PENDIDIKAN DI PEDALAMAN
Bagai Anak Ayam Kehilangan Induk
Yehuda (10) tak langsung menjawab ketika disodori kertas dan diminta membaca rangkaian huruf ’d’ dan ’a’. Dia menggeleng dan berucap, ”Tidak tahu.”
Ketika kertas disodorkan kepada Ranusi Indra (10) yang duduk di sebelah Yehuda, jawabannya juga sama.
Kemampuan baca-tulis kedua anak itu sungguh memprihatinkan. Padahal, keduanya sudah kelas IV SD. Mereka terdaftar sebagai siswa SD Negeri 63 Toho Paloh, Desa Rasan, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Bisa dibilang, Yehuda dan Ranusi belum memiliki kemampuan dasar membaca dan menulis. ”Sekolah sering libur. Tidak ada guru yang datang mengajar,” papar Ranusi.
Begitu tak ada pertanyaan lagi, Yehuda dan Ranusi langsung berlari meninggalkan rumah Asyelen, Kepala Dusun Toho Paloh, dan bergabung dengan belasan anak yang mulai berdatangan ke lapangan depan sekolah.
Olahraga
Sabtu (15/5) pagi itu sebetulnya bukan waktu untuk mata pelajaran Olahraga. Namun, karena tak ada satu guru pun yang datang mengajar, murid-murid memilih kegiatan yang paling mereka suka: meninggalkan kelas dan bermain di lapangan.
”Seringlah Bang. Kalau hujan, kami libur berhari-hari,” ujar Beni Anjasmara, kelas III SD Negeri 63 Toho Paloh, ketika ditanya seberapa sering guru-guru secara bersamaan tak datang mengajar. Padahal, menurut catatan yang ada di sekolah itu, ada enam guru yang bertugas di sana. Dua di antaranya pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan empat lainnya sebagai guru honorer.
Akhir pekan itu, Kompas yang berkunjung ke Toho Paloh bersama Wakil Ketua DPRD Kabupaten Landak Markus Hamid mendapati kelas-kelas di SD Negeri 63 Toho Paloh tanpa aktivitas. Sepi. Tak ada guru, tak ada murid. Padahal, hari itu hari sekolah.
”Seperti inilah yang kerap terjadi di kampung ini. Kalau ada guru datang, ya mereka belajar. Kalau guru tak datang, ya pergilah anak-anak bermain,” tutur Asyelen.
”Kondisi di pedalaman sana lebih parah, Mas,” kata Hamid menimpali.
Asyelen memperkirakan, sudah dua tahun belakangan ini proses belajar-mengajar di SD Negeri 63 Toho Paloh yang memiliki sekitar 100 murid itu kacau. Tak mengherankan jika siswanya kini cenderung menunggu kabar di rumah tentang ada-tidaknya kegiatan sekolah. Ketika teman-temannya berteriak mengajak sekolah, berarti guru datang mengajar.
”Jangankan kalau hujan turun, saat cuaca cerah pun kadang guru tidak datang. Jadi, wajarlah kalau banyak anak yang sama sekali belum bisa membaca walaupun sudah kelas IV,” ujar Asyelen.
Tinggal di Ngabang
Guru-guru yang mengajar di Toho Paloh itu umumnya tinggal di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak. ”Awalnya ada guru PNS yang mau tinggal di mes di dekat sekolah, tetapi kemudian mereka memilih tinggal di Ngabang sehingga pelajaran menjadi tidak rutin,” kata Asyelen.
Toho Paloh dan Ngabang berjarak sekitar 80 kilometer. Waktu tempuh yang diperlukan sekitar tiga jam karena kondisi jalan buruk. Selepas jalan aspal dan berbatu pada 15 kilometer pertama dari Ngabang, jalan tanah dan berlumpur adalah satu-satunya akses menuju Toho Paloh dan beberapa dusun lain di Desa Rasan.
”Kami sebetulnya sudah sangat berang dengan cara mereka mengajar yang angin-anginan dan sesuka hati. Mau jadi apa anak-anak Toho Paloh kalau sampai kelas IV saja belum bisa membaca karena guru-gurunya sering tidak datang,” gugat Stefanus (40), seorang warga.
Kekesalan serupa dilontarkan mantan Kepala Desa Rasan Aliusman Semon. ”Kami mengeluh pun tidak ada gunanya. Tidak ada solusi. Datang orang baru, kelakuannya juga sama,” tutur Aliusman.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Landak Aspansius, saat ini ada 53.222 peserta didik di 417 SD negeri di Landak. Lebih dari 200 sekolah berada di kecamatan-kecamatan yang aksesnya jauh dari Ngabang dengan infrastruktur jalan buruk.
Secara terpisah, Bupati Landak Adrianus Asia Sidot menyebutkan, terdapat kekurangan sekitar 1.200 guru untuk sekolah-sekolah di pedalaman. Kekurangan guru itu beragam sebabnya, mulai dari ditinggalkan guru yang enggan mengajar, belum ada guru yang mengajar, hingga jumlah siswa sedikit.
”Perilaku guru-guru berstatus PNS yang sering mangkir mengajar itu terus kami monitor. Pembenahan kami lakukan perlahan-lahan karena kami berhadapan dengan sumber daya manusia yang telah lama bekerja nyaman sesuai dengan kehendak mereka selama Orde Baru,” kata Adrianus.
Murid-murid SD di pedalaman Landak, seperti yang terlihat di Toho Paloh dan Rasan, jelas membutuhkan perhatian ekstra agar kualitas mereka bisa lebih baik. Saat ini mereka seperti anak ayam yang ditinggalkan induknya, mengais-ngais tanah sendiri dan berjalan tanpa arah. (A Handoko)***
Source : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 03:50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar