Ny. TEMU. (Foto :Kompas/Sri Rejeki)***
KERAJINAN GERABAH
Temu, Benteng Terakhir Gerabah Manggung
Oleh : Sri Rejeki
Dusun Daleman dahulu dikenal sebagai sentra gerabah. Menyusuri dusun ini sekitar 20 tahun yang lalu masih tampak pemandangan perempuan-perempuan di depan rumah tengah menekuni papan putar di hadapannya. Dengan tangan telanjang, mereka membentuk sebongkah tanah liat basah bercampur pasir.
Tanah itu ditinju kecil dengan kepalan tangan lalu dibentuk dan diusap-usap agar halus permukaannya dan menghasilkan ketebalan yang diinginkan. Dahulu sebagian dari mereka juga menggunakan alat bantu tatap dan sulo.
Namun, kini hanya Temu yang masih mau menekuni pembuatan gerabah di dusun yang terletak di Desa Cangakan, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, itu. Sejak usia 10 tahun hingga kini bercucu 12 orang, dia setia membuat gentong, kuali, wajan (penggorengan), lemper (tempat sambal), dan pengaron (panci penanak nasi).
Barang-barang gerabah untuk keperluan rumah tangga itu membuat Temu, akrab dipanggil Mbah Karto—karena bersuamikan Karto Tukiman—mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sekolah menengah atas, menikahkan mereka, dan tentu saja memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
”Hasilnya bisa untuk menghidupi keluarga, membeli beras, menyekolahkan anak, sampai membantu ongkos sunatan keponakan,” kata Temu tentang penghasilannya dari gerabah.
Setiap minggu Temu masih mampu meraup penghasilan sekitar Rp 200.000. Penghasilannya sebulan cukup bersaing dengan pendapatan buruh pabrik sebesar Rp 600.000-Rp 700.000. Namun, para perempuan setempat, terutama yang berusia muda, lebih suka pergi ke kota menjadi buruh pabrik.
”Pekerjaan seperti ini rekasa dan kotor,” kata Temu tentang pembuatan gerabah yang butuh banyak tenaga dan berlepotan lumpur. Kemungkinan itulah penyebab para perempuan muda setempat tak tertarik menekuni gerabah.
Bahkan Temu pun tak memiliki generasi penerus. Dua anak perempuannya, Tukiyem dan Semi, yang sempat membantu membuat gerabah, setelah menikah memilih bertani dan berdagang.
Adapun para lelaki di dusun itu sejak dulu memang tidak akrab dengan pembuatan gerabah. Peran mereka lebih pada menjual gerabah yang sudah jadi ke pasar.
”Ayah saya dulu masih sering menjual gerabah buatan ibu dengan cara dipikul dan berjalan kaki ke pasar-pasar di Solo, Karangpandan, sampai Tawangmangu. Di sini ibu-ibu membuat gerabah dan bapak-bapak yang bertugas menguangkan gerabah buatan istrinya. Ini mereka lakukan di luar musim tanam dan panen,” kata Pardi, anak bungsu Karto dan Temu.
Menjadi rujukan
Gerabah pernah menjadi andalan perempuan setempat untuk menafkahi keluarga. Kebanyakan warga Dusun Daleman bekerja sebagai buruh tani. Hanya satu-dua orang yang memiliki lahan pertanian pribadi.
Namun, setelah munculnya berbagai produk dari plastik, seperti gentong plastik, perlahan tetapi pasti menggusur gerabah. Tahun 1990-an, jumlah perajin gerabah menyusut. Terlebih gerabah tak pernah tersentuh ”tangan” pemerintah daerah setempat untuk peningkatan nilai ekonominya, seperti yang terjadi di Bayat (Klaten, Jawa Tengah) atau Kasongan (Bantul, Yogyakarta).
Sejak dulu produksi yang dikenal sebagai gerabah manggung ini hanya seputar gentong, kuali, wajan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Harga jualnya pun tidak bisa terlalu tinggi. Contohnya, sebuah gentong setinggi 50 sentimeter hanya dihargai Rp 10.000. Harga gentong ukuran dua kali lipatnya adalah Rp 20.000, pengaron Rp 4.000, kuali Rp 2.000, dan lemper sebesar Rp 1.250. Tak ada gerabah yang diarahkan untuk keperluan artistik atau dekorasi.
Di kawasan tetangganya, Dusun Manggung, masih ada beberapa perajin seusia Temu. Namun, mereka tidak rutin berproduksi. Gerabah buatan Temu juga dikenal paling halus dan awet. Jadi. gerabah buatannya dihargai lebih tinggi, seperti wajan buatan Temu dihargai Rp 3.000, sedangkan produk perajin lain Rp 1.000 per buah.
Temu pun selalu dijadikan rujukan oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar jika ada orang yang hendak mempelajari teknik pembuatan gerabah manggung.
Tiga tahun lalu, misalnya, sekitar 20 mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret Solo belajar teknik pembuatan gerabah kepada Temu selama sebulan. Demikian pula enam tahun lalu, 40 orang Jepang datang ke rumahnya. Mereka mengamati pembuatan gerabahnya.
Pesanan
Gerabah buatan Temu seluruhnya merupakan pesanan, seperti gentong wadah cendol untuk keperluan hajatan atau berdagang, padasan atau wadah air untuk berwudu, lemper atau wadah sambal pesanan para pedagang pecel lele, atau pot bunga. Kadang kala konsumen membawa gambar gerabah pesanan kepadanya.
Temu mencampur sendiri adonan bakal gerabah berupa tanah liat, pasir, dan air. Tanah liat ia beli dari lingkungan sekitar seharga Rp 35.000 untuk satu bak mobil pick-up dan bisa untuk membuat 100 gentong. Setelah dicampur menjadi satu, ia menyisir kerikil-kerikil yang masih terdapat dalam adonan dengan seutas kawat tipis. Kerikil dapat membuat gerabah merekah saat dikeringkan.
Adonan kembali diolah dengan cara menginjak-injaknya dengan kaki. Setelah itu mulai diputar di atas perabot untuk dibentuk piringan dasarnya. Sekitar 20 menit bagian dasar gerabah dikeringkan agar kokoh. Selang tiga jam kemudian baru dilanjutkan kembali membentuk bangunan gerabah. Dalam sehari, kira-kira Temu mampu menyelesaikan 10 gentong.
Dia belajar membuat gerabah dari mendiang neneknya, Mbah Reso. Bakat dan rasa cintanya kepada gerabah membuat perempuan yang tak pernah merasakan bangku sekolah ini mengembangkan sendiri kemampuannya.
”Hati saya ada di gerabah. Dari gerabah, saya bisa menghidupi keluarga. Saya tidak pernah mencoba (pekerjaan) lain, seperti bertani,” kata Temu.
Sayang, tak dijumpai cerita lisan atau tertulis tentang asal-usul gerabah manggung. Tanah di wilayah Manggung dan Daleman tergolong tanah liat yang cocok untuk dibuat gerabah. Diperkirakan, tradisi pembuatan gerabah telah berlangsung selama beberapa generasi.
Menurut Pardi, pembuatan gerabah kemungkinan berasal dari Manggung, lantas menyebar ke Daleman. ”Bertemunya tatap dan sulo yang bunyinya seperti orang bertepuk tangan itu membuat mereka yang lewat merasa ditepuktangani sehingga muncul nama manggung, seperti orang yang sedang pentas di atas panggung dan diberi tepuk tangan,” ceritanya.
Sekitar dua pertiga perempuan di Dusun Daleman dan Manggung yang dihuni 300-an kepala keluarga itu dahulu terlibat pembuatan gerabah. Kini hanya Temu dan tujuh perempuan seusianya yang masih menekuni gerabah. Merekalah benteng terakhir gerabah manggung yang berada di ambang kepunahan.
TEMU (70)
• Lahir: Karanganyar, Jawa Tengah, 1939
• Suami: Karto Tukiman (80)
• Anak:
- Tukiyem (50)
- Semi (45)
- Tumi (43)
- Pardi (41)
• Cucu : 12
• Buyut: 5
Source : Kompas, Selasa, 8 Desember 2009 | 03:30 WIB
desain gerabah yang dibuat oleh mbak temu di jawa tengah ini sama seperti yang selalu di buat di daerah kami, lombok. salah satu sentra kerajinan gerabah yang memiliki desain besar seperti itu adalah penujak - lombok tengah. mungkin, suatu hari nanti bisa jadi agenda kunjungan anda.
BalasHapus