Puluhan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di luar gedung Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, Selasa (5/1). Di dalam gedung pengadilan, majelis hakim sedang membacakan putusan sela dalam sidang kasus dugaan suap senilai Rp 1,5 miliar kepada anggota DPRD Kabupaten Pandeglang dengan terdakwa mantan Bupati Pandeglang Achmad Dimyati Natakusumah. (Foto:kompas/Cyprianus Anto Saptowalyono)***
OTONOMI DAERAH BANTEN (4)
Pejabat di Daerah Pun Terjerat Korupsi
Oleh Anita Yossihara dan C Anto Saptowalyono
Pandeglang kembali memanas. Unjuk rasa pemuda dan mahasiswa menjadi rutinitas mingguan dalam kurun waktu dua bulan terakhir. Masyarakat kembali turun ke jalan untuk mengawal jalannya persidangan terhadap mantan Bupati Pandeglang, Banten, A Dimyati Natakusumah yang tersandung kasus suap.
Sudah delapan pekan warga Pandeglang disuguhi aksi demonstrasi. Setiap Kamis, saat sidang perkara suap dengan terdakwa Dimyati digelar, massa pro ataupun kontra sama-sama berunjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang. Kubu pro menuntut Dimyati dibebaskan. Kubu kontra menuntut Dimyati dihukum.
Persidangan Dimyati menjadi perhatian publik. Sejak sidang pertama pada 4 Desember 2009, ruang sidang selalu penuh sesak dengan penjagaan ketat polisi.
Dimyati didakwa bersama-sama dengan mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pandeglang Abdul Munaf melakukan suap. Mereka membagikan uang Rp 1,5 miliar kepada anggota DPRD Pandeglang periode 2004-2009. Uang itu digunakan untuk memuluskan pemberian izin/rekomendasi pengajuan pinjaman daerah pada Bank Jabar-Banten Cabang Pandeglang sebesar Rp 200 miliar pada 2006.
Pengajuan pinjaman sebenarnya menuai protes sejak 2007. Masyarakat kerap berunjuk rasa menolak pinjaman karena khawatir diselewengkan. Apalagi besaran cicilan mencapai Rp 67 miliar per tahun yang harus dibayarkan selama tiga tahun berturut-turut. Jumlah itu jauh di atas Pendapatan Asli Daerah Pandeglang saat itu yang hanya Rp 51 miliar.
Protes warga tidak mampu mendorong Pemkab meninjau ulang dan mengembalikan uang pinjaman ke Bank Jabar-Banten. Meski gagal mencegah, masyarakat akhirnya mengetahui adanya dugaan suap dalam proses pengajuan pinjaman.
Kasus suap mencuat setelah beberapa anggota DPRD Pandeglang mengembalikan sejumlah uang ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Negeri Pandeglang. Dugaan suap itu dikuatkan dengan kesaksian Wakil Ketua DPRD Pandeglang Aris Turisnadi pada Mei 2008.
Ia menceritakan, anggota DPRD menerima uang Rp 30 juta-Rp 60 juta dari Pemkab yang dibagikan Wadudi Nurhasan, Wakil Ketua DPRD lainnya. Uang itu diberikan sebagai kompensasi pemberian rekomendasi izin pengajuan pinjaman Rp 200 miliar.
Dugaan suap itu menyeret Wadudi, Ketua DPRD Pandeglang M Acang, Abdul Munaf, dan mantan Kepala Seksi Perkreditan Bank Jabar-Banten Cabang Pandeglang Dendy Darmawan. Acang dan Dendy dibebaskan. Wadudi dihukum dua tahun penjara dan Abdul Munaf dihukum 1,5 tahun penjara.
Dimyati ikut terseret karena dalam sidang terdakwa sebelumnya, namanya beberapa kali disebut. Abdul Munaf menyerahkan uang Rp 1,5 miliar kepada Wadudi atas perintah Dimyati.
Perintah Dimyati kepada Munaf itu juga tertuang dalam dakwaan jaksa. Munaf mengantar uang tunai Rp 1,5 miliar kepada Wadudi di Hotel Imperial, Tangerang, Banten, 4 Desember 2006. Uang suap itu diambil dari dana pos bantuan penguatan modal usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) APBD Pandeglang.
Dimyati yang saat ini menjadi anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR harus mengikuti serangkaian persidangan untuk membuktikan apakah dia bersalah atau tidak. Pada saat yang sama, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mulai menyelidiki dugaan penyelewengan dalam penggunaan dana pinjaman Rp 200 miliar itu.
Marak
Kasus suap pinjaman Pemkab Pandeglang hanya satu dari puluhan kasus korupsi dan dugaan penyelewengan anggaran di Banten. Kasus korupsi di Banten mulai menjadi perhatian publik sejak 2003. Saat itu muncul dugaan penyalahgunaan dana tak tersangka APBD Banten 2003 sebesar Rp 14 miliar untuk membayar dana tunjangan kegiatan Panitia Anggaran serta tunjangan perumahan anggota DPRD Banten periode 2001-2004.
Kasus itu menjerat 23 anggota DPRD yang disidangkan secara berturut-turut pada 2005-2008. Namun, 19 anggota DPRD di antaranya divonis bebas oleh PN Serang. Sebelumnya, mereka sempat ditahan Kejati Banten.
Empat di antaranya dinyatakan bersalah dan dihukum penjara. Mereka adalah Ketua DPRD Dharmono K Lawi dan Wakil Ketua DPRD Mufrodi Muchsin yang dihukum masing-masing 4,5 tahun penjara, Wakil Ketua DPRD Muslim Jamaludin yang divonis 4 tahun penjara, serta Sekretaris Panitia Anggaran DPRD periode 2001-2004 Sutiah Indra yang dihukum 1,5 tahun penjara oleh PN Serang.
Kasus itu juga menyeret Gubernur Djoko Munandar. Ia dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun meski tak terbukti menikmati hasil penyelewengan anggaran Rp 14 miliar. Setelah Djoko meninggal dunia pada 2009, Mahkamah Agung memutus ia tak bersalah.
Kasus lain yang menyita perhatian warga adalah korupsi dana pengadaan lahan untuk Pelabuhan Umum di Kubangsari, Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon. Dana APBD Cilegon sebesar Rp 3,99 miliar dibagi-bagikan kepada pemilik lahan fiktif. Kasus itu sempat menjerat Wakil Wali Kota Cilegon Rusli Ridwan (kini anggota DPR), tetapi dia dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Hanya Kepala Desa Kubangsari Fachrudin dan Camat Ciwandan As’ad Syukri yang diputus bersalah. Mereka dijatuhi hukuman masing-masing 16 bulan penjara.
Korupsi pembebasan lahan jalan simpang susun di Desa Julang, Kecamatan Cikande, Serang, tak kalah seru. Selain jumlah dana yang dikorupsi relatif besar, yakni Rp 14 miliar, kasus itu juga menjerat sejumlah pejabat di Pemkab Serang.
Mereka, antara lain, Sekretaris Daerah Kabupaten Serang RA Syahbandar, Kepala Bagian Pemerintahan Dedi Kusumayadi, mantan Camat Cikande Heru Utomo, dan Camat Cikande Edi S Hidayat. Setelah menjalani persidangan sejak 2008, mereka akhirnya dibebaskan.
Selain itu, tak sedikit pula kasus korupsi yang penanganannya tak jelas. Salah satunya dugaan penyelewengan dana APBD 2004, 2005, dan 2006. Sesuai dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, Maret 2007, Kejaksaan Agung dan Kejati Banten memeriksa 14 pejabat provinsi dan sejumlah kabupaten/kota. Mereka dimintai keterangan seputar dugaan korupsi anggaran pengadaan alat kesehatan, proyek pembangunan sarana fisik jalan, air, dan bangunan oleh Pemprov Banten. Namun, proses penyelidikan itu berhenti.
Kasus lain juga dihentikan, antara lain, dugaan korupsi dana pengadaan lahan parkir Karangsari di Carita, Pandeglang, sebesar Rp 3,5 miliar dan dugaan korupsi dana pembangunan RSUD Balaraja Rp 22,7 miliar. ***
Source : Kompas, Jumat, 29 Januari 2010 | 03:45 WIB
Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
aripsenjaya @ Jumat, 29 Januari 2010 | 16:58 WIB
itu sebabnya artis2 ibukota pun berduyun2 ingin jadi pemimpin di negeri santri ini: bnyk duitnya.
PEANK @ Jumat, 29 Januari 2010 | 09:40 WIB
bnyak istigfar,minta ptunjuk allah agr slalu diberi bimbingn dlm menjlnkn amanah yg dberikn kpd kita, instrospeksi diri, smg yg terjadi pd mrka,tdk terjd pd kt.
PEANK @ Jumat, 29 Januari 2010 | 09:40 WIB
bnyak istigfar,minta ptunjuk allah agr slalu diberi bimbingn dlm menjlnkn amanah yg dberikn kpd kita, instrospeksi diri, smg yg terjadi pd mrka,tdk terjd pd kt.
ali dadung @ Jumat, 29 Januari 2010 | 09:32 WIB
Baru tahu kalau ternyata banten itu ada yang korupsi.... nb. saya tinggal di pedalaman werewong yang baru tahu kota.. bukankah Banten itu terkenal kota Santri..
jordan @ Jumat, 29 Januari 2010 | 09:30 WIB
intinya provinsi banten mempunyai kebiasaan atau adat istiadat korupsi itu sudah biasa...... seperti di daerah lain dan umumnya bangsa tumpah darah INDONESIA ku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar