Selasa, 08 Februari 2011

TRADISI ADAT NGAROT LELEA : Menemukan Jodoh di Tengah Sawah

TANAH AIR

Menemukan Jodoh di Tengah Sawah

Selasa, 08 Februari 2011/ 04:14 WIB

Ekspedisi Humaniora

Salah satu tradisi dalam pesta ngarot di Desa Lelea,Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, adalah keluarga dan kerabat peserta ngarot memberi uang jajan kepada peserta, saat mereka diarak. (FOTO-FOTO: KOMPAS/TIMBUKTU HARTHANA)***

Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana

Upaya masyarakat Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mempertahankan ”ngarot” adalah prestasi besar dalam pelestarian tradisi yang telah melembaga selama 354 tahun. Tapi, pergeseran pemaknaan dan tujuan asasi ritual koloni agraris ini pun tampaknya tak terelakkan.

Ritual pewarisan nilai-nilai luhur dan praktik hidup bercocok tanam telah lumer, beralih wujud menjadi seremonial berburu belahan jiwa sebagai pendamping hidup. Jejaka dan gadis desa yang dulunya diamanati untuk meneruskan denyut nadi pertanian, kini condong hanya bersuka-cita menikmati pesta lajangnya sembari berkedipan mata mencari jodoh.

Ngarot memang identik dengan hadirnya gadis-gadis belia dan pemuda-pemuda tangguh karena pesertanya adalah muda-mudi Desa Lelea. Umumnya, usia peserta sekitar 13-20 tahun, atau sudah akil balik dan masih lajang. Tapi, ada pula yang usianya lebih.

Pesta tanam yang dihelat tiap akhir tahun, atau menjelang tanam musim rendeng, ini dikenal dengan pesta kasinoman. Orang tua dan kerabat biasanya memberi kesempatan pesta dengan menyelipkan uang kepada peserta ketika diarak keliling desa.

Jumlah uang yang diberikan-kata Eri (40), warga Desa Tamansari, Rabu (22/12), beragam. ”Biasanya Rp 5.000 atau Rp 10.000. Terkadang, seorang remaja bisa mengumpulkan lebih dari Rp 100.000,” ujarnya.

Uang tersebut, lanjut Eri, umumnya dipakai untuk midang (mejeng) dan jajan makanan atau kebutuhan sandang di pasar kaget, yang tiap tahun kian riuh di pesta ngarot. Di pasar itu, benar-benar menikmati pesta mereka, selain hiburan tari dan musik yang digelar di balai desa semalam suntuk.

Dikumpulkan

Keluarga di Desa Lelea yang memiliki anak gadis atau laki-laki yang telah akil balik biasanya diminta secara sukarela mengikutsertakan anak-anak mereka dalam ritual ngarot. ”Muda-mudi itu dikumpulkan dan dipertemukan,” papar Daeng Sukaraja (51), warga Desa Lelea.

Ia menambahkan, awal mula berkumpulnya kaum muda itu adalah untuk bercocok tanam bersama. ”Bergotong-royong mengolah tanah, mengairi sawah, hingga menanam padi,” tambah Daeng.

Tradisi ini, lanjutnya, dimulai sekitar tahun 1646, oleh Ki Kapol, petani yang disegani warga desa. ”Dalam kesempatan itu, semua pemuda dan pemudi Desa Lelea dipertemukan dan diajak bertani bersama. Tujuannya, mempersatukan orang-orang desa yang rumahnya, waktu itu, berjauhan. Dari acara itu jadinya mereka saling kenal,” kata Daeng lagi.

Selama hampir dua pekan, puluhan bujang dan gadis itu bertemu dan bekerja sama. Para bujang mencangkul, membajak, dan mengairi sawah, sedangkan para gadis menyiapkan makan siang dan menanami sawah dengan bibit padi. Sawah yang mereka olah adalah warisan dari Ki Kapol, seluas 2,61 hektar, yang disebut juga sawah kasinoman.

Jatuh cinta

Berawal dari pertemuan di tengah sawah, dilanjutkan perkenalan, pesta setelah tanam padi (ngarot) kemudian ada yang berujung pernikahan. Ibarat lintah di sawah yang turun ke kali, cinta beberapa remaja Lelea bermula dari mata lalu bersemi di hati.

Anggapan pesta cari jodoh terbentuk juga karena dalam ngarot para gadis dan jejaka saling dihadap-hadapkan, saling memandang. Bahkan, dulu, penari ronggeng kethuk mengajak mereka berjoget agar saling kenal-yang tak jarang kemudian saling jatuh cinta.

Metode cari jodoh ala konvensional ini tak kalah ampuhnya dengan memanfaatkan jasa kontak jodoh di media cetak atau lewat jejaring situs dunia maya.

Yuni (35), misalnya, bercerita, dia mendapatkan jodoh saat mengikuti ngarot pada usia 15 tahun. Meski saling bertetangga, namun dia merasa cocok dengan suaminya ketika bertemu di pesta ngarot.

”Saya dua kali ikut ngarot. Umur 14 tahun dan 15 tahun. Tapi umur 16 tahun, saya tidak ikut lagi karena sudah menikah. Suami saya dulu juga ikutan ngarot,” ujar Yuni.

Tak sedikit, warga Lelea yang sudah menetap di kecamatan lain membawa anak gadis atau lelakinya mengikuti ngarot. Hal ini masih diperbolehkan, asalkan orang tua remaja itu asli penduduk Lelea.

Sesepuh Desa Lelea, Samian (70-an), yang juga mantan kuwu, mengatakan, ritual ngarot sebenarnya tidak tepat disebut sebagai pesta mencari jodoh. ”Karena, inti tradisi ini adalah mengajarkan cara bertani yang baik kepada generasi muda. Tapi, tak dimungkiri, banyak peserta yang akhirnya menikah (yang ketemu jodoh di pesta itu),” ujarnya.

Pergeseran pemaknaan ngarot tampaknya masih berlangsung. Sekarang ini tak hanya ada perubahan usia peserta, tapi juga perubahan tujuan asasi dari tradisi tersebut.

Usia peserta bisa dibilang tergolong sangat belia, sekitar 10-14 tahun, pelajar SD dan SMP. ”Padahal, dulu, usia pesertanya benar-benar usia yang siap nikah atau bekerja, sekitar 16-18 tahun,” kata Samian.

Lebe Sukardi, Ketua RT 12 RW 3 Desa Lelea, menambahkan, remaja sekarang cenderung enggan dan malu mengikuti tradisi ngarot. ”Rasa sukarela melibatkan diri dalam kegiatan warisan leluhurnya sudah susut,” katanya.

Alasan gengsi, tidak gaul, ataupun malu ditonton orang karena berdandan dan harus berkebaya, tak jarang dilontarkan untuk menolak ikut ritual itu. ”Dulu, seorang remaja bisa ikut ngarot 3-5 kali, atau sampai dia menikah. Tapi sekarang hanya 1-2 kali saja.

Para sesepuh Desa Lelea mengkhawatirkan, tradisi ini sirna 100 atau 200 tahun ke depan, karena tak ada lagi muda-mudi yang bersedia diarak keliling desa.

”Sepatutnya, dinas terkait, seperti Dinas Pendidikan juga Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Indramayu lebih agresif melestarikan tradisi ini. Jika luput, esensi tradisi ini akan menguap tergilas roda kereta modernisasi,” kata Daeng mengingatkan.***

Source : Kompas, Sabtu, 15 Januari 2011 | 04:14 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar