Selasa, 08 Juni 2010

12 RSBI Turun Status

12 RSBI Turun Status

Jabatan Kepala Sekolah Imbal Jasa dalam Pilkada

JAKARTA - Sebanyak 12 SMP/SMA/ SMK berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional di beberapa daerah turun status menjadi sekolah standar nasional atau SSN. Sekolah yang statusnya turun tersebut bisa mengikuti program RSBI kembali dari awal.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto, Senin (7/6), mengatakan, hasil evaluasi tahunan terhadap rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) menunjukkan ke-12 RSBI itu tidak memenuhi persyaratan.

”Kami masih memberikan kesempatan bagi SMK untuk memperbaiki diri. Namun, untuk SMA dan SMP langsung drop karena tidak sesuai standar,” ujarnya.

Menurut Suyanto, untuk sekolah berstatus RSBI tidak ada kompromi. ”Penilaiannya go atau no go. Kami ingin membangun sekolah berkualitas sehingga tidak boleh sembarangan,” kata Suyanto.

Proses evaluasi sudah dilakukan sejak tahun kedua sekolah itu menjadi RSBI. Poin-poin yang dinilai, antara lain, adalah kepemimpinan kepala sekolah, proses pembelajaran, dan penggunaan dua bahasa dalam kegiatan belajar-mengajar. Hasil evaluasi terhadap ke-12 sekolah berstatus RSBI itu menunjukkan, faktor kegagalan paling utama ada pada kepemimpinan kepala sekolah.

”Banyak sekolah di daerah yang tercampuri urusan politik daerah,” kata Suyanto.

Ia memberikan gambaran, sejumlah kepala sekolah diganti oleh orang-orang yang termasuk tim sukses bupati atau wali kota dalam pemilihan kepala daerah.

”Jabatan kepala sekolah sebagai balas jasa keberhasilan dalam pemilihan kepala daerah,” kata Suyanto.

Sekarang, lanjut Suyanto, sudah ada perjanjian antara pemerintah pusat dan daerah. Jika ada kepala sekolah berstatus RSBI yang akan diganti, daerah harus memberi tahu terlebih dahulu. ”Langkah ini untuk menghindari muatan politik,” ujarnya.

Bukan di Jakarta

Suyanto tidak menjelaskan nama ke-12 RSBI yang turun status tersebut. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, tidak ada satu sekolah RSBI pun di DKI Jakarta yang turun status.

Menurut dia, evaluasi dilakukan terhadap RSBI yang sudah berjalan enam tahun. ”Program RSBI di DKI Jakarta baru berjalan empat tahun. Jadi, kami baru melakukan evaluasi dua tahun mendatang,” ujarnya.

Menurut Suyanto, perlakuan berbeda yang diberikan kepada SMK karena pemerintah kesulitan untuk mencari sekolah pengganti yang bisa dijadikan sebagai RSBI.

Direktur Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas Joko Sutrisno mengatakan, dari hasil evaluasi terhadap SMK berstatus RSBI ternyata masih ada sekolah yang belum menerapkan penggunaan dwibahasa di dalam kegiatan belajar-mengajar. Padahal, penggunaan dwibahasa di sekolah ini yang menjadi faktor utama di RSBI.

”Evaluasi masih berjalan. Sudah ketahuan ada 6-7 SMK, sebagian ada di Jakarta. Mereka sudah diberi peringatan yang keras,” ujarnya.

Selain penggunaan dwibahasa, di beberapa SMK juga ditemukan persoalan penggunaan teknologi informasi komunikasi sebagai sarana pembelajaran. Persoalan ini terkait dengan ketersediaan perangkat-perangkat yang masih minim. ”Kami masih memberikan kesempatan memperbaiki karena RSBI ini masih harus dituntun,” kata Joko.

Secara terpisah, anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah (Partai Golkar), menilai RSBI sebenarnya masih menghadapi persoalan pada aspek legal, konsep, dan faktual, antara lain, seperti pemenuhan kualifikasi guru dan sarana-prasarana. Akibatnya, definisi RSBI tidak jelas dan menciptakan pemahaman yang beragam.

Padahal, idealnya, RSBI adalah upaya menyamakan kualitas sekolah di dalam negeri dengan di negara lain.

Ferdiansyah menambahkan, sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah turunan dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang bisa memperjelas soal pungutan dari orangtua siswa. ”KeMendiknas terlalu banyak janji untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang menyangkut peserta didik,” ujarnya. (LUK/Kompas)***

Source : Kompas, Selasa, 8 Juni 2010 | 04:27 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar