Pelajar dan PNS Blora Wajib Berbahasa Jawa
BLORA - Pemerintah Kabupaten Blora dan Yayasan Studi Bahasa Jawa (YSBJ) Kanthil Cabang Blora mewajibkan pelajar SD, SMP, SMA, dan pegawai negeri sipil (PNS) berbahasa Jawa setiap Kamis. Tujuannya adalah melestarikan bahasa Jawa dan unggah-ungguh (sopan-santun) Jawa yang terus memudar seiring lahirnya generasi baru.
Ketua YSBJ Kanthil Cabang Blora Dwi Santoso di Blora, Senin (11/1), mengatakan, kewajiban berbahasa Jawa itu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 895.5/01/2005 tanggal 13 Februari 2005. Aturan itu ditegaskan pula dalam Kongres Bahasa Jawa di Jawa Tengah. Pada 7 Desember 2009, Bupati Blora Yudhi Sancoyo mengeluarkan Instruksi Bupati Nomor 4343/5668 tentang Penggunaan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Pengantar dalam Kegiatan Pemerintahan dan Umum. YSBJ Kanthil menindaklanjuti instruksi itu dengan menerapkan bahasa Jawa di lingkungan pendidikan dan pemerintahan.
"Kami mewajibkan pelajar dan PNS berbahasa Jawa setiap Kamis. Aturan itu kami terapkan mulai 1 Januari 2010 dan akan kami evaluasi terus setiap beberapa bulan sekali," kata Dwi.
Menurut Dwi, YSBJ Kanthil Cabang Blora memfokuskan diri untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa Jawa krama alus (halus) dan inggil (tinggi). Kalau dimungkinkan, Yayasan akan mengembangkan pula bahasa Jawa khas Blora.
Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten Blora Gunadi mengemukakan, banyak keluarga modern yang tinggal di kota Blora kurang mengajarkan bahasa dan sopan-santun Jawa kepada anak-anaknya. Komunikasi sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Jawa ngoko (kasar) dan bahasa Indonesia. "Maka tidak mengherankan jika seorang anak atau siswa tidak menghargai orangtua atau gurunya lagi. Dalam berbahasa dan bertindak-tanduk, anak-anak memperlakukan orangtua dan guru seperti teman sebaya," kata Gunadi.
Padahal, untuk menggunakan bahasa Jawa, masyarakat Jawa harus mengikuti sopan-santun. Misalnya, bahasa Jawa ngoko digunakan untuk orang sebaya atau orangtua terhadap anaknya, sedangkan bahasa Jawa krama, baik krama alus maupun krama inggil digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua.
Gunadi mengaku khawatir bahasa dan unggah-ungguh Jawa hilang dari peredaran masyarakat di Jawa. Manusia sekarang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dan mempelajari bahasa asing. Selain itu, banyak produk teknologi dan informasi yang tidak mengadopsi bahasa Jawa. (hen)***
Source : Kompas, Selasa, 12 Januari 2010 | 16:03 WIB
Ketua YSBJ Kanthil Cabang Blora Dwi Santoso di Blora, Senin (11/1), mengatakan, kewajiban berbahasa Jawa itu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 895.5/01/2005 tanggal 13 Februari 2005. Aturan itu ditegaskan pula dalam Kongres Bahasa Jawa di Jawa Tengah. Pada 7 Desember 2009, Bupati Blora Yudhi Sancoyo mengeluarkan Instruksi Bupati Nomor 4343/5668 tentang Penggunaan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Pengantar dalam Kegiatan Pemerintahan dan Umum. YSBJ Kanthil menindaklanjuti instruksi itu dengan menerapkan bahasa Jawa di lingkungan pendidikan dan pemerintahan.
"Kami mewajibkan pelajar dan PNS berbahasa Jawa setiap Kamis. Aturan itu kami terapkan mulai 1 Januari 2010 dan akan kami evaluasi terus setiap beberapa bulan sekali," kata Dwi.
Menurut Dwi, YSBJ Kanthil Cabang Blora memfokuskan diri untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa Jawa krama alus (halus) dan inggil (tinggi). Kalau dimungkinkan, Yayasan akan mengembangkan pula bahasa Jawa khas Blora.
Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten Blora Gunadi mengemukakan, banyak keluarga modern yang tinggal di kota Blora kurang mengajarkan bahasa dan sopan-santun Jawa kepada anak-anaknya. Komunikasi sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Jawa ngoko (kasar) dan bahasa Indonesia. "Maka tidak mengherankan jika seorang anak atau siswa tidak menghargai orangtua atau gurunya lagi. Dalam berbahasa dan bertindak-tanduk, anak-anak memperlakukan orangtua dan guru seperti teman sebaya," kata Gunadi.
Padahal, untuk menggunakan bahasa Jawa, masyarakat Jawa harus mengikuti sopan-santun. Misalnya, bahasa Jawa ngoko digunakan untuk orang sebaya atau orangtua terhadap anaknya, sedangkan bahasa Jawa krama, baik krama alus maupun krama inggil digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua.
Gunadi mengaku khawatir bahasa dan unggah-ungguh Jawa hilang dari peredaran masyarakat di Jawa. Manusia sekarang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dan mempelajari bahasa asing. Selain itu, banyak produk teknologi dan informasi yang tidak mengadopsi bahasa Jawa. (hen)***
Source : Kompas, Selasa, 12 Januari 2010 | 16:03 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar