Jumat, 18 Februari 2011

Pemerintah Harus Lebih Tegas

Jumat,

18 Februari 2011

Pemerintah Harus Lebih Tegas

Eskpedisi Humaniora Online

Siswa SD Negeri IV Cidokom, Kampung Tutul, Desa Cidokom, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, belajar di kelas yang baru dibangun pada 2009, tetapi hanya berlantai tanah. Sementara itu, sebagian kelas yang dikeramik tidak memiliki bangku dan meja. Mereka terpaksa duduk di lantai selama proses belajar-mengajar. (KOMPAS/ANTONY LEE)***

JAKARTA, Ekspedisi Humaniora Online - Pemerintah diminta untuk bersikap lebih tegas dalam menerapkan hukum terkait terjadinya berbagai kekerasan akhir-akhir ini. Pelaku kekerasan itu harus ditindak sesuai aturan hukum yang ada dan keselamatan serta kebebasan masyarakat semestinya dilindungi.

Desakan itu dikatakan mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, dan KH Salahuddin Wahid dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Kamis (17/2). Mereka menilai, kasus kekerasan yang berlangsung akhir-akhir ini bermuara pada lemahnya pemerintah dan hukum yang tak jalan. Dalam situasi itu, masyarakat coba mengambil jalan keluar sendiri, termasuk lewat kekerasan.

Jimly menilai, tak hanya penegakan hukum yang lemah, tetapi seluruh sistem pemerintahan di negara ini juga tak berjalan maksimal. Itu terjadi karena faktor kepemimpinan yang tak berfungsi baik. Hal ini bisa berbahaya.

Setiap ada kasus kekerasan, menurut dia, pemerintah segera sibuk memperdebatkan bagaimana memperbaiki undang-undang (UU). Padahal, semestinya segera ambil tindakan, tangkap pelaku kekerasan, dan tegakkan hukum.

Pemerintah juga didesak bersikap tegas terhadap kelompok atau organisasi yang nyata-nyata berbuat kerusuhan. Itu dilakukan melalui pengadilan yang terbuka dan adil dengan memberikan hak kepada kelompok itu untuk membela diri. Langkah ini harus dipercayai sebagai proses yang paling fair. ”Pemerintah segeralah bertindak. Kurangi ngomong, banyak bekerja,” katanya.

Jusuf Kalla menegaskan, jika pemerintah sekarang dinilai lemah menghadapi berbagai kekerasan, jalan keluarnya adalah perlu memperkuat diri. Caranya dengan menegakkan hukum sesuai dengan aturan yang ada. ”Ada aturan hukum soal penganiayaan atau pembunuhan. Laksanakan saja. Siapa yang melanggar, ambil tindakan hukum,” katanya.

Tak boleh menghukum

Sejumlah tokoh lintas agama, termasuk Jusuf Kalla, Kamis malam, juga berdialog dengan Komisi VIII DPR. Dalam dialog itu terungkap, negara tak bisa menghukum keyakinan atau ideologi seseorang. Negara juga tidak bisa menetapkan suatu aliran tertentu sebagai sesat atau tidak.

Dalam rapat dengar pendapat umum itu, tokoh lintas agama juga memunculkan kerukunan umat beragama di negeri ini yang rentan karena posisi negara kadang tak hadir ketika dibutuhkan untuk menegakkan hukum.

Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Karding mengakui, DPR sengaja meminta pendapat tokoh agama, salah satunya untuk merumuskan konstruksi kerukunan umat beragama. Terlebih ada niat DPR menyusun UU tentang kerukunan umat beragama.

Menurut Jusuf Kalla, kebinekaan seharusnya menjadi dasar rakyat Indonesia bernegara. ”Kalau bicara kerukunan, berarti bicara bagaimana melaksanakan dasar yang kita setujui dari awal. Perbedaan yang membuat bangsa ini besar. Jangan hukum orang karena pikiran atau ideologinya, tetapi hukum karena tindakannya,” katanya.

Jusuf Kalla mengingatkan, pemerintah harus tegas menghukum pelaku insiden terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. ”Kalau terjadi pembiaran, nanti ada anggapan, kalau kita hukum orang ramai-ramai, bisa bebas dari hukum. Ini yang berbahaya. Jika terjadi konflik antaragama, berhentinya sulit,” katanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin mengatakan, Islam mengakui tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan pendapat. Namun, MUI berpandangan, Ahmadiyah berada di luar wilayah perbedaan yang bisa ditoleransi sehingga dinilai sesat. Untuk menindaklanjuti kesesatan itu, MUI menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah.

Ma’ruf menepis anggapan bahwa kekerasan kepada jemaah Ahmadiyah terjadi karena fatwa MUI yang menyebutkan Ahmadiyah merupakan aliran sesat. MUI tidak menoleransi kekerasan oleh siapa pun.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar F Mas’udi mengatakan, terkait Ahmadiyah, PBNU hanya menyatakan, aliran itu tidak sesuai dengan paham ahlus sunnah wal jamaah yang dianut warga NU. NU tak menggunakan kata sesat. ”Kami berpandangan, yang berhak menyatakan sesat atau tidak itu hanya Allah,” ujarnya.

Menurut mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, Indonesia tidak bisa menghukum orang karena keyakinan yang dianutnya. Indonesia bukan negara agama. ”Apabila Malaysia menetapkan aliran yang menyimpang, seperti Darul Arqam, Syiah, sampai Ahmadiyah, wajar karena negara yang berlandaskan agama. Islam menjadi agama resmi mereka. Namun, di Indonesia, tidak ada agama resmi negara,” katanya.

Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia menambahkan, selama ini pemerintah cenderung absen dalam memberikan rasa aman terhadap warga negaranya. Tokoh agama yang sering harus menjadi ”pemadam kebakaran” ketika terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama. ”Kami tidak ingin terus-menerus jadi pemadam kebakaran. Pemerintah jangan bermain api terus,” katanya.

Tak cepat tanggap

Sebaliknya, Salahuddin Wahid di Komnas HAM menyatakan prihatin dengan lemahnya sistem intelijen dan respons pemerintah dalam menindaklanjuti data dari intelijen itu. Sebab, mungkin intelijen sudah memberikan laporan gejala kerusuhan atau kekerasan, tetapi kepolisian tak cepat tanggap. ”Aparat keamanan, dalam hal ini Polri, mungkin tidak siap mengatasi keadaan atau menganggap enteng,” katanya.

Situasi itu terjadi akibat pengembangan sistem intelijensi masih lemah. Mungkin saja jumlah sumber daya manusianya terbatas, dana sedikit, atau kurang profesional kurang. Polri harus menginvestigasi kenapa kekerasan itu terjadi dan bagaimana memperbaiki sistem antisipasinya. Kemampuan deteksi dan intelijensi mesti diberdayakan agar bisa mencegah kasus kekerasan serupa.

”Perbaikan sistem intelijen ini penting. Rakyat kan sekarang sudah merasa tidak dilindungi oleh kepolisian. Jika dibiarkan begini terus, pemerintah akan semakin kehilangan wibawa,” katanya.

Secara terpisah, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengingatkan, TNI akan turun tangan menindak massa anarkis. ”Aksi kekerasan oleh massa menimbulkan keprihatinan TNI. Polisi berada di depan dan tentara memberikan dukungan. Namun, kalau keadaan tidak bisa diatasi, tentara akan masuk menindak massa anarkistis,” ujar Menhan di Jakarta, Kamis.

Purnomo mengajak seluruh komponen bangsa bersatu menolak dan meniadakan kekerasan yang mengganggu ketenteraman masyarakat. Aparat penegak hukum bersama tokoh masyarakat agar mencermati masalah yang mengganggu stabilitas.

Dari Pandeglang, Kamis, dilaporkan, tersangka kasus Cikeusik yang ditahan di Polda Banten menjadi tujuh orang. Tersangka baru, U, ditangkap di Bogor, Jawa Barat.

Kepala Bidang Humas Polda Banten Ajun Komisaris Besar Gunawan mengatakan, Polri masih mengejar sejumlah calon tersangka lain. Enam tersangka, selain U, yang kini ditahan, adalah Uj, YA, KE, KM, M, dan S.

Terkait penyerangan Pondok Pesantren Al Ma’hadul Islam Yayasan Pesantren Islam Pasuruan, Jawa Timur, jumlah tersangka menjadi enam orang, yaitu I, HS, S, AM, US, dan HA.

(iam/bil/uti/ong/why/har/ cas/eta/egi/nta)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 7 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • widhi setiono

Jumat, 18 Februari 2011 | 14:55 WIB

saya setuju komentar yang ada ini.. mantap

Balas tanggapan

  • simon ratulona

Jumat, 18 Februari 2011 | 12:35 WIB

Demokrasi itu bagus tapi bangsa Indonesia yang masih lapar ini belum siap menerima secara instant seperti yang di Amerika sana.Niat bagus belum tentu hasilnya bagus.Contohnya Saudara kita di Papua,niat bagus pemerintah memberikan pakaian yang layak seperti saudaranya yang di Jawa,hasilnya justru pada kegatelan /Penyakit kulit.Demokrasi yang masuk ini juga di artikan secara mentah Mayoritas lah yang berkuasa,akibatnya Minoritas tersingkirkan.

Balas tanggapan

  • wali yahya

Jumat, 18 Februari 2011 | 08:22 WIB

sy setuju !,pelaku insiden cikeusik,temanggung dihukum seberat"nya ,polri pun hrs tegas,klu perlu intruksi tembak ditempat (pakai peluru karet),bg perusuh yg berbau sara goodlook.

Balas tanggapan

  • Rocky Samuel Karinda

Jumat, 18 Februari 2011 | 08:21 WIB

Ketika bangsa ini di jajah bangsa lain itu perbuatan yang tidak manusiawi, ketika bangsa ini dikacaukan oleh beberapa penduduknya sendiri, ini tindakan yang luarbiasa tidak manusiawi!!! oleh sebab itu dibutuhkan pemerintah yang sangat luarbiasa untuk menghentikan perilaku yang luarbiasa ini!!!kalau caranya menjalankan pemerintahan seperti saat ini, saya pun bisa jadi presiden.... bahkan jauh lebih baik!!!!

Balas tanggapan

  • marsel T

Jumat, 18 Februari 2011 | 08:10 WIB

KIta sependapat, yang melakukan tindakan anarkis, diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar tindakan kolektif menghakimi orang lain atau kelompok lain oleh arogansi kelompok tertentu, dapat diperkecil ruangnya.

Balas tanggapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar