara-negara maju. Target sekarang ini pengurangan emisi karbon harus 40 persen pada 2020. Akan tetapi, kalau melihat sekarang ini, banyak negara maju yang tidak siap untuk melakukan itu," kata Dino.
"Tidak mungkin negara berkembang yang harus memimpin di depan untuk melindungi Bumi ini, akan tetapi justru harus negara maju yang berada di depan. Karena merekalah justru yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca," tambahnya.
Tujuh gubernur
Dikatakan Dino, Indonesia di posisi yang baik karena inovatif dan berani menggagas untuk mengurangi 26 persen emisi karbon pada tahun 2012. Bahkan, Indonesia berkomitmen menguranginya sampai 21 persen jika ada bantuan dari pendanaan internasional, ungkap Dino.
Dalam kunjungannya itu, selain disertai sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden Yudhoyono juga disertai tujuh gubernur. Mereka, di antaranya, Gubernur Sulawesi Utara Sarun Dayang, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Jusuf, dan Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang.
Kehadiran para gubernur dalam rombongan Kepala Negara itu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia begitu serius dalam bidang konservasi hutan, baik pada tingkat pusat maupun daerah, demi mengurangi tingkat pemanasan global. "Sebab, masalah kehutanan menjadi solusi global dunia satu-satunya cara untuk menyerap kembai CO2. Hutan sangat strategis. Indonesia salah satu negara yang mempunyai hutan terbesar di dunia, termasuk juga Brasil, Meksiko, dan Papua Niugini," jelasnya.
Sebelum mengikuti KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Presiden melakukan kunjungan kehormatan di tiga negara, yaitu Perancis, Jerman, dan Belgia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar