Rabu, 13 Januari 2010

Tanpa sistem penilaian yang tepat, sistem pendidikan yang kita jalankan selama ini hampir pasti tidak jelas arahnya

Mengatasi Kebuntuan UN

Oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro

Perbedaan pendapat antara pemerintah dan masyarakat tentang ujian nasional atau UN terus meruncing, bahkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung, akhirnya Presiden dalam sidang kabinet terbatas harus memutuskan adanya dua opsi penyelesaian polemik UN.

Agak mengkhawatirkan memang kalau UN harus dipertentangkan dan harus diputuskan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi. Artinya, kita belum memiliki sistem penilaian kelulusan yang tepat untuk sistem pendidikan yang selama ini kita jalankan.

Tanpa sistem penilaian yang tepat, sistem pendidikan yang kita jalankan selama ini hampir pasti tidak jelas arahnya dan tidak pernah meningkat mutunya. Bagaimana kita dapat mengetahui mutu kita kalau kita tidak mempunyai sistem penilaian yang tepat.

Hakikat penilaian

Penilaian dilakukan terhadap suatu capaian yang dibandingkan dengan kondisi awal atau kondisi sebelumnya. Dengan penilaian yang tepat, kita dapat mengetahui berapa besar nilai tambah capaian seseorang, artinya seorang peserta didik dinilai lebih dahulu kondisi akademik awalnya, setelah itu dinilai kembali kondisi akademiknya pada saat menyelesaikan masa belajar.

Kalau tingkat capaiannya terlalu rendah berarti ada yang salah dengan proses pendidikannya. Sebaliknya, kalau tingkat capaiannya terlalu tinggi, maka sistem pendidikannya kurang tepat untuk kategori usia belajar tertentu. Penilaian seperti ini hanya mungkin dilaksanakan oleh sekolah atau institusi pendidikan karena harus dilakukan secara berkala dan untuk setiap individu, tidak dapat dilakukan secara massal.

Peran guru atau pendidik sangat penting dalam penilaian ini karena mereka yang paling mengetahui kondisi peserta didik secara terus-menerus selama masa belajar.

Hakikat kelulusan

Setelah diketahui capaian peserta didik selama masa belajar, maka kemudian ditentukan apakah capaian tersebut memenuhi syarat untuk kelulusan atau tidak. Artinya, kita memerlukan suatu kriteria mengenai kelulusan dan umumnya kriteria tersebut sangat terkait erat dengan tingkat kebisaan yang dimiliki peserta didik. Untuk itu, kita biasanya merujuk kepada salah satu standar kebisaan yang sifatnya mendasar dan universal, atau kalau ingin meningkatkan mutu biasanya kita merujuk kepada standar kebisaan yang lebih tinggi yang digunakan oleh negara maju.

Salah satu contoh standar kebisaan yang mendasar adalah kemampuan berbicara, membaca, menulis, dan berhitung bagi peserta didik tingkat sekolah dasar. Dengan dipilihnya standar kebi- saan yang akan dirujuk, maka kita dapat menentukan kelulusan peserta didik, yaitu apabila peser- ta didik mencapai atau melebihi standar kebisaan yang berlaku.

Pemilihan standar kebisaan seyogianya disesuaikan dengan perkembangan global karena kita hidup bermasyarakat dengan dunia internasional dan kita mempunyai harapan untuk di kemudian hari mampu berkiprah di forum internasional setelah terlebih dahulu menciptakan masyarakat yang madani dan demokratis di Indonesia.

Solusi untuk UN

Proses penilaian kelulusan sepenuhnya dilakukan oleh sekolah atau institusi pendidikan melalui guru atau pendidik serta kepala sekolah atau pimpinan institusi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)-nya, menetapkan standar kebisaan yang berlaku nasional dan menetapkan kisi-kisi soal ujian yang disesuaikan dengan standar kebisaan tersebut.

Seandainya ada sekolah yang belum mampu menyusun soal ujiannya sendiri karena kebetulan memang berada di daerah terpencil sehingga kondisinya sangat lemah, BSNP membantunya dengan memberikan contoh atau format soal sesuai kisi-kisi BSNP. Untuk mencegah adanya penyimpangan oleh sekolah, maka secara berkala dan terus-menerus BSNP melakukan uji petik terhadap sekolah, untuk dilihat apakah sekolah tersebut telah memenuhi standar dan kisi-kisi yang ditetapkan.

Jika terjadi penyimpangan, maka sekolah tersebut masuk dalam kategori pencekalan dan diumumkan kepada masyarakat melalui media massa.

Satryo Soemantri Brodjonegoro,

Guru Besar Universitas Teknologi Toyohashi, Jepang;

Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

Source : Kompas, Rabu, 13 Januari 2010 | 02:58 WIB

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

adi @ Rabu, 13 Januari 2010 | 12:53 WIB
bagus n setuju.

fritz fios @ Rabu, 13 Januari 2010 | 12:38 WIB
Saya pikir UN mesti tetap ada, namun usul untuk diatur oleh sekolah masing-masing sangat bijak dan cerdas. Lanjutkan dengan lebih cepat bagi siswa Indonesia.

isk @ Rabu, 13 Januari 2010 | 11:32 WIB
setuju usul pak Satryo, lanjutkan...!

nasionalist @ Rabu, 13 Januari 2010 | 10:41 WIB
Polemik mengenai UN berlanjut terus karena Depdiknas tidak mampu meyakinkan masyarakat bahwa UN adalah usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Erlan Dewani Azis @ Rabu, 13 Januari 2010 | 08:01 WIB
Tawaran solusi yang sangat cerdas dan bijak, patut diterima untuk diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar