Selasa, 02 Februari 2010

Rumah untuk Prajurit

Rumah untuk Prajurit

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Kementerian Pertahanan sedang gencar melakukan penertiban perumahan dinas Tentara Nasional Indonesia yang sebagian besar masih dihuni oleh para purnawirawan. Upaya ini sering ditangkap media sebagai proses yang tidak mengindahkan rasa kemanusiaan. Kesan yang ada, negara tidak menghargai jasa para prajuritnya yang telah mengabdi selama hidupnya untuk negara.

Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu, penertiban perumahan TNI berkaitan erat dengan penertiban bisnis TNI dan upaya pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan prajuritnya dalam kebutuhan perumahan, terlepas dari mekanisme yang mengalami distorsi di lapangan.

Penertiban rumah dinas TNI telah dilakukan sejak masa Orde Baru, hingga kini upaya tersebut sering mengalami kegagalan ketimbang cerita sukses sebuah upaya penertiban. Bedanya adalah pada masa lalu penertiban yang dilakukan lebih sering bermuatan kepentingan elite pejabat saat itu. Tidak mengherankan apabila beberapa lokasi perumahan TNI yang strategis telah berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan atau pusat bisnis kelompok tertentu. Selain itu, media massa tidak seleluasa saat ini untuk memberitakannya, juga belum didukung oleh peraturan yang tegas seperti kehadiran UU TNI saat ini.

Kesenjangan

Kendatipun Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsuddin mengatakan akan tetap memerhatikan enam aspek dalam melakukan penertiban, yaitu status hukum, statistik rumah negara di lingkungan Kementerian Pertahanan / TNI, peraturan yang ada, rasa keadilan, toleransi, dan anggaran yang tersedia, upaya baik ini tetap akan menemui kendala jika kita tidak melihat akar persoalan dari seluruh proses penertiban yang ada.

Sejak UU Nomor 34 Tahun 2009 tentang TNI diterbitkan, beberapa pekerjaan rumah yang masih belum diselesaikan pemerintah adalah Pasal 50 tentang kesejahteraan prajurit dan Pasal 76 tentang pengambilalihan bisnis TNI. Dalam Pasal 50 Ayat 2c disebutkan bahwa prajurit dan prajurit siswa memperoleh rawatan dan layanan kedinasan, yang salah satu di antaranya adalah perumahan/asrama/mes.

Namun, jika kita mencermati data yang dipaparkan Kementerian Pertahanan, upaya pemenuhan kebutuhan di atas ternyata masih jauh panggang dari api. Dari total 198.170 rumah dinas Kementerian Pertahanan dan TNI, hanya 158.661 unit rumah yang didiami prajurit aktif. Sisanya dihuni 39.509 orang purnawirawan. Sebagai contoh, di Mabes TNI, dari 2.096 rumah, sebanyak 1.265 dihuni purnawirawan, sedangkan sisanya, 831 unit, dihuni tentara aktif. Begitu juga yang terjadi di TNI AD, TNI AL, dan TNI AU.

Persoalan perumahan TNI menjadi semakin rumit kini karena, pertama, ketersediaan perumahan TNI sejak dahulu dipenuhi melalui beberapa unit usaha bisnisnya, seperti yayasan atau induk koperasi masing-masing angkatan. Misalnya, Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik angkatan darat yang hingga awal tahun 2000 telah membangun 14.000 rumah BTN untuk prajurit. Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau) dan Yayasan TNI Angkatan Udara (Yasau) tahun 2003 membangun 269 unit rumah tipe 36 di tujuh Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) dengan dana Rp 10 miliar lebih. Perumahan itu berada di Lanud Halim Perdanakusuma, Adisutjipto, Iswahjudi, Abdurrahman Saleh, Pekanbaru, Supadio, dan Suryadarma, demikian juga Yayasan Bhumyamca TNI AL.

Di kemudian hari, hal ini menciptakan kesenjangan yang luar biasa antara kebutuhan dan ketersediaan yang ada, selain minimnya kemampuan TNI dalam memenuhi kebutuhan akibat anggaran yang tersedia, ditambah lagi dengan keputusan politik yang tidak tegas tentang penertiban ini.

Kedua, sistem penganggaran TNI yang meletakkan anggaran perumahan di salah satu alokasi anggarannya membuat TNI tidak sepenuhnya dapat melakukan tugas pokoknya karena masing-masing komandan harus ikut memikirkan kebutuhan kesejahteraan prajuritnya, selain itu anggaran pertahanan yang sebagian besar untuk pengeluaran anggaran rutin membuat pembangunan rumah prajurit tidak pernah dapat memenuhi target kebutuhan minimal sekalipun. Seorang Pangdam, misalnya, harus memikirkan kebutuhan rumah bagi para prajuritnya.

Ketiga, penertiban perumahan TNI belum sepenuhnya diletakkan dalam kerangka kerja yang lebih besar, yaitu upaya membangun TNI yang profesional, yang salah satunya adalah TNI yang tidak berbisnis dan dicukupi kesejahteraannya oleh negara. Hal ini penting karena persoalan pemenuhan perumahan prajurit bukanlah tanggung jawab TNI sepenuhnya, melainkan pemerintah. Untuk membentuk TNI menjadi tentara yang profesional, pemerintah harus membebaskan TNI dari kewajiban memenuhi kebutuhan rumah prajuritnya.

Keempat, kebutuhan rumah prajurit sebagai salah satu upaya pemenuhan kesejahteraan prajurit belum dirancang dalam sebuah perencanaan jangka panjang yang terintegratif. Pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sewa (rusunawa) baik melalui Asabri maupun Yayasan kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) TNI belum sepenuhnya menjawab kebutuhan tersebut.

Terobosan solusi

Evaluasi terhadap skala prioritas, ketepatan alokasi penganggarannya, peraturan, dan status hukum tanah-tanah yang dikuasai TNI selama ini, mekanisme koordinasi antarkementerian (pertahanan, perumahan rakyat, keuangan), serta konsistensi pelaksanaan di lapangan penting dilakukan. Sebagai upaya mencari terobosan solusi yang adil dan komprehensif terkait dengan penyediaan rumah bagi prajurit TNI (baik prajurit aktif atau maupun pensiunan), perlu komunikasi asertif-intensif dengan para purnawirawan,

Persoalan penertiban perumahan TNI ini memang tidak mudah, perlu dicari akar persoalannya yang sering tidak tersentuh selama ini. Mungkin saatnya dipikirkan untuk tidak lagi membebani TNI dalam persoalan perumahan. Usulan untuk memasukkan urusan perumahan TNI ke dalam Kementerian Perumahan Rakyat mungkin lebih tepat. Selain pengadaannya akan lebih terkoordinasi untuk ketiga angkatan, TNI juga akan terbebas dari beban memikirkan ekonomi dan kesejahteraan prajuritnya.

Jaleswari Pramodhawardani,

Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)

LIPI dan The Indonesia Institute

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 03:14 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar