Revitalisasi Pertahanan
Oleh Andi Widjajanto
Program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II terdiri atas 45 program yang diturunkan menjadi 129 rencana aksi. Untuk bidang pertahanan negara, pemerintah menetapkan dua program utama yang harus selesai, yaitu (1) Program 6: tunjangan khusus bagi anggota TNI yang bertugas di wilayah terdepan, terluar, dan perbatasan; dan (2) Program 8: peningkatan kemampuan pertahanan dan keamanan negara.
Tulisan ini hanya fokus mengevaluasi pelaksanaan Program 8 yang terkait langsung dengan upaya pemerintah melakukan revitalisasi industri pertahanan.
Untuk revitalisasi ini, Kementerian Pertahanan menetapkan tiga rencana aksi yang akan dilakukan selama 100 hari, yaitu (1) rencana aksi P8A1 yang bertujuan menyusun cetak biru bagi pembentukan kekuatan pertahanan minimum (KPM); (2) rencana aksi P8A2 yang bertujuan menetapkan kebijakan revitalisasi industri pertahanan; dan (3) rencana aksi P8A3 yang bertujuan menyusun skema anggaran multitahun yang dapat mendukung pelaksanaan tiga rencana strategis pertahanan.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro telah menyatakan, seluruh rencana aksi telah berhasil dituntaskan sesuai tenggat 100 hari. Penuntasan ini memberikan harapan baru tentang adanya rencana terukur tentang pengembangan kekuatan pertahanan Indonesia.
Kekuatan pertahanan 2024
Cetak biru KPM yang telah diselesaikan Kementerian Pertahanan menawarkan suatu rencana pengembangan postur militer Indonesia hingga 2024. Cetak biru ini menyajikan rencana rinci tentang tahapan pembangunan kekuatan pertahanan 2024 yang diharapkan dapat dicapai setelah Kementerian Pertahanan menerapkan secara utuh tiga rencana strategis pertahanan. Dijabarkan rinci rencana pengembangan organisasi, personel, alutsista, serta fasilitas pangkalan militer yang akan menopang penciptaan KPM 2024.
Berdasarkan rencana pengembangan alutsista yang tertera di cetak biru KPM 2024, pemerintah mulai dapat menargetkan produktivitas dan besaran keluaran industri pertahanan. Untuk tahap Renstra I 2010-2014, misalnya, TNI AD harus dilengkapi dengan alutsista baru, seperti 146 tank, 15.000 pucuk senjata infanteri, dan 3.600.000 butir peluru untuk senjata infanteri.
TNI AL harus dilengkapi antara lain 1 kapal selam, 2 kapal perusak kawal rudal, 5 kapal cepat rudal, dan 2 kapal angkut tank. TNI AU harus diperkuat dengan pengadaan antara lain pesawat angkut berat setingkat C-130, pesawat intai taktis setingkat CN-235, Pesawat terbang tanpa awak (PTTA), dan persenjataan rudal jarak pendek 20EA dan jarak sedang 30EA.
Tentunya, untuk periode 2010-2014, tidak realistis berharap industri pertahanan Indonesia akan sanggup memenuhi seluruh jenis alutsista yang dibutuhkan TNI. Namun, minimal, Kementerian Pertahanan sudah dapat menargetkan peningkatan tingkat kemandirian pertahanan dengan bertahap menurunkan ketergantungan pengadaan alutsista ke produsen luar negeri.
Segitiga strategis
Untuk mewujudkan kemandirian pertahanan, pada 100 hari pertama masa jabatannya, Purnomo telah melakukan beberapa inisiatif kebijakan penting. Pertama, ada nota kesepemahaman antara Menteri Pertahanan, Menteri BUMN, Panglima TNI, dan Kepala Polri untuk mengutamakan penggunaan produksi industri domestik dalam pemenuhan alutsista TNI dan Polri.
Kedua, telah dibentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang akan menjadi instansi penjuru dalam upaya revitalisasi industri pertahanan. Pembentukan KKIP didahului dengan penunjukan Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsuddin yang mendapat tugas khusus untuk mengelola industri pertahanan.
Ketiga, telah diinisiasi kerangka pendanaan baru untuk menjaga kesinambungan industri pertahanan. Kerangka ini diharapkan mampu mengatasi masalah klasik ketiadaan anggaran untuk memperkuat kapasitas pertahanan Indonesia. Tiga inisiatif ini merupakan awal dari pembentukan kerangka kerja revitalisasi industri pertahanan. Kerangka ini berwujud suatu segitiga strategis yang merupakan perpaduan dari kebutuhan pertahanan, industri pertahanan, dan alokasi sumber daya.
Untuk Indonesia, segitiga strategis ini hanya dapat dibentuk jika pemerintah dapat segera menemukan kerangka pendanaan baru. Saat ini, ada dua opsi yang ditawarkan Purnomo. Pertama, skema pendanaan multitahun. Skema ini dibutuhkan untuk menjamin komitmen pendanaan jangka menengah dari pemerintah untuk menuntaskan implementasi tiga rencana strategis yang telah diusulkan Kementerian Pertahanan.
Kedua, eksplorasi tiga sumber pendanaan untuk revitalisasi industri pertahanan. Sumber pertama dari alokasi belanja modal bagi sektor pertahanan dalam APBN. Kedua, dari obligasi khusus yang dijamin pemerintah untuk memperkuat kapasitas industri pertahanan. Ketiga, melalui pinjaman khusus dari konsorsium bank-bank nasional.
Jika ketiga sumber berhasil dieksplorasi, minimal 30 persen target belanja modal sektor pertahanan 2010-2014 yang diperkirakan Rp 25 triliun-Rp 40 triliun dapat dialihkan menjadi kontrak-kontrak pengadaan senjata dengan PT PINDAD, PT PAL, atau PT DI. Keberhasilan Kementerian Pertahanan untuk mengalihkan kontrak-kontrak pengadaan senjata ini akan jadi awal upaya mewujudkan kemandirian pertahanan Indonesia.
Andi Widjajanto,
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Universitas Indonesia
Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 03:13 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar