Warisan Kemandirian Pantai Utara Jabar
Pengunjung mengamati Candi Jiwa di Kompleks Percandian Batujaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (27/10). Candi Batujaya merupakan salah satu artefak sejarah yang meninggalkan banyak jejak pemanfaatan teknologi yang beberapa di antaranya masih bertahan hingga saat ini. (KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN)***
Oleh Cornelius Helmy
Eksplorasi penemuan Candi Batujaya di antara Desa Segaran dan Telagajaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, membuka fakta menarik. Candi dari era Kerajaan Tarumanegara ini menyingkap bukti bahwa kemandirian dengan balutan teknologi maju ketika itu sudah hadir.
Candi Batujaya dibangun antara abad ke-6 dan ke-10. ”Meski dipengaruhi tradisi dari Nalanda di India Utara yang masuk di era Kerajaan Hindu Tarumanegara, tidak dapat dimungkiri pernah ada penerapan teknologi mandiri dan kreatif yang kemudian tidak terwariskan terus-menerus. Kebudayaan India itu datang seiring banyaknya pendatang dari berbagai negara di pantai utara Jawa Barat, baik itu berdagang atau menyebarkan agama,” papar arkeolog peneliti Candi Batujaya, Hasan Djafar, di sela-sela seminar Percandian Batujaya di Universitas Pasundan, Bandung, Kamis (11/11).
Melalui metode penanggalan absolut C14 (radio carbon dating), candi ini diyakini dibuat dalam dua fase. Fase pertama 680-750 Masehi, fase kedua tahun 760-900 Masehi saat Tarumanegara dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Faktor Sriwijaya menjadi salah satu penyebab kuatnya pengaruh agama Buddha Mahayana di candi ini. Batujaya adalah candi Buddha Mahayana tertua di Jawa.
Bata sekam padi
Menurut Hasan, kemandirian terlihat dari batu bata yang digunakan untuk membangun candi yang pertama kali diteliti tahun 1984 oleh tim arkeologi Universitas Indonesia. Sebagai dataran rendah dengan dominasi tanah aluvial, bahan baku tanah liat melimpah di daerah ini. Umumnya, batu bata itu berbentuk balok, 40 x 20 x 7 sentimeter.
Pembuatan batu bata terbilang maju, dengan campuran sekam atau kulit padi. Campuran itu diyakini mematangkan bagian dalam batu bata saat dipanaskan hingga suhu 700 derajat celsius. Hasilnya, batu bata menjadi keras baik lapisan luar maupun dalam sehingga daya serap airnya rendah. Tidak heran bila batu bata di Candi Batujaya tetap bertahan hingga kini.
Beton stuko
Kemandirian lain terlihat dari penggunaan stuko (plester berwarna putih), pelapis tembok candi agar lebih kuat. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Bahan baku stuko diperoleh dari pembakaran batu kapur pada suhu 900-1.000 derajat celsius. Kapur diambil dari pegunungan kapur di Karawang Selatan, membentang arah barat-timur sepanjang 20 kilometer.
Para arsitek dan pekerjanya juga berinisiatif menggabungkan stuko dengan pasir dan kerikil. Hasilnya, suatu bahan bangunan yang amat kuat—biasa disebut beton stuko—untuk pengerasan lantai dan halaman candi, membangun kubah stupa, memperkuat konstruksi urukan tanah di sekeliling candi guna menghindari banjir. Inovasi lain adalah pembuatan genteng hingga penggunaan kayu untuk bingkai pintu atau tiang cungkup candi. Bekas fondasi tiang kayu ini mirip bangunan stupa di Sanchi, India Tengah, pada tahun sama.
Transportasi sungai
Kemandirian berbalut teknologi ini juga diperkuat hasil penelitian T Bachtiar dari Masyarakat Geografi Indonesia. Bachtiar mengatakan, beton stuko sangat mirip dengan bangunan beton pertama di Jabar—benteng dari zaman kolonial di Gunung Putri, Lembang, Bandung Barat, dibangun pada abad ke-19.
Bachtiar menambahkan, kemandirian dan kreativitas itu diperkuat dengan salah satu moda transportasi di era pembuatan Batujaya. Besar kemungkinan penggunaan perahu sudah lazim untuk melintasi Sungai Citarum. Ini ditandai dengan temuan dayung di sekitar situs. ”Besar kemungkinan kebiasaan membuat perahu di Batujaya dipengaruhi warisan kebudayaan ribuan tahun lalu,” katanya.
Butuh perlindungan
Lalu, mengapa teknologi itu tidak terwariskan secara turun-temurun? Bachtiar berpendapat, zaman dulu pengetahuan seperti ini kerap kali dimitoskan dan dianggap tabu dibicarakan. Pengetahuan ini hanya boleh dimiliki sekelompok atau orang tertentu. Akibatnya, saat orang atau kelompok pemilik pengetahuan ini meninggal dunia, pengetahuan itu ikut terkubur.
Dari temuan-temuan itu, Hasan meminta semua pihak menjadikan kompleks Candi Batujaya sebagai pendorong semangat untuk terus mengembangkan kemampuan secara mandiri. Dari Batujaya, masyarakat Indonesia ditantang kreatif memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya menjadi lebih bermakna.
Bachtiar meminta pemerintah daerah memerhatikan keberadaan Candi Batujaya sebagai penambah semangat masyarakat. Terutama adalah perlindungan dan pemugaran terhadap 30 situs candi yang telah dieksplorasi.
”Saat ini pemugaran di kompleks Candi Batujaya belum dilakukan dengan unsur kesejarahan yang tepat. Contohnya di lantai Candi Segaran V atau Candi Blandongan. Tangganya dibangun ulang dengan batu keras—bukan batu bata—yang digergaji hingga licin dan dengan ukuran lebih kecil,” ujarnya.
Untuk jangka panjang, pemerintah daerah juga harus berani menetapkan perlindungan terhadap situs utama atau situs pendukung, seperti Karst Pangkalan.
Saat ini, Karst Pangkalan nasibnya berada di ujung tanduk akibat eksploitasi penambangan dan pembuatan kapur bakar.
”Penataan wilayah untuk penelitian dan sumber referensi juga harus terus ditingkatkan. Saat ini akses di sekitar lokasi situs belum banyak membantu proses eksplorasi dan promosi,” kata Bachtiar. ***
Source : Kompas, Senin, 22 November 2010 | 03:25 WIB