Senin, 28 Februari 2011

Disdik Jabar Kucurkan Rp 41,5 Miliar untuk Kadeudeuh Guru

Disdik Jabar Kucurkan Rp 41,5 Miliar

untuk Kadeudeuh Guru

Minggu, 27/02/2011 - 13:33

Ekspedisi Humaniora Online

BANDUNG, Ekspedisi Humaniora Online - Pada tahun 2011, Dinas Pendidikan Prov. Jabar mengalokasikan dana Rp 66.666.700.000,00 untuk program peningkatan kesejahteraan guru di Jabar. Berdasarkan data yang dimiliki wartawan, dari Rp 66,666 miliar itu, sebesar Rp 150 juta dalam bentuk hibah dan sisanya dalam bentuk bantuan keuangan.

Data tersebut tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran Disdik Jabar yang merupakan lampiran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Prov. Jabar Tahun Anggaran 2011. Dana sebesar itu terbagi dalam dua sasaran yaitu bantuan uang "kadeudeuh" gubernur untuk guru PNS/non PNS Jabar dan bantuan kesejahteraan guru bantu (gurban) dan guru non PNS daerah terpencil serta perbatasan Jabar.

Dana kadeudeuh menyedot porsi paling besar yaitu Rp 41.550.700.000 atau sekitar 62 persen dari dana program peningkatan kesejahteraan guru. Kadeudeuh itu akan diberikan kepada 415.507 guru non PNS SLB (1.500 orang) serta guru PNS dan non PNS daerah (414.007 orang). Tiap guru akan mendapat dana Rp 100.000,00.

Sisanya yang mencapai Rp 25,116 miliar dialokasikan untuk bantuan kesejahteraan gurban dan guru non PNS daerah terpencil serta perbatasan Jabar. Dana itu diberikan untuk 1.707 orang yang terdiri dari gurban SD/MI, guru non PNS (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA), tenaga operasional kab./kota, honor tim teknis kab./kota dan bantuan pendidikan S1 untuk gurban SD/MI.

DPRD Prov. Jabar, melalui Komisi E, pada intinya mendukung bantuan untuk kesejahteraan guru tersebut. Namun semestinya bantuan tersebut proporsional dan tidak mengada-ada. Bantuan tersebut juga harus sesuai nomenklatur, khususnya terkait dana kadeudeuh. "Dalam bahasa untuk anggaran, kata kadeudeuh itu tidak ada. Seharusnya tulis saja honorarium, kenaikan gaji, bonus, atau apa. Bukan kadeudeuh," kata anggota Komisi E DPRD Jabar Didin Supriadin.

Selain itu, dalam DPA itu jelas-jelas tertulis "kadeudeuh" gubernur untuk guru PNS dan non untuk guru PNS dan non PNS Jabar. Kalimat itu sangat mengganggu dan menimbulkan kecurigaan. "Jika tertulis kadeudeuh gubernur, menimbulkan pertanyaan. Itu berarti dana tersebut dari gubernur sehingga ada kecurigaan dana itu merupakan kampanye terselubung. Sama saja dong dengan kartu lebaran. Kalau dulu ke RT-RT, sekarang sasarannya para guru," katanya.

Kecurigaan tersebut kian menguat jika menilik alokasi dana itu yang sangat besar dan dibagikan hampir setengah juta orang. Terlebih lagi tahun sebelumnya tidak ada. "Kalau ada aturannya, ok. Namun kalau tidak ada, bisa disebut penyalahgunaan wewenang. Apalagi kalau tahun depan ada lagi. Padahal tulis saja bantuan Disdik Provinsi Jabar atau bantuan Pemprov. Jabar. Jangan merujuk ke satu orang.," ujar Didin. (A-128/A-147)***

Source : Pikiran Rakyat Online, Minggu, 27 Februari 2011

Komentar Berita :

  • Anonymous (not verified) on Minggu, 27/02/2011 - 14:35

Alhamdulillah...Sah-sah saja, bahkan itu adalah harapan guru, tapi kalau dalam pilkada nanti program tersebut dipakai materi kampanye, hilang dooong amal yang mestinya ngalir ke akherat....

  • Anonymousabahsuta (not verified) on Minggu, 27/02/2011 - 14:24

GURU DEUI GURU DEUI, NU SIDIK MAH GURU TEH JADI PROYEK,JADI SAPI PERES !

Komite Sekolah Berhak Terima Laporan Keuangan Sekolah

Komite Sekolah Berhak

Terima Laporan Keuangan Sekolah

Minggu, 27/02/2011 - 14:00

Ekspedisi Humaniora Online

BANDUNG, Ekspedisi Humaniora Online - Komite sekolah dan guru berhak menerima laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan sekolah dari kepala sekolah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 54 ayat 4 disebutkan, pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Sehingga kepala sekolah wajib untuk melaporkan hasil pengelolaan satuan pendidikan pada setiap akhir tahun pelajaran.

Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengungkapkan, selain komite, guru juga berhak menerima dan menolak pertanggung jawaban pengelolaan keuangan dari kepala sekolah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pada pasal 45 disebutkan, guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, di antaranya penyampaian pendapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban anggaran dan pendapatan belanja sekolah.

Menurut Iwan, kepala Sekolah yang dengan sengaja tidak mau memberikan laporan keuangan sekolah dapat dipidanakan karena melanggar undang-undang. “Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa setiap badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala. Dan setiap warga negara berhak mendapatkan informasi tersebut. Jika dengan sengaja tidak menyediakan atau tidak memberikan maka dapat dikenakan pidana kurungan selama satu tahun atau denda Rp 5 juta,” kata Iwan yang dihubungi Minggu (27/2). (A-187/A-147)***

Source : Pikiran Rakyat Online, Minggu, 27/02/2011 - 14:00

Maestro Tarling Meninggal Dunia

Maestro Tarling Meninggal Dunia

Sabtu, 26 Februari 2011 | 15:51 WIB

Ekspedisi Humaniora Online

MAESTRO TARLING WAFAT – Jenazah maestro tarling Cirebon, Abdul Ajid disemayamkan di rumah duka RT 03/ RW 03, Jalan Sukasari, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon. Abdul Ajid meninggal di RS Paru Sidawangi pada Sabtu (26/2) sekitar pukul 13.00 akibat sakit yang dideritanya. (TRIBUN JABAR/IDA ROMLAH)***

CIREBON, Ekspedisi Humaniora Online - Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Maestro tarling Cirebon, Abdul Ajid telah meninggal dunia, Sabtu (26/2) siang sekitar pukul 13.00. Abdul Ajid meninggal di RS Paru Sidawangi Kota Cirebon akibat sakit yang dideritanya.

Abdul Ajid meninggal dalam usia 69 tahun. Meninggalkan satu istri, Sumarni, sembilan anak dan 13 cucu.

Abdul Ajid merupakan seniman besar asal Kota Cirebon. Sejumlah karyanya, terutama lagu-lagu tarling sangat familiar di telinga pencinta seni dan budaya tradisional pantura. Satu di antara lagu ciptaannya bahkan sudah mendunia, dengan judul "Warung Pojok".

Satu dari sembilan putra Abdul Ajid, Ayudha Sakti mengatakan, meninggalnya seniman besar Cirebon itu tanpa diduga. Sebab sesaat sebelum mengembuskan napas terakhir, sempat becanda dengan anak-anaknya, yang menunggui di rumah sakit.

"Bapak memang sudah masuk rumah sakit sejak tiga minggu lalu. Pertama kali dirawat di RS Gunung Jati, dan dua hari lalu dipindah ke RS Sidawangi," ujar Ayudha saat ditemui di rumah duka.

Kini, jasad Abdul Ajid disemayamkan di rumah duka, RT 03/ RW 03, Jalan Sukasari, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon. Sejumlah kerabat dan sahabat datang melayat.

Rencananya, jenazah Abdul Ajid akan dimakamkan di pemakaman Buyut, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon sekitar pukul 16.00. (roh)***

Penulis : Ida Romlah Editor : Darajat Arianto

Source : tribunjabar.co.id, Sabtu, 26 Februari 2011 | 15:51 WIB

Abdul Ajib, Seniman Tarling Cirebon Meninggal Dunia

Abdul Ajib, Seniman Tarling Cirebon Meninggal Dunia

Sabtu, 26 Februari 2011 | 16:09 WIB

Ekspedisi Humaniora Online

TEMPO Interaktif, Cirebon - Seniman tarling Cirebon H. Abdul Ajib, meninggal dunia. Pencipta lagu Warung Pojok tersebut meninggal setelah menjalani perawatan lebih dari setengah bulan di dua rumah sakit di Cirebon.

Berita terkait :

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Abdul Ajib,69, meninggal dunia sekitar pukul 13.40 WIB di Rumah Sakit Paru, Sidawangi, Cirebon. Tapi sebelumnya Abdul Ajib telah menjalani perawatan terlebih dahulu di RSUD GUnung Jati, Cirebon.

Seorang budayawan Cirebon, Sumbadi Sastraalam saat ditemui di rumah duka, Jalan Sukasari, Kota Cirebon, menjelaskan jika Abdul Ajib sebelum masuk rumah sakit mengalami gangguan di perut. "Awal dikira hanya penyakit maag. Ia pun dirawat di RSUD Gunung Jati," katanya.

Namun ternyata, almarhum pun menderita penyakit paru. "Mungkin karena kebiasaannya yang masih kuat begadang hingga malam," katanya.

Dengan kepergian Abdul Ajib, seluruh seniman di wilayah Cirebon sangat kehilangan. "Abdul Ajib memiliki suara khas, suara tarling Cirebon yang hingga kini belum dimiliki oleh seniman tarling lainnya," kata Sumbadi. Almarhum pun menurut Sumbadi selama ini dikenal sebagai pria yang berkepribadian yang sangat baik dan tidak segan-segan menularkan ilmu yang dimilikinya kepada generasi muda.

Dua karya terkenal dari almarhum Abdul Ajid yaitu drama tarling berjudul Cerita Baridin serta lagu Warung Pojok yang diciptakan tahun 1964 dan sudah mendunia.

Abdul Ajib meninggalkan 10 orang anak yang berasal dari dua istri yaitu Sumarni dan Uun Kurniasih yang juga seorang penyanyi tarling Cirebon. Rencananya almarhum akan dimakamkan sore ini juga.(IVANSYAH)***

Source : TEMPO Interaktif, Sabtu, 26 Februari 2011 | 16:09 WIB

Minggu, 27 Februari 2011

Menunggu Kiprah "Pattingalloang" Muda...

Sabtu,

26 Februari 2011

Ekspedisi Humaniora Online

TANAH AIR

Menunggu Kiprah

"Pattingalloang" Muda...

Sisa bangunan Benteng Somba Opu di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu peninggalan monumental Kerajaan Gowa, Senin (14/2). (KOMPAS/RIZA FATHONI)***

Oleh ASWIN RIZAL HARAHAP, MARIA S SINURAT,

DAN NASRULLAH NARA

Enam mahasiswa teknik mesin Universitas Hasanuddin bergulat dalam pembuatan robot. Pencapaian mereka sesungguhnya bisa jadi sudah terpikirkan Karaeng Pattingalloang, cendekiawan sekaligus Mangkubumi kerajaan kembar Gowa-Tallo yang menyusuri bumi dengan otaknya, empat abad silam.

Syamsuar, Ridwan, Ricky, Muhammad Rahman, Zulkifli, dan Zulfatri telah menghasilkan sejumlah robot, seperti pemadam kebakaran, pengecat, robot berjalan, pengangkut sampah, dan kursi roda otomatis. Seperti Karaeng Pattingalloang yang tak pernah berhenti menyusuri tiap labirin pengetahuan, enam mahasiswa ini memacu diri untuk berkreasi dengan ide-ide baru.

Apa yang dilakukan anak-anak muda ini setidaknya mengajak kita untuk melupakan sejenak aksi demo mahasiswa di Makassar yang belakangan ini mengantar kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu dikenal sebagai kota rusuh. Pada abad ke-18 Belanda memang pernah melabeli Sulawesi—termasuk Makassar (kala itu merupakan wilayah bandar niaga Kerajaan Gowa)— sebagai Pulau Keonaran atau (onrust eiland). Namun, berkat kecemerlangan otak Perdana Menteri Kesultanan Gowa I Mangngadacinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, label itu terhapuskan.

Pattingalloang yang kemudian bermenantukan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa ke-16) sudah berpikir global, dengan bermitra bersama saudagar dari Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, China, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Inggris.

Nirwan Arsuka dalam artikelnya di Kompas (1/1/2000) menggambarkan, abad ke-17 Makassar adalah bandar paling ramai dan kosmopolit di belahan Timur Nusantara. Sejarawan Suryadi Mappangara menimpalinya dengan menyebut Pattingalloang sebagai astronom yang menguasai lima bahasa, yakni Belanda, Portugis, Inggris, dan Spanyol.

Upaya untuk membalik ”stigma” menjadi ”citra” kini marak dilakukan anak-anak Makassar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kehadiran koran digital beralamat www.panyingkul.com, lima tahun silam, menjadi wadah para warga untuk menyajikan dan mengkritisi transformasi budaya Makassar dan daerah sekitarnya, sekaligus menggali nilai kearifan lokal.

Ruang itu direspons baik oleh para penulis lepas yang dengan setia mengirimkan tulisan tentang berbagai situs dan persoalan di Sulawesi Selatan, dari Lapangan Karebosi, sedimentasi di Sungai Jeneberang, minimnya kunjungan di Museum Kota Makassar, hingga aktivitas penenun sutra di Sengkang, Wajo.

Apa yang dilakukaan generasi sekarang seolah menjawab getirnya pemandangan di situs-situs peninggalan Kerajaan Gowa, termasuk di area Benteng Somba Opu yang belakangan menuai kontroversi menyusul pembangunan wahana rekreasi.

Situs peninggalan

Jejak kejayaan Kerajaan Gowa dan bersama 14 benteng lainnya dulu dibangun untuk membentengi kekuatan maritim Kerajaan Gowa. Kini secara fisik hanya Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang masih tersisa. Sisanya, dilibas oleh permukiman penduduk, pabrik, dan pertokoan.

Mereka yang berusaha mengais-ngais masa lalu bisa mengunjungi tempat peristirahatan terakhir para raja di Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kecamatan Tallo, Kota Makassar.

Petilasan ini tentu tidak lagi mampu menceritakan keberanian para raja mengusir penjajah. Yang ada hanya para penjaga dan pemandu yang berharap bisa memperoleh uang tip dari pengunjung.

Bangunan fisik peradaban memang selalu terancam kehancuran. Karena itu, warisan yang seharusnya dijaga bukan hanya situs bersejarah, tetapi juga spirit dan nilai-nilai. Kerajaan Gowa yang bersekutu dengan Kerajaan Tallo dalam semua pergulatannya adalah cikal bakal generasi yang kini berdiam di sepanjang jazirah selatan Sulawesi.

Tak terurus

Kawasan rumah adat ini berada dalam wilayah Benteng Somba Opu seluas 150 hektar, saat itu selain tidak terurus, juga menuai kontroversi seiring rencana pembangunan wahana rekreasi di sebelah timurnya.

Ide pengembangan kawasan benteng ini sebetulnya sudah muncul sejak era Gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin Pabittei pada tahun 1995. Gubernur yang mantan Rektor Universitas Hasanuddin itu prihatin melihat reruntuhan benteng pertahanan Gowa tersebut tidak lagi ramai dikunjungi.

Kala itu, pembangunan rumah adat, seperti di Taman Mini Indonesia Indah, diharapkan mampu menarik minat wisatawan menuju Benteng Somba Opu. Namun, seiring berjalannya waktu, perawatan rumah diabaikan. Ketika rumah adat melenceng dari fungsi awalnya, benteng pun tak terurus.

Yang kini bisa ”dijual” dari Somba Opu memang hanyalah batu-batu padas yang koyak. Kokohnya dinding di empat penjuru dan menara (bastion) pengintai dihancurkan setelah Kompeni Belanda menancapkan kekuasaannya atas Gowa lewat Perjanjian Bungaya tahun 1667. Gowa telah membuktikan ungkapan ”Jalesveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Berjaya)!

Setelah kejayaan Kerajaan Gowa tersapu waktu, mestinya memang tibalah saatnya anak-anak muda Gowa-Makassar menorehkan sejarah mereka sendiri. Tentunya dalam konteks yang beradab dan bermartabat. Bukan dengan aksi demo menjurus anarkistis yang menodai nama besar cendekiawan Gowa, Karaeng Pattingalloang.

Dalam konteks kebijakan transportasi laut, peran Gowa empat abad silam sebetulnya layak menjadi inspirasi bagi pemerintah pusat. Dulu, tanpa peran negara, Pelabuhan Makassar menyaingi pamor Pelabuhan Singapura. Kini, di tangan negara, pamor itu malah meredup.

Padahal, potensi untuk menyaingi Singapura amat terbuka mengingat lokasi Makassar sangat strategis: berada di poros Asia-Pasifik dan jalur utama pelayaran Nusantara.

Inspirasi dari Gowa mestinya menyadarkan pemerintah mengoptimalkan transportasi laut di negara yang memiliki 17.000 pulau ini.***

Source : Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

Buntut Ucapan Boikot : Dipo Alam Digugat Rp 101 Triliun

Minggu
27 Februari 2011

Buntut Ucapan Boikot

Dipo Alam Digugat Rp 101 Triliun

Penulis: Adi Dwijayadi | Editor: Erlangga Djumena

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:28 WIB

Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan, dirinya tidak pernah berniat memboikot media, namun hanya mengkritik pemberitaan sejumlah media.(KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)***

TERKAIT:

JAKARTA, Ekspedisi Humaniora Online — Pernyataan boikot media yang diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam tidak hanya dilaporkan pidana oleh Media Group, tetapi juga digugat secara perdata. Grup yang menaungi MetroTV dan harian Media Indonesia itu mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat ( 25/2/2011 ), dengan nilai gugatan sebesar Rp 101 triliun.

"Bahwa penggugat (Media Group) berhak atas ganti kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum tergugat (Dipo Alam) yang telah mengeluarkan pernyataan sepihak tanpa dasar hukum dan telah melanggar hak penggugat, baik secara kerugian materiil maupun immateriil," kata kuasa hukum Media Group, OC Kaligis, Sabtu (26/2/2011) di Jakarta.

Kaligis menjelaskan, pernyataan Dipo Alam yang mengimbau institusi pemerintah tidak memasang iklan pada dua media di dalam Media Group telah menimbulkan kerugian materiil. Ia menyebutkan soal turunnya pendapatan iklan MetroTV dan Media Indonesia dan nilai kerugian ditaksir mencapai Rp 1 triliun.

Secara immateriil, tutur pengacara kondang itu, Media Group mengalami kerugian waktu, tenaga, pikiran, dan pencemaran nama baik. Selain kepercayaan masyarakat menurun, usaha dua media tersebut juga terganggu yang nilainya tak terhitung. "Nilai kerugian immateriil klien kami mencapai Rp 100 triliun," ucap Kaligis.

Disebutkan dalam surat pendaftaran gugatan bernomor 81/PDT.G/ 2011 /PN.JKT.PST itu, alasan Media Group menggugat Dipo Alam adalah pada 21 Februari 2011 tergugat (Dipo Alam) mengeluarkan pernyataan sebagaimana dikutip di berbagai media cetak dan media elektronik yang menjatuhkan kredibilitas para penggugat (Media Group). Ada tiga bukti pernyataan Dipo Alam yang digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pertama, "Pokoknya saya katakan kalau mereka (media) tiap menit menjelekkan terus, tidak usah pasang (iklan). Saya akan hadapi itu. Toh, yang punya uang itu pemerintah. Enggak usah pasang iklan di situ dan juga sekarang orang yang di-interview dalam prime time tidak usah datang."

Kedua, "Ini, kan, membuat investor lari. Seolah-olah Indonesia ini kacau. Indonesia ini gelap."

Ketiga, "Saya memberikan instruksi boikot itu kepada seluruh sekjen dan humas kementerian. Kita bukan alergi kritik. Boleh kritik, kita senangi dikritik. Tapi, isinya negatif dan akumulatif sehingga orang-orang menjadi mislead, that is wrong. Itu bukan mengkritik. Itu bukan kebebasan pers. Saya mengatakan boikot saja. Yang tidak boikot, saya perhatikan."

OC Kaligis menyayangkan Dipo Alam tidak menggunakan hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur Pasal 1 Butir 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Kalau tidak berkenan dengan pemberitaan sebuah media, hendaknya gunakan hak jawab atau hak koreksi, bukan mengeluarkan pernyataan sepihak tanpa dasar hukum yang menjatuhkan kredibilitas media di muka umum sehingga merugikan media itu," katanya.***

Source : Kompas.com, Minggu, 27 Februari 2011 | 09:28 WIB

Ada 29 Komentar Untuk Artikel Ini :

  • Sarlon Hutagaol

Minggu, 27 Februari 2011 | 17:44 WIB

Malu ah mengomentarinya

Balas tanggapan

  • Isti Mayangsari

Minggu, 27 Februari 2011 | 14:23 WIB

biar aja hal ini berproses. Dipo mau menyeimbangkan bandul jam informasi. kita tunggu saja

Balas tanggapan

  • nur sasongko

Minggu, 27 Februari 2011 | 13:25 WIB

ealah...tetap aja pengacara yang ketiban untung..dari buntungnya orang lain

Balas tanggapan

  • Bagoes Rinthoadi

Minggu, 27 Februari 2011 | 13:25 WIB

Semua punya kepentingan masing - masing, Pak Dipo , Metro TV, Media Indonesia,

Balas tanggapan

  • gnr ptk

Minggu, 27 Februari 2011 | 13:22 WIB

heleh... lebay,,,, jaman kayak gini kok yg kayyak gtan di ributin,,, 101T wah bisa buat modal kampanye buat jd calon presiden tu,, heheh

Balas tanggapan

  • abi ndari

Minggu, 27 Februari 2011 | 13:17 WIB

Metro, MI makin lebay, anti kritik

Balas tanggapan

  • thomas gintings

Minggu, 27 Februari 2011 | 13:11 WIB

Mantaaap....tambah ribut terus negeri ini, penuh dengan masalah kepentingan kelompok..

Balas tanggapan

  • aldi tiandi

Minggu, 27 Februari 2011 | 13:03 WIB

kebebasan yang kebablasan

Balas tanggapan

  • Noor Alhabsyi

Minggu, 27 Februari 2011 | 12:51 WIB

Ini sih tuntutan yang tidak masuk akal deh !Seperti main2 aja, gak realistis!

Balas tanggapan

  • putrawan wayan

Minggu, 27 Februari 2011 | 12:40 WIB

jangan berlebihan, mulat sarisa saja.......

Balas tanggapan

  • adi supriadi

Minggu, 27 Februari 2011 | 12:37 WIB

ini kayanya akan seru lagi.

Balas tanggapan

  • Rajinsholat

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:59 WIB

hahaha 101triliun, dikira dipo alam mobarak kali pny duit segitu.

Balas tanggapan

  • kaisa yuri

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:57 WIB

benar tuh selama ini kayaknya media di indonesia terlalu propokatip dan negatip yg di mana semua itu membuat semakin membingungkan akan hal yg terjadi sebenarnya jangan 1 di bilank 2 donk kalo 1 ya satu kalo muat berita juga yg berimbang sehingga masyarakat jadi tahu yg sebenarnya SAYA DUKUNG DIPO ALAM ATAS PEMBOIKOTANNYA TERHADAP MEDIA MASA TERSEBUT 1000000%

Balas tanggapan

  • aziz suib

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:48 WIB

Media itu mata masyarakat yang akan mencucuci otak masyarakat, maka berilah berita apa adanya jangan ditambah dan jangan dikurangi

Balas tanggapan

  • mochamad-hilman sukagalih

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:36 WIB

haha.....meress ..???

  • Niki Osing

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:05 WIB

Baguslah di tuntut, toh pake uang pemerintah juga, cuma yang perlu diperhatikan untuk prosesnya bisa berjalan atau ada deal lain, ini menurut saya hanya persoalan stategi menuju 2014 saja,.lets we look together

Balas tanggapan

  • Anang Arif

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:04 WIB

Diharapkan sama sama menjunjung tinggi hukum dalam persidangan sampai vonis oleh hakim. Jangan ada intervensi dari pihak manapun.

Balas tanggapan

  • Ajie Adnan

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:01 WIB

101 trilyun? APBD di provinsi terpadat di Indonesia saja ga sampai segitu amat. Ni pengacara waras ga sih?

Balas tanggapan

  • anok budhana

Minggu, 27 Februari 2011 | 10:48 WIB

Lho kok mata duitan..... lalu yang sewenag-wenang, arogan, preman dan segala macamnya itu siapa ya...???

Balas tanggapan

  • Holil Soelaiman Soelaiman

Minggu, 27 Februari 2011 | 10:39 WIB

Apa tdk kebalik, seharusnya kedua media itu yang dituntut gr sekian karena banyaknya calon investor yang membatalkan investasinya di Ind. Masuknya investor di sektor real diharapkan dpt membuka lapangan kerja.

Balas tanggapan

  • rajendra wira

Minggu, 27 Februari 2011 | 10:35 WIB

Orang seperti Kaligis memang msti dihadapi dengan kasar seperti Dipo. I like it

Balas tanggapan

  • njf aja

Minggu, 27 Februari 2011 | 10:20 WIB

lumayan,,,, klo menang bisa buat kampanye 2014 NASDEM ,,,

Balas tanggapan

  • euleuh euleuh

Minggu, 27 Februari 2011 | 10:12 WIB

OC kaligis ini selalu membela yang aneh2.

Balas tanggapan

  • Irwan Jaelani

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:56 WIB

Kekayaan Dipo alam, mungkin lebih dari 101 trilyun, he he he he bisa bayar lah dia...................

Balas tanggapan

  • cowidster widi

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:55 WIB

Presiden dikelilingi oleh orang-orang yang tidak kapabel.

Balas tanggapan

  • Fauzi Mubarok

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:53 WIB

setuju bang OC

Balas tanggapan

  • achmad safir

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:45 WIB

Weleh.. weleh... sama-2 SALAH kok ribut, BOSAN. Yaa, plg2 cm cari sensasi, BOSAN. Sampai kpn pun, rebutan jd yg benar itu susah, BOSAN. Noh, noh, urusi rakyatmu yg lg susah shg kejahtan marak banget, BOSAN, BOSAN, dan BOSAN

Balas tanggapan

  • christopher tobing

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:43 WIB

101 triliun? darimana rumusnya? media seperti kebakaran jenggot...

Balas tanggapan

  • hanhan dahri

Minggu, 27 Februari 2011 | 09:40 WIB

lama2 si OC kaligis diboikot masyarakat juga.... tampa dibilang begitu sama Dipo juga media group sdh kehilangan kepercayaan masyarakat. memang belum tahu?!?!?!

Balas tanggapan

BOIKOT MEDIA : Dipo Alam Dilaporkan ke Polisi

Minggu,

27 Februari 2011

BOIKOT MEDIA

Dipo Alam Dilaporkan ke Polisi

JAKARTA, Ekspedisi Humaniora Online - Sekretaris Kabinet Dipo Alam akhirnya dilaporkan Media Group (Media Indonesia dan Metro TV) ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta, Sabtu (26/2). Bahkan, Dipo juga dilaporkan secara perdata.

Wakil Media Group yang hadir di antaranya Direktur Pemberitaan dan Program Metro TV Suryopratomo, Sugeng Suprawoto, dan Gaudensius Suhardi. Mereka menyampaikan laporan ke polisi didampingi kuasa hukumnya, OC Kaligis.

Tiga hari sebelumnya, Dipo disomasi terkait pernyataannya tentang media yang selalu menjelek-jelekkan pemerintah tidak perlu diberi iklan atau tidak wajib dihadiri jika ada undangan itu dinilai telah membungkam pers dan menutup informasi. ”Dipo dilaporkan ada fakta, karena tidak menjawab somasi yang kami ajukan,” kata Kaligis. Dipo diberi waktu 3 x 24 jam menjawab somasi selambatnya pada 26 Februari 2011 pukul 12.00.

”Selain melaporkan Dipo ke Mabes Polri, kami juga melaporkannya secara perdata ke PN Jakarta Pusat,” kata Kaligis, seperti dikutip Antara, Sabtu. Gugatan perdata itu tercatat dalam laporan nomor 81/PDT/G/Jakpus.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Rabu lalu, Dipo mengatakan, langkahnya itu untuk melindungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari ancaman pemakzulan. Pemberitaan beberapa media cenderung menjelek-jelekkan pemerintah sehingga berdampak besar bagi keberlangsungan negara.

Menurut Dipo, media terbukti mampu menggiring persepsi publik, seperti terjadi pada saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kala itu pemakzulan terjadi lantaran persepsi publik yang diberitakan media diabaikan. ”Saya tidak mau ada impeachment-impeachment lagi karena ini adalah kabinet presidensial, bukan parlementer. Pemerintahan konstitusional harus sampai 2014,” katanya.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan berharap, polemik seputar pernyataan Dipo Alam bahwa ada media yang tendensius terus-menerus menjelekkan pemerintah dan bersikap partisan diselesaikan di Dewan Pers. Masalah itu sebaiknya tidak langsung dibawa ke ranah hukum.

Bagir meyakini masalah tersebut dapat diselesaikan melalui Dewan Pers. Dipo juga sudah bertemu dengan Dewan Pers dan bersedia menyelesaikan masalahnya di Dewan Pers.

”Perbedaan pendapat merupakan hal lumrah dalam demokrasi. Jika kami bertemu, saya yakin masalah itu dapat diselesaikan,” ucap Bagir. (NWO/Faj)***

Source : Kompas, Minggu, 27 Februari 2011

KOMENTAR :

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • ali maruf

Minggu, 27 Februari 2011 | 12:34 WIB

aYO hadapi pak.... buktikan sesumbarmu kemarin di semua surat kabar...

Balas tanggapan

  • Mochamad Masroni

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:28 WIB

Di negeri ini masih jarang orang yg sadar, mari bangkit dari tidur jika tdk ingin tertinggal negara tetangga

Balas tanggapan

  • Mochamad Masroni

Minggu, 27 Februari 2011 | 11:27 WIB

Di negeri ini masih jarang orang yg sadar, mari bangkit dari tidur jika tdk ingin tertinggal negara tetangga

Balas tanggapan

Sabtu, 26 Februari 2011

Pendidikan Guru Belum Jelas

Sabtu,

26 Februari 2011

Ekspedisi Humaniora Online

Pendidikan Guru Belum Jelas

JAKARTA, Ekspedisi Humaniora Online - Pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab soal pendanaan penyelenggaraan pendidikan profesi guru. Hal ini mengakibatkan kuota 13.000 guru untuk dididik sampai Juli 2011 bisa tak tercapai.

Pemerintah pusat hanya memberikan bantuan persiapan pendidikan profesi guru (PPG) kepada lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) negeri dan swasta yang ditunjuk. Sementara guru yang gajinya masih minim umumnya tidak berminat meraih gelar guru profesional lewat PPG yang biayanya bisa di atas Rp 10 juta untuk satu tahun.

Supriadi Rustad, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta, Jumat (25/2), mengatakan, PPG bagi guru dalam jabatan ini kuotanya untuk 13.000 guru. Jatah ini di luar kuota sertifikasi dari pemerintah pusat tahun ini yang dialokasikan 300.000 guru.

Jalur ini dibuka untuk memberi kesempatan kepada daerah yang ingin mendapatkan kualitas guru profesional. Setelah guru lulus PPG, mereka dapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

”Jika pemerintah daerah peduli dengan guru di daerahnya, seharusnya PPG guru didukung. Mereka bisa memilih guru yang memenuhi syarat untuk dibiayai. Ini semua tergantung dari daerah,” kata Supriadi.

Edy Heri, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, mengatakan, pihaknya kesulitan menyediakan anggaran untuk PPG guru dalam jabatan untuk tahun ini. Anggaran daerah difokuskan untuk memberi beasiswa pendidikan S-1 bagi guru.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, pihaknya akan melihat anggaran dulu apakah memungkinkan atau tidak untuk membiayai PPG bagi guru di Kota Bandung.

”Kami lihat dulu kuotanya untuk Kota Bandung. Sampai saat ini belum ada pemberitahuan resmi soal PPG. Namun rasanya tidak bisa menanggung seluruh kuota guru,” kata Oji. (ELN)***

Source : Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • Drajat Ajat

Sabtu, 26 Februari 2011 | 08:05 WIB

Itulah karut marut dunia pendidikan kita!

Balas tanggapan