Warga terluka saat bentrok antara warga dengan Satpol PP yang berupaya membongkar bangunan di kompleks makam Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4/2010). Bentrokan ini mengakibatkan sedikitnya 100 orang terluka dan belasan kendaraan roda dua dan empat dibakar massa. (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)***
Source : Kompas Images, Rabu, 14 April 2010 | 20:10
Titah yang Membawa Bencana
Oleh Sulyana Dadan
Bentrokan yang terjadi antara warga dan aparat keamanan di Koja, Tanjung Priok, sepanjang hari Rabu (14/4) meninggalkan luka menganga bagi bangsa ini. Bukan hanya korban tewas dan luka berat yang membuat kita miris, melainkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengomunikasikan kebijakan penertiban di makam Mbah Priuk, patut dipertanyakan.
Jika kita cermati, bentrokan tersebut bukan berakar dari aparat Satpol PP yang represif atau warga yang anarkis, tetapi ada jembatan komunikasi yang terputus antara pemerintah daerah dan warga. Di beberapa media, pihak pemerintah kota (pemkot) menyatakan bahwa upaya penertiban adalah untuk memperindah dan mempercantik wilayah makam. Namun, mengapa informasi yang sampai ke telinga warga adalah pembongkaran makam sehingga mengundang reaksi negatif dari warga (Kompas, 15/4/2010).
Miskomunikasi ini memang bukan persoalan baru. Hampir di setiap penertiban yang dilakukan aparat selalu dibarengi komunikasi yang terputus antara pemerintah dan warga. Warga yang seharusnya didekati dengan pendekatan sosiologis, lebih banyak ditekan dengan pendekatan-pendekatan represif. Budaya rembuk yang menjadi karakter penyelesaian persoalan masyarakat selama ini semakin ditinggalkan.
Semestinya, pemkot melakukan upaya sosialisasi intensif sekaligus partisipatif untuk menggali respons warga. Bukan represif dengan mendatangkan ribuan aparat Satpol PP dan polisi. Selama ini, citra yang terbangun dari Satpol PP dan polisi dalam penertiban adalah penggusuran. Jadi sangat wajar jika warga langsung bereaksi dan melakukan perlawanan.
Akan tetapi, coba jika yang datang pada waktu itu adalah para pengambil kebijakan dengan benar-benar memosisikan sebagai pelayan warga, berkunjung untuk berdialog dengan warga, mungkin sambutan warga pun akan lain. Bukan celurit dan pentungan yang disediakan sebagai suguhan, tetapi keluh kesah warga kepada pemerintah layaknya anak kepada orangtuanya ketika si anak mendapat kesusahan.
Lebih militan
Dalam kasus Priok kemarin, simpati dan empati tampaknya belum menjadi pegangan pemkot dalam melaksanakan kebijakan. Pun kesadaran akan potensi perlawanan dari para pengagum Mbah Priuk kurang begitu dipahami sebagai potensi bom waktu yang setiap saat bisa meledak jika terus-menerus ditekan.
Pengagum Mbah Priuk tentu lebih militan daripada Satpol PP. Keterkaitan emosi, trah atau turunan, ideologi, rasa hormat, dan bangga sebagai pembela Mbah Priuk menjadi energi perlawanan luar biasa. Artinya, rasa hormat yang begitu besar terhadap Mbah Priuk sebagai penyebar Islam akan membuat siapa pun yang terkait dengannya rela mati. Itulah karakter militansi kultus individu yang sepertinya belum begitu dipahami oleh pemkot.
Hal ini tentu saja berbeda ketika Satpol PP menertibkan permukiman kumuh atau lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL). Penertiban semacam itu hanya dilandasi motif ekonomi, tidak ada kekuatan ideologis dan emosi sebagai penyatu. Karena, di antara warga yang ditertibkan mungkin ada yang mempunyai kemampuan mencari permukiman atau berjualan di wilayah lain sehingga potensi mereka untuk tidak bersatu sangat dimungkinkan.
Kasus Priok, sekali lagi bukan kesalahan Satpol PP atau warga. Satpol PP hanya pion dari sebuah ”titah” untuk menertibkan makam Mbah Priuk. Layaknya pion, Satpol PP harus melaksanakan perintah apa pun dengan konsekuensi apa pun karena hal ini berkaitan dengan profesionalisme kerja mereka. Meskipun dari beberapa media, beberapa anggota Satpol PP setengah hati melakukan penertiban karena mereka pun adalah pengagMbah Priuk, misalnya, Ahmad Tajuddin, salah satu anggota Satpol PP yang tewas yang semasa hidupnya ternyata sering ziarah ke makam Mbah Priuk (detik.com, 15/4/2010). Sangat ironis.
Bagaimanapun, kasus Priok memberi kita pelajaran. Sebuah ”titah” pemerintah harus dibarengi kesadaran akan potensi perlawanan yang dihadapi pelaksana ”titah”-nya. Diperlukan kesadaran untuk berempati dan simpati serta reflektif terhadap karakter sosial-budaya sasaran kebijakan. Jika tidak demikian, titah selamanya akan berakhir dengan darah.
Sulyana Dadan,
Dosen Jurusan Sosiologi Fisip Unsoed Purwokerto
Source : Kompas, Jumat, 16 April 2010 | 04:48 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar