Rabu, 28 Juli 2010

OPINI : Janda Pahlawan Mencari Keadilan

Janda Pahlawan Mencari Keadilan

Oleh Faisal

Dua janda pahlawan telah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (27/7). Keduanya didakwa melakukan penyerobotan rumah dinas.

Kehidupan hukum kita sekarang dapat dikatakan sangat payah, penuh karut-marut, hasil interaksi sistem hukumnya yang bermasalah, perundang-undangan yang multitafsir, dan ketidak- becusan praktik hukum sehari- hari di tengah masyarakat.

Pada akhirnya hukum itu dirasakan dan dinilai dari hasil kerjanya. Hasil kerja itu tidak hanya ”ketertiban dalam masyarakat”, tetapi juga ”keadilan yang dirasakan masyarakat”.

Salah satu variabel penting dan menghasilkan praktik hukum yang diterima dan dirasakan masyarakat adalah institusi ”pengadilan” sebagai arena pertarungan berbagai kelas sosial masyarakat dalam memperjuangkan keadilannya masing-masing. Kerisauan dan ketidakpuasan masyarakat sekarang terhadap pengadilan boleh menjadi bukti mengenai hal itu.

Naluri kemanusiaan

Betapa naluri kemanusiaan kita akan terentak apabila kita melihat praktik hukum yang membuat heboh masyarakat belakangan ini yang menimpa dua janda (Rusmini dan Soetarti), keduanya hampir mendekati usia 80 tahun, terjerat kasus tindak pidana penghunian rumah tanpa izin dan tanpa hak.

Keduanya dituntut negara karena dianggap telah menempati rumah yang bukan milik mereka. Tanpa peduli suami kedua janda itu adalah pejuang, mereka dituntut oleh jaksa hukuman dua bulan penjara dengan empat bulan masa percobaan.

Jaksa menilai, kedua terdakwa melanggar pidana Undang-Undang Perumahan. Jaksa mengenakan Pasal 12 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan, yakni menempati rumah tanpa izin atau tak sesuai haknya. Sebenarnya, rumah yang menjadi masalah itu adalah rumah dinas yang mereka tempati sekian tahun lamanya dengan surat penunjukan yang sah. Pendapat ini diungkapkan Kiagus Ahmad, kuasa hukum mereka dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Barangkali masyarakat awam akan bertanya, apakah sudah kering naluri kemanusiaan ”hukum” kita saat ini dan apakah memang seperti itu cara berhukum yang sesuai dengan falsafah bangsa kita. Jika saja menegakkan hukum tak lagi memedulikan hati nurani dan lebih mementingkan undang-undang, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap koruptor yang kadar perkaranya lebih menyakiti rasa keadilan masyarakat?

Selain itu, apakah persoalan bangsa ini juga harus diselesaikan selalu dengan menggunakan instrumen hukum saja? Apa sudah tak ada lagi pendekatan lain yang dapat menyelesaikan masalah mereka sehingga mereka harus dicekal dengan pasal menempati rumah tanpa hak dan izin?

Bangsa ini dapat berdiri tegak bukan semata-mata karena undang-undang, melainkan karena rasa solidaritas dan musyawarah untuk memerdekakan diri dari setiap masalah. Lantas, ke mana rasa solidaritas itu dan di mana pula jalan ”musyawarah” yang biasanya lebih efektif dan rekonsiliatif ketimbang harus bertarung dalam arena pengadilan?

Menemukan substansi

Bukan berarti kita tak percaya terhadap mekanisme hukum dan pengadilan, melainkan menegakkan hukum sangat berbeda dengan menegakkan undang-undang. Diperlukan perilaku penegak hukum yang dapat membedakan hal itu karena menegakkan hukum masih dimungkinkan untuk mencari nilai keadilan setiap perkara yang dihadapi. Sebaliknya, menegakkan undang-undang hanya menarik garis lurus antara pasal (undang- undang) dan peristiwa hukum yang memenuhi unsur perbuatan pidana terhadap undang-undang yang bersangkutan.

Padahal, kedua janda pahlawan itu di pengujung usianya tak menuntut banyak. Mereka hanya ingin mempunyai tempat tinggal yang layak, sementara mereka tak memiliki lagi tulang punggung keluarga. Seyogianya pengadilan dalam setiap menyelesaikan problem sosial bukan hanya memeriksa dan mengadili perkara, melainkan menemukan substansi yang lebih bernilai filosofis, yaitu ”keadilan”.

Alangkah bahagianya rakyat apabila penegak hukum bertindak seperti para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang berani melakukan terobosan progresif, dengan menyisihkan sedikit saja nalar kemanusiaan setiap membaca teks hukum. Hal itu dilakukan demi membantu rakyat keluar dari keterpurukan dan problem sosial.

Barangkali jika kita berani menengok sejenak ketentuan hukum pidana di Belanda, misalnya ada upaya penghapusan pidana (dekriminalisasi) atas pertimbangan subsosialitas, artinya jika suatu perbuatan merupakan delik (perbuatan pidana), tetapi secara sosial sangat kecil dampaknya kepada masyarakat luas, maka hakim tidaklah perlu menjatuhkan pidana atau tindakan. Pertimbangan subsosialitas itu adalah ketentuan ”pemaafan/ pengampuan oleh hakim” (rechterlijkpardon). Hal itu belum ada dalam ketentuan hukum kita, hanya sudah dimasukkan ke dalam rancangan konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Semoga langkah progresif yang telah dilakukan demi belas kasih kepada dua janda pahlawan yang mencari keadilan di pengujung usia mereka.

Faisal,

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

dan Penggiat Studi Hukum Progresif

Sumber : Kompas, Rabu, 28 Juli 2010 | 03:08 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • maryono hadi suwito

Rabu, 28 Juli 2010 | 14:17 WIB

Hukum progresif, pelaksana hukum yang tidak sekadar sebagaimana mesin robot yg tergantung oleh sebuah 'remot' bernama teks ayat sebuah uu, melainkan dikontrol oleh hati nuraninya. Selamat menulis bung, teruskan gagasan2 alm Prof Sutjipto Raharjo itu...

Balas tanggapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar