Menggugat (Hari) Pers
Oleh Mukhtaruddin Yakob
Hari Pers Nasional atau HPN 2010 menjadi tonggak sejarah baru. Pada acara puncak di Palembang, Sumatera Selatan, 9 Februari, para pemimpin perusahaan pers nasional akan meratifikasi Piagam Palembang. Piagam ini berisi kesepakatan menerapkan empat produk Dewan Pers: standar perusahaan pers, standar kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.
Ini tentu langkah maju bila benar-benar dijalankan dan dijalankan dengan benar. Selebihnya, HPN diisi dengan seremoni dan mungkin sedikit renungan. Namun, pers tetap saja tak beranjak dari berbagai persoalan yang melilitnya selama ini: modal, sumber daya manusia, hingga keredaksian. Sistem penggajian dan upah layak masih merupakan persoalan mendasar. Organisasi pers, seperti PWI, tak bisa berbuat banyak. Organisasi pers tertua di Indonesia ini sebatas menjembatani persoalan pekerja pers dengan publik, bukan terhadap perusahaan. Demikian pula AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Melonjak
Jumlah media massa di era reformasi luar biasa melonjak. Semasa Orde Baru terdapat 289 media cetak, enam stasiun televisi, dan 740 radio. Setahun sesudah reformasi, media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan, hampir enam kali lipat. Kira-kira empat media terbit saban hari dalam setahun itu.
Era reformasi belum bisa menumbuhkan pers profesional sebagaimana diharapkan para sesepuh pers di Tanah Air. Wartawan masih merupakan pekerjaan sampingan sebelum seseorang dapat pekerjaan lain. Gejala ini terutama bagi pers daerah yang kesulitan mengembangkan diri.
Profesionalisme dan kesejahteraan bagai dua sisi mata uang. Sebagian berpendapat, pekerja pers akan profesional bila kesejahteraan terpenuhi. Betul bahwa bisa dihitung dengan jari perusahaan yang menggaji wartawannya dengan bagus.
Lebih dari 10 persen perusahaan pers membayar karyawannya sesuai dengan standar upah minimum regional. Selebihnya memprihatinkan. Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara pada seminar HPN 2009 di Jakarta, mengutip wartawan senior Rosihan Anwar, mengatakan bahwa 80 persen wartawan adalah ”pemeras”. Namun, kata Leo, biasanya yang diperas para pemeras juga!
Banyak pekerja pers yang dikenal sebagai kontributor sama sekali tak bergaji. Jangankan gaji tetap, mereka tak menerima selembar kontrak kerja pun meski telah bertahun-tahun bekerja pada perusahaan pers tertentu. Padahal, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 59 menyebutkan status kontrak hanya bisa diperpanjang sekali dalam setahun, selebihnya seseorang harus diberhentikan dengan pesangon atau diangkat sebagai karyawan tetap.
Namun, siapa peduli? Organisasi pers tak berkutik: apakah PWI, AJI, atau IJTI. Maka, kampanye anti-amplop yang ditawarkan AJI tidak efektif. Toh, AJI tidak memiliki konsep kompensasi pengganti amplop sebab kelindan organisasi tidak jalan antara organisasi pers dan perusahaan pers.
Wajah kita
Para pekerja pers dalam pemberitaan selalu mempersoalkan buruh yang tidak digaji layak atau sejumlah pekerja yang dipecat. Mungkin mereka lupa akan nasib sendiri yang tidak digaji atau bekerja tanpa ikatan hukum. Jadi, apa beda pekerja pers dengan buruh?
Euforia pers masa reformasi memudarkan citra pers sebab pada masa ini berbagai ”perusahaan” pers didirikan dengan maksud tertentu. Perusahaan penerbitan semacam ini memperdagangkan kartu pers. Mereka sama sekali tak membayar para pekerja pers. Selembar ”kartu pers” menjadi senjata ampuh untuk mendapat keuntungan. Dengan itu, para ”pekerja pers” mengancam dan mendapat imbalan (baca: amplop). Anehnya, pejabat atau perusahaan yang diperas tak risih menyodorkan sejumlah uang kepada mereka. Gerombolan ini hidup enak dari hasil sweeping ke kantor-kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan. Bisa dibayangkan, pendapatan mereka justru lebih besar daripada gaji seorang karyawan perusahaan pers yang sesungguhnya.
Moral dan etiket tidak lagi jadi acuan. Boro-boro profesional, ”pekerja pers” jenis ini menulis berita saja belum becus. Wajar saja apabila citra pers model inilah yang dominan di mata masyarakat. Seharusnya, hal ini perlu disadari para pencetus pers Indonesia: memperbaiki citra pers dan menjadikan pers sebagai pekerjaan yang bergengsi dan bisa memberi penghidupan layak. HPN seharusnya langkah inovatif menaikkan nilai tawar bagi profesi wartawan.
Mukhtaruddin Yakob,
Pekerja Pers, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh
Source : Kompas, Selasa, 9 Februari 2010 | 04:15 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar