Pers, Pengawasan, Pendidikan
Oleh Hendardi
Reformasi politik yang telah berlangsung sejak 1998 serta kemajuan teknologi informasi dan digital yang semakin pesat belakangan ini telah menimbulkan dampak positif terhadap hak atas kebebasan berpendapat (right to freedom of opinion), khususnya kebebasan pers (freedom of press).
Hari pers yang diperingati setiap 9 Februari harus tetap diisi dengan spirit untuk terus memajukan kebebasan pers dan kebebasan lain dalam masyarakat. Kemajuan ini bukan saja menunjukkan peran tak resmi pers sebagai pengawas penyelenggara negara, tetapi juga kontribusinya bagi pendidikan politik publik.
Tak bisa dipungkiri, perkembangan pers telah begitu pesat seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pers ditunjang begitu rupa oleh media elektronik. Bukan saja radio dan televisi, tetapi juga internet yang juga bisa diakses dan di-input dari mana saja dengan komputer dan telepon genggam yang terkoneksi. Kebebasan pers yang dinikmati hingga kini adalah buah dari reformasi. Format politik demokratis melalui pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang setara satu sama lain telah dipenuhi meski independensi yudikatif masih dinilai lemah mengingat masalah ”mafia peradilan” yang tak lekang.
Dengan format baru yang teraduk dalam masalah warisan masa lalu, tampaknya demokrasi yang ditata dilumuri oleh korupsi yang merajalela. Menguatnya kewenangan parlemen diikuti dengan korupsi, suap, dan pemerasan. Berperannya partai-partai juga terkuak korupsi. Dengan membesarnya otonomi daerah telah terbentuk desentralisasi korupsi.
Aparat penegak hukum—kepolisian dan kejaksaan—masih tetap tak banyak berubah kendati upaya reformasi telah dilakukan. Hal serupa juga terus berlangsung dalam tubuh kekuasaan kehakiman melalui sistem yang menggurita mereka selama ini, ”mafia peradilan”. Melalui peran yang independen—bebas dari kepentingan politik—pers bisa menjelma sebagai pilar keempat demokrasi. Uniknya, pilar ini bukan sebagai aparat negara, melainkan suatu golongan swasta yang bergerak pada batas-batas kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran.
Pilar yang dimaksud adalah fungsinya secara tak resmi sebagai pengawas berbagai perilaku aparat negara dan para pejabatnya. Pers bisa mengungkapkan suatu kasus atau skandal ataupun menyarankan perlindungan hak-hak bagi mereka yang lemah dan terdiskriminasi serta perbaikan lainnya.
Pers jelas dapat berfungsi sebagai penunjuk suatu peristiwa, seperti kelaparan di Yahukimo yang mengakibatkan 222 orang meninggal, sejumlah pekerja rumah tangga diperkosa di Arab Saudi, polisi menembak sopir angkot di Depok, penggusuran paksa atas warga Suluk Bongkal (Riau) yang melibatkan pasukan Brimob, dan skandal Bank Century.
Penunjukan suatu peristiwa memerlukan penanganan pemerintah dan penegak hukum, tindakan yang harus diambil agar kejadian atau kesalahan sama tak berulang. Fungsi pengawasan dapat berlangsung berkat dukungan atas kebebasan pers dari publik, termasuk protes mereka jika muncul tekanan terhadap pers.
Pendidikan politik
Kebebasan pers yang telah berkembang ini tak hanya berfungsi melakukan pengawasan, tetapi juga pendidikan politik. Melalui pers yang bebas, kreativitas pers mengalami inovasi dan menampilkan rancangan yang lebih menarik, dan dari isinya pula pendidikan politik bisa dipetik.
Pertama, pendidikan politik tak bisa direduksi hanya berdasarkan prosedur dan mekanisme setiap putaran lima tahun sekali, baik secara nasional maupun lokal. Pers dapat memberikan kontribusi dalam memberitakan berbagai aktivitas publik sehari-hari termasuk aktivitas dan isi politik mereka. Kedua, pers tak hanya memberitakan dan menunjuk apa yang terjadi, hingga ke persoalan yang disembunyikan, tetapi juga memberikan ulasan yang bisa bermanfaat bagi pembaca. Begitu juga para pendengar radio dan penonton televisi dapat memanfaatkan sejumlah wawancara dan forum debat.
Ketiga, belakangan pers telah meningkat kemampuannya untuk menjadi salah satu ruang partisipasi publik dalam politik secara langsung. Mereka menggelar diskusi dan debat mengenai tema sosial-politik. Perkembangan ini bahkan diikuti format pers yang disebut citizen journalism dan tambahan ruang komentar.
Keempat, hampir semua media cetak, radio, dan televisi mempunyai website atau situs internet. Jangkauan publik atas informasi, berita, dan pandangan tertentu telah dipermudah dengan keberadaan media online itu yang bisa diakses dan di-input dari mana saja. Publik pun dapat menggalang dukungan secara online, seperti yang terjadi melalui Facebook.
Peran pers yang unik lebih sebagai institusi swasta telah memberikan kontribusinya atas partisipasi publik dalam merespons silang sengketa antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mabes Polri-Kejaksaan Agung. Kemudian, disusul dengan respons publik terhadap skandal aliran dana Bank Indonesia ke Bank Century.
Hendardi,
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
Source : Kompas, Selasa, 9 Februari 2010 | 04:17 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar