Selasa, 02 Februari 2010

SENGKETA KEPEMILIKAN RUMAH NEGARA TNI : Sengketa akibat Tak Tertib Administrasi

SENGKETA KEPEMILIKAN RUMAH NEGARA TNI

Sengketa akibat Tak Tertib Administrasi

JAKARTA - Sengketa kepemilikan rumah negara Tentara Nasional Indonesia sesungguhnya bermuara pada tertib administrasi yang tidak dijalankan. Di lapangan justru terjadi penyamarataan tindakan, padahal status lahan rumah negara tersebut berbeda-beda.

Komisi I DPR mencatat setidaknya ada delapan kategori asal-usul lahan yang dipakai membangun rumah negara TNI yang kini menjadi sengketa antara TNI dan penghuni rumah tersebut.

Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Tubagus Hasanuddin di Jakarta, Senin (1/2), menguraikan masing-masing asal-usul lahan tersebut. Pertama, penguasaan tanah merupakan pampasan perang dari penguasa Belanda dan Jepang.

Kedua, penguasaan tanah dari perusahaan milik Belanda. Ketiga, perolehan tanah berdasarkan pembebasan tanah negara yang dikelola masyarakat. Keempat, perolehan tanah berdasarkan pembelian atau pengalihan hak atas biaya APBN.

Kelima, penguasaan tanah bekas tanah dan bangunan sekolah asing. Keenam, perolehan aset tanah berdasarkan hasil pelaksanaan tukar-menukar. Ketujuh, perolehan tanah berdasarkan hibah dan, kedelapan, penguasaan tanah berdasarkan pinjam pakai atas tanah rakyat.

Selain tidak tertib administrasi, kata Tubagus, juga karena masalah politis. ”Pada waktu kampanye dulu banyak di antara penghuni yang didatangi dan dijanjikan kalau urusan status rumah yang ditinggalinya bisa dibereskan,” katanya.

Koordinator Bidang Hukum Forum Koordinasi Penghuni Perumahan Negara (FKPPN) Prastopo mengatakan, hasil Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komisi I DPR dan FKPPN pada 14 Januari 2010 menyebutkan, pengosongan rumah tersebut agar dihentikan. Komisi I DPR meminta agar dilakukan daftar ulang status rumah golongan I dan II untuk selanjutnya memungkinkan menjadi rumah golongan III.

Untuk itu, kata Prastopo, seluruh anggota FKPPN menunggu solusi Komisi I DPR. ”Kami menghormati mereka. Oleh karena itu, kami menunggu langkah solusi dari mereka,” tuturnya.

Ketua Umum FKPPN Brigadir Jenderal (Purn) Soemarto menyebutkan, pihaknya tengah menyusun usulan kepada pemerintah untuk mengatasi masalah rumah negara TNI itu. ”Kami percaya pemerintah akan memberikan solusi terbaik,” katanya.

Di tempat terpisah, Erikcka Handoyo, anggota Forum Komunikasi Keluarga Kostrad, mengingatkan, perumahan keluarga Kostrad di Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan, dibangun secara swadaya oleh anggota TNI aktif kala itu. ”Perubahan akibat kesalahan masa lalu tidak boleh mengorbankan kami, keluarga purnawirawan,” katanya.

Mantan Asisten Teritorial KSAD Mayor Jenderal (Purn) Saurip Kadi mewakili penghuni kompleks Perumahan Bulak Rante, Kramatjati, Jakarta Timur, mengatakan, keluarga yang ditinggalkan para sesepuh TNI itu umumnya tidak mendapatkan apa-apa selain kebanggaan bahwa pendahulunya menunjukkan perjuangan keras mereka dan sudah terbukti bersih dari korupsi. ”Apakah para petinggi TNI tidak mempertimbangkan hal ini?” kata Saurip Kadi.

Dari Surabaya dilaporkan, TNI AL bersikeras akan mengeksekusi delapan rumah negara di kawasan Perak. Para penghuni diberi waktu paling lambat hingga Kamis untuk mengosongkan rumah yang akan digunakan para perwira menengah yang belum mendapat jatah rumah dinas.

”Rumah tersebut akan ditertibkan karena sejak orangtua mereka meninggal kami tidak lagi memberikan surat izin tinggal,” tutur Kepala Dinas Penerangan Armada RI Kawasan Timur Letnan Kolonel (Laut) Toni Syaiful, Senin, di Surabaya.

Terkait sengketa kepemilikan hak atas tujuh rumah di kawasan Perak itu, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya mengirim surat kepada Komandan Lantamal V tertanggal 1 Februari 2010. Senin kemarin, para penghuni dari tujuh rumah itu mendatangi PN Surabaya untuk bertemu Ketua PN Nyoman Gede Wirya. Mereka menyampaikan kekhawatiran rencana pengosongan rumah pada 4 Februari 2010. ”Kami dengar rumah kami tetap akan dieksekusi,” kata Deborah Lengkey, salah seorang warga.

Menanggapi kekhawatiran para warga, Nyoman mengatakan, secara umum yang berhak melangsungkan eksekusi atas sengketa perdata adalah pengadilan. ”Secara umum demikian, tetapi saya tidak mengerti kalau tentara mempunyai aturan internal,” tuturnya.

Sengketa kepemilikan rumah negara TNI memang sedang hangat diperbincangkan. Konflik ini sudah terjadi sejak tahun 1994 dan telah menjadi siklus yang berulang. Sosiolog UI, Arie Soesilo, yang pernah tinggal di Kompleks Perumahan TNI AD Sumur Batu, Jakarta Pusat, mengatakan, ”Mereka susah untuk diminta pergi karena sudah ada kehidupan di sana sejak puluhan tahun lalu.”

Layaknya sebuah kompleks perumahan, katanya, hubungan bertetangga bahkan bisa menjadi hubungan saudara. Itulah yang menjadi alasan utama mereka tidak mau dipindahkan. Penghuni rumah yang kebanyakan berusia lanjut ini juga telah merasa aman tinggal di kompleks karena tetangga sudah seperti saudara sendiri.

Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI, menyebutkan, peran negara dalam penertiban rumah negara TNI memang berada di tangan TNI. (**/RIZ/BEE/INK/WIN/Kompas)***

Source : Kompas, Selasa, 2 Februari 2010 | 03:03 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

rakyat @ Selasa, 2 Februari 2010 | 07:23 WIB
semua sudah jelas yg namanya komplek milik negara, petingginya memberikan contoh millik negara DITILIP,ini yang dibilang jaman edan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar