Kamis, 26 Mei 2011

TOKOH PERGERAKAN : IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

Kamis, 26 Mei 2011

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

TOKOH PERGERAKAN

IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

Ignatius Joseph Kasimo saat bertemu Presiden Soekarno. (ARSIP KOMPAS)***

TOKOH PERGERAKAN

IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

Oleh ST SULARTO

NAMA Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) tidak setenar nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, ketika praksis berpolitik belakangan ini cenderung menjadi komoditas dan tempat mencari kedudukan, sosok Kasimo menjadi referensi aktual.

Bersama orang-orang seangkatan, seperti Natsir dan Prawoto, tujuan Kasimo berpolitik itu jernih, untuk rakyat dan bukan untuk dapat banyak honor,” kata sejarawan Anhar Gonggong seputar ketokohan IJ Kasimo dalam sejarah pergerakan kemerdekaan.

Kasimo memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik selalu memakai beginsel atau prinsip yang harus dipegang teguh. Berpolitik menjadi bermartabat.

Moto salus populi suprema lex (kepentingan rakyat hukum tertinggi), kata Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, merupakan cermin etika politik yang nyaris jadi klasik dari tangan Kasimo. Masuk ke gelanggang politik merupakan panggilan hidup, sikap dan perbuatannya jauh dari motivasi memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. Kasimo seorang negarawan sejati.

Menyambung Jakob Oetama, di mata Harry Tjan Silalahi, Kasimo adalah manusia berkarakter. Berkorban tanpa pamrih, hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi kesalehan hidup. Karena itu, Kasimo dianugerahi umur panjang. Meninggal dalam usia 86 tahun, 1 Agustus 1986, tidak pernah korup berkat pendidikan Barat yang membedakan ”milikku” dan ”milik negara”, mine and yours.

Dari Jawa mengindonesia

Kalaupun kemudian Kasimo dikenal sebagai politisi Katolik, kata Jakob Oetama dan Harry Tjan Silalahi, bahkan dikenang sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, iman Katoliknya memberi inspirasi, memperkuat sikap dan pandangan idealisme.

Meskipun selalu berpakaian Jawa lengkap, Kasimo lebur dalam upaya mengajak dan menyadarkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. ”Dari Jawa mengindonesia,” tegas Harry Tjan.

Lahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara dari pasangan Dalikem-Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta, Kasimo tampil memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Ia berjuang lewat Volksraad, lewat partai, tidak dengan menampilkan sikap sektarian, tetapi berdasar platform kebangsaan yang majemuk. Partai Katolik bukanlah partai konvensional, melainkan partai yang mendasarkan diri pada ajaran dan moralitas Katolik.

Mengenai posisi golongan Katolik, kata Daniel Dhakidae—Pemimpin Redaksi Majalah Prisma—di Hindia Belanda tahun 1930-an golongan Katolik dianggap seperti golongan ”paria” di India. Karena itu, kehadirannya tidak diperhitungkan.

Dalam kondisi demikian, peran pastor-pastor Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi serba salah. Pastor Frans van Lith SJ merupakan satu dari antara mereka yang bersimpati dan kemudian memihak orang bumiputra.

Menurut JB Sudarmanto yang melakukan penelitian tentang Kasimo, setahun setelah diangkat sebagai anggota Volksraad tanggal 19 Juli 1932, Kasimo melontarkan pernyataan, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku bangsa-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”

Kasimo juga ikut serta dalam Petisi Soetardjo yang diajukan pada 15 Juli 1936. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, berkat diangkatnya Kasimo menjadi anggota penuh delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda dari Partai Katolik, dan Supeno dari Partai Sosialis, Belanda bersedia bertemu Indonesia di meja perundingan.

Bersama Kolonel AH Nasution, Kasimo—Ketua Partai Katolik (1924-1960)—menjalankan fungsi pemerintahan negara dengan membentuk Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). Kerja sama erat dalam kedudukannya sebagai pejabat KPPD di Jawa dengan Markas Komando di Jawa lewat penandatanganan bersama menghasilkan banyak keputusan sebagai legalitas formal Pemerintah Pusat RI di Jawa ketika bergerilya semasa Clash II.

Partai politik, bagi Kasimo, merupakan sarana dan bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai Katolik RI yang dia dirikan berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia tahun 1972.

Dosen Sejarah Gereja, RL Hasto Rosariyanto SJ, menggarisbawahi pendapat orang tentang kesamaan ketokohan Kasimo dan Cory Aquino. Mereka bertemu dalam kegiatan politik yang digerakkan oleh cinta tanah air, sederhana, dan jujur. Sebuah bentuk keluhuran yang di hari-hari ini menjadi amat mewah, terlebih saat berpolitik tidak lagi didasarkan atas keberpihakan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Akan tetapi, mengapa hingga kini IJ Kasimo belum juga dianugerahi gelar pahlawan nasional? Ya, mengapa belum? Dua seminar tentang Kasimo yang digelar pada 8 Oktober 2010 di Yogyakarta dan 12 Oktober 2010 di Jakarta merupakan salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut.***

Source : Kompas, Jumat, 8 Oktober 2010 | 03:45 WIB

Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda


  • alies amasat

Sabtu, 9 Oktober 2010 | 02:01 WIB

semakin sempit berpikir akan semakin terbelakang bangsa ini. Kapan Indonesia bisa merajut kekuatan dari berbagai kelompok dalam masyarakatnya tanpa pandang bulu?

Balas tanggapan


  • an ismanto

Jumat, 8 Oktober 2010 | 12:40 WIB

Mentalitas primordialistik yang akut dan tidak konstruktif itulah yang menyebabkan kasimo belum juga memperoleh gelar pahlawan nasional. Mayoritas masyarakat menentang, pemerintah tidak berani mengoreksi penentangan tersebut karena tidak mau kehilangan popularitas di mata masyarakat. Perlu kemauan dan perwujudan politik yang tegas untuk memberikan penghargaan kepada pihak yang punya andil dalam sejarah bangsa ini, sekaligus memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang "meletakkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya".

Balas tanggapan


  • Veronika widijati

Jumat, 8 Oktober 2010 | 10:41 WIB

Yang kita tunggu sebenarnya bukan sekedar diberinya gelar sebagai pahlawan nasional,atau tidak, tetapi lebih pada mengapa tidak tumbuh j.Kasimo-Jkasimo baru ? sudah sekerdil inikah kita ?? tentunya tidak bukan ?

Balas tanggapan


  • sudirman pratiwi

Jumat, 8 Oktober 2010 | 07:39 WIB

Mengapa belum diangkat menjadi pahlawan nasional? Ya karena bangsa ini belum mampu (masih cupet nalar) menghargai yang baik dan benar, bahkan cenderung digiring ke arah pengkotak-kotakan berdasar golongan dan keyakinan. Bahkan pemimpin bangsa saat ini nampak lembek di hadapan gerakan-gerakan yang memecahbelah kerukunan dan kedamaian yang dicita-citakan sebagai bangsa merdeka. Sayang seribu sayang

Balas tanggapan


  • Tikus Kantong

Jumat, 8 Oktober 2010 | 06:16 WIB

Kompas pura-pura gak ngerti jawabannya ya? Ya karena Kasimo itu dari golongan minoritas. Itu makanya Indonesia terpuruk dalam memajukan bangsanya, Masih sebagai masyarakat gerombolan, tidak berani berfikir secara gentle. dan bersikap fair play. WNI dihargai bukan karena prestasinya, tapi dilihat asal agama dan rasnya, dari mayoritas atau bukan.

Balas tanggapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar