DEBORAH Bahagia dalam Seni
Berasal dari Amerika Serikat dan sempat meniti karier sebagai bankir selama bertahun-tahun, Deborah Iskandar (47) akhirnya tercebur dalam dunia seni rupa di Indonesia. Dan, dia menikmatinya. Katanya, ”Saya bahagia hidup bersama karya-karya seni rupa yang indah, dan menjadi bagian dari perjalanan seni rupa Indonesia.”
Deborah adalah managing director kantor perwakilan Sotheby’s di Indonesia. Lembaga ini aktif menggelar lelang internasional di beberapa kota besar, seperti New York, London, dan Hongkong. Lelangnya mencakup karya seni rupa, wine, barang antik, perhiasan, atau furnitur.
”Dari semua itu, saya lebih menyukai lukisan,” katanya.
Sosok perempuan langsing berambut pirang ini memang akrab di kalangan dunia seni rupa di Indonesia. Kalangan seni rupa tentu kerap bertemu dengannya. ”Dalam seminggu setidaknya saya melihat dua sampai tiga pameran. Kadang, hampir setiap malam.”
Ngobrol dengan Deborah di kantornya, di Jalan Sudirman, Rabu (18/8) lalu, menyenangkan. Perempuan ini ramah, renyah, dan terbuka. Pagi itu, dia mengenakan gaun terusan pendek warna merah terang.
Dia bercerita panjang lebar tentang kegiatannya sambil menunjukkan sejumlah katalog atau lukisan yang terpasang di dinding kantor yang berudara dingin itu.
Sebagai pengurus balai lelang, dia getol mencari para kolektor yang hendak membeli atau menjual karya seni lewat lelang. Lelang kemudian mencari penawar harga tertinggi. Lewat proses ini, nama seniman Indonesia melejit setelah harga karyanya terdongkrak naik.
I Nyoman Masriadi, seniman asal Bali, contohnya. Awal tahun 2000-an, harga lukisannya masih sekitar Rp 25 juta. Tahun 2008, harganya sudah melonjak jadi sekitar 250.000 dollar AS (sekitar Rp 2,5 miliar), kemudian menjadi 1 juta dollar AS (sekitar Rp 1 triliun) lebih.
Harga lukisan
Dengan kisaran harga berbeda, beberapa seniman lain juga diuntungkan pasar, katakanlah seperti Putu Sutawijaya, Handiwirman Saputra, atau Agus Suwage. Kenapa harga lukisan bisa melenting begitu tinggi?
”Itu dinamika pasar, yang dipengaruhi nama seniman, kualitas karyanya, dan tingkat kesulitan mendapatkan karya,” katanya.
Lewat proses semacam ini, akhirnya balai lelang ikut mempercepat masuknya seni rupa kontemporer Indonesia ke dalam pasar internasional. Hanya saja, sebagian pengamat seni khawatir, iming-iming pasar bisa menggoda seniman muda untuk meniru gaya lukisan yang laku di pasaran.
Bagi Deborah, situasi itu menggambarkan sisi positif-negatif, sebagaimana dimiliki hal-hal lain. ”Mungkin pada awalnya seniman muda meniru tren pasar, tetapi lama-lama mereka dapat menemukan bahasa visualnya sendiri. Kadang harga di pasar juga turun sebagai koreksi.”
Perempuan ini mengaku senang bisa menjadi bagian dari perkembangan seni rupa Indonesia. ”Sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk melihat karya seni. Saya merasa bahagia hidup saya dikelilingi sesuatu yang indah.”
Deborah mengaku tidak berasal dari lingkungan seni. Latar belakang pendidikannya di Amerika justru di bidang akunting dan hukum. Selesai kuliah, tahun 1988, dia hijrah ke Hongkong dan bekerja sebagai seorang bankir.
Di negeri itulah, dia mulai kepincut dengan seni rupa. Awalnya dia tertarik untuk mengamati dan mengoleksi lukisan kontemporer Rusia. Beberapa waktu kemudian dia ikut menyelenggarakan pameran lukisan.
”Saya belajar dengan banyak melihat karya seni, membaca buku-buku seni. Itu memungkinkan karena lukisan itu visual,” katanya.
Tahun 1991, perempuan ini pindah ke Indonesia, masih sebagai seorang bankir. Kecintaannya pada dunia seni makin kental saat dia menjadi partner sebuah galeri seni di New York, Amerika Serikat. Lima tahun kemudian, dia menerima tawaran untuk menangani suatu balai lelang internasional di Jakarta.
Sejak awal tahun 2009, dia dipercaya sebagai managing director Sotheby’s di Jakarta. Deborah semakin masuk dalam arus perkembangan seni rupa Indonesia. Dia mengaku sangat menikmati dunia yang mulai digelutinya lebih dari 20 tahun itu.
”Saya beruntung karena punya pekerjaan yang memang menjadi hobi saya.” Sampai kapan Anda terus menekuni dunia seni? ”Saya tak akan pernah berhenti. Bahkan, saat libur pun, saya masih mengunjungi museum seni, baca buku seni. Ini sangat menggairahkan.” (ILHAM KHOIRI)***
Source : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 04:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar