Mimi Tiweng, Primadona Ronggeng Terakhir
Oleh HER SUGANDA
MIMI TIWENG. (Foto : HER SUGANDA)***
Masih adakah ruang yang tersedia untuk menyaksikan Mimi Tiweng menari? Primadona ronggeng ketuk dari Dusun Tlakop itu terakhir kali tampil memesona dalam pergelaran di Gedung Negara Cirebon, awal Desember tahun lalu.
Penampilannya di depan publik yang sebagian besar terdiri dari pejabat setempat pada malam itu bukan hanya merupakan yang pertama kali setelah cukup lama istirahat. Sebelumnya, ia lebih banyak berada di rumah mengurus suaminya, Waryim (75 tahun).
”Saya tidak tahu kapan bisa menari lagi,” kata Mimi Tiweng, yang memiliki nama lahir Kartiwen, penuh harap melepaskan kerinduannya.
Tlakop, kampung tempat Mimi Tiweng membangun keluarga dan kesenian ronggeng ketuk, termasuk wilayah Desa Telagasari, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Daerah pertanian itu dikelilingi areal persawahan sejauh mata memandang. Di tempat ini, Mimi Tiweng merupakan satu-satunya penari sekaligus primadona ronggeng ketuk yang masih ada.
Setelah itu? Mimi Tiweng tidak bisa menjawabnya. Dia hanya bisa menatap hampa masa depan kesenian yang digelutinya selama ini. Dalam benaknya sudah lama terbayang, kesenian ronggeng ketuk akan berakhir di tangannya. Setelah dirinya, tidak ada lagi generasi berikut yang melanjutkan.
Regenerasi kesenian tradisional yang biasanya berlangsung melalui anak atau anggota keluarga lain sudah tidak mungkin terjadi pada ronggeng ketuk.
”Anak saya dan anak-anak gadis lain tidak ada lagi yang mau menjadi penari ronggeng,” katanya. Nada suaranya rendah, memperlihatkan isi hati yang kecewa, mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi.
Tanpa panggung
Ronggeng ketuk merupakan kesenian tradisional yang bentuknya tidak banyak berbeda dengan kesenian sejenis yang menampilkan penari ronggeng. Di daerah lain, kesenian ini dinamakan ketuk tilu karena salah satu instrumennya atau waditra berupa cemplon yang dinamakan ketuk terdiri dari tiga buah.
Instrumen lainnya adalah rebab (alat gesek), gendang dengan kulanter, gong, dan kecrek.
Para nayaga atau awak gamelan duduk di salah satu sisi, dikelilingi para penonton yang membentuk lingkaran. Penonton di baris paling depan biasanya duduk di atas lantai tanah atau jongkok. Namun, pusat perhatian mereka bukan pada kemeriahan irama gamelan yang mengiringi pertunjukan, tetapi kepada para ronggeng.
Ronggeng adalah penari yang umumnya perempuan. Selain menyanyi, ia juga melayani penonton yang berminat menari bersamanya. Tidak diketahui sejak kapan kesenian ini ada. Pergelaran kesenian tersebut biasanya diselenggarakan pada malam hari di daerah terbuka tanpa panggung.
”Kalau siang, penonton pria yang akan menari di arena merasa malu,” kata Waryim, menimpali istrinya. Penonton pria yang ikut menari kemudian memberikan sawer berupa sejumlah uang.
Pertunjukan ronggeng ketuk berlangsung sejak pukul 20.00. Semakin malam suasananya semakin hangat. Para penonton pria turun ke arena silih berganti, berusaha merebut hati ronggeng pujaannya seraya berlomba memberikan sawer. Sebelum 1990-an, pertunjukan ronggeng berlangsung hingga subuh. Namun kini, pertunjukan hanya dibolehkan sampai tengah malam.
Uang sawer merupakan pemasukan tambahan bagi para ronggeng dan nayaga. Kartiwen menceritakan, uang sawer yang terkumpul dibagikan setelah pertunjukan usai. ”Cara pembagiannya sabatur,” katanya. Artinya, sebagian untuk nayaga dan sebagian lagi untuk ronggeng.
Masa keemasan
Lahir di Dusun Tlakop, perjalanan hidup Mimi Tiweng sebagai penari ronggeng ketuk cukup panjang. Bisa dikatakan, hampir sepanjang usianya dicurahkan menjadi penari ronggeng. Ia mengaku sudah menari sejak usia 10 tahun. Tidak mengherankan jika namanya menyatu dengan ronggeng ketuk di Dusun Tlakop. Julukan ”Mimi” menunjukkan, ia merupakan seseorang yang dituakan karena kepiawaiannya pada salah satu bidang kesenian.
Mimi Tiweng pernah mengalami masa-masa keemasan yang sulit terlupakan. Sebelum organ tunggal mewabah seperti sekarang, ronggeng ketuk merupakan salah satu pilihan masyarakat Indramayu dalam memeriahkan upacara pernikahan, khitanan, dan lainnya.
”Waktu itu, dalam sebulan bisa penuh sehingga sering ada permintaan ditolak,” kenangnya. Apalagi jika usai musim panen, kesibukan mencapai puncaknya.
Mimi Tiweng dan penari ronggeng lainnya hanya mempunyai waktu istirahat pada siang hari. Malam hari mereka harus memenuhi panggilan dari satu desa ke desa lainnya.
Akan tetapi, masa keemasan itu sudah lama berlalu. Ketika ronggeng ketuk harus bersaing dengan orkes dangdut, Mimi Tiweng mengaku masih bisa bertahan. Namun, setelah muncul organ tunggal, Ronggeng Ketuk ”Pacar Sari” mulai limbung. Kelompok kesenian ini mulai merasakan kehilangan peminat. Nasib yang sama dialami oleh kelompok kesenian tradisional lain. ”Bahkan, sejak 2001 sudah tidak laku lagi,” katanya.
Satu per satu kesenian tradisional mulai berguguran. Pesaingnya sesama ronggeng ketuk yang ada di desanya sudah lebih dulu gulung tikar. Ronggeng dan nayaga-nya mencari sumber kehidupan lain. Sebagian lagi hilang dari peredaran karena usia lanjut dan lainnya meninggal.
Praktis Mimi Tiweng merupakan satu-satunya penari ronggeng ketuk yang masih bertahan. Di tempat kelahirannya, Dusun Tlakop, Sang Primadona itu tetap gigih mempertahankan keberadaan Ronggeng Ketuk ”Pacar Sari” walau hanya tinggal seorang diri. Teman-temannya sesama penari ronggeng sudah lama berpisah. Begitu juga sebagian besar nayaga-nya.
Dalam kesendiriannya, ia masih bersyukur karena ronggeng ketuk tidak hanya merupakan kesenian yang bertujuan menghibur publik penontonnya. Di daerahnya, ronggeng ketuk memiliki nilai spiritual yang biasa dipanggil oleh mereka yang akan memenuhi nazar atau kaul. Namun, hal itu sudah sangat jarang sehingga Ronggeng Ketuk ”Pacar Sari” hanya sesekali tampil.
Itu pun, nayaga yang menyertainya tidak bisa tampil utuh sebagaimana pendahulunya.
(HER SUGANDA, Wartawan, Tinggal di Bandung)
KARTIWEN ALIAS MIMI TIWENG
• Umur: Sekitar 65 tahun
• Pendidikan: Tidak sekolah
• Pekerjaan: Pimpinan Ronggeng Ketuk ”Pacar Sari”, Dusun Tlakop RT 01 RW 03, Desa Telagasari, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
• Pengalaman: Menari sejak umur 10 tahun
• Suami: Waryim (75 tahun)
• Anak: Surono (36 tahun), Yus Idayani (23 tahun)
Source : Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010 | 03:41 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar