Sabtu, 28 Agustus 2010

Hidup Berdampingan dengan Anak Krakatau

TANAH AIR

Hidup Berdampingan dengan Anak Krakatau

Peserta pawai budaya dalam rangka Festival Krakatau XX di Bandar Lampung, Lampung, Sabtu (24/7). Festival Krakatau merupakan agenda untuk mempromosikan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda sebagai tempat wisata. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)***

Oleh Wisnu Aji Dewabrata dan Yulvianus Harjono

Titik hitam di laut yang tampak dari Pelabuhan Canti, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Minggu (25/7), mulai menunjukkan bentuknya. Titik hitam itu adalah Kapal Motor Batanghari, salah satu kapal yang berlayar dari Pulau Sebesi ke Canti. Kapal yang panjangnya sekitar 5 meter itu sarat dengan penumpang dan barang. Barang berukuran besar, seperti sepeda motor, diletakkan di atap kapal. Sementara penumpang duduk lesehan di dalam kapal, di atap, dan di anjungan kapal.

”Kalau mau ke Gunung Anak Krakatau, harus carter kapal. Soalnya tidak ada kapal ke Gunung Anak Krakatau, yang ada cuma ke Pulau Sebesi,” kata Ismail (49), pemilik warung makan di Pelabuhan Canti.

Setiap hari ada dua kali jadwal pelayaran, yaitu pukul 07.30 dari Pulau Sebesi ke Canti dan pukul 13.30 dari Canti ke Pulau Sebesi.

Pulau Sebesi adalah pulau berpenghuni yang letaknya paling dekat dengan Gunung Anak Krakatau. Perjalanan naik kapal dari Pulau Sebesi ke Gunung Anak Krakatau hanya 1,5 jam (sekitar 36 kilometer). Dari Pulau Sebesi, Gunung Anak Krakatau dapat terlihat samar-samar.

Pulau Sebesi terdiri atas empat dusun yang tergabung dalam satu desa, yaitu Desa Tejung Pulau Sebesi. Desa tersebut masuk Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan.

Menurut Kepala Desa Tejung Pulau Sebesi Syahroni, luas Pulau Sebesi sekitar 2.350 hektar. Jumlah penduduk mencapai 2.727 orang atau sekitar 850 keluarga.

”Setahu saya, Pulau Sebesi sudah dihuni sejak tahun 1950-an. Ayah saya lahir di Pulau Sebesi dan kakek saya dimakamkan di Pulau Sebesi,” kata Syahroni.

Pasrah dan waswas

Pasrah dan waswas, demikian perasaan warga Pulau Sebesi karena rumah mereka begitu dekat dengan Gunung Anak Krakatau. Apabila Gunung Anak Krakatau meletus, yang pertama kali tersapu adalah Pulau Sebesi.

Perasaan pasrah dan waswas itu mendorong warga Pulau Sebesi untuk selalu melakukan doa bersama di Gunung Anak Krakatau sekali setahun.

Siang itu, Minggu (25/7) pukul 13.30, puluhan warga Pulau Sebesi baru selesai melaksanakan doa bersama di hutan yang berada di kaki Gunung Anak Krakatau.

Doa bersama diawali dengan shalat dzuhur berjamaah, dilanjutkan membaca Surat Yasin dan membaca tahlil yang dipimpin imam masjid Pulau Sebesi.

Menurut Rahman (47), tokoh masyarakat Pulau Sebesi, doa bersama di Gunung Anak Krakatau dulu dilakukan setiap bulan Maulud (bulan ketiga penanggalan Jawa). Sejak ada Festival Krakatau, doa bersama digelar pada saat festival berlangsung.

”Anak Krakatau ini gunung yang berbahaya. Jadi, kami berdoa bersama untuk keselamatan warga Pulau Sebesi,” kata Rahman.

Rahman menceritakan, dulu doa bersama selalu diikuti dengan upacara melarung kepala kerbau ke laut. Namun, sekarang warga tidak lagi melarung kepala kerbau karena pemborosan. Warga merasa cukup melaksanakan doa bersama secara sederhana.

Bekas kedahsyatan letusan Gunung Krakatau tahun 1883 masih dapat ditemui hingga kini. Hayun (38), warga Pulau Sebesi, mengungkapkan, warga sering menemukan perabotan dapur, seperti cobek dan gelas, saat menggali tanah. Perabotan itu dihanyutkan gelombang tsunami dan terkubur dalam tanah.

Hayun mengutarakan, rasa waswas selalu menghantui warga Pulau Sebesi, apalagi ketika Gunung Anak Krakatau mulai batuk-batuk. Terakhir, Gunung Anak Krakatau menunjukkan peningkatan aktivitas tahun 2007 dan 2008 yang disertai keluarnya semburan asap, pasir, dan batu pijar.

”Waktu itu warga cemas, Gunung Anak Krakatau yang lagi batuk-batuk menimbulkan gempa kecil di Pulau Sebesi. Warga hanya bisa pasrah kepada Tuhan,” lanjut Hayun.

Untuk mengungsi meninggalkan Pulau Sebesi, kata Hayun, tidak mungkin karena kapal yang tersedia hanya belasan. Selain itu, warga memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Pulau Sebesi sehingga enggan meninggalkan Pulau Sebesi.

Pariwisata menggeliat

Selain mengandalkan perkebunan dan perikanan sebagai mata pencarian, warga Pulau Sebesi mulai serius menggeluti bisnis pariwisata. Di Pulau Sebesi ada tiga vila dan 12 rumah penduduk yang dapat disewa untuk homestay. Dalam seminggu ada 20-40 wisatawan datang ke Pulau Sebesi.

Pulau Sebesi dan sekitarnya memiliki banyak obyek wisata dan letaknya strategis. Pulau Sebesi memiliki daerah perlindungan laut (DPL) yang terumbu karangnya terjaga dan pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau. Tidak ada hambatan komunikasi menggunakan telepon seluler di Pulau Sebesi, bahkan jaringan internet tanpa kabel pun tersedia.

Terumbu karang di sekitar Pulau Sebesi dan Gunung Anak Krakatau merupakan surga bawah laut bagi penyelam. Warga Pulau Sebesi sudah bisa menjadi pemandu para penyelam.

Sayangnya, semua potensi itu belum maksimal karena keterbatasan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Pulau Sebesi. Warga masih mengandalkan genset atau panel surya bantuan pemerintah yang alatnya sudah mulai usang.***

Source : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 03:01 WIB

Minggu, 22 Agustus 2010

Kota Tua Tambang Sawahlunto

Kota Tua Tambang Sawahlunto

Tujuh anak muda bercengkerama menunggu senja menutup hari di kawasan Saringan, akhir Juni lalu. Duduk di atas rel kereta yang sudah berkarat dan kayu yang lapuk tak mengurangi canda tawa mereka. Kawasan Saringan dibangun tahun 1900-an untuk memproses batu bara sebelum dibawa ke Teluk Bayur dengan menggunakan lokomotif uap.

Kawasan Saringan adalah satu dari 16 tempat bersejarah yang terpelihara dengan baik dan bisa dikunjungi di Sawahlunto. Sawahlunto menjadi terkenal karena batu bara setelah Willem Hendrik de Greve, peneliti batu bara dari Belanda, menyelidiki kemungkinan adanya batu bara di kawasan Sungai Ombilin, Sawahlunto, pada 1868. Penambangan pertama pun dilakukan pada tahun 1880.

Kota tambang tersebut berjarak sekitar 90 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda masih menjadi tempat tinggal penduduk, perkantoran, dan aneka kios makanan hingga warnet.

Orang rantai, sebutan untuk orang-orang hukuman yang bekerja di tambang, bisa ditelusuri jejaknya di lubang tambang Mbah Soero. Tak jauh dari lubang Mbah Soero terdapat Museum Goedang Ransoem yang dulunya merupakan dapur umum yang dibangun pada tahun 1918 untuk menyuplai makanan bagi para pekerja tambang batu bara dan pasien rumah sakit. Rumah Pek Sin Kek, bangunan ini dibangun pada tahun 1906 dan pernah digunakan sebagai gedung teater, merupakan tempat perhimpunan masyarakat Melayu dan pabrik es. Wisata tambang bisa ditutup dengan naik kereta api Mak Itam dari Sawahlunto-Muarokalaban (pp), perjalanan menembus bukit, dan memasuki terowongan gelap sepanjang satu kilometer. (Agus Susanto)***

Source : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 03:27 WIB

DEBORAH Bahagia dalam Seni

DEBORAH Bahagia dalam Seni

Berasal dari Amerika Serikat dan sempat meniti karier sebagai bankir selama bertahun-tahun, Deborah Iskandar (47) akhirnya tercebur dalam dunia seni rupa di Indonesia. Dan, dia menikmatinya. Katanya, ”Saya bahagia hidup bersama karya-karya seni rupa yang indah, dan menjadi bagian dari perjalanan seni rupa Indonesia.”

Deborah adalah managing director kantor perwakilan Sotheby’s di Indonesia. Lembaga ini aktif menggelar lelang internasional di beberapa kota besar, seperti New York, London, dan Hongkong. Lelangnya mencakup karya seni rupa, wine, barang antik, perhiasan, atau furnitur.

”Dari semua itu, saya lebih menyukai lukisan,” katanya.

Sosok perempuan langsing berambut pirang ini memang akrab di kalangan dunia seni rupa di Indonesia. Kalangan seni rupa tentu kerap bertemu dengannya. ”Dalam seminggu setidaknya saya melihat dua sampai tiga pameran. Kadang, hampir setiap malam.”

Ngobrol dengan Deborah di kantornya, di Jalan Sudirman, Rabu (18/8) lalu, menyenangkan. Perempuan ini ramah, renyah, dan terbuka. Pagi itu, dia mengenakan gaun terusan pendek warna merah terang.

Dia bercerita panjang lebar tentang kegiatannya sambil menunjukkan sejumlah katalog atau lukisan yang terpasang di dinding kantor yang berudara dingin itu.

Sebagai pengurus balai lelang, dia getol mencari para kolektor yang hendak membeli atau menjual karya seni lewat lelang. Lelang kemudian mencari penawar harga tertinggi. Lewat proses ini, nama seniman Indonesia melejit setelah harga karyanya terdongkrak naik.

I Nyoman Masriadi, seniman asal Bali, contohnya. Awal tahun 2000-an, harga lukisannya masih sekitar Rp 25 juta. Tahun 2008, harganya sudah melonjak jadi sekitar 250.000 dollar AS (sekitar Rp 2,5 miliar), kemudian menjadi 1 juta dollar AS (sekitar Rp 1 triliun) lebih.

Harga lukisan

Dengan kisaran harga berbeda, beberapa seniman lain juga diuntungkan pasar, katakanlah seperti Putu Sutawijaya, Handiwirman Saputra, atau Agus Suwage. Kenapa harga lukisan bisa melenting begitu tinggi?

”Itu dinamika pasar, yang dipengaruhi nama seniman, kualitas karyanya, dan tingkat kesulitan mendapatkan karya,” katanya.

Lewat proses semacam ini, akhirnya balai lelang ikut mempercepat masuknya seni rupa kontemporer Indonesia ke dalam pasar internasional. Hanya saja, sebagian pengamat seni khawatir, iming-iming pasar bisa menggoda seniman muda untuk meniru gaya lukisan yang laku di pasaran.

Bagi Deborah, situasi itu menggambarkan sisi positif-negatif, sebagaimana dimiliki hal-hal lain. ”Mungkin pada awalnya seniman muda meniru tren pasar, tetapi lama-lama mereka dapat menemukan bahasa visualnya sendiri. Kadang harga di pasar juga turun sebagai koreksi.”

Perempuan ini mengaku senang bisa menjadi bagian dari perkembangan seni rupa Indonesia. ”Sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk melihat karya seni. Saya merasa bahagia hidup saya dikelilingi sesuatu yang indah.”

Deborah mengaku tidak berasal dari lingkungan seni. Latar belakang pendidikannya di Amerika justru di bidang akunting dan hukum. Selesai kuliah, tahun 1988, dia hijrah ke Hongkong dan bekerja sebagai seorang bankir.

Di negeri itulah, dia mulai kepincut dengan seni rupa. Awalnya dia tertarik untuk mengamati dan mengoleksi lukisan kontemporer Rusia. Beberapa waktu kemudian dia ikut menyelenggarakan pameran lukisan.

”Saya belajar dengan banyak melihat karya seni, membaca buku-buku seni. Itu memungkinkan karena lukisan itu visual,” katanya.

Tahun 1991, perempuan ini pindah ke Indonesia, masih sebagai seorang bankir. Kecintaannya pada dunia seni makin kental saat dia menjadi partner sebuah galeri seni di New York, Amerika Serikat. Lima tahun kemudian, dia menerima tawaran untuk menangani suatu balai lelang internasional di Jakarta.

Sejak awal tahun 2009, dia dipercaya sebagai managing director Sotheby’s di Jakarta. Deborah semakin masuk dalam arus perkembangan seni rupa Indonesia. Dia mengaku sangat menikmati dunia yang mulai digelutinya lebih dari 20 tahun itu.

”Saya beruntung karena punya pekerjaan yang memang menjadi hobi saya.” Sampai kapan Anda terus menekuni dunia seni? ”Saya tak akan pernah berhenti. Bahkan, saat libur pun, saya masih mengunjungi museum seni, baca buku seni. Ini sangat menggairahkan.” (ILHAM KHOIRI)***

Source : Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010 | 04:00 WIB

Senin, 09 Agustus 2010

MAESTRO TARI : Jenazah Mimi Rasinah Dikebumikan

MAESTRO TARI

Jenazah Mimi Rasinah Dikebumikan

Suasana pemakaman maestro tari topeng Indramayu, Mimi Rasinah, Minggu (8/8). Rasinah dimakamkan di pemakaman keluarga Kampung Ciweni, Desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pemakamannya dihadiri sejumlah seniman, tokoh masyarakat, dan warga. (KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM)***

INDRAMAYU - Maestro tari Mimi Rasinah dikebumikan di makam keluarga Kampung Ciweni, Desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Minggu (8/8) sekitar pukul 09.00. Petang harinya, Aerli, cucu Rasinah, sudah kembali naik pentas di Cirebon meski tanpa Rasinah.

Jasad Rasinah, yang wafat sehari sebelumnya, dilepas oleh kerabat, warga, seniman, budayawan, dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Indramayu. Topeng Klana warna merah yang biasa dipakai Rasinah manggung serta potretnya sedang menari disandingkan di nisannya.

Aris Tarmidi, perwakilan keluarga Rasinah, mengatakan, keluarga akan meneruskan pesan almarhumah untuk menghidupkan sanggar dan tari topeng Indramayu.

Aerli yang selalu tampil mendampingi sang nenek di panggung juga telah bangkit dari kesedihannya. Setelah upacara pemakaman neneknya, ia dan rombongan penari serta nayaga berangkat ke Cirebon untuk tampil dalam Festival Topeng Nusantara 2010 di halaman Gedung Ciayumajakuning, Cirebon.

”Tadi malam saya bermimpi ketemu Mimi lagi, yang meminta saya untuk terus menari tanpanya,” kata Aerli.

Aerli sempat ragu untuk tampil di Cirebon karena ketiadaan Rasinah. Tarian Panji Rogoh Sukma memang harus melibatkan tiga generasi penari, yakni Rasinah, Aerli, dan anak-anak sanggar yang diasuhnya. Akhirnya, meski tanpa Rasinah, tari itu tetap dibawakan oleh Aerli.

Keluarga juga akan menjalankan amanat Rasinah untuk meluaskan sangar tari. ”Itu pesan Mimi, pasir dan batu sudah kami kumpulkan sedikit-sedikit,” ujar Edi Suryadi, kakak Aerli.

Harta karun

Budayawan Indramayu, Supali Kasim, menyebut Rasinah adalah harta karun yang lama terpendam di bawah samudra. Setelah generasi tari topeng Cirebon, dari Ibu Suji, Ibu Dewi, hingga Ibu Sawitri, kemunculan Rasinah adalah fenomena tersendiri.

Berbagai penghargaan diterimanya di tingkat kabupaten hingga internasional. Harta karun itu tidak hanya milik Indramayu, tetapi juga dunia internasional.

Untuk mengenang Rasinah, Pemkab Indramayu akan membuat monumen Topeng Rasinah. Menurut Tisna Hendarin, Kepala Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Indramayu, maestro tari itu pantas mendapatkan penghargaan karena ia berperan besar mengangkat kesenian tradisional Indramayu ke seluruh dunia. (NIT/DMU)***

Source : Kompas, Senin, 9 Agustus 2010 | 04:02 WIB

Supali Kasim : "In Memoriam" Mimi Rasinah

FORUM

"In Memoriam" Mimi Rasinah

Oleh SUPALI KASIM

Foto pada halaman utama Kompas, Kamis (5/8), berjudul "Semangat Mimi Rasinah" berbunyi "Meski stroke dan harus terduduk, maestro tari topeng Indramayu, Mimi Rasinah (80), tetap penuh semangat menari bersama cucu dan penerusnya, Aerli Rasinah (26), di Bentara Budaya Jakarta pada Pentas Seni dan Pameran 'Indramayu dari Dekat', Rabu (4/8) malam. Mimi Rasinah, yang kini hanya mampu menggerakkan tubuh bagian kanannya, adalah satu-satunya empu tari topeng Indramayu yang masih hidup."

Dua hari kemudian, Sabtu pukul 16.28, Mimi Rasinah meninggal dunia di RSUD Indramayu. Pada Minggu pukul 09.30 jasadnya dikubur di pemakaman Desa Pekandangan, 3 km dari Kota Indramayu. Foto karya fotografer Kompas, Lasti Kurnia, tersebut adalah foto terakhir. Tari kreasi Rogo Sukma bersama cucunya tersebut adalah tarian terakhir. Akan tetapi, pentas tersebut bukanlah pentas terakhir. Ia seakan-akan telah me-rogo-kan (mengambil) sukma tarinya untuk diberikan kepada cucu dan penerusnya. Sukma Rasinah pun tidak akan mati karena tari topeng gaya Dermayonan akan diteruskan puluhan anak didiknya.

Rasinah memang seorang mimi (ibu) bagi kehidupan tari topeng. Pahit-getir kehidupan topeng telah puluhan tahun dilakoni. Riuh gemerlap dan kosong sepinya pentas ia nikmati. Perjuangan melawan kepapaan telah ia jalani. Namun, ia juga dengan sabar dan ikhlas melahirkan, mendidik, membimbing, dan menuntun anak-anak generasi penerusnya. Mama Amat

Secara biologis, darah seniman Rasinah tidak terlalu kental. Namun, sejak usia remaja dan menikah dengan Amat, nayaga tari topeng dari keluarga seniman, Rasinah memang dikader menjadi penari topeng. Berbagai teknik tari dan menabuh gamelan harus dikuasai. Secara ideologis, apresiasi dilakukan lewat pengembaraan sukma sekaligus pembentukan raga.

Ia menjalani ritual puasa mutih (berpuasa dengan hanya makan nasi putih atau segelas air), ngetan (berpuasa, saat berbuka hanya makan nasi ketan), ataupun puasa wali (tidak makan dan tidak minum selama tiga hari atau tujuh hari dan seterusnya). Selama puluhan tahun kelompok tari topengnya berpentas dari kampung ke kampung dan dari desa ke desa untuk menghibur penonton dalam hajatan ataupun ritual desa.

Kekayaan filsafat dan cermin karakter manusia pada tari topeng agaknya tidak selalu beriringan dengan kesukaan masyarakat yang cenderung memilih jenis kesenian yang bersifat lebih menghibur, lebih wah, nge-tren, dan nge-pop. Sejak dasawarsa 1980-an tari topeng mulai jarang ditanggap. Keterpurukan itu makin menjadi ketika Mama (Bapak) Amat meninggal dunia. Rasinah seperti "di-PHK". Belasan tahun kemudian tari topeng tidak disentuhnya lagi.

Sobra, badong, dodot, kedok, dan busana kebesaran lainnya ia tanggalkan meski dengan dada sesak. Apalagi, para nayaga lainnya satu per satu meninggal dunia, sudah renta, atau mencari penghidupan lain. "Tari topeng hanyalah masa lalu. Sekarang, orang tak butuh tari topeng, tak ada yang nanggap," ujar Mimi Ras atau juga biasa dipanggil Mak Inah itu.

Endo dan Toto

Siapa sangka ketika sudah 15 tahun meninggalkan dunia tari, ia "dipaksa" menari lagi. Endo Suanda, Toto Amsar Suanda, dan pengajar STSI Bandung lain saat itu berkeras merayunya. Pertemuan yang tidak diduga, atas petunjuk Mama Taham, seniman tradisional pemimpin Sanggar Mulya Bhakti, Tambi, Sliyeg, Indramayu, yang juga memiliki kelompok nayaga tari topeng, menunjuk Rasinah sebagai salah satu penari yang masih tersisa di Indramayu.

Rasinah menolak. Ia merasa sudah tua, sudah belasan tahun tidak menari, sudah lupa dunia tari. Bahkan, dunia tari mengantarkannya kepada kepapaan materi. Pendapatan tidak menentu. Rumahnya pun hampir roboh. Akan tetapi, ketika gamelan topeng berkumandang yang ditabuh para nayaga Mama Taham, ia seakan-akan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sebuah dunia tempatnya mengekspresikan karakter manusia lewat tari Panji, Pamindo, Tumenggung, ataupun Klana.

Ketika menari Klana, kerentaan usia 65 tahun tidak ada. Kakinya lincah mengentak-entak, berderap, menyepak-nyepak, ataupun berjalan dengan pongahnya. Nuansa kemarahan menyebar di sekelilingnya, tinggi hati, berkuasa, dan egois dengan kegarangan kumis hitam tebal, mata melotot, dan wajah merah. Ekspresi tubuh, tangan, kaki, kepala, hati, dan jiwa menyatu dalam karakteristik angkara murka.

Namun, adegan yang penuh ruh dan energi itu justru menjadi kontras saat tarian usai dan kedok penari dibuka. Wajah yang tersembul adalah perempuan renta, ringkih, keriput, bahkan (maaf) mata kirinya pun sudah cacat.

Harta karun

Endo, Toto, dan Mama Taham berhasil membawanya kembali ke dunia tari. Mereka membawanya kembali berpentas sampai ke Bandung, Jakarta, Solo, Bali, bahkan beberapa kota di Jepang. Undangan pentas seperti mengalir dari berbagai tempat, kota, dan negara. Kekayaan karakteristik topeng ia suguhkan dan banyak diapresiasi. Rasinah adalah harta karun yang lama terpendam di bawah samudra dunia.

Setelah generasi tari topeng Cirebon, dari Ibu Suji, Ibu Dewi, hingga Ibu Sawitri, kemunculan Rasinah adalah fenomena tersendiri. Berbagai penghargaan diterimanya, dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional. Harta karun itu bukan hanya milik Indramayu, Jawa Barat, dan Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Dalam kerentaan menuju usia 80 tahun, stroke menyerangnya sekitar dua tahun lalu. Nama besarnya seakan-akan magnet bagi khalayak, terutama yang merasa ikut-ikutan membesarkannya. Menjelang momen pilkada Jabar 2008, berbagai tokoh politik, calon gubernur, dan wakil gubernur menjenguknya.

Kini menjelang pilkada Indramayu, 18 Agustus, saat ia meninggalkan pentas dunia, kerabat, keluarga, warga desa, wartawan, seniman, dan budayawan menjenguknya. Calon bupati dan beberapa pejabat ikut pula mendoakannya. Pemerintah Kabupaten Indramayu berencana membuat monumen dirinya.

Rasinah tentu tidak mungkin lagi menari Klana yang beraroma kesombongan dunia, keangkuhan penguasa, dan kepongahan sang angkara murka. Di pekuburan tepi pematang sawah itu mungkin terlintas ada tarian Panji yang halus dan lembut sebagai pengembaraan sukma yang impresif dan utuh, seperti bayi baru lahir dalam gambaran kedok putih-bersih. Selamat jalan, sang maestro.*** Foto-foto : dari berbagai sumber.

Source : Kompas, Senin, 9 Agustus 2010 | 15:30 WIB

Minggu, 08 Agustus 2010

Story : Petitih Hidup Keluarga Lengger

Story : Petitih Hidup Keluarga Lengger

Petitih Hidup Keluarga Lengger

Foto dan naskah: Dhoni Setiawan

Bedak seharga lima ribuan
menghiasi dua penari beda generasi. Dengan bantuan cermin kecil, ibu dan anak saling memalit celak serta lipstik ke beberapa bagian wajah yang sebelumnya telah dioleskan bedak putih kecoklatan. Tidak tanggung-tanggung, pewangi untuk laki-laki juga mereka semprotkan ke wajah. "Biar wangi bang," kata Nur, 18 tahun.
Kartim, 43 tahun, suami dan
bapak dari kedua penari asal Cilacap tersebut tidak kalah sibuknya. Dengan berhati-hati ia mulai mencabuti kabel aki motor yang ia setrum ke aliran listrik rumah sejak semalam. Aki yang tenaganya telah penuh ia pasangkan kembali pada kotak musik. Jari-jarinya menari pada tombol-tombol volume, mengatur irama, sesekali kupingnya mencoba merekam suara dan menyelaraskan berbagai lagu campur sari. Tak butuh lama menjajal, ia sudah mendapatkan komposisi yang pas.
Tiga puluh lima menit berbenah. Dari ruang 3x4 meter yang mereka kontrak seharga Rp 5.000 per hari itu mereka telah menentukan tujuan. Kawasan Thamrin dan Tanah Abang jadi lahan penghidupannya.
Sampai di pusat perbelanjaan kawasan Tosari, kotak musik yang dibawa Kartim langsung ingar-bingar di tengah para pekerja mal yang beristirahat di warung makan tenda. Tanpa canggung apalagi malu, ibu dan anak itu langsung melibaskan selendang. Tanpa aba-aba mereka saling berpencar mencari kawanan manusia yang sudi memberi receh.
Nur Rahma dengan tubuh mudanya terlihat mendapatkan perhatian di tengah manusia pekerja mal. Dengan sedikit menggoda ia memanfaatkan kesempatan tersebut. "Sawer ra mas, sawer to bang," katanya dengan manja. Sedangkan sang ibu hanya memandang dingin
tanpa ekspresi. Baginya ini adalah resiko kerja.
Samiyem, 37 tahun, menceritakan dulu pernah ada orang yang memberikan uang dengan menyelipkan langsung di antara buah dada anaknya, bahkan ada yang langsung menawarnya. Seketika ia langsung marah dan harus menahan kemirisan hati. Namun sang anak ternyata lebih gesit. Nur langsung melayangkan tamparan ke pipi orang tersebut.
"Emang dia cewek apaan, semua ada resikonya mas, kalau mereka sopan kita juga sopan, bagi kita tidak masalah kalau mereka tidak mau memberi," kenang Samiyem yang mengaku telah lima tahun menjalani profesi menari di jalanan atau lengger karena desakan ekonomi.
Perjalanan kemudian berlanjut ke kawasan permukiman penduduk yang dikelilingi gedung pencakar. Keringat mulai menetes, memudarkan riasan saat mereka mulai menyambangi pangkalan ojek. Sepeser demi sepeser mereka masukkan dalam tas pinggang hitam.
Waktu menunjuk pukul 17.30 dan mereka pun beristirahat. Saatnya makan ala kadarnya di salah satu warteg sembari merias kembali paras yang pudar karena keringat. Usai azan magrib, mereka menghitung uang hasil lengger. Kartim yang bertugas layaknya manajer sekaligus kepala keluarga berucap syukur atas hasil hari itu.
Menurut Samiyem, pendapatan kali itu Rp 142.700 lebih dari cukup. "Biasanya kita cuman dapat sekitar 100 ribuan serhari, lumayan buat si Rohim anak saya yang baru mau masuk SD di kampung," terangnya.
Setelah dirasa cukup beristirahat, mereka berniat pulang ke kontrakan. Sembari berjalan menuju ke arah jalur metromini, tidak ada salahnya bagi mereka untuk menari sekali lagi, melengger kehidupan demi menyambung...

Source : Kompas, Sabtu, 07 June 2010 | 15:50

Comment :

bandie joe @ 22 July 2010 | 13:34

sabar ya... suatu saat Insya Allah, Tuhan pasti memberikan kebahagiaan yang lebih dari yang kalian harapkan.. AMIEN...

lara @ 22 July 2010 | 08:02

sedih liat photo2 itu, alhamdulillah saya msh di beri kerja yg sgt layak dari mrk. gak perlu panas2 di jalanan. Tapi kadang msh suka mengeluh... Ya ALLAH, kuasa sungguh nyata. semoga selalu di beri kemudahan rejeki buat seluruh umat MU. AMIN99x

zudine al mazduqi @ 17 July 2010 | 22:23

waduh jadi malu saya....ama street figter macam mereka...

ijop @ 14 July 2010 | 23:01

Semoga Allah memberkati anda sekeluarga... juga potographer nya...

sabar @ 08 July 2010 | 10:48

bersabarlah.....kalau disykuri bawa berkah dari pada makan duit rakyat n negara

TOPENG INDRAMAYU : Tarian Terakhir Mimi Rasinah

TOPENG INDRAMAYU

Tarian Terakhir Mimi Rasinah

Maestro tari topeng Indramayu Mimi Rasinah (80) digendong menuju pentas, siap tampil dalam pentas tari topeng oleh Mimi Rasinah dan keluarga sekaligus membuka pameran seni Indramayu dari Dekat di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (4/8). (KOMPAS/LASTI KURNIA)***

Oleh Putu Fajar Arcana

Orang tua yang agung! Mungkin ungkapan ini yang paling pas untuk melukiskan totalitas yang ditunjukkan Mimi Rasinah (80). Tetapi, kabar memilukan menyambar, Sabtu (7/8) siang. Maestro tari topeng Indramayu itu pergi untuk selamanya....

Mimi Rasinah diberitakan tutup usia di RSUD Indramayu sekitar pukul 14.00. Saat dibawa ke rumah sakit terdeteksi tekanan darahnya antara 145/65. Aerli (24), salah seorang cucunya, menuturkan, sebelum dilarikan ke rumah sakit, Rasinah tampak lemas, tetapi ia tidak mengeluh. ”Beliau hanya lima menit dirawat sebelum akhirnya pergi...” tutur Aerli dengan mata berkaca-kaca. Rasinah diduga meninggal akibat komplikasi penyakit stroke, darah rendah, kelelahan, dan usia lanjut.

Orang besar memang terkadang pergi dengan penuh isyarat. Rabu (4/8) malam, bersama rombongan Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah, ia menari di Bentara Budaya Jakarta dalam acara pentas seni dan pameran ”Indramayu dari Dekat”. Acara yang dibuka oleh penyanyi dangdut asal Indramayu, Iis Dahlia, ini berlangsung 4-8 Agustus 2010. Tak seorang pun menduga, itulah tarian terakhir Rasinah.

Dalam kondisi separuh badan mati akibat terjangan stroke, Rasinah tetap mengalirkan aura magis ketika membawakan tari Panji Rogoh Sukma. Tangan kanannya yang lembut seolah tongkat ajaib yang menyihir ratusan penonton. Semua orang tiba-tiba saling berlomba untuk sekadar melihatnya dari dekat.

Ketika Rasinah dibopong ke atas panggung, mendadak suasana haru menebar. Napas semua orang seperti tertahan sampai benar-benar pewaris tari topeng bergaya Indramayu itu duduk dengan nyaman. Sementara Aerli Rasinah, sang cucu, berdiri kokoh di atasnya. Sebelum menari keduanya ditutupi 12 penari remaja, murid didikan Mimi Rasinah.

Panji Rogoh Sukma tak lain adalah puncak dari segala tarian topeng Indramayu. Seorang penari dituntut untuk mengolah jiwanya dengan menahan segala gerak tubuh. Gerak-gerak yang muncul adalah dorongan yang benar-benar meluncur dari kedalaman jiwa, bukan karena sesuatu yang dipikirkan secara teknis. Oleh karena itu, tarian ini lebih tampak seperti ”diam”, tubuh terpancang tegak lurus dengan langit (meminjam istilah sastrawan Iwan Simatupang).

Mimi Rasinah bukan tipe perempuan yang mudah menyerah. Sakit boleh menggerogoti raganya, tetapi gelegak jiwanya untuk terus menari tak tertahankan. Maka ia membentuk komposisi yang unik bersama Aerli. Karena lumpuh, Rasinah menari dengan duduk, sementara Aerli, pewaris langsung ilmu topeng Indramayu, berdiri di atasnya. Komposisi ini tidak saja menunjukkan kehebatan Rasinah, tetapi juga bisa diinterpretasi sebagai proses ”penurunan” ilmu topeng dari nenek kepada cucunya. Rasinah menyerahkan topeng, yang telah ia warisi selama 11 generasi, kepada Aerli. Ketika menari Aerli seolah berlaku sebagai penerjemah dari gerakan jiwa yang dialirkan lewat tangan Mimi Rasinah.

Sementara 12 penari remaja lainnya menunjukkan keberhasilan lain Mimi Rasinah di dalam menggelorakan kembali tari topeng Indramayu yang nyaris punah sekitar awal tahun 1990-an. Kendati fisiknya nyaris tak berdaya, tutur Aerli, Rasinah tetap bersikeras untuk mengajar remaja-remaja muridnya dari atas kursi roda. ”Mimi tahu kalau ada salah. Ia akan beri isyarat dengan tangan pada nayaga atau penarinya,” tambah Aerli.

Simbol

Sesungguhnya Mimi Rasinah malam itu tidak hadir sekadar sebagai penari. Ia telah menjelma sebagai simbol dari daya tahan tradisi menghadapi gempuran zaman. Perjalanan Rasinah ”mengemban” tradisi topeng Indramayu yang diwariskan ayahnya, Lastra, penuh dengan kepahitan. Ia tidak saja harus menghadapi kerasnya tempaan seperti berpuasa untuk mengolah batinnya, tetapi menantang gempuran hidup keluarganya yang morat-marit. Dua suami dan dua anaknya meninggal dalam usia muda karena ia harus bebarangan (mengamen) dari desa ke desa selama bertahun-tahun.

Lantaran putus asa, tahun 1979-1999, selama 20 tahun Mimi Rasinah seperti hilang ditelan bumi. Ia memutuskan berhenti dan mencoba menjalani hidup secara ”normal”. Tetapi, ketika peneliti seni Endo Suwanda dan Toto Amsar berkunjung ke rumahnya di Desa Pekandangan, Indramayu, Jawa Barat, tahun 1999, Rasinah seolah bangkit kembali. Ia mulai melanglang dunia untuk menunjukkan betapa tradisi memiliki cara yang lentur untuk terus bertahan di masa kini.

”Saya akan berhenti menari kalau sudah mati,” begitu pernah dikatakan Mimi Rasinah saat dikunjungi di Indramayu. Malam itu ia membuktikan keterbatasan fisik bukan halangan untuk terus menari. Kalau kini fisiknya benar-benar tiada, Rasinah telah mewariskan sebagian besar ilmu menarinya kepada Aerli serta 12 remaja lainnya. Dari Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah di Desa Pekandangan, akan terus terdengar alunan gamelan dan entak kaki untuk melanjutkan kehidupan tradisi yang diwariskan Rasinah. Benar-benar orang tua yang agung....

Dan kita akan menyaksikan seorang besar akan dimakamkan Minggu (8/8) pukul 09.00 di pemakaman Kampung Ciweni, Desa Pekandangan, Indramayu. Sangat pantas mengantarkan doa kepadanya, semoga ia tenang di sisi Tuhan.... Selamat jalan penatah kehidupan....(TNT/NIT)***

Source : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 03:03 WIB

OBITUARI : Penantian Terakhir Mimi Rasinah

OBITUARI

Penantian Terakhir Mimi Rasinah

Tiga jam sebelum pentas untuk terakhir kalinya di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (4/8), tak banyak keluhan yang disampaikan Mimi Rasinah (80). Dia hanya berujar perutnya sedikit mulas. Selebihnya, rasa lapar dan suhu badan yang hangat tidak digubrisnya. Semua demi dedikasi pada tari topeng Indramayu.

Berkali-kali menantu, cucu, kerabat, dan tamu yang datang menengok, memintanya untuk makan. Namun, semua usulan itu ditolak Rasinah. Alasannya, dia tak bisa makan jika belum selesai menari. ”Nanti saja. Habis nari,” ujar Mimi Rasinah dengan suara yang pelan, sekitar dua jam sebelum pentas.

Menurut Rani, istri salah satu cucunya, Mimi Rasinah selalu menolak jika diminta makan dulu sebelum tampil. Padahal, dia terakhir makan pukul 14.00 dan pentasnya baru dimulai pukul 21.00. Rani mengaku khawatir, tetapi neneknya tetap menolak dan hanya mau minum air putih.

Menahan rasa lapar bukan hal baru bagi Rasinah karena dia sudah terbiasa melakukannya sejak muda. Dia pernah bercerita, untuk menari topeng pada saat hajatan, durasinya bisa mencapai enam sampai delapan jam. Selama itu pula penari tidak boleh berhenti atau istirahat makan.

Rasa lapar dan lelah, kata Rani, sepertinya terhapus karena kali ini Mimi Rasinah bisa pergi bersama keluarga untuk pentas di luar kota. ”Selama di mobil Mimi tidak kelihatan capek. Dia malah terlihat senang dan bercanda terus dengan kami. Soalnya, kami perginya ramai-ramai,” tambah Rani.

Perjalanan panjang

Rasinah bersama rombongannya menempuh perjalanan selama 9 jam dari Desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, dan tiba di BBJ pukul 17.00. Biasanya, perjalanan Indramayu-Jakarta hanya butuh empat jam, tetapi kali ini dua kali lipat karena ada kemacetan di Indramayu, Subang, dan Jakarta.

Seperti itulah Mimi Rasinah, ujar Wangi Indriya, penari topeng Indramayu dari Sanggar Mulya Bakti. Rasinah punya dedikasi dan tanggung jawab tinggi pada profesinya. Selain sosoknya sederhana, maestro tari itu dikenal gigih, berpendirian, dan tak pernah mengeluh.

Hal itu diperlihatkan Rasinah sebelum pentas terakhirnya. Meski harus menunggu lama, dia tetap menanti kehadiran salah seorang cucunya yang akan menggendong dan mengantarnya ke toilet. Dia tak memaksa orang lain untuk melakukan tugas itu. Maklum, karena penyakit strokenya, mobilitas Rasinah serba terbatas.

”Yang saya kagumi, dia tidak pernah mengeluh meski sebenarnya dia capek. Biarpun sakit, saat mau pentas, dia tetap akan pentas. Orang lain tidak perlu tahu kalau dia sakit. Dia bukan seniman yang cengeng,” tambah Wangi, yang mengaku terkejut ketika mendengar kabar berpulangnya Rasinah, Sabtu (7/8).

Rasinah juga tidak mengeluh kepada keluarganya. ”Dua hari Mimi di rumah, istirahat, tidak menunjukkan sakit atau mengeluh. Tiba-tiba tadi siang (Sabtu) kondisinya lemah, tak bisa bergerak, hingga akhirnya kami bawa ke rumah sakit,” kata Aerli, cucu Rasinah.

Menurut Aerli, tekanan darah Rasinah turun drastis sehingga mengembuskan napas terakhir di Unit Gawat Darurat RSUD Indramayu.

Kepergian maestro tari topeng ini memang membuat dunia seni berduka. Endo Suanda, seniman tari yang datang melayat, mengakui sangat kehilangan sosok Rasinah. Di matanya, Rasinah adalah salah satu sosok yang menghidupkan dunia tari topeng Indramayu.

Diakui Endo, kelebihan Rasinah sangat langka. Ia tidak menari dengan fisik dan pikiran, tetapi jiwa dan hati. Rasinah adalah nenek yang terlihat lemah dan rapuh, tetapi saat menari ia menjadi sosok penuh karisma, kuat, dan berangasan. ”Ketika Rasinah menari, saya seperti kena setrum,” katanya.

Bergurau

Berbicara dengan Mimi Rasinah harus dengan suara sedikit lebih kencang dan jelas karena pendengarannya sudah tak bagus lagi. Tetapi, hal itu tak membuatnya malas berkomunikasi dengan orang lain. Dia masih tetap senang bergurau, termasuk saat ditanya apa jampi-jampi rahasianya bisa menari dengan apik.

”Mau bayar berapa?” ujar Mimi Rasinah sambil kemudian tertawa nakal.

Di sanggar dan di rumahnya, Rasinah juga sosok nenek yang gemar bergurau. Anak dan cucunya suka sekali menggodanya. Siapa saja yang mengobrol dengan Rasinah pasti merasa senang karena senyum ramahnya selalu menghiasi bibirnya yang sudah kusut oleh umur. Tak banyak yang tahu bahwa di balik senyumnya, dia menyimpan rasa sakit yang mendalam karena stroke yang menyerangnya lima tahun lalu.

Sebelum manggung di BBJ, Rasinah sempat berujar senang diberikan kesempatan pentas lagi. Dia bermimpi, tari topeng Indramayu tetap memikat penonton dan tak pernah lekang oleh waktu. Itulah impian Mimi Rasinah pada menit-menit penantian terakhirnya di belakang panggung…. (THT/NIT)***

Source : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 03:10 WIB

TOTALITAS RASINAH Maestro Tari Topeng dari Indramayu

TOTALITAS RASINAH

Mimi Rasinah Menari bersama cucu dan penerusnya, Aerli Rasinah. (KOMPAS/LASTI KURNIA)***

Riasan tipis sudah menempel di wajah Mimi Rasinah (80), maestro tari topeng dari Indramayu, Jawa Barat. Rambut yang memutih pun telah tersisir rapi dan digelung sederhana. Tak lama, sebuah sobra (penutup kepala) dengan hiasan meriah dipasangkan oleh salah satu cucunya di atas kepalanya.

Mimi Rasinah pun siap menari di atas panggung Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dalam acara ”Indramayu dari Dekat”, Rabu (4/8).

Sembari menunggu waktunya manggung, Rasinah dengan telaten menerima semua tamu yang datang menjenguknya. Ada yang ingin bertanya tentang perjalanan hidupnya, ada yang ingin melepas rindu, dan tak sedikit yang berebut berfoto dengan sang maestro. Tak ayal, ruangan sederhana di sisi barat BBJ, yang khusus disiapkan untuk tempat istirahat Rasinah, malah ramai dengan tamu yang mampir.

Melihat banyaknya penggemar Rasinah yang datang, Warsi, anak Mimi Rasinah, pun menggodanya. ”Mimi seperti artis. Banyak yang mau foto sama Mimi.” Rasinah hanya tersenyum-senyum menanggapinya.

Bunyi gong terakhir tarian topeng tumenggung yang dibawakan salah satu murid Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah menandakan waktu manggung Rasinah telah tiba. Dengan dibopong dan dinaikkan ke kursi roda, Rasinah menuju panggung untuk menarikan tari topeng Panji Rogoh Sukma bersama Aerli Rasinah (24), cucunya, dan 12 anak didiknya di sanggar.

Meski duduk, dan hanya menari dengan separuh tubuhnya, Rasinah mampu menyihir penonton. Begitulah Rasinah dengan kesederhanaan dan totalitasnya, dia rela menyerahkan seluruh hidupnya pada panggung dan tari topeng Indramayu. (Timbuktu Harthana)***

Source : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 03:30 WIB

OBITUARI : Ni Ketut Cenik, Menari Sepanjang Hayat

OBITUARI

Ni Ketut Cenik, Menari Sepanjang Hayat

Oleh Gde Aryantha Soethama

Betapa seorang penari tidak mesti gemulai, semampai, dan cantik, dibuktikan oleh Ni Ketut Cenik, legenda seni pertunjukan Bali yang meninggal dalam usia 88 tahun, Sabtu (24/7). Jasadnya dikubur di setra Alas Arum, satu kilometer selatan tanah kelahiran dan tempatnya menghabiskan seluruh usia, Desa Batuan, Gianyar, Bali. Berita kepulangannya ke tanah asal luput dari perhatian. Berbeda ketika ia tampil penuh daya vitalitas di berbagai panggung dan pentas di seantero dunia yang selalu dielu-elukan.

Sejak bocah, Cenik senang menari, di mana pun ia punya kesempatan menari. Di pojok bale banjar atau halaman depan pura, tiba-tiba ia berdiri dan mengembangkan tangannya. Mulutnya mengumandangkan tiruan bunyi gamelan. Orang-orang sekeliling yang menonton terkagum-kagum. ”Beh, anak ini punya bakat hebat,” ujar mereka memuji.

Ketika remaja, hasratnya jadi penari kian menggebu, tetapi berkali-kali tak kesampaian karena ia memang tidak cukup semampai dan gemulai. Tak satu pun sekaa (kelompok) dan guru tari yang sudi mengajarnya. Teman-teman sebayanya sudah sibuk tampil ketika piodalan (upacara) di pura, Cenik tetap terasing, tak diajak serta. ”Jika terkenang saat itu, saya kadang menangis,” ujarnya. Namun, akhirnya ia menyebut juga dua nama yang menjadi gurunya, Wayan Kurir, yang mengajarinya tari joged pingitan, dan Anak Agung Mandra Ukiran, yang mengarahkannya menjadi penari arja (drama tari Bali). Ia mengaku belajar menari dari menonton, yang terus dilakoninya sampai usia tua. Jika ada pertunjukan di desanya, ia akan duduk bersama penonton lain, berdesak-desak, dengan mulut menyusur tembakau, tak peduli kalau ia sudah disebut sebagai seorang maestro tari Bali. Menontonlah justru gurunya yang terpenting.

Joged pingitan

Cenik baru berusia sembilan tahun ketika Kurir mendidiknya jadi joged pingitan. Ketika ia sedang menggembalakan sapi di tegalan, sambil menembang mengusir sepi, ketua sekaa joged pingitan mendatanginya dan mengajaknya bergabung. ”Tapi, saya harus diuji berkali-kali, disuruh menari, dan menyebut nama tarian yang saya peragakan. Semua anggota sekaa heran karena saya menjawab dan menarikannya dengan benar,” kenang Cenik semasa hidupnya.

Menjadi penari dan terikat dalam kelompok sangat membantu ekonomi keluarganya. ”Setiap hari, kalau latihan, saya mendapat jatah satu kobokan beras dan daging,” ujar Cenik. Satu kobokan setara dengan hampir seperempat kilogram. Dari kebersamaannya dalam sekaa inilah Cenik kemudian dikenal sebagai penari joged pingitan terbaik dan mataksu (berwibawa) sepanjang hayatnya.

Ketika tari joged pingitan dan arja dikuasai, ia menurunkan ilmu kepada sebanyak mungkin murid, dengan mulai mengajar anak-anak di desanya, sebelum orang-orang dari seluruh Bali memintanya menjadi guru tari di desa-desa mereka. Ia sudah mengajar ribuan orang. ”Banyak yang tidak saya ingat nama dan rupa mereka,” ujar Cenik, yang muridnya datang dari Italia, Perancis, Amerika, Australia, dan Jepang. Jika ditanya bagaimana mereka sampai mengenal Cenik dan belajar di rumahnya di Batuan, ia menjawab enteng, ”Mereka tahu saya dari majalah.” Media membuat ia populer sehingga orang-orang dari seluruh dunia mengundangnya untuk menari. ”Mereka tak bosan-bosan menonton saya menari,” ujarnya terkekeh. Tahun 2008, selama sebulan ia menari berkeliling Jepang.

Cenik tidak semata mendalami tari joged pingitan. Ia menguasai hampir semua jenis tari. Dalam drama tari Calonarang yang sangat digemarinya, ia tampil sebagai penari tunggal memerankan bermacam tokoh, menarikan legong, jauk, baris, tari barong, pandung, topeng, di satu pentas, dalam satu kali penampilan, tanpa jeda. Energinya luar biasa, vitalitasnya tak terbendung, dengan gerakan jauh dari kesan gemulai. Ia tak pernah menari dalam gaya slow motion. Dia bergerak terus, kadang dengan gerakan tubuh naik turun seperti orang sedang kegirangan dan hendak bersorak. Tubuh dalam posisi miring dengan kaki menjinjit diseretnya ke tepi panggung. Tiba-tiba wajah galak mendongak ke depan, mata mendelik. Cenik sangat kaya gerakan tiba-tiba, pintar menyuguhkan gerak-gerak kejutan, dengan kerling mata (seledet) sangat tajam dan berpendar. Penonton di Bali menyebutnya sebagai seledet tatit (lirikan petir).

Berkali-kali ia mengeluhkan panggung masa kini yang luas, yang membuatnya sangat berjarak dengan penonton. Namun, ia piawai mengatur bidang, yang ia bagi sesuai dengan kekuatan dan kebutuhan. Kepada murid-muridnya ia menasihatkan, ”Gunakan bidang sebatas kemampuanmu. Jika penonton bosan, perpendek tarianmu.” Karena itulah, Cenik dikenal sebagai penari yang sangat bebas, tidak terlalu direcoki bidang dan waktu. Ia punya koreografi sendiri, karyanya sendiri, dan hanya mungkin ditarikan oleh dirinya sendiri pula.

Sebagai penari joged, ia selalu menari berteman kipas. Jika penari lain memainkan kipas dengan halus, Cenik memainkannya dengan sentakan-sentakan kuat. Tarian Cenik adalah gerakan yang sangat energik, ekspresif, mengesankan tarian yang kasar, diletupkan sepenuh tenaga sepanjang pertunjukan. Gaya dan gerakannya di pentas hanya menjadi miliknya. Tak seorang pun sanggup meniru, apalagi menyamai, gerakan itu. Jika ada yang berkomentar bahwa Cenik adalah maestro tari Bali klasik, itu tidak sepenuhnya benar. Siapa pun yang sempat menonton langsung ia menari, memerhatikan mimiknya, akan punya kesan bahwa gerakan Cenik jauh lebih tua dari tari klasik. Ia menari seperti menyongsong gerakan tarian purba. Orang-orang dari desa tetangganya yang menonton kadang berucap, ”Dadong (nenek) ini menari sesuka hati, tidak ikut agem dan alur tari.” Tapi, yang ngomong seperti itu justru selalu rindu menonton Dadong menari. Mereka ingin menonton gerak tari yang seperti tidak punya struktur, tetapi sangat memikat karena penuh kejutan, energik, dan sangat kaya improvisasi.

Tak ada penari sanggup meniru gaya itu. ”Murid-murid saya, anak dan cucu, tak seorang pun bisa meniru gaya saya menari,” kata Cenik. Made Jimat, anaknya, penari kawakan, juga tak kuasa. Mungkin karena Cenik menganggap diri tak pernah berguru sehingga ia tampil menjadi penari dengan gerakan unik dan susah dijelaskan. Yang jelas, ia menari sepanjang hayat, sesuatu yang dilakoni pregina (penari) Bali masa lalu, yang kini kian susut jumlahnya.

Selamat jalan, Dadong. Tetaplah menari di sana. Biarlah di sini kami merindukanmu dengan menonton tarianmu di video, Facebook atau YouTube.

Gde Aryantha Soethama,

Cerpenis dan Novelis Tinggal di Bali.

Source : Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010 | 04:23 WIB