Kota Tua Tambang Sawahlunto
Tujuh anak muda bercengkerama menunggu senja menutup hari di kawasan Saringan, akhir Juni lalu. Duduk di atas rel kereta yang sudah berkarat dan kayu yang lapuk tak mengurangi canda tawa mereka. Kawasan Saringan dibangun tahun 1900-an untuk memproses batu bara sebelum dibawa ke Teluk Bayur dengan menggunakan lokomotif uap.
Kawasan Saringan adalah satu dari 16 tempat bersejarah yang terpelihara dengan baik dan bisa dikunjungi di Sawahlunto. Sawahlunto menjadi terkenal karena batu bara setelah Willem Hendrik de Greve, peneliti batu bara dari Belanda, menyelidiki kemungkinan adanya batu bara di kawasan Sungai Ombilin, Sawahlunto, pada 1868. Penambangan pertama pun dilakukan pada tahun 1880.
Kota tambang tersebut berjarak sekitar 90 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda masih menjadi tempat tinggal penduduk, perkantoran, dan aneka kios makanan hingga warnet.
Orang rantai, sebutan untuk orang-orang hukuman yang bekerja di tambang, bisa ditelusuri jejaknya di lubang tambang Mbah Soero. Tak jauh dari lubang Mbah Soero terdapat Museum Goedang Ransoem yang dulunya merupakan dapur umum yang dibangun pada tahun 1918 untuk menyuplai makanan bagi para pekerja tambang batu bara dan pasien rumah sakit. Rumah Pek Sin Kek, bangunan ini dibangun pada tahun 1906 dan pernah digunakan sebagai gedung teater, merupakan tempat perhimpunan masyarakat Melayu dan pabrik es. Wisata tambang bisa ditutup dengan naik kereta api Mak Itam dari Sawahlunto-Muarokalaban (pp), perjalanan menembus bukit, dan memasuki terowongan gelap sepanjang satu kilometer. (Agus Susanto)***
Source : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 03:27 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar