Sabtu, 05 Juni 2010

Memberikan kuota 20 persen bagi siswa miskin untuk masuk rintisan sekolah berstandar internasional atau RSBI bukanlah solusi yang tepat

Kuota Siswa Bukan Solusi RSBI

Mengganggu Psikologi Siswa

JAKARTA - Memberikan kuota 20 persen bagi siswa miskin untuk masuk rintisan sekolah berstandar internasional atau RSBI bukanlah solusi yang tepat. Sebab, akar masalahnya bukan kuota, melainkan diperbolehkannya RSBI memungut dana dari orangtua siswa tanpa batas.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia M Dimyati mengingatkan, sekolah yang membuka kelas reguler dan kelas rintisan internasional bersamaan dalam satu sekolah harus mempertimbangkan dampak psikologis pada anak.

”Coba bayangkan bagaimana perasaan anak-anak 20 persen itu yang tidak punya laptop atau handphone canggih, sementara mayoritas anak membawa. Ini kan memunculkan kasta baru,” kata Dimyati, Jumat (4/6).

Jika situasi ini terus berlanjut, lama-kelamaan siswa bisa minder dan akan menemui kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pemerintah seharusnya menciptakan pendidikan yang egaliter dan tidak kapitalis.

Akan lebih baik apabila pemerintah membuat satu sekolah unggulan saja dengan biaya penuh dari pemerintah dan pemerintah daerah sehingga tidak akan mencolok diskriminasi antara siswa kaya dan miskin.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan di Bandung mengatakan, kesempatan mendapatkan pendidikan bermutu seharusnya tidak dikaitkan dengan masalah pembiayaan, tetapi kemampuan siswa.

”Seharusnya, seluruh biaya ditanggung pemerintah pusat dan daerah. Sekolah tidak perlu lagi memungut dana dari masyarakat karena kucuran dana yang diperoleh sudah sangat besar,” kata Iwan. Jika sekolah menganggap dana yang diperoleh belum mencukupi, mestinya menyusun prioritas kebutuhan.

Tidak memungut

Di Papua, dana RSBI didukung penuh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sekolah tidak boleh lagi memungut dana dari masyarakat.

”Meski terasa berat bagi daerah, Papua membutuhkan terobosan untuk memajukan pendidikan,” kata Ketua Komisi E DPRD Papua Max Mirino.

Selain memberikan kesempatan luas bagi siswa miskin berpotensi, guru-guru juga ditingkatkan kualitasnya, antara lain, dengan diwajibkan kursus Bahasa Inggris.

”Seluruh biayanya ditanggung pemerintah provinsi,” kata Max Mirino.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, RSBI diperbolehkan memungut biaya dari orangtua meski telah menerima dana dari APBN dan APBD. Pungutan itu digunakan untuk biaya operasional pengembangan kapasitas menuju standar kualitas sekolah berstandar internasional (SBI). (LUK/CHE) ***

Source : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:02 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar