Selasa, 21 Juni 2011

Sisi Lain Wayang Kulit Oleh Dadang Kusnandar

Selasa, 21 Juni 2011

MAJU TERUS

EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE

Ilustrasi : Ist.

Sisi Lain Wayang Kulit
Oleh Dadang Kusnandar

KASET wayang kulit Cirebon bertajuk "Cungkring Kelangan Bapa" (Petruk Kehilangan Bapak) menemani perjalanan Cirebon Bandung pagi itu. Seni tradisi Cirebon yang dimainkan dalang Haji Mansur, tak hanya menghibur tetapi juga mendekatkan kami kepada wayang kulit. Guyon khas dalang yang disahuti nayaga, meski kadang out of context, ternyata tetap asyik didengar. Bayangkan, di tengah lakon tiba-tiba ada seloroh: Samson, Gatot Gaca Mancing, bahkan roti bakar.

Sedikitnya pemahaman tentang wayang kulit seketika menimbulkan dugaan adanya keberanian dalang melawan pakem wayang purwa. Padahal, menurut sang dalang, "Lakon carang itu karangan, saat mengarang tokohnya dari pakem namun alur cerita rekayasa dalang, sedangkan pakem itu galur". Kembali ke wayang kulit Cirebon dengan lakon carang. Sempat terlintas bahwa wayang kulit Cirebon merupakan modifikasi wayang golek Sunda dengan wayang kulit Jawa Tengah/Jawa Timur. Asumsi ini tampak pada hentak gendang dan tembang pesinden (sinden wayang kulit Cirebon pun bisa melantunkan lagu Sunda).

Secara terpisah dalang wayang kulit Wangi Indria mengatakan, ia tidak terlalu tahu sejarah wayang. Namun katanya, mungkin saja wayang kulit Cirebon merupakan modifikasi wayang golek dan wayang kulit. Ada pun tentang tembang yang dilantunkan sinden, kata dia, sinden Cirebon tidak menyerap sinden Sunda karena irama dan syairnya berseberangan. Menyoal seloroh nayaga yang selalu menyahuti dalang dalam pertunjukkan wayang kulit Cirebon, hal itu menunjukkan kreativitas seniman walaupun keluar dari konteks.

Jalan damai

Membaca database wayang kulit Cirebon, ada yang mengatakan kuatnya pengaruh Kerajaan Demak ketika Wali Sanga masih hidup. Data ini menunjukkan keterikatan wayang kulit Cirebon dengan dakwah agama Islam, khususnya di Jawa. Tidak hanya wayang, kesenian tradisi Cirebon selalu terpaut dengan ajaran agama. Islamisasi melalui kesenian merupakan jalan damai karena pengajaran dan pendidikan agama dilakukan dengan cara menghargai budaya lokal.

Wayang kulit Cirebon dengan tema cerita carangan, akhirnya boleh dikata sebagai kolaborasi seni tradisi. Tokoh wayang yang tampil pada pertunjukan seakan masuk ke dunia kini. Cukup menarik lakon wayang kulit yang dimainkan di Bandung Mei 2011 yang menceritakan Gatotkaca membawa laptop dan berkirim email, karena dalam kisah carangan ini ia berperan menjadi seorang wartawan. Lakon kolaborasi yang dimainkan H. Wakhudin, redaktur senior koran Pikiran Rakyat Bandung ini bahkan mempertemukan Yudhistira dengan Rama. Padahal menurut galur, Yudhistira dan saudara-saudaranya didapat pada Kisah Mahabarata, sementara episode Rama vs Rahwana ada pada lakon Ramayana.

Berbagai kolaborasi wayang kulit yang pernah dilakukan di Cirebon ternyata tidak sebatas pada penceritaan. Dalang Wowo Rudi (38 tahun) dari Desa Plumbon melakukan "kawin silang" wayang kulit dengan wayang wong. Dalang di balik tabir hanya bertutur cerita pewayangan, sedangkan di depan layar para penari wayang wong tampil memerankan penuturan sang dalang. Modifikasi dua wayang ini konon juga dilakukan seniman di sanggar Sekar Pandan Kota Cirebon.

Selain dia, dalang gaek Askadi Sastrasuganda dari Desa Cangkring Kabupaten Cirebon, memadukan wayang kulit dengan babad Cerbon. Lakon bertajuk "Tumancebing Kropak Agung" yang dipentaskan 10 tahun lalu itu, menggambarkan betapa dekatnya wayang kulit dengan syiar agama Islam. Bahkan para nayaga pun mengenakan busana Muslim, termasuk sinden.

Yang agak unik Wayang Puisi. Ide Abidin, Kepala Dinas Budaya Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Cirebon itu tampil tahun 2010 lalu di teras gedung kesenian Cirebon, Nyi Mas Rarasantang. Dayang memainkan wayang dan di sebelahnya sebuah puisi dibacakan. Yang belum ada, kolaborasi wayang kulit dengan sulap. Siapa tahu Limbad bisa dihadirkan pada sebuah lakon carangan wayang kulit.

Kreativitas

Lantaran tanpa kreativitas maka kesenian akan kehilangan jejak. Sudah pasti keberanian seniman mengelaborasi cerita, tokoh, atau alat musik yang mengiringi pentas diperlukan bagi jejak perjalanan kesenian berikutnya. Kesenian ke depan merupakan sejumlah bentukan dari berbagai anasir. Bukankah sulit mencari kesenian asli, bahkan pada seni tradisi? Bagaimana pun jika kita merunut muasal seni tradisi, hal itu adalah kolaborasi sejumlah kesenian dari beberapa tempat.

Begitulah sebagaimana diungkap Wangi Indria di atas, musisi/nayaga yang menyahuti dalang wayang dengan seloroh (celetukan) merupakan kreativitas seniman. Dan begitu pula kesenian tradisi ini terus dikembangkan berdasar kreativitas para awaknya. Sinergi antara dalang dengan pemusik jelas perlu, tidak sekadar untuk menghibur dan mengundang tawa. Akan tetapi dialog itu pun dimaksud bagi kedekatan hubungan emosional mereka. Meski kadang honorarium yang diterima pemusik jumlahnya kecil, namun soal honor pun sesekali meluncur dalam seloroh (celetukan) pentas wayang kulit Cirebon. Artinya tidak ada hal yang ditutupi. Dalang pun tidak marah, bahkan ia menyambut seloroh itu dengan seloroh pula.

Sisi lain wayang kulit Cirebon dalam pandangan sejarawan Raffan Hasyim juga terlihat pada busana yang melekat di tubuh wayang kulit. Katanya, jika ingin memeragakan busana pernikahan adat Cirebon, pelajari saja busana yang membalut wayang kulit Cirebon.

Ternyata masih banyak hal yang dapat diungkap dan dikembangkan dari wayang kulit Cirebon. Kuncinya tidak lain ialah kreativitas memadukan imajinasi dengan kecerdasan, namun tentu saja secara lebih mengoptimalkan penggunaan otak kanan.

*) Dadang Kusnandar, penulis lepas, tinggal di Cirebon.***

Source : kabarcirebon.com, Kamis, 16 Juni 2011 - 05:32:38 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar