SEKOLAH GUREM
Bertahan di Tengah Berbagai Kesulitan
Bangunan dengan papan nama SMA Dwi Saka, yang menempel di sebelah pintu masuk, itu lebih mirip kamar mandi umum di permukiman kumuh. Ruang guru yang ada di sebelah kanan pintu masuk hanya diisi satu bangku kayu panjang. Ruang kelasnya hanya lantai semen yang bolong di sana-sini. Sekat dindingnya tidak penuh. Satu-satunya pemandangan yang cukup menyegarkan mata hanya catnya yang berwarna hijau muda.
Jumat (30/4) siang itu, di ruang kelas II, seorang gadis belia sedang duduk berhadapan dengan seorang siswa yang matanya kelihatan mengantuk. Dengan sabar gadis itu membacakan definisi kehidupan biotik dan nonbiotik.
”Ini bukan kelas privat, teman-temannya yang lain entah ke mana,” kata Delivia (22), guru honorer yang sudah tiga tahun mengajar di SMA Dwi Saka.
Sore itu Delivia seharusnya memberi mata pelajaran Biologi kepada 30 siswa kelas II. Akan tetapi, di SMA Dwi Saka pengajaran jarang berjalan normal. ”Siswa yang sekolah di sini kebanyakan lulusan program Kejar Paket B. Ada yang pagi dan malam kerja jadi pengamen, makanya sekolah masuknya siang,” kata Syafii, Kepala SMA Dwi Saka.
SMA Dwi Saka termasuk 10 sekolah swasta yang diusulkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk ditutup atau dimerger. Alasan mereka, dalam dua tahun berturut-turut semua siswa kelas III dari sekolah itu tidak lulus ujian nasional alias UN.
”Tahun lalu hanya 13 orang, tidak seberapa heboh. Tahun ini ada 34 orang yang tidak lulus dan kami tiba-tiba ada di media,” kata Syafii sambil tertawa kecut.
Terkena stigma
SMA Dwi Saka yang berdiri sejak tahun 1954 berlokasi di belakang Rumah Sakit Ibu dan Anak Tambak, Kelurahan Pegangsaan, Jakarta Pusat. Berada di lingkungan yang warganya kerap terlibat tawuran, sekolah tersebut harus menanggung stigma sebagai sekolah bermasalah.
”Kami beberapa kali mengajukan proposal bantuan dana, tapi gagal karena pemerintah mengecap sekolah ini banyak masalah. Misalnya, siswa kami dianggap terlibat narkoba, ada di jalur hijau, dan rentan terkena dampak tawuran warga,” kata Syafii.
Untuk operasional harian, seperti membayar gaji guru, sekolah bergantung pada donasi dari yayasan dan sumbangan pendidikan dari siswa yang besarnya Rp 75.000 per orang per bulan. ”Guru di sini kebanyakan pengajar di sekolah lain juga, jadi di sini hanya honorer,” kata Syafii.
Meskipun kesulitan keuangan, SMA Dwi Saka tetap berusaha menerima murid. ”Warga juga minta supaya jangan ditutup, kasihan anak-anak, mau sekolah di mana lagi,” kata Syafii.
Dengan fasilitas dan kualitas siswa yang serba terbatas, sulit mengharapkan siswa kelas III mampu mengerjakan soal-soal UN. Jili (17), siswa kelas III, mengaku paling kesulitan ketika mengerjakan bagian listening dalam ujian Bahasa Inggris. ”Di kelas enggak pernah diajarin,” ujarnya.
Meskipun dikabarkan tidak lulus UN, Jili berencana melamar kerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Pusat. Ia sedang mengurus surat keterangan dari sekolah yang menyatakan sedang menunggu surat kelulusan. Jili pasrah jika manajemen rumah sakit menolak lamarannya karena ia gagal lulus.
”Saya enggak keberatan mengulang. Ijazah SMA penting supaya bisa kerja. Lagi pula di sini enak, gurunya baik-baik, enggak pernah maen tangan sama murid,” kata Jili. (Doti Damayanti)***
Sumber : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010 | 05:17 WIB
widiadmaja kebumen @ Jumat, 7 Mei 2010 | 11:00 WIB
Bukan cerita baru kalau orang lebih suka memperhatikan sekolah megah, murid mewah, gurunya gagah. Berbahagialah orang yang mau berbagai di tengah keterbatasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar