SITUS KOTA KAPUR
Kejayaan Sriwijaya Terkubur Semak Belukar
Arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni, dibantu Sabil (27), warga Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka, menyibak semak belukar yang berada di tengah kebun karet. Setelah mengorek tanah dan daun kering, mereka menemukan batu berwarna putih yang dibungkus plastik hitam.
Batu berwarna putih itu adalah bagian dari tiga struktur candi Hindu yang ditemukan di Kota Kapur. Struktur candi Hindu tersebut diperkirakan dibangun sebelum masa Sriwijaya (abad VII-XII Masehi). Tiga struktur candi diberi nama Candi I, Candi II, dan Candi III. Ketiga struktur candi terpisah 20 meter sampai 50 meter.
Jangan membayangkan candi di Kota Kapur seperti candi di Jawa yang megah. Lokasi struktur candi terkubur di antara tanaman karet, durian, dan kelapa sawit. Plastik hitam itu berfungsi melindungi batu dari pelapukan, sekaligus untuk mempermudah pencarian kalau suatu saat dilakukan penggalian.
”Struktur candi berbentuk segi empat seperti panggung yang disusun dari batu. Ukurannya bervariasi, ada yang 5,6 x 5,6 meter, 4,6 x 4,6 meter, dan 3,1 x 3,1 meter,” papar Tri.
Menurut Sabil, kondisi situs Kota Kapur yang tidak ada bedanya dengan kondisi hutan itu membuat pengunjung kecewa. Banyak pelajar yang melakukan karya wisata ke Kota Kapur kecele. Para pelajar umumnya membayangkan ada sesuatu yang menarik yang bisa dilihat di Kota Kapur.
”Rombongan pelajar dari Pangkal Pinang atau Sungai Liat sering datang ke sini untuk melihat situs. Setelah sampai di sini mereka menggerutu karena hanya melihat semak belukar dan pepohonan,” ujar Sabil.
Peninggalan masa Sriwijaya yang terserak di bawah tanah Kota Kapur bukan hanya struktur candi. Pada penelitian tahun 2007, tim gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, serta Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bangka menemukan kepingan kapal dari abad VII di rawa tepi Sungai Kupang yang disebut Air Pancur.
Berdasarkan penemuan kepingan perahu tersebut, diduga Kota Kapur adalah pelabuhan yang ramai pada masa Sriwijaya. Letak pelabuhan itu ada di sekitar Sungai Kupang yang sekarang berubah menjadi rawa.
Peninggalan berupa benteng tanah sepanjang 1,2 kilometer dengan ketinggian 3 meter dan lebar 4 meter di sekitar Kota Kapur masih bisa disaksikan. Akan tetapi, benteng tanah yang dahulu berfungsi menahan serangan dari selatan dan timur itu sekarang hanya berupa gundukan tanah yang ditumbuhi semak belukar.
Serba terbatas
Desa Kota Kapur terletak di Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Desa ini bisa ditempuh dengan mobil dari Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, selama 1,5 jam. Sebetulnya jarak Pangkal Pinang-Kota Kapur hanya 50 kilometer, tetapi kondisi jalan yang tidak mulus dan sempit memperlambat perjalanan.
Rumah warga Desa Kota Kapur dibangun di sebelah kiri dan kanan jalan utama desa. Rumah warga bukan rumah panggung, tetapi rumah tembok karena daerah yang dipakai sebagai permukiman bukan rawa. Desa Kota Kapur dihuni 400 keluarga, tetapi dalam satu keluarga bisa terdiri lebih dari lima orang sehingga jumlah penduduk Kota Kapur mencapai ribuan.
Mahadil (62), mantan Kepala Desa Kota Kapur, mengungkapkan, 80 persen warga Desa Kota Kapur bekerja sebagai petani karet, lada, dan kelapa sawit. Sisanya bekerja sebagai nelayan dan buruh di kolong timah.
Menurut Mahadil, tanaman lada yang merupakan komoditas khas Bangka semakin lama semakin tidak bisa diandalkan untuk menopang hidup. Harga lada putih yang saat ini mencapai Rp 40.000 per kilogram dinilai tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk menanam dan merawatnya. Apalagi tanaman lada hanya panen setahun sekali. Warga pun akhirnya menanam tiga jenis tanaman, yaitu karet, sawit, dan lada supaya mendapat pemasukan lebih besar.
Mahadil mengatakan, tambang timah yang semakin mendekati situs Kota Kapur mengancam kelestarian situs. Mahadil mengakui, sebagian kecil warga Kota Kapur telah beralih profesi sebagai penambang timah karena hasilnya menggiurkan. Tidak sedikit warga yang menyewakan tanahnya untuk dijadikan tambang timah.
Selama bertahun-tahun, warga Kota Kapur menggantungkan hidupnya pada aliran listrik dari genset. Setelah matahari tenggelam sampai tengah malam, bunyi genset terdengar dari seluruh penjuru desa.
Sekarang, di sepanjang jalan utama Desa Kota Kapur sudah berdiri tiang-tiang listrik yang siap mengalirkan listrik. Menurut Ali (26), salah satu warga Kota Kapur, tiang-tiang listrik itu didirikan sejak Agustus 2009. Ali berharap listrik segera mengalir ke desa kelahirannya.
”Kalau listrik masuk ke Kota Kapur, insya Allah Kota Kapur akan maju seperti daerah lain,” kata Ali penuh harap.
Meskipun pasokan listrik masih terbatas, budaya konsumerisme telah melanda warga Kota Kapur. Telepon genggam gampang ditemui di mana-mana meski sinyal di Kota Kapur ”byarpet”. Pulsa telepon genggam dijual di warung yang menjual beras, minyak goreng, dan sayuran.
Menyaksikan kondisi peninggalan Sriwijaya dan kondisi masyarakat Kota Kapur memang terasa menyesakkan dada. Warga Kota Kapur masih hidup dalam keterbatasan, padahal Kota Kapur pada masa Sriwijaya adalah pelabuhan penting. Bahkan, penguasa Sriwijaya menempatkan prasasti persumpahan di Kota Kapur supaya wilayah itu tidak lepas dari hegemoni Sriwijaya.
Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang wilayahnya meliputi kawasan Asia Tenggara, bahkan sampai ke Madagaskar. Armada kapal angkatan laut Sriwijaya menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara. Sriwijaya juga menjadi pusat agama Buddha.
Kondisi sekarang ironis. Nyaris tak ada peninggalan Sriwijaya yang dapat disaksikan di Kota Kapur. Peninggalan yang ada masih terkubur di antara rimbunnya semak belukar dan di dalam rawa. Mereka menunggu untuk digali dan ditunjukkan kepada generasi selanjutnya. (Wisnu Aji Dewabrata)***
Source : Kompas, Jumat, 20 November 2009 | 04:12 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar