Rabu, 23 Desember 2009

Kerusakan Bangunan Bersejarah di Kota Salatiga Semakin Mengkhawatirkan

CAGAR BUDAYA

Cagar Budaya Makin Berkurang

Salatiga Terancam Kehilangan Jati Diri Kota

SALATIGA - Laju kerusakan bangunan bersejarah atau cagar budaya di Kota Salatiga semakin mengkhawatirkan. Dalam inventarisasi terbaru Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Salatiga, hanya tersisa 115 bangunan cagar budaya. Padahal, pada inventarisasi tahun 1999, cagar budaya masih mencapai 192 bangunan.

"Hasil inventarisasi itu sudah kami seminarkan beberapa hari lalu dan tinggal dimantapkan, berikut rekomendasinya. Sebagian bangunan cagar budaya yang masih ada juga dalam kondisi kurang terawat," kata Kepala Bidang Pemerintahan, Sosial, dan Budaya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Salatiga Adi Setiarso, Senin (21/12).

Menurut Adi, dari 115 bangunan bersejarah yang tersisa, ada 16 bangunan yang dianggap memiliki nilai tinggi. Bangunan itu di antaranya adalah Hotel Mutiara yang didirikan tahun 1810 atau bekas asrama militer Belanda yang saat ini menjadi Kantor Satuan Lalu Lintas Polres Salatiga dan rumah dinas Komandan Korem 073 Makutarama.

Sementara itu, bangunan lain yang terinventarisasi merupakan rumah tinggal, perkantoran, tempat ibadah, atau fasilitas militer, termasuk bangunan eks kantor Kodim 0714 Salatiga di Jalan Diponegoro. Bangunan-bangunan itu masuk inventarisasi karena berusia di atas 50 tahun dan memiliki kekhasan arsitektur atau nilai sejarah.

Adi menegaskan, bangunan dalam inventarisasi itu dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sehingga perusaknya bisa terancam pidana. Pemerintah Kota Salatiga pada tahun 2010 berencana menyiapkan peraturan wali kota guna memperkuat landasan hukum perlindungan bangunan itu, termasuk bila memungkinkan membuat peraturan daerah.

Jati diri hilang

"Muncul pula usulan memberikan insentif bagi pemilik bangunan itu berupa penghapusan atau pengurangan pajak bumi dan bangunan. Ini agar mendorong pemilik merawat bangunan itu," kata Adi.

Eddy Supangkat, pemerhati sejarah sekaligus penulis buku Salatiga: Sketsa Kota Lama, menuturkan, paparan angka hancurnya bangunan bersejarah di Salatiga merupakan fakta mengerikan. Eddy meyakini, tanpa upaya serius, kehancuran seluruh bangunan kuno di Salatiga hanya tinggal menunggu waktu.

"Kalau semua bangunan kuno itu habis, Salatiga akan kehilangan jati dirinya. Harus diingat, bangunan itu menjadi salah satu faktor yang membuat Salatiga dianggap kota terindah di Jawa Tengah awal tahun 1900," kata Eddy. (gal)***

Source : Kompas, Selasa, 22 Desember 2009 | 12:41 WIB

Candi Kuno di Kampus UII Mulai Terungkap

Salah satu sudut candi kuno yang telah terungkap dari penemuan di kompleks Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Senin (21/12). Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta berhasil memetakan denah candi yang berbentuk bujur sangkar berukuran 6 x 6 meter itu. Namun, BP3 masih memerlukan waktu penggalian sekitar dua minggu lagi untuk mengungkap struktur lengkap candi zaman Mataram kuno abad ke-9-10 Masehi. (Foto : Kompas/Mohamad Final Daeng)***

Candi Kuno di Kampus UII Mulai Terungkap

SLEMAN - Wujud candi kuno yang terkubur di kompleks Universitas Islam Indonesia, Sleman, DI Yogyakarta, mulai terungkap. Peneliti dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta berhasil memetakan denah bangunan.

Dari hasil ekskavasi dua hari terakhir, diketahui struktur candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 6 x 6 meter. Terdapat satu pintu selebar 60 cm di sisi timur bangunan. Selain itu, ditemukan pagar batu berjarak 2 meter dari candi sepanjang 7 meter.

Koordinator ekskavasi dari BP3 Yogyakarta Budi Sancoyo mengatakan, meski sudah terungkap sebagian, pihaknya belum bisa menyimpulkan asal agama candi dan raja yang memerintahkan pembangunan candi itu. ”Kami masih mencari arca atau prasasti yang bisa menjelaskan riwayat candi ini,” katanya di lokasi penggalian, Senin (21/12).

Budi mengatakan, sangat dimungkinkan struktur yang terkubur berukuran sangat besar. Melihat denah yang bisa dipetakan saat ini, dimungkinkan terdapat bangunan lebih luas yang berada di sebelah timur dan selatan penemuan candi.

20 tenaga

BP3 Yogyakarta menurunkan empat arkeolog bersama beberapa juru ukur, juru gambar, dan 20 tenaga lokal. Ekskavasi menggunakan teknik test pit (lubang uji) di areal seluas sekitar 600 meter persegi. Hingga dua hari pelaksanaan ekskavasi, BP3 telah menggali di 15 test pit (satu test pit berukuran 2 x 2 meter) dari puluhan yang direncanakan.

Peneliti geologi dari Universitas Gadjah Mada, Andre Prasetyo, mengatakan, candi diduga terkubur oleh banjir lahar dingin dari aktivitas Gunung Merapi.(ENG)***

Source : Kompas, Selasa, 22 Desember 2009 | 04:14 WIB

Laporan Akhir Tahun 2009 Bidang Pendidikan

LAPORAN AKHIR TAHUN

Jalan Masih Sangat Panjang...

Niatnya baik, ingin memajukan pendidikan. Namun, kebijakan yang dibuat justru kontroversial dan menimbulkan polemik. Hingga akhir tahun 2009, polemik itu belum berakhir dan dibiarkan berlarut-larut hingga mengarah ke kontraproduktif.

Kebijakan yang kontroversial itu beragam, mulai dari yang menyangkut siswa, guru, hingga status sekolah. Yang menyangkut siswa, misalnya, soal penyelenggaraan ujian nasional yang tak kunjung selesai.

Meski sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan pemerintah soal ujian nasional, tidak serta-merta keputusan itu dipatuhi pemerintah. Ujian nasional 2010 tetap akan dilanjutkan dengan beragam argumentasi. Ujian nasional, yang mestinya untuk pemetaan mutu pendidikan, juga akan tetap dijadikan salah satu syarat kelulusan siswa.

Usul banyak kalangan agar kelulusan siswa dikembalikan kepada guru yang lebih mengetahui kondisi siswa sehari-hari ditolak mentah-mentah. Pemerintah yang bertugas membuat kebijakan di bidang pendidikan juga akan mengevaluasi kualitas siswa. Inilah kontroversi yang belum ada solusinya.

Begitu pun soal guru. Kebijakan soal sertifikasi tujuannya baik, untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, kenyataannya, dari sekitar 2,7 juta guru, baru sekitar 350.000 guru yang sudah lolos sertifikasi dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Pemberian tunjangan ini pun menimbulkan kecemburuan di kalangan sesama guru.

Di sisi lain, berdasarkan hasil evaluasi Departemen Pendidikan Nasional, semangat dan kegairahan guru untuk meningkatkan mutu, seperti mengikuti seminar, membuat makalah, dan hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru, hanya meningkat menjelang sertifikasi. Setelah lolos sertifikasi, semangat guru untuk mengejar kualitas justru menurun.

Padahal, mutu guru hingga saat ini masih menyedihkan. Sebanyak 88 persen guru taman kanak-kanak tidak layak mengajar. Adapun di tingkat sekolah dasar (SD), 77,8 persen guru tidak layak mengajar, termasuk latar belakang pendidikannya yang tidak memadai.

Kondisi pendidikan semakin parah dengan masih minimnya sarana dan prasaran pendidikan. Berdasarkan data Depdiknas, hingga tahun 2008 baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP baru 63,3 persen. Itu pun dengan koleksi buku yang minim. Belum lagi jumlah ruang kelas yang rusak dan menuntut segera direnovasi.

Di tengah serba keterbatasan ini, Depdiknas giat mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah berstandar internasional dengan dalih untuk menggenjot mutu sekolah. Namun, tingginya biaya sekolah di sekolah berstandar internasional ini memunculkan kritik keras karena melahirkan diskriminasi pendidikan. Hanya anak-anak dari keluarga ekonomi kuat yang sanggup masuk sekolah ini.

”Ke depan, diskriminasi pendidikan akan dihapuskan. Siapa pun harus bisa mengenyam pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakannya,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.

Mendiknas juga berjanji akan membenahi pola seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang sangat beragam, banyak jalur, dan biayanya sangat mahal.

Tantangan ganda

Di bidang kesehatan, permasalahan yang harus dihadapi juga tidaklah ringan. Di satu sisi, Indonesia masih bergulat dengan tingginya kasus-kasus ”penyakit dunia ketiga” yang berhubungan dengan buruknya lingkungan masyarakat. Sebut, misalnya, penyakit kusta, filariasis atau kaki gajah, malaria, dan demam berdarah dengue.

Penyakit-penyakit tersebut sekitar 10 tahun lalu hampir musnah, tetapi kini muncul kembali dan kasusnya cenderung meningkat. Penyakit kusta yang tahun 2006 tercatat 22.763 kasus, misalnya, tahun 2007 naik menjadi 23.652 kasus dan tahun 2008 sampai September tercatat 17.441 kasus.

Begitu pun penyakit kaki gajah yang tahun 2006 tercatat 10.427 kasus, tahun 2007 naik menjadi 11.473 kasus. Tahun 2008, pengidap penyakit ini naik lagi menjadi 11.699 kasus.

Tak berhenti di sini, Departemen Kesehatan juga dihadapkan pada tingginya kasus penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah melalui imunisasi. Sebut, misalnya, penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus, polio, campak, dan hepatitis. Berkembangnya penyakit ini tidak terlepas dari cakupan imunisasi dasar seperti BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis yang menurun.

Di sisi lain, Depkes juga dihadapkan pada merebaknya ”penyakit-penyakit negara maju” yang disebabkan gaya hidup tak sehat, misalnya obesitas, jantung, dan diabetes.

Banyaknya persoalan yang dihadapi Depkes menimbulkan gagasan agar peran Depkes direformasi. Seiring dengan menguatnya desentralisasi, Depkes semestinya lebih berperan dalam membuat peraturan, pembinaan, riset kesehatan, dan pengawasan pembangunan kesehatan. Adapun penanganan kesehatan di masyarakat lebih banyak diserahkan kepada dinas-dinas daerah.

Apa pun langkah yang akan dilakukan, yang jelas, penanganan kesehatan dan juga pendidikan yang dicita-citakan membutuhkan waktu sangat panjang. Butuh keseriusan dan kerja keras pula untuk menggapainya....(TRY HARIJONO)***

Source : Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 | 02:54 WIB




Selasa, 15 Desember 2009

Dinas Pengairan (PSDA dan Tamben) Kabupaten Indramayu Menyimpan Brankas Kuno Bersejarah

Brankas Kuno Pengairan Indramayu

INDRAMAYU – Brankas kuno peninggalan sejarah sewaktu penjajahan Belanda pada tahun 1912, masih tersimpan dengan rapih di sudut ruangan Bagian Tata Usaha Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi (dulu Dinas Pengairan) Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Tampak dalam gambar, Resman, wartawan anggota PWI Perwakilan Indramayu sedang menunjukkan brankas kuno bersejarah itu, Sabtu (12/12). (Satim)*** Foto : Satim

Senin, 14 Desember 2009

Situs Perang Napoleon di Asia Terbengkalai

SEJARAH KOTA

Situs Perang Napoleon di Asia Terbengkalai

JAKARTA - Situs Perang Napoleon tahun 1811 antara pasukan Perancis-Belanda-Jawa melawan pasukan Inggris-India di kawasan Meester Cornelis terbengkalai.

Dalam pantauan, Sabtu (12/12), hanya tersisa saluran air di kawasan Palmeriam ke arah Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang masih utuh seperti keadaan pertempuran tahun 1811.

”Sayang sekali tidak banyak yang tersisa. Padahal, ini adalah lokasi pertempuran Perang Napoleon terbesar di Asia,” ungkap Kolonel (Purn) Jean Rocher, penulis dan peneliti tentang sejarah Indonesia-Perancis.

Dalam penelusuran di sepanjang selokan, sejumlah warga mengakui pernah menemukan meriam seperti Meriam si Jagur saat menggali lokasi di sekitar Palmeriam.

”Di belakang Hotel Mega Matra dan di dekat SD di sebelah selokan pernah ditemukan meriam dan peluru bola besi tahun 1970-an. Tidak tahu terus disimpan ke mana,” kata Chairil, Ketua RT 07 RW 08 Kelurahan Palmeriam.

Chairil menambahkan, pada akhir tahun 1960-an pernah ditemukan ruang bawah tanah berisi meriam ala si Jagur dengan bola-bola besi dan kerangka manusia di Kompleks Berlan.

Menurut Jean, kemungkinan besar temuan itu berasal dari periode Perang Napoleon di Asia.

Perang Napoleon merupakan momen sejarah yang menentukan wajah Eropa modern yang melibatkan kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam peperangan global. Perang Napoleon, ujar Rocher, merupakan pertempuran militer terbesar pada abad ke-19.

Sejumlah pertempuran besar dalam Perang Napoleon diperingati di sejumlah negara, seperti Trafalgar, Waterloo, Austerlitz di Eropa, dan pertempuran laut di Abu Keyr, Mesir.

Ironisnya, pertempuran terbesar dalam perang Napoleon di Asia, yakni di Mester Cornelis, justru terlupakan. Ketika itu, diperkirakan 6.000 serdadu Perancis-Belanda-Jawa bertahan terhadap serbuan 12.000 prajurit Inggris-India yang berangkat dari Madras, India.

Sejarawan John Bastin dari East Sussex, Inggris, mencatat, armada Inggris yang menyerang Batavia (Jakarta) mencapai 100 buah kapal. Jumlah tersebut baru bisa ditandingi oleh armada Inggris di Asia semasa Perang Dunia II.

Jean Rocher yang menulis novel intelijen Perancis di Indonesia sedang menyiapkan buku sejarah memperingati 200 tahun Perang Napoleon di Asia yang jatuh pada tahun 2011. (ONG)

Source : Kompas, Senin, 14 Desember 2009 | 03:32 WIB

Minggu, 13 Desember 2009

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Hadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB

Salah satu yang diduga akibat dampak perubahan iklim adalah penyapnya Es Kilimanjaro.

(AFP/Ohio State University/Lonnie Thompson)***

KTT Perubahan Iklim Diharapkan Presiden Tak Sia-sia

Minggu, 13 Desember 2009 | 11:42 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Suhartono

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap keikutsertaannya dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change/UNFCCC) di Denmark, tidak sia-sia.

Konferensi Perubahan Iklim bisa menghasikan rencana aksi bersama yang konkret untuk mengurangi emisi karbon serta memastikan implementasi Bali Roadmap yang telah susah payah dicapai dalam konferensi sebelumnya di Bali, dua tahun lalu.

Hal itu disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal menjawab pers, sebelum menyertai Presiden Yudhoyono menuju Eropa di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (13/12/2009).

"Presiden berharap tidak sia-sia dan KTT tersebut dapat menghasilkan suatu program aksi yang konkret untuk mengurangi emisi karbon. Program tersebut dapat segera ditandatangani setelah KTT di Kopenhagen. Presiden juga berharap konferensi ini juga merupakan finalisasi dari Bali Roadmap yang susah payah dicapai kemarin dua tahun lalu," tandas Dino.

Menurut Dino, Presiden Yudhoyono juga merasa upayanya mendorong keberhasilan KTT di Kopenhagen ini sesuatu yang berat sekali. "Karena posisi negara maju dan negara berkembang yang masih terlalu kaku dan belum bisa dijembatani. Sekarang ini masih ada perbedaan dan belum ada kompromi mengenai kesepakatan-kesepakatan mengenai emisi karbon. Jadi, jangan beranggapan di Kopenhagen ini akan mudah pembahasannya," jelas Dino.

Dino mengakui Protokol Kyoto sangat lemah karena hanya disepakati oleh negara-negara maju. Komitmen untuk mengurangi emisi karbonnya hanya 6-8 persen. Sampai sekarang, itupun tidak pernah terjadi. Pa dahal, emisi global naik 40 persen sejak Protokol Kyoto ditandatangani. "Karena itu akan dilihat target apa yang akan disetujui oleh negara-negara maju. Target sekarang ini pengurangan emisi karbon harus 40 persen pada 2020. Akan tetapi, kalau melihat sekarang ini, banyak negara maju yang tidak siap untuk melakukan itu," kata Dino.

"Tidak mungkin negara berkembang yang harus memimpin di depan untuk melindungi Bumi ini, akan tetapi justru harus negara maju yang berada di depan. Karena merekalah justru yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca," tambahnya.

Tujuh gubernur

Dikatakan Dino, Indonesia di posisi yang baik karena inovatif dan berani menggagas untuk mengurangi 26 persen emisi karbon pada tahun 2012. Bahkan, Indonesia berkomitmen menguranginya sampai 21 persen jika ada bantuan dari pendanaan internasional, ungkap Dino.

Dalam kunjungannya itu, selain disertai sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden Yudhoyono juga disertai tujuh gubernur. Mereka, di antaranya, Gubernur Sulawesi Utara Sarun Dayang, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Jusuf, dan Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang.

Kehadiran para gubernur dalam rombongan Kepala Negara itu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia begitu serius dalam bidang konservasi hutan, baik pada tingkat pusat maupun daerah, demi mengurangi tingkat pemanasan global. "Sebab, masalah kehutanan menjadi solusi global dunia satu-satunya cara untuk menyerap kembai CO2. Hutan sangat strategis. Indonesia salah satu negara yang mempunyai hutan terbesar di dunia, termasuk juga Brasil, Meksiko, dan Papua Niugini," jelasnya.

Sebelum mengikuti KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Presiden melakukan kunjungan kehormatan di tiga negara, yaitu Perancis, Jerman, dan Belgia. ***

Miss Gibraltar 2009, Kaiane Aldorino, Meraih Gelar "Miss World 2009"

KAIANE ALDORINO

Miss Gibraltar Bawa Pulang Mahkota Miss World 2009

Miss Gibraltar 2009, Kaiane Aldorino, meraih gelar Miss World 2009.

( AP PHOTO/SCHALK VAN ZUYDAM)***

JOHANNESBURG — Akhirnya mahkota Miss World "bertengger" di kepala Kaiane Aldorino. Miss Gibraltar 2009 itu meraih gelar Miss World 2009.

Kaiane menyingkirkan 111 peserta lain kontes Miss World 2009 dari seluruh dunia, termasuk Miss Indonesia 2009, Karenina Sunny Halim. Kaiane dimahkotai oleh Miss World 2008, Ksenia Sukhinova, dari Rusia, dalam pergelaran yang diadakan di Gallagher Convention Centre, Johannesburg, Afrika Selatan, Sabtu (12/12/2009) waktu setempat.

Perempuan berusia 22 tahun ini menjadi Miss Gibraltar pertama yang membawa pulang gelar tersebut ke negaranya. Ia menitikkan air mata atas pencapaiannya itu. Selain meraih gelar Miss World 2009, ia juga terpilih sebagai Miss Beach Beauty.

Miss Mexico 2009, Perla Beltran Acosta, menjadi runner-up I, sedangkan Miss Afrika Selatan 2009, Tatum Keshwar, menempati urutan ketiga alias runner-up II. (AP/ATI)***

Source : Kompas.com, Minggu, 13/12/2009


Candi Kuno Terkubur di Kampus UII Yogya

Petugas dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta meneliti temuan struktur candi secara tak sengaja dalam sebuah pengerjaan proyek bangunan di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Sabtu (12/12). Candi itu diduga berasal dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, abad ke-9-10 Masehi. (Foto : Kompas/Mohamad Final Daeng)***

Candi Kuno Terkubur di Kampus UII Yogya
Proyek Kampus Sementara Dihentikan
SLEMAN - Sebuah struktur yang diduga kuat sebagai bagian dari candi zaman Mataram Kuno ditemukan dalam suatu penggalian proyek pembangunan perpustakaan di kampus Universitas Islam Indonesia, Jalan Kaliurang, Yogyakarta, Sabtu (12/12).

Candi itu diperkirakan berusia lebih dari sepuluh abad dan kemungkinan berstruktur luas dan besar.

Menurut Asnawi, pengawas proyek, candi ditemukan oleh pekerja proyek yang tengah menggali tanah untuk kolom-kolom fondasi tiang bangunan perpustakaan baru di Kampus UII tersebut. ”Penemuan terjadi Jumat pagi kemarin, awalnya pekerja mengira itu batu biasa. Tapi setelah digali lebih jauh, ternyata batu itu ada ukiran-ukirannya,” ujar Asnawi.

Dari 24 kolom berukuran 3 x 3 meter dengan kedalaman 3,5 meter yang dibuat itu, pada tiga kolom di antaranya ditemukan batu-batu candi. Satu bagian yang diduga sebagai sisi luar candi masih tersusun rapi dengan panjang 2,7 meter dan lebar 0,5 meter.

Beberapa bagian dari batuan candi yang ditemukan rusak karena penggalian kolom fondasi sempat menggunakan alat berat. ”Tadinya kolom fondasi ini hanya akan digali sedalam 3 meter. Tapi karena ada perubahan rencana, maka ditambahkan kedalamannya 50 sentimeter menjadi 3,5 meter. Kalau tidak ada penambahan kedalaman, kemungkinan adanya bangunan candi ini tidak akan terungkap,” ujar Asnawi.

Hentikan proyek

Ketua Kelompok Kerja Perlindungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta Indung Panca Putra langsung menurunkan tim ke lapangan pada Sabtu pagi. Indung mengatakan telah meminta pelaksana proyek dan pihak kampus menghentikan sementara pembangunan perpustakaan itu untuk penelitian lebih lanjut mengenai penemuan candi tersebut. ”Kalau dilihat temuannya, ini jelas bangunan candi. Dugaan saya ini candi perwara (pendamping). Karena itu, bentuk candi utamanya masih harus dicari dan diungkap,” kata Indung.

Untuk keperluan pengungkapan, Kelompok Kerja Perlindungan BP3 Yogyakarta melakukan rangkaian penelitian test pit. Yang dimaksud test pit adalah membuat beberapa lubang di sekitar temuan untuk mencari dan menemukan struktur lain. Penemuan struktur lain itu diperlukan untuk mengetahui luasan candi.

Dari perkiraan sementara, candi tersebut diduga merupakan bangunan abad ke-9-10 Masehi pada masa kerajaan Mataram Kuno. Menyangkut raja yang memerintahkan pembangunan serta fungsi candi tersebut masih harus diteliti lebih jauh. ”Jika ternyata temuan ini signifikan kemungkinan besar akan dilakukan ekskavasi penuh untuk mengungkap struktur aslinya, dan proyek pembangunan perpustakaan UII harus berhenti total. Tapi, Jika tidak signifikan, kami hanya akan melakukan preservasi benda-benda yang ditemukan serta pencatatan,” kata Indung.

Dibutuhkan waktu 7-10 hari untuk menentukan apakah temuan candi itu layak pugar atau tidak. (ENG)***
Source : Kompas, Minggu, 13 Desember 2009 | 03:45 WIB

Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Nora @ Minggu, 13 Desember 2009 | 18:38 WIB
Aku pikir ini bakan menjadi daya pikat UII pada khususnya dan Jogjakarta pada umumnya....akan semakin banyak wisatawan dan UII jadi semakin terkenal...he
widya @ Minggu, 13 Desember 2009 | 17:40 WIB
vesusvius of indonesia
chooey @ Minggu, 13 Desember 2009 | 14:31 WIB
Weih, yang masih kuliah disana, cepet lulus yaa..
astuti @ Minggu, 13 Desember 2009 | 09:41 WIB
luar biasa keluhuran budaya nenek moyang, meski terkubur namun tak lekang oleh jaman. waktu yang membuktikan kearifan budaya adi luhung, hindu buddha
david @ Minggu, 13 Desember 2009 | 06:33 WIB
wahh benerr bnget... jogja memang bnyak peninggalan sejarah.. tp gmn nasip kampus UII tuh klo memng,candi itu mempunyai nilai yg tinggi terhadap pristiwa sejarahnya.. Bisa2 di gurur deh tuh UII,whahaha.. ksian tmnku,msh kuliah dsana blom lulus.hhe pisss...




Rabu, 09 Desember 2009

COP-15 KOPENHAGEN

COP-15 KOPENHAGEN

Perbedaan Pandangan Tetap Tajam

KOPENHAGEN - Perbedaan pandangan soal target antara negara-negara maju dan berkembang tetap tajam pada hari kedua Konferensi Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak Ke-15 atau COP-15 UNCCC di Kopenhagen, Denmark, Selasa (8/12).

Negara maju kukuh bertahan dengan target minimal, sedangkan kelompok negara berkembang didukung organisasi nonpemerintah menekan dengan target tinggi. Bagi beberapa negara, kesepakatan di Kopenhagen adalah persoalan kelangsungan hidup generasi mendatang. Demikian laporan wartawan Kompas Gesit Ariyanto dari Kopenhagen, Selasa, mengenai apa yang berlangsung dalam pertemuan Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (LCA).

Pernyataan keras datang dari kelompok negara pulau-pulau kecil. Mereka menolak kesepakatan yang tak menjamin kelangsungan hidup. ”Kalau konferensi tidak menghasilkan keputusan mengikat secara hukum, kami mempertimbangkan pilihan kami,” kata Duta Besar Aliansi Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS) Dessima Williams. AOSIS jelas tak akan menerima solusi yang disebutnya made for TV.

Menahan tangis

Perwakilan negara Kepulauan Solomon dengan terbata menahan tangis dalam menyampaikan harapannya. Mereka minta dunia melihat anak-anak di pulau-pulau kecil dan negara dunia ketiga yang masa depannya suram akibat perubahan iklim. ”Mampukah kita menjaga kelangsungan hidup? Jika kita gagal, siapa yang harus disalahkan? Anda dan saya yang akan disalahkan,” ujar wakil dari Kepulauan Solomon.

Negara pulau-pulau kecil merupakan kelompok paling rentan. Selain akibat kenaikan muka air laut, juga dampak badai tropis semakin sering dan dahsyat.

”Pendanaan adaptasi menjadi prioritas tertinggi kami, selain keputusan mengikat secara hukum” kata juru bicara dari Lesotho.

Desakan keputusan mengikat secara hukum (legally binding) juga menjadi fokus perhatian negara kelompok G-77 plus China dan kelompok Afrika. Arsitektur pendanaan diminta cepat disepakati dan mudah diakses dengan melibatkan negara-negara berkembang.

Juru bicara Umbrella Group (di antaranya AS, Australia, Jepang, Norwegia, Rusia, dan Kanada), Louise Hand, menyebutkan, mereka sepakat dengan target ambisius dan kuat agar tidak terjadi kenaikan 2 derajat celsius.

Pendanaan disebutkan 10 miliar dollar AS per tahun pada 2012. Jumlah itu jauh dibandingkan dengan permintaan negara berkembang. Pada pertemuan itu banyak negara juga mendukung agar proses negosiasi dilangsungkan sesuai dengan keputusan Bali Action Plan.

Kelompok organisasi nonpemerintah yang mengikuti jalannya konferensi meminta negara-negara maju berkomitmen tinggi. ”Sekarang saatnya mengurangi bicara, tetapi beraksi,” kata Direktur Eksekutif Greenpeace International Kumi Naidoo. Apa pun yang dibicarakan diharapkan membawa dunia menghindari kekacauan iklim. ***

Source : Kompas, Rabu, 9 Desember 2009 | 02:49 WIB

Perubahan Iklim Menurunkan Produksi Padi


Sektor Pangan Paling Terpukul

Sektor Pangan Paling Terpukul

Perubahan Iklim Menurunkan Produksi Padi

JAKARTA - Subsektor tanaman pangan bakal mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim global. Tanpa langkah antisipasi, produksi akan turun karena menjadi korban perubahan pola curah hujan serta peningkatan suhu udara dan permukaan laut.

Menurut Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Irsal Las di Jakarta, Selasa (8/12), Deptan telah menyusun strategi dan melakukan berbagai langkah antisipasi agar produksi pangan tak turun.

Dari kajian yang dilakukan Balitbang Pertanian, perubahan pola curah hujan dan kejadian anomali iklim menyebabkan peningkatan luas area padi sawah yang terkena kekeringan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, luas areal panen padi 2009 mencapai 12,8 juta hektar dengan produktivitas per hektar 4,97 ton dan produksi padi 63,8 juta ton gabah kering giling.

Masih terkait kajian Balitbang Pertanian, dari 3,1-7,8 persen areal tanaman padi yang kekeringan, yang mengalami puso meningkat dari 0,004-0,41 persen menjadi 0,04-1,87 persen.

Adapun pada tahun basah saat terjadi La Nina, areal tanaman padi yang bakal terkena banjir naik dari 0,75-2,68 persen menjadi 0,97-2,99 persen. Begitu pula tanaman padi yang puso naik tajam dari 0,24-0,73 persen menjadi 8,7-13,8 persen.

Mengacu kajian di atas, penurunan produksi padi sebagai akibat puso terkait kekeringan dan kebanjiran mencapai 365.463 ton GKG tiap tahun dan kecenderungannya terus meningkat.

Belum lagi penurunan produksi sebagai dampak peningkatan suhu udara, yang dapat menurunkan produksi padi, jagung, dan kedelai sekitar 10-19,5 persen selama 40 tahun ke depan. Hal ini terutama karena serangan hama penyakit yang mengganas.

Adapun peningkatan permukaan air laut hingga 2050 akan menyebabkan penciutan lahan sawah hingga 292.000 hektar.

Adaptasi dan mitigasi

Menurut Irsal, program adaptasi tanaman pangan dan hortikultura meliputi, pertama, perbaikan manajemen dan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air dan irigasi. Kedua, penyesuaian pola tanam terhadap dinamika iklim berdasarkan kalender tanam dinamis.

Ketiga, pengembangan teknologi adaptif, seperti jenis dan varietas tanaman yang toleran terhadap kekeringan, banjir atau genangan, salinitas, serta pengelolaan lahan dan tanaman.

Keempat, penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kelima, percepatan reforma agraria. Keenam, pengembangan sistem perlindungan usaha tani dari kegagalan akibat perubahan iklim dengan pengembangan sistem peringatan dini dan crop weather insurance.

Adapun program mitigasi meliputi, pertama, pemanfaatan lahan alang-alang atau lahan telantar menjadi lahan perkebunan. Kedua, pemanfaatan limbah tanaman perkebunan sebagai pupuk organik dan bioenergi. Ketiga, peremajaan dan diversifikasi jenis tanaman perkebunan. Keempat, pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa swasembada beras harus terus dilanjutkan. Selain beras, Departemen Pertanian juga menargetkan swasembada daging sapi, kedelai, dan gula pada tahun 2014. (MAS)***

Source : Kompas, Rabu, 9 Desember 2009 | 03:46 WIB

Temu, Benteng Terakhir Gerabah Manggung

Ny. TEMU. (Foto :Kompas/Sri Rejeki)***

KERAJINAN GERABAH

Temu, Benteng Terakhir Gerabah Manggung

Oleh : Sri Rejeki

Dusun Daleman dahulu dikenal sebagai sentra gerabah. Menyusuri dusun ini sekitar 20 tahun yang lalu masih tampak pemandangan perempuan-perempuan di depan rumah tengah menekuni papan putar di hadapannya. Dengan tangan telanjang, mereka membentuk sebongkah tanah liat basah bercampur pasir.

Tanah itu ditinju kecil dengan kepalan tangan lalu dibentuk dan diusap-usap agar halus permukaannya dan menghasilkan ketebalan yang diinginkan. Dahulu sebagian dari mereka juga menggunakan alat bantu tatap dan sulo.

Namun, kini hanya Temu yang masih mau menekuni pembuatan gerabah di dusun yang terletak di Desa Cangakan, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, itu. Sejak usia 10 tahun hingga kini bercucu 12 orang, dia setia membuat gentong, kuali, wajan (penggorengan), lemper (tempat sambal), dan pengaron (panci penanak nasi).

Barang-barang gerabah untuk keperluan rumah tangga itu membuat Temu, akrab dipanggil Mbah Kartokarena bersuamikan Karto Tukimanmampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sekolah menengah atas, menikahkan mereka, dan tentu saja memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Hasilnya bisa untuk menghidupi keluarga, membeli beras, menyekolahkan anak, sampai membantu ongkos sunatan keponakan,” kata Temu tentang penghasilannya dari gerabah.

Setiap minggu Temu masih mampu meraup penghasilan sekitar Rp 200.000. Penghasilannya sebulan cukup bersaing dengan pendapatan buruh pabrik sebesar Rp 600.000-Rp 700.000. Namun, para perempuan setempat, terutama yang berusia muda, lebih suka pergi ke kota menjadi buruh pabrik.

Pekerjaan seperti ini rekasa dan kotor,” kata Temu tentang pembuatan gerabah yang butuh banyak tenaga dan berlepotan lumpur. Kemungkinan itulah penyebab para perempuan muda setempat tak tertarik menekuni gerabah.

Bahkan Temu pun tak memiliki generasi penerus. Dua anak perempuannya, Tukiyem dan Semi, yang sempat membantu membuat gerabah, setelah menikah memilih bertani dan berdagang.

Adapun para lelaki di dusun itu sejak dulu memang tidak akrab dengan pembuatan gerabah. Peran mereka lebih pada menjual gerabah yang sudah jadi ke pasar.

”Ayah saya dulu masih sering menjual gerabah buatan ibu dengan cara dipikul dan berjalan kaki ke pasar-pasar di Solo, Karangpandan, sampai Tawangmangu. Di sini ibu-ibu membuat gerabah dan bapak-bapak yang bertugas menguangkan gerabah buatan istrinya. Ini mereka lakukan di luar musim tanam dan panen,” kata Pardi, anak bungsu Karto dan Temu.

Menjadi rujukan

Gerabah pernah menjadi andalan perempuan setempat untuk menafkahi keluarga. Kebanyakan warga Dusun Daleman bekerja sebagai buruh tani. Hanya satu-dua orang yang memiliki lahan pertanian pribadi.

Namun, setelah munculnya berbagai produk dari plastik, seperti gentong plastik, perlahan tetapi pasti menggusur gerabah. Tahun 1990-an, jumlah perajin gerabah menyusut. Terlebih gerabah tak pernah tersentuhtanganpemerintah daerah setempat untuk peningkatan nilai ekonominya, seperti yang terjadi di Bayat (Klaten, Jawa Tengah) atau Kasongan (Bantul, Yogyakarta).

Sejak dulu produksi yang dikenal sebagai gerabah manggung ini hanya seputar gentong, kuali, wajan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Harga jualnya pun tidak bisa terlalu tinggi. Contohnya, sebuah gentong setinggi 50 sentimeter hanya dihargai Rp 10.000. Harga gentong ukuran dua kali lipatnya adalah Rp 20.000, pengaron Rp 4.000, kuali Rp 2.000, dan lemper sebesar Rp 1.250. Tak ada gerabah yang diarahkan untuk keperluan artistik atau dekorasi.

Di kawasan tetangganya, Dusun Manggung, masih ada beberapa perajin seusia Temu. Namun, mereka tidak rutin berproduksi. Gerabah buatan Temu juga dikenal paling halus dan awet. Jadi. gerabah buatannya dihargai lebih tinggi, seperti wajan buatan Temu dihargai Rp 3.000, sedangkan produk perajin lain Rp 1.000 per buah.

Temu pun selalu dijadikan rujukan oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar jika ada orang yang hendak mempelajari teknik pembuatan gerabah manggung.

Tiga tahun lalu, misalnya, sekitar 20 mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret Solo belajar teknik pembuatan gerabah kepada Temu selama sebulan. Demikian pula enam tahun lalu, 40 orang Jepang datang ke rumahnya. Mereka mengamati pembuatan gerabahnya.

Pesanan

Gerabah buatan Temu seluruhnya merupakan pesanan, seperti gentong wadah cendol untuk keperluan hajatan atau berdagang, padasan atau wadah air untuk berwudu, lemper atau wadah sambal pesanan para pedagang pecel lele, atau pot bunga. Kadang kala konsumen membawa gambar gerabah pesanan kepadanya.

Temu mencampur sendiri adonan bakal gerabah berupa tanah liat, pasir, dan air. Tanah liat ia beli dari lingkungan sekitar seharga Rp 35.000 untuk satu bak mobil pick-up dan bisa untuk membuat 100 gentong. Setelah dicampur menjadi satu, ia menyisir kerikil-kerikil yang masih terdapat dalam adonan dengan seutas kawat tipis. Kerikil dapat membuat gerabah merekah saat dikeringkan.

Adonan kembali diolah dengan cara menginjak-injaknya dengan kaki. Setelah itu mulai diputar di atas perabot untuk dibentuk piringan dasarnya. Sekitar 20 menit bagian dasar gerabah dikeringkan agar kokoh. Selang tiga jam kemudian baru dilanjutkan kembali membentuk bangunan gerabah. Dalam sehari, kira-kira Temu mampu menyelesaikan 10 gentong.

Dia belajar membuat gerabah dari mendiang neneknya, Mbah Reso. Bakat dan rasa cintanya kepada gerabah membuat perempuan yang tak pernah merasakan bangku sekolah ini mengembangkan sendiri kemampuannya.

Hati saya ada di gerabah. Dari gerabah, saya bisa menghidupi keluarga. Saya tidak pernah mencoba (pekerjaan) lain, seperti bertani,” kata Temu.

Sayang, tak dijumpai cerita lisan atau tertulis tentang asal-usul gerabah manggung. Tanah di wilayah Manggung dan Daleman tergolong tanah liat yang cocok untuk dibuat gerabah. Diperkirakan, tradisi pembuatan gerabah telah berlangsung selama beberapa generasi.

Menurut Pardi, pembuatan gerabah kemungkinan berasal dari Manggung, lantas menyebar ke Daleman. Bertemunya tatap dan sulo yang bunyinya seperti orang bertepuk tangan itu membuat mereka yang lewat merasa ditepuktangani sehingga muncul nama manggung, seperti orang yang sedang pentas di atas panggung dan diberi tepuk tangan,” ceritanya.

Sekitar dua pertiga perempuan di Dusun Daleman dan Manggung yang dihuni 300-an kepala keluarga itu dahulu terlibat pembuatan gerabah. Kini hanya Temu dan tujuh perempuan seusianya yang masih menekuni gerabah. Merekalah benteng terakhir gerabah manggung yang berada di ambang kepunahan.

TEMU (70)

Lahir: Karanganyar, Jawa Tengah, 1939

Suami: Karto Tukiman (80)

Anak:
- Tukiyem (50)
- Semi (45)
- Tumi (43)
- Pardi (41)

Cucu : 12

Buyut: 5

Source : Kompas, Selasa, 8 Desember 2009 | 03:30 WIB