BUDAYA BERTANI
Tradisi Mretelung dan Bawon Petani Purbalingga
Bagi masyarakat pedesaan di Jawa, bertani tidak sekadar mata pencarian, tetapi juga media interaksi sosial. Maka, tak heran, tradisi budaya tertentu tercipta dari interaksi sosial dalam kegiatan bertani. Ini seperti terlihat dalam tradisi mretelung, bawon, dan ngasak saat panen pada masyarakat di Desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Dua hari ini, Mbah Wira (80) sibuk di ladang kacang milik Sakup (50), tetangganya. Mbah Wira tak sendiri, ada 10 orang yang membantu memanen kacang tanah di ladang Sakup. Mereka semuanya bertetangga. Mulai dari mencabut kacang dari tanah, mempreteli biji kacang dari akarnya, hingga mengumpulkan hasil panen, semuanya dilakukan tanpa dibayar.
”Ini namanya mretelung. Gotong royong. Dari dulu ya seperti ini. Nanti kalo giliran saya yang panen, yang lain juga membantu,” kata Mbah Wira yang sehari-hari juga bertani.
Mretelung dilakukan sehari, kadang sampai dua hari, tergantung dari luas lahan yang dipanen. Upah yang mereka dapatkan disebut bawon.
”Bawonnya tergantung dari panennya. Kalau panen padi, ya dapat gabah; kalau panen kacang seperti ini, dapatnya kacang. Tapi itu bukan upah, hanya bawon saja,” kata Lastri (55), yang siang itu ikut memanen kacang di ladang Sakup.
Untuk satu orang tenaga panen kacang, Sakup memberikan bawon sebanyak 1,5 kilogram. Kacang sebanyak itu umumnya tidak dijual, tetapi dimakan sendiri oleh para petani itu.
”Lumayan, bisa disimpan. Nanti bisa buat sambal atau untuk camilan,” kata Lastri.
Pada Senin siang itu ladang Sakup ramai. Selain orang yang lagi mretelung, juga ada anak-anak, remaja, orangtua, dan pencari rumput berada di ladang kacang yang barusan dipanen tersebut. Anak-anak, remaja, dan ibu-ibu umumnya mengasak. Ngasak artinya mencari sisa-sisa kacang di dalam tanah yang tak tercabut saat panen. Mereka membawa ranting kayu pendek atau lenthuk (sabit kecil) untuk mengungkit kacang dari dalam tanah.
”Rika nang kana bae sing akeh kacange. Aku nang kene bae, Rin (Kamu ke sana saja yang kacangnya masih banyak. Aku yang di sini Rin),” teriak Markamah (30), kepada anaknya, Rina (10). Ibu dan anak tersebut siang itu menjadi pengasak kacang.
Tiga jam sudah Markamah dan anaknya mengasak kacang di ladang panenan itu. Mereka mengumpulkan setengah tompo (satu tompo berkapasitas 2,5 kilogram) kacang tanah hasil ngasak. ”Enggak dijual kok. Paling nanti digodok, tapi anak saya pengen-nya digoreng. Ya, nanti tergantung dapatnya berapa,” tutur Markamah sambil tersenyum malu.
Menurut Sakup, pemilik lahan, mretelung sudah tradisi turun-temurun. Tujuannya adalah untuk gotong royong. Panenan satu petani seakan menjadi milik bersama, kebahagiaan bersama.
”Orang desa itu kalau satu senang, yang lain juga harus ikut senang. Misalnya, ini saya panen, tetangga-tetangga pun juga kecipratan dapat kacang. Yang punya ternak bisa mengambil rendengnya (daun kacang). Jadi adil,” kata Sakup.
Sakup tak merasa rugi walaupun hasil ngasak para tetangganya mencapai belasan atau bahkan puluhan kilogram. Bagi warga setempat, hal itu biasa.
”Nanti kalau tetangga saya yang panen, saya pun juga membantu juga. Bisa apek (dapat) kacang juga. Memang adatnya begitu,” tandas dia.(M Burhanudin)***
Source : Kompas, Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:56 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar