"In Memoriam" Mimi Rasinah
Oleh SUPALI KASIM
Foto pada halaman utama Kompas, Kamis (5/8), berjudul "Semangat Mimi Rasinah" berbunyi "Meski stroke dan harus terduduk, maestro tari topeng Indramayu, Mimi Rasinah (80), tetap penuh semangat menari bersama cucu dan penerusnya, Aerli Rasinah (26), di Bentara Budaya Jakarta pada Pentas Seni dan Pameran 'Indramayu dari Dekat', Rabu (4/8) malam. Mimi Rasinah, yang kini hanya mampu menggerakkan tubuh bagian kanannya, adalah satu-satunya empu tari topeng Indramayu yang masih hidup."
Dua hari kemudian, Sabtu pukul 16.28, Mimi Rasinah meninggal dunia di RSUD Indramayu. Pada Minggu pukul 09.30 jasadnya dikubur di pemakaman Desa Pekandangan, 3 km dari Kota Indramayu. Foto karya fotografer Kompas, Lasti Kurnia, tersebut adalah foto terakhir. Tari kreasi Rogo Sukma bersama cucunya tersebut adalah tarian terakhir. Akan tetapi, pentas tersebut bukanlah pentas terakhir. Ia seakan-akan telah me-rogo-kan (mengambil) sukma tarinya untuk diberikan kepada cucu dan penerusnya. Sukma Rasinah pun tidak akan mati karena tari topeng gaya Dermayonan akan diteruskan puluhan anak didiknya.
Rasinah memang seorang mimi (ibu) bagi kehidupan tari topeng. Pahit-getir kehidupan topeng telah puluhan tahun dilakoni. Riuh gemerlap dan kosong sepinya pentas ia nikmati. Perjuangan melawan kepapaan telah ia jalani. Namun, ia juga dengan sabar dan ikhlas melahirkan, mendidik, membimbing, dan menuntun anak-anak generasi penerusnya. Mama Amat
Secara biologis, darah seniman Rasinah tidak terlalu kental. Namun, sejak usia remaja dan menikah dengan Amat, nayaga tari topeng dari keluarga seniman, Rasinah memang dikader menjadi penari topeng. Berbagai teknik tari dan menabuh gamelan harus dikuasai. Secara ideologis, apresiasi dilakukan lewat pengembaraan sukma sekaligus pembentukan raga.
Ia menjalani ritual puasa mutih (berpuasa dengan hanya makan nasi putih atau segelas air), ngetan (berpuasa, saat berbuka hanya makan nasi ketan), ataupun puasa wali (tidak makan dan tidak minum selama tiga hari atau tujuh hari dan seterusnya). Selama puluhan tahun kelompok tari topengnya berpentas dari kampung ke kampung dan dari desa ke desa untuk menghibur penonton dalam hajatan ataupun ritual desa.
Kekayaan filsafat dan cermin karakter manusia pada tari topeng agaknya tidak selalu beriringan dengan kesukaan masyarakat yang cenderung memilih jenis kesenian yang bersifat lebih menghibur, lebih wah, nge-tren, dan nge-pop. Sejak dasawarsa 1980-an tari topeng mulai jarang ditanggap. Keterpurukan itu makin menjadi ketika Mama (Bapak) Amat meninggal dunia. Rasinah seperti "di-PHK". Belasan tahun kemudian tari topeng tidak disentuhnya lagi.
Sobra, badong, dodot, kedok, dan busana kebesaran lainnya ia tanggalkan meski dengan dada sesak. Apalagi, para nayaga lainnya satu per satu meninggal dunia, sudah renta, atau mencari penghidupan lain. "Tari topeng hanyalah masa lalu. Sekarang, orang tak butuh tari topeng, tak ada yang nanggap," ujar Mimi Ras atau juga biasa dipanggil Mak Inah itu.
Endo dan Toto
Siapa sangka ketika sudah 15 tahun meninggalkan dunia tari, ia "dipaksa" menari lagi. Endo Suanda, Toto Amsar Suanda, dan pengajar STSI Bandung lain saat itu berkeras merayunya. Pertemuan yang tidak diduga, atas petunjuk Mama Taham, seniman tradisional pemimpin Sanggar Mulya Bhakti, Tambi, Sliyeg, Indramayu, yang juga memiliki kelompok nayaga tari topeng, menunjuk Rasinah sebagai salah satu penari yang masih tersisa di Indramayu.
Rasinah menolak. Ia merasa sudah tua, sudah belasan tahun tidak menari, sudah lupa dunia tari. Bahkan, dunia tari mengantarkannya kepada kepapaan materi. Pendapatan tidak menentu. Rumahnya pun hampir roboh. Akan tetapi, ketika gamelan topeng berkumandang yang ditabuh para nayaga Mama Taham, ia seakan-akan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sebuah dunia tempatnya mengekspresikan karakter manusia lewat tari Panji, Pamindo, Tumenggung, ataupun Klana.
Ketika menari Klana, kerentaan usia 65 tahun tidak ada. Kakinya lincah mengentak-entak, berderap, menyepak-nyepak, ataupun berjalan dengan pongahnya. Nuansa kemarahan menyebar di sekelilingnya, tinggi hati, berkuasa, dan egois dengan kegarangan kumis hitam tebal, mata melotot, dan wajah merah. Ekspresi tubuh, tangan, kaki, kepala, hati, dan jiwa menyatu dalam karakteristik angkara murka.
Namun, adegan yang penuh ruh dan energi itu justru menjadi kontras saat tarian usai dan kedok penari dibuka. Wajah yang tersembul adalah perempuan renta, ringkih, keriput, bahkan (maaf) mata kirinya pun sudah cacat.
Harta karun
Endo, Toto, dan Mama Taham berhasil membawanya kembali ke dunia tari. Mereka membawanya kembali berpentas sampai ke Bandung, Jakarta, Solo, Bali, bahkan beberapa kota di Jepang. Undangan pentas seperti mengalir dari berbagai tempat, kota, dan negara. Kekayaan karakteristik topeng ia suguhkan dan banyak diapresiasi. Rasinah adalah harta karun yang lama terpendam di bawah samudra dunia.
Setelah generasi tari topeng Cirebon, dari Ibu Suji, Ibu Dewi, hingga Ibu Sawitri, kemunculan Rasinah adalah fenomena tersendiri. Berbagai penghargaan diterimanya, dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional. Harta karun itu bukan hanya milik Indramayu, Jawa Barat, dan Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Dalam kerentaan menuju usia 80 tahun, stroke menyerangnya sekitar dua tahun lalu. Nama besarnya seakan-akan magnet bagi khalayak, terutama yang merasa ikut-ikutan membesarkannya. Menjelang momen pilkada Jabar 2008, berbagai tokoh politik, calon gubernur, dan wakil gubernur menjenguknya.
Kini menjelang pilkada Indramayu, 18 Agustus, saat ia meninggalkan pentas dunia, kerabat, keluarga, warga desa, wartawan, seniman, dan budayawan menjenguknya. Calon bupati dan beberapa pejabat ikut pula mendoakannya. Pemerintah Kabupaten Indramayu berencana membuat monumen dirinya.
Rasinah tentu tidak mungkin lagi menari Klana yang beraroma kesombongan dunia, keangkuhan penguasa, dan kepongahan sang angkara murka. Di pekuburan tepi pematang sawah itu mungkin terlintas ada tarian Panji yang halus dan lembut sebagai pengembaraan sukma yang impresif dan utuh, seperti bayi baru lahir dalam gambaran kedok putih-bersih. Selamat jalan, sang maestro.*** Foto-foto : dari berbagai sumber.
Source : Kompas, Senin, 9 Agustus 2010 | 15:30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar