Jumat, 18 Februari 2011

Pesan "Dokter" Wayang Potehi

Jumat,

18 Februari 2011

Ekspedisi Humaniora Online

Sukar Mudjiono

Pesan "Dokter" Wayang Potehi

SUKAR MUDJIONO. (KOMPAS/IDHA SARASWATI WAHYU SEJATI)***

Oleh Idha Saraswati

Tepat pada tanggal merah, perayaan Imlek 2562, Sukar Mudjiono duduk santai sambil memainkan lagu-lagu Mandarin di lantai dua Kelenteng Hong Tiek Hian di Jalan Dukuh, Kota Surabaya, Jawa Timur. Lagu-lagu yang dia mainkan itu rupanya bisa menghibur para peziarah kelenteng sehingga tanpa diminta, lembaran uang yang ditaruh peziarah di atas meja di depannya terus bertambah.

”Kalau pas Imlek, saya malah libur. Ini sudah tradisi. Tetapi besok, saya ada tanggapan (bermain) di Jakarta,” ujar Sukar saat ditemui awal Februari ini.

Sukar adalah dalang wayang potehi. Hari-hari menjelang dan pasca-Imlek menjadi hari sibuk baginya, kecuali pada hari Imlek itu ketika penanggalan berwarna merah. Sukar mendapat tanggapan untuk mendalang dari kelenteng hingga pusat perbelanjaan. Pengundangnya berasal dari beberapa kota, seperti Surabaya, Bojonegoro (Jawa Timur), Semarang (Jawa Tengah), dan Jakarta.

Pada saat libur itulah, ia mengajak teman-temannya dari grup wayang potehi Lima Merpati berkumpul. Kelenteng Hong Tiek Hian yang berada di daerah pecinan menjadi semacam tempat berkumpul kelompok ini. Mereka memilih berkumpul di kelenteng sambil mencoba memainkan lagu-lagu Mandarin yang baru dipelajari.

Siang itu, misalnya, Sukar kebagian memainkan olhu, sejenis alat musik gesek tradisional dari China. Alat-alat musik tersebut biasa mereka mainkan untuk mengiringi penampilan wayang potehi.

Dalam grup Lima Merpati, Sukar yang sudah menggeluti wayang potehi selama lebih dari 30 tahun berperan sebagai dalang utama. Meski demikian, dia juga mahir memainkan beberapa alat musik pengiring wayang potehi. Hal ini karena sebelum menjadi dalang, ia mengawali ”karier” dari bawah.

”Sebelum menjadi dalang itu kan biasanya kita jadi pemain musik dulu. Lalu, kita menjadi cantriknya dalang, baru jadi dalang,” tuturnya.

Dengan keahlian itu, seorang dalang wayang potehi bisa tampil secara fleksibel. Ketika tidak sedang kebagian jatah mendalang, Sukar bisa menjadi pemain musik, mengiringi temannya yang bertugas menjadi dalang. Begitu pun sebaliknya.

Sejak kecil

Sejak masih kanak-kanak, Sukar tertarik pada wayang potehi yang menyuguhkan legenda Tiongkok klasik. Waktu itu belum banyak hiburan seperti sekarang. Ia setia mengikuti kelanjutan cerita wayang potehi yang biasanya dipentaskan setiap hari hingga sebulan penuh di Kelenteng Hong Tiek Hian. Letak kelenteng ini relatif tidak jauh dari rumahnya. Ayah dan ibunya tidak pernah melarang Sukar kecil menonton di kelenteng.

Salah satu cerita favorit Sukar adalah kisah dua sahabat Sun Pin dan Ban Koan. Mereka menuntut ilmu militer bersama hingga mendapat kedudukan tinggi di kerajaan. Namun, persahabatan itu menjadi retak karena sifat Ban Koan yang serakah. ”Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu,” ujarnya.

Suatu hari seusai menonton, seorang dalang wayang potehi memanggilnya. Sukar kecil diajak mendekat ke kotak merah yang menjadi panggung wayang potehi. Sejak saat itu, Sukar mulai bersentuhan dengan dunia di balik tonil wayang potehi.

Guru pertamanya adalah Gan Cao Cao, dalang wayang potehi dari Hokkian, China. Ia memulai pelajarannya dari memainkan berbagai alat musik, membaca buku cerita legenda China, lalu menjadi pembantu dalang, hingga kemudian memulai debutnya sebagai dalang pada usia belasan tahun. Sukar mulai rutin memainkan wayang potehi untuk mengiringi ritual di kelenteng tua Hong Tiek Hian.

Beranjak remaja, Sukar semakin asyik menggeluti wayang potehi. Selain karena memang hobi, penghasilan dari wayang potehi membuatnya semakin rajin terlibat dalam pementasan.

Uang dari pentas wayang potehi dia kumpulkan sehingga bisa meringankan beban orangtua dalam membiayai sekolah. Sukar bahkan bisa melangkah hingga menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya. Namun, kesibukan sebagai dalang wayang potehi membuatnya meninggalkan bangku kuliah.

Sukar adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Melihat dia bisa mengumpulkan uang, empat adik lelakinya ikut tertarik mendalami wayang potehi juga. Dua di antaranya kini menjadi dalang, sedangkan dua lainnya menjadi pemain musik.

Semakin dewasa, Sukar menyadari bahwa menjadi dalang wayang potehi bisa dikatakan profesi yang menjanjikan. Setiap kelenteng punya jadwal rutin pementasan wayang potehi, terutama berkaitan dengan hari ulang tahun kelenteng. Belakangan, Imlek dan Cap Go Meh juga membuat dalang wayang potehi kebanjiran tanggapan.

Bersama teman-temannya, Sukar lantas mendirikan grup wayang potehi Lima Merpati tahun 2005. Grup ini punya sekitar 20 anggota, yang terdiri dari dalang dan pemusik. Untuk sekali tampil, mereka dibayar minimal sekitar Rp 4 juta.

Grup ini sudah menyambangi hampir semua kelenteng di Pulau Jawa. Mereka juga telah mengantongi piagam penghargaan dari beberapa perkumpulan warga Tionghoa atas upayanya melestarikan wayang potehi.

Menurut Sukar, penghargaan memang menjadi salah satu faktor yang membuat orang tertarik mendalami wayang potehi. Maka, setiap kali mendapati anak muda yang tertarik mempelajari wayang potehi, ia mengajaknya pentas dan memberi mereka penghargaan berupa uang.

”Asal mereka terlibat dalam pentas, pasti dikasih. Anak baru pun langsung dikasih (uang). Jadi, mereka tahu kalau ini (wayang potehi) menjanjikan,” katanya.

Lingkungan

Saat mendalang, Sukar membebaskan diri dalam membawakan cerita. Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan logat China. Namun, kadang-kadang dia juga melontarkan lelucon dalam dialek suroboyoan.

Di sela-sela cerita yang ditampilkan, dia juga sering menyisipkan nasihat. Hal itu, misalnya, tentang pentingnya menjaga lingkungan agar tidak terjadi banjir. Pesan-pesan seperti itu juga yang dia bawa saat diundang tampil mendalang di sebuah stasiun televisi lokal di Surabaya.

Nasihat seperti itu dia sebut sebagai pesan-pesan ”dokter”. Inspirasinya diambil dari keadaan di sekitar lokasi pementasan wayang potehi. ”Apa yang saya lihat di lingkungan, ya itu yang muncul di panggung. Kalau sebagai dalang kita enggak sampai ke situ, ya enggak usah jadi dalang,” ucapnya.

Ketika sedang mendalang, Sukar juga membebaskan penonton yang masih kanak-kanak untuk maju, bahkan melongok ke belakang panggung. Mereka diizinkan memegang boneka ataupun alat musik sepanjang tak mengganggu jalannya pementasan.

Dengan cara itu, Sukar merasa telah memperkenalkan wayang potehi kepada anak-anak. Perkenalan itu dia harapkan bakal berkembang seiring bertambahnya usia mereka sehingga wayang potehi pun tetap bertahan.***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar