KEBEBASAN BEREKSPRESI
Taring Media Massa di Ranah Politik
Media massa di Indonesia selama 12 tahun terakhir berkembang sangat pesat. Tak dapat dimungkiri, media massa saat ini memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini publik. Lebih dari itu, media semakin jelas menunjukkan taringnya dalam mengawal, bahkan mengubah, kebijakan publik.
Di tengah kebebasan ekspresi berpendapat saat ini, media massa semakin leluasa menjalankan perannya, terutama dalam melakukan kontrol sosial. Kini publik dapat dengan mudah mengakses dan menyaksikan gemuruh aktivitas politik. Ruang-ruang politik, yang sebelumnya hanya dapat diakses secara terbatas oleh kelompok yang juga terbatas, saat ini dapat dengan mudah dijangkau publik secara langsung. Paling tidak, publik dapat dengan leluasa menyimak berbagai pertunjukan politik lewat beragam media informasi, baik melalui televisi, surat kabar, atau media elektronik.
Perubahan pola pemberitaan, terutama televisi, pun tampak mencolok selama beberapa tahun terakhir. Publik kerap disuguhi informasi yang disajikan secara telanjang, apa adanya. Salah satunya adalah sidang Mahkamah Konstitusi (3/11/2009) yang memutar rekaman percakapan Anggodo Widjojo yang disiarkan secara langsung oleh televisi. Esoknya, hampir semua media cetak dan elektronik juga menerbitkan transkrip lengkap rekaman berisi percakapan yang ditengarai rekayasa kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.
Tayangan langsung televisi berdurasi 4,5 jam itu memungkinkan masyarakat untuk menilai secara obyektif bagaimana hukum diperjualbelikan. Contoh lain adalah ketika masyarakat menyaksikan perilaku politisi di gedung DPR yang ditayangkan secara langsung dan utuh saat digelar rapat paripurna membahas kasus Century. Media saat ini menjadi pintu yang membuka akses bagi publik untuk menyaksikan secara langsung proses hukum yang sebelumnya tertutup bagi kelompok terbatas.
Gempuran pemberitaan, yang kerap disajikan secara utuh dan dramatis, tak ayal mengubah perilaku dan pola konsumsi masyarakat terhadap media. Minat publik dalam mengonsumsi berita tampak cukup besar. Kesimpulan ini setidaknya tampak dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan 20-22 November 2010, tentang konsumsi media masyarakat. Lebih dari separuh responden yang menyatakan bahwa sajian berita menjadi menu yang paling mereka minati saat menonton televisi atau membaca, baik lewat surat kabar atau media elektronik.
Tak heran, ketika apresiasi dan kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara menurun, media massa menjadi tumpuan terakhir publik untuk mengambil peran sebagai alat kontrol dalam proses penyelenggaraan negara. Kekuatan pers untuk menggerakkan persepsi publik demikian besar. Hal ini tergambar dari setiap gempuran pemberitaan atas skandal atau isu yang melibatkan lembaga negara, kerap disusul dengan hasil survei yang menunjukkan kemerosotan persepsi publik yang signifikan atas lembaga tersebut.
Di tengah situasi inilah, media memegang peran yang demikian strategis. Mengutip Ellis S Krauss (Democracy and the Media, 2000), media massa di ranah politik dan demokrasi memiliki kekuatan untuk menjalankan empat fungsi pentingnya. Pertama, fungsi media sebagai pengawas (watch dog) terhadap proses pemerintahan melalui ekspose berita tentang kekeliruan dan penyelewengan yang dilakukan pemerintah.
Media juga dapat berperan sebagai penjaga (guard dog) dengan menjalankan fungsinya menyampaikan informasi dan panduan penting yang berpengaruh terhadap penilaian dan keputusan politik masyarakat. Media massa mengambil peran penunjuk jalan (guide dog) dengan menjalankan fungsinya mendidik dan menginformasikan masyarakat soal kebijakan publik. Terakhir, media massa sangat mungkin menjadi peliharaan (lap dog). Dalam hal ini, media menjadi alat penguasa (termasuk pemilik modal) berkomunikasi dengan rakyat untuk memobilisasi dukungan terhadap segala kebijakan, otoritas, dan kinerja institusinya. (Suwardiman/Litbang Kompas)***
Source : Kompas, Senin, 07 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar