JAKARTA - Sengketa kepemilikan rumah negara Tentara Nasional Indonesia merupakan persoalan dilematis. Di satu sisi Markas Besar TNI kekurangan rumah bagi prajuritnya, di sisi lain aspek kemanusiaan bagi purnawirawan TNI juga tidak bisa dikesampingkan.
Penelusuran Kompas mulai hari Rabu (27/1) hingga Minggu di sejumlah kompleks rumah negara atau rumah dinas TNI, yang menjadi lokasi sengketa antara TNI dan penghuni rumah, menunjukkan persoalan utamanya mengerucut pada soal hak milik rumah karena perbedaan penafsiran atas peraturan perundang-undangan.
Persoalan itu antara lain dikemukakan Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Penghuni Perumahan Negara (FKPPN) Brigadir Jenderal (Purn) Soemarto, yang tinggal di Kompleks Perumahan TNI Angkatan Darat, Sumur Batu, Jakarta Pusat.
Salah satu peraturan yang tidak dijalankan dengan baik, menurut Soemarto, adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara, tanggal 26 Februari 2008. Dalam Pasal 1 Ayat 2, 3, dan 4 perpres itu disebutkan soal golongan rumah yang dibagi menjadi tiga.
Rumah golongan I adalah yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan penghuniannya terbatas selama masa jabatan. Rumah golongan II adalah yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan suatu instansi dan hanya didiami selama menjadi pegawai negeri dan jika sudah berhenti atau pensiun harus dikembalikan kepada negara. Rumah golongan III adalah yang bisa dijual kepada penghuninya.
Pada Pasal 8 Perpres itu disebutkan soal kemungkinan pengalihan status rumah negara golongan II menjadi golongan III, dengan didahului permohonan. ”Hingga saat ini tidak ada proses pengalihan yang diindahkan,” kata Soemarto.
Namun, muncul Surat Telegram Menteri Pertahanan Nomor ST/17/2008 yang ditandatangani Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Mayor Jenderal Suryadi tanggal 28 Juli 2008. Dalam surat telegram itu disebutkan bahwa Kementerian Pertahanan dan TNI belum merencanakan izin perubahan status rumah negara golongan II menjadi golongan III.
Terhadap masalah ini, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, pekan lalu, menegaskan, rumah negara di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI masuk rumah negara golongan I dan II, tidak ada golongan III.
Persoalan serupa muncul di Kompleks Berland di Matraman, Jakarta Pusat; Kompleks Bulak Rantai di Kampung Tengah, Kramatjati, Jakarta Timur; Kompleks Eks Batalyon Angkutan Kuda Beban di Cililitan Besar, Jakarta Timur; Perumahan TNI AD di Jalan Otista III, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur; dan di Perumahan Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) di Jalan Arteri Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Di luar Jakarta, persoalan muncul di Perumahan Negara Pangkalan TNI Angkatan Laut V Surabaya. Pada awal Januari 2010 warga menerima selebaran peringatan atas nama Tim Penertiban Rumah Negara Lantamal V TNI AL. Akibatnya, warga yang telah menghuni rumah selama puluhan tahun, khususnya penghuni di tujuh rumah, menjadi resah dan khawatir.
Warga mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya sebagai upaya mempertahankan rumah mereka. ”Karena sekarang masih dalam proses hukum, seharusnya semua pihak menghormatinya sampai berkekuatan hukum tetap,” kata Fahmi Bachmid, penasihat hukum warga, Minggu, di Surabaya.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana Mayor (Inf) Rustam Effendi mengungkapkan, jumlah rumah negara di lingkungan Kodam VII/Wirabuana 6.497 unit. Pada 2006, jumlah rumah dinas yang ditempati bukan oleh prajurit aktif atau purnawirawan mencapai 788 rumah. Ada yang ditempati anak-anak purnawirawan TNI, bahkan masyarakat umum. ”Hingga 15 September 2008, kami berhasil menertibkan 374 rumah yang kini sudah ditempati prajurit TNI yang berhak,” kata Rustam.
Rustam menguraikan, sesuai Surat Telegram Kepala Staf Angkatan Darat Nomor ST/1460/2006 tertanggal 2 November 2006, purnawirawan yang belum memiliki rumah sendiri bisa menempati rumah dinas hingga yang bersangkutan dan istrinya meninggal dunia. ”Jadi, kami hanya menertibkan rumah yang hanya dihuni oleh anak purnawirawan atau ditempati masyarakat umum,” tutur Rustam.
DPR bentuk panitia kerja
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Tubagus Hasanuddin, Minggu, mengatakan, sengketa rumah dinas TNI itu disebabkan kurangnya rumah negara yang dimiliki TNI. ”Di sisi lain, mengusir penghuni yang sudah tinggal puluhan tahun di rumah negara juga bukan hal bijaksana,” ujar Tubagus, mantan Sekretaris Militer Presiden Megawati Soekarnoputri itu.
Sjafrie, pekan lalu, memaparkan, jumlah rumah negara di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI 198.170 unit sehingga terdapat kekurangan rumah sebanyak 159.704 unit.
”Negara (pemerintah) perlu turun tangan,” kata Tubagus. Selain itu, imbuh Tubagus, semua pihak perlu saling menghormati dan tetap pada jalur hukum.
Saat ini, kata Tubagus, sudah dibentuk Panitia Kerja Perumahan yang telah mendengarkan pendapat dari pihak penghuni rumah negara. Selanjutnya, pada pertengahan Februari, rapat dengar pendapat serupa akan dilakukan dengan Panglima TNI dan Kementerian Pertahanan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan keluarga besar prajurit Kostrad di Cilodong, Depok, Jawa Barat, Minggu, menyatakan, pemerintah akan terus meningkatkan kesejahteraan dan kelengkapan TNI lagi sesuai dengan kemampuan anggaran dan kemampuan negara. ”Bukan hanya itu, termasuk rumah dinasnya,” kata Presiden. (WIN/ROW/BEE/INK/HAR/Kompas)***
Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 03:19 WIB
Khaerudin Kurniawan @ Senin, 1 Februari 2010 | 14:14 WIB
Sejak awal menempati rumah dinas harus ada aturan yang tegas antara penghuni dengan pengelola sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari
rakyat @ Senin, 1 Februari 2010 | 13:03 WIB
aspek kemanusiaan berlaku untuk seluruh rakyat, semua diatur dalam peraturan pemerintah, bagaimana hak pejuang,tentara,pegawai negri, jalankan ketentuan tadi
Ari Prasetyohadi @ Senin, 1 Februari 2010 | 08:58 WIB
Banyak orang yang berperilaku tidak jujur,tidak jarang rumah dinas dikontrakkan atau malah dijual keorang lain, kalau sudah bukan haknya harus pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar