Ritual Sedekah Bumi
Rukun dalam Tradisi Leluhur...
Generasi tua dan muda berkumpul di sebuah perempatan jalan Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Selasa (12/1) pagi. Perempatan jalan itu menjadi simbol bakti mereka kepada empat penjuru leluhur, untuk mencapai kemanunggalan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mereka bersama-sama datang ke perempatan jalan itu dengan membawa tenong atau tempat makan dari anyaman bambu, berisi nasi penggel (seperti nasi tumpeng yang dibuat lonjong), sayur, lauk ikan dan ayam. Mereka juga membawa segelas air putih untuk membatalkan puasa selama ikut prosesi ritual sedekah bumi di perempatan jalan tersebut.
Para tetua adat dengan menggunakan pakaian hitam dan kain batik menyiapkan bahan-bahan untuk sesaji dan sebuah kepala kambing. Sesaji itu ditempatkan di salah satu sudut perempatan bersama dengan kemenyan yang dibakar. Kepala kambing sebagai persembahan kepada leluhur ditanam di sudut perempatan.
Perpaduan sinkretisme Islam dengan Kejawen dalam ritual ini berjalan cukup kental. Seperti rapal doa yang dibacakan wakil guru Islam Kejawen, Sunardi (70), bercampur antara doa berbahasa Jawa dan Arab. Nasi penggel yang dibawa juga bagian simbol penghormatan kepada para rasul dan juga simbol persatuan antar-umat.
Para generasi tua dengan keyakinan Islam Kejawen tetap setia menjaga tradisi, meskipun mereka tidak menjalankan shalat lima waktu maupun shalat Jumat. Sementara generasi muda yang mulai menjalankan akidah Islam tetap ikut menjaga tradisi itu dengan ikut serta di dalamnya.
Menurut tetua adat, Islam Kejawen yang mereka yakini disebut Islam Aboge. Aboge adalah akronim dari Rabu Wage yang merupakan hari pertama bulan Sura.
Sebagai penganut Islam Aboge, menurut salah seorang tetua adat Kartamiharja (69), mereka hanya membaca-baca doa sebagai sarana beribadah, tetapi tidak shalat. Akan tetapi, ia tetap merayakan Idul Fitri dan Idul Adha, hanya saja tidak harus ke masjid. "Kalau Idul Adha, ikut potong kambing," ucap Kartamiharja.
Berbeda halnya dengan kalangan generasi mudanya, mereka mulai menjalankan tata cara ibadah Islam, yakni shalat dan mengaji. Menurut Rasiti (55), generasi muda yang mulai menerapkan ibadah Islam itu terhitung dari generasi setelah generasi para tetua. "Termasuk saya pun sudah mulai menjalankan shalat," kata Rasiti.
Sutilah juga tak lagi mengenakan kebaya hitam dan kain batik seperti yang dikenakan kaum ibu dari generasi tua dalam ritual tersebut. Ia sudah mengenakan pakaian Muslim dengan jilbab. Namun, biarpun sudah menjalankan akidah Islam, Rasiti mengaku generasi muda di Dusun Kalitanjung tetap menjunjung budaya setempat. "Walaupun tradisi ini tidak ada dalam agama Islam, tetapi secara naluri kami tetap menjaganya," kata Rasiti.
Dalam setiap pengajian pun, menurut warga lainnya, Rusilah (50), para kiai yang memberikan ceramah juga tidak pernah mempertentangkan keyakinan Islam Aboge dengan Islam yang mengikuti akidah sesungguhnya. "Kami menjalankan akidah Islam, tetapi kami juga memiliki budaya leluhur yang harus kami jaga. Kalau bukan kami, siapa lagi yang menjaga, siapa yang akan melestarikannya," tutur Rusilah.
Kerukunan dalam perbedaan keyakinan, menurut Rusilah, tak hanya berlangsung di antara generasi tua dengan Islam Aboge-nya dan generasi muda dengan akidah Islam-nya. Kerukunan juga berlangsung di antara mereka dengan para warga yang beragama Kristen, meskipun yang beragama Kristen jumlahnya sedikit.
Melalui makan bersama dalam ritual sedekah bumi itu, perbedaan keyakinan di kalangan warga Dusun Kalitanjung menemukan titik toleransi dalam beragama. "Akidah dan budaya berjalan beriringan. Kami hidup bersatu dan rukun agar dapat maju bersama," kata Rusilah. (Madina Nusrat)***
Source : Kompas, Rabu, 13 Januari 2010 | 11:23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar