OBITUARI
Ni Ketut Cenik, Menari Sepanjang Hayat
Oleh Gde Aryantha Soethama
Betapa seorang penari tidak mesti gemulai, semampai, dan cantik, dibuktikan oleh Ni Ketut Cenik, legenda seni pertunjukan Bali yang meninggal dalam usia 88 tahun, Sabtu (24/7). Jasadnya dikubur di setra Alas Arum, satu kilometer selatan tanah kelahiran dan tempatnya menghabiskan seluruh usia, Desa Batuan, Gianyar, Bali. Berita kepulangannya ke tanah asal luput dari perhatian. Berbeda ketika ia tampil penuh daya vitalitas di berbagai panggung dan pentas di seantero dunia yang selalu dielu-elukan.
Sejak bocah, Cenik senang menari, di mana pun ia punya kesempatan menari. Di pojok bale banjar atau halaman depan pura, tiba-tiba ia berdiri dan mengembangkan tangannya. Mulutnya mengumandangkan tiruan bunyi gamelan. Orang-orang sekeliling yang menonton terkagum-kagum. ”Beh, anak ini punya bakat hebat,” ujar mereka memuji.
Ketika remaja, hasratnya jadi penari kian menggebu, tetapi berkali-kali tak kesampaian karena ia memang tidak cukup semampai dan gemulai. Tak satu pun sekaa (kelompok) dan guru tari yang sudi mengajarnya. Teman-teman sebayanya sudah sibuk tampil ketika piodalan (upacara) di pura, Cenik tetap terasing, tak diajak serta. ”Jika terkenang saat itu, saya kadang menangis,” ujarnya. Namun, akhirnya ia menyebut juga dua nama yang menjadi gurunya, Wayan Kurir, yang mengajarinya tari joged pingitan, dan Anak Agung Mandra Ukiran, yang mengarahkannya menjadi penari arja (drama tari Bali). Ia mengaku belajar menari dari menonton, yang terus dilakoninya sampai usia tua. Jika ada pertunjukan di desanya, ia akan duduk bersama penonton lain, berdesak-desak, dengan mulut menyusur tembakau, tak peduli kalau ia sudah disebut sebagai seorang maestro tari Bali. Menontonlah justru gurunya yang terpenting.
Joged pingitan
Cenik baru berusia sembilan tahun ketika Kurir mendidiknya jadi joged pingitan. Ketika ia sedang menggembalakan sapi di tegalan, sambil menembang mengusir sepi, ketua sekaa joged pingitan mendatanginya dan mengajaknya bergabung. ”Tapi, saya harus diuji berkali-kali, disuruh menari, dan menyebut nama tarian yang saya peragakan. Semua anggota sekaa heran karena saya menjawab dan menarikannya dengan benar,” kenang Cenik semasa hidupnya.
Menjadi penari dan terikat dalam kelompok sangat membantu ekonomi keluarganya. ”Setiap hari, kalau latihan, saya mendapat jatah satu kobokan beras dan daging,” ujar Cenik. Satu kobokan setara dengan hampir seperempat kilogram. Dari kebersamaannya dalam sekaa inilah Cenik kemudian dikenal sebagai penari joged pingitan terbaik dan mataksu (berwibawa) sepanjang hayatnya.
Ketika tari joged pingitan dan arja dikuasai, ia menurunkan ilmu kepada sebanyak mungkin murid, dengan mulai mengajar anak-anak di desanya, sebelum orang-orang dari seluruh Bali memintanya menjadi guru tari di desa-desa mereka. Ia sudah mengajar ribuan orang. ”Banyak yang tidak saya ingat nama dan rupa mereka,” ujar Cenik, yang muridnya datang dari Italia, Perancis, Amerika, Australia, dan Jepang. Jika ditanya bagaimana mereka sampai mengenal Cenik dan belajar di rumahnya di Batuan, ia menjawab enteng, ”Mereka tahu saya dari majalah.” Media membuat ia populer sehingga orang-orang dari seluruh dunia mengundangnya untuk menari. ”Mereka tak bosan-bosan menonton saya menari,” ujarnya terkekeh. Tahun 2008, selama sebulan ia menari berkeliling Jepang.
Cenik tidak semata mendalami tari joged pingitan. Ia menguasai hampir semua jenis tari. Dalam drama tari Calonarang yang sangat digemarinya, ia tampil sebagai penari tunggal memerankan bermacam tokoh, menarikan legong, jauk, baris, tari barong, pandung, topeng, di satu pentas, dalam satu kali penampilan, tanpa jeda. Energinya luar biasa, vitalitasnya tak terbendung, dengan gerakan jauh dari kesan gemulai. Ia tak pernah menari dalam gaya slow motion. Dia bergerak terus, kadang dengan gerakan tubuh naik turun seperti orang sedang kegirangan dan hendak bersorak. Tubuh dalam posisi miring dengan kaki menjinjit diseretnya ke tepi panggung. Tiba-tiba wajah galak mendongak ke depan, mata mendelik. Cenik sangat kaya gerakan tiba-tiba, pintar menyuguhkan gerak-gerak kejutan, dengan kerling mata (seledet) sangat tajam dan berpendar. Penonton di Bali menyebutnya sebagai seledet tatit (lirikan petir).
Berkali-kali ia mengeluhkan panggung masa kini yang luas, yang membuatnya sangat berjarak dengan penonton. Namun, ia piawai mengatur bidang, yang ia bagi sesuai dengan kekuatan dan kebutuhan. Kepada murid-muridnya ia menasihatkan, ”Gunakan bidang sebatas kemampuanmu. Jika penonton bosan, perpendek tarianmu.” Karena itulah, Cenik dikenal sebagai penari yang sangat bebas, tidak terlalu direcoki bidang dan waktu. Ia punya koreografi sendiri, karyanya sendiri, dan hanya mungkin ditarikan oleh dirinya sendiri pula.
Sebagai penari joged, ia selalu menari berteman kipas. Jika penari lain memainkan kipas dengan halus, Cenik memainkannya dengan sentakan-sentakan kuat. Tarian Cenik adalah gerakan yang sangat energik, ekspresif, mengesankan tarian yang kasar, diletupkan sepenuh tenaga sepanjang pertunjukan. Gaya dan gerakannya di pentas hanya menjadi miliknya. Tak seorang pun sanggup meniru, apalagi menyamai, gerakan itu. Jika ada yang berkomentar bahwa Cenik adalah maestro tari Bali klasik, itu tidak sepenuhnya benar. Siapa pun yang sempat menonton langsung ia menari, memerhatikan mimiknya, akan punya kesan bahwa gerakan Cenik jauh lebih tua dari tari klasik. Ia menari seperti menyongsong gerakan tarian purba. Orang-orang dari desa tetangganya yang menonton kadang berucap, ”Dadong (nenek) ini menari sesuka hati, tidak ikut agem dan alur tari.” Tapi, yang ngomong seperti itu justru selalu rindu menonton Dadong menari. Mereka ingin menonton gerak tari yang seperti tidak punya struktur, tetapi sangat memikat karena penuh kejutan, energik, dan sangat kaya improvisasi.
Tak ada penari sanggup meniru gaya itu. ”Murid-murid saya, anak dan cucu, tak seorang pun bisa meniru gaya saya menari,” kata Cenik. Made Jimat, anaknya, penari kawakan, juga tak kuasa. Mungkin karena Cenik menganggap diri tak pernah berguru sehingga ia tampil menjadi penari dengan gerakan unik dan susah dijelaskan. Yang jelas, ia menari sepanjang hayat, sesuatu yang dilakoni pregina (penari) Bali masa lalu, yang kini kian susut jumlahnya.
Selamat jalan, Dadong. Tetaplah menari di sana. Biarlah di sini kami merindukanmu dengan menonton tarianmu di video, Facebook atau YouTube.
Gde Aryantha Soethama,
Cerpenis dan Novelis Tinggal di Bali.
Source : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 04:23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar