Rabu, 27 Januari 2010

OTONOMI DAERAH BANTEN (1) Ironi dari Banten Selatan

Kajian Pelaksanaan Otonomi Daerah Provinsi Banten

JALAN RUSAK DI PANDEGLANG - Para pengendara menghindari lubang di tengah Jalan Saketi-Bojong-Picung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, Sabtu (23/1). Sepanjang tahun, jalan utama di daerah selatan Banten itu selalu rusak sehingga mengganggu distribusi hasil bumi dan barang dari dan ke selatan Banten. (Foto:Kompas/Anita Yossihara)***

OTONOMI DAERAH BANTEN (1)

Ironi dari Banten Selatan

Oleh Anita Yossihara/C Anto Saptowalyono

Hujan belum lagi reda pada Sabtu (23/1) siang di Desa Ciherang, Kecamatan Picung, Kabupaten Pandeglang, Banten. Seorang perempuan setengah baya, bernama Tini, tergopoh-gopoh berjalan kembali ke rumahnya di Kampung Cisema, Desa Ciherang.

Mau jual ayam Rp 20.000 malah ditawar Rp 10.000,” teriaknya dalam bahasa Sunda dialek Banten Pakidulan saat melewati warung milik Jani, tetangganya.

”Kalau barang cari uang memang susah, tetapi kalau uang cari barang itu gampang,” timpal Rosyid, penjual es keliling yang kebetulan berteduh di warung Jani.

Hari itu Tini menawarkan ayam miliknya kepada dua tetangganya di Kampung Cisema. Ia mematok harga Rp 20.000 untuk satu ekor ayam, tetapi selalu ditawar Rp 10.000.

Menurut Jani, warga di desa itu memang selalu kesulitan menjual hewan ternak atau hasil bumi. Kalaupun ada yang membeli, pasti ditawar dengan harga serendah-rendahnya. Satu butir kelapa, misalnya, hanya laku dijual dengan harga antara Rp 200 dan Rp 500, tergantung ukuran dan kondisi kelapa. Begitu pula satu tandan pisang dihargai Rp 3.000 saja.

Karena sulitnya menjual hewan ternak ataupun hasil bumi, tak sedikit warga yang saling bertukar barang atau barter. Warga biasanya menukar beras dengan minyak goreng, garam, dan bahan makanan lain yang tidak bisa dibuat atau dimiliki sendiri. Bahkan, mereka juga kerap menukar hewan ternak untuk mendapatkan peralatan dapur, seperti piring, gelas, panci, penggorengan, baskom, dan ember. Satu ekor ayam ukuran sedang, misalnya, ditukar dengan enam gelas.

Kondisi semacam itu sebenarnya terjadi hampir di seluruh wilayah di Banten bagian selatan, khususnya di Kabupaten Pandeglang. Hasil bumi yang melimpah ruah belum bisa membuat masyarakat sejahtera.

Infrastruktur buruk

Seperti efek domino, masalah itu muncul lantaran buruknya infrastruktur jalan dan kurangnya sarana transportasi. Jalan utama yang menghubungkan Pandeglang dan Lebak Selatan selalu rusak. Kerusakan parah terutama terjadi dari perbatasan Kecamatan Saketi-Bojong-Picung, Pandeglang. Jalan sepanjang 11 kilometer itu menyerupai sungai berbatu yang dipenuhi lumpur.

Lubang besar menganga di tengah atau di tepi jalan. Pada musim hujan seperti saat ini, jalan menjadi licin karena dipenuhi air dan lumpur. Pengendara harus berjalan pelan dengan kecepatan rata-rata 10 kilometer per jam. Jarak 11 kilometer yang bisa ditempuh paling lama 15 menit menjadi lebih dari satu jam.

Setiap tahun, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi mengalokasikan dana puluhan miliar rupiah untuk perbaikan dan perawatan jalan utama di Banten selatan itu. Namun, biasanya, jalan kembali rusak dua hingga tiga bulan setelah diperbaiki.

”Dari dulu begini saja jalannya. Paling ditambal sedikit. Dua bulan hancur lagi,” tutur Munah, warga yang sudah puluhan tahun menempati rumah di tepi Jalan Saketi-Bojong.

Kerusakan jalan pun mendera warga secara ekonomi. Batu-batu yang bermunculan di balik aspal yang mengelupas acapkali menghantam ban sehingga bocor. Cekungan di jalan rusak pun bisa mematahkan per.

Ade, sopir truk, misalnya, hampir tiap minggu mengganti salah satu ban setiap kali mengantar pasir dari Jalupang, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak, menuju ke luar daerah. ”Sekali menambal keluar Rp 10.000, tetapi kalau bannya hancur luar dalam terpaksa harus ganti total sampai Rp 1,5 juta,” katanya. Belum lagi kalau per kendaraan patah, uang sekitar Rp 1 juta pun harus direlakan untuk membelinya.

Pengeluaran seperti ini mengurangi pendapatan yang diperoleh Ade. Ia juga mengaku heran mengapa jalan terus rusak, padahal sopir seperti dirinya selalu membayar retribusi setiap kali melintas.

Apabila sepanjang jalan kendaraannya tidak rusak, dikurangi uang bahan bakar minyak dan pungutan retribusi, dari upah Rp 240.000 untuk sekali mengantar truk dia memperoleh pendapatan bersih Rp 60.000. Bila roda bocor atau per patah, dia harus menanggung biayanya.

Bukan hanya itu, kondisi jalan penghubung antarkecamatan dan poros desa juga minim. Jalan penghubung antar-Kecamatan Sindangresmi-Munjul dan Munjul-Cikeusik, misalnya, sudah puluhan tahun hancur. Lapisan aspal mengelupas, hanya menyisakan bebatuan dan lubang di sana-sini.

Bahkan, sebagian besar jalan poros desa di daerah itu sama sekali belum pernah tersentuh aspal. Badan jalan hanya berupa tanah yang dipadatkan, atau tumpukan batu. Satu-satunya alat transportasi antardesa yang bisa digunakan adalah ojek sepeda motor karena mobil angkutan umum hanya melintasi jalan antarkecamatan.

Buruknya akses jalan dan minimnya transportasi mengakibatkan banyak desa terisolasi. Di Kecamatan Munjul, misalnya, ada tiga desa yang terisolasi, yakni Lebak, Panacaran, dan Curunglanglang. Begitu pula Desa Pasirloa, Pasir Lancar, Campakawarna, Kadu Malati, dan Pasirdurung, Kecamatan Sindangresmi.

Daerah lain yang terisolasi juga bisa ditemukan di Kecamatan Cibaliung, Sumur, dan Cimanggu di Pandeglang. Adapun di Lebak, sejumlah desa di Kecamatan Panggarangan, Cihara, Cilograng, Cibeber, dan sebagainya. ”Kalau soal infrastruktur, dari waktu Jawa Barat sampai sekarang sudah jadi Provinsi Banten masih sama. Jalan tetap rusak,” tutur Mugni Amir, tokoh pemuda Banten selatan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila daerah selatan Banten masih tetap menjadi kantong kemiskinan. Pandeglang dan Lebak yang berada di wilayah selatan Banten adalah dua dari 199 daerah tertinggal di Indonesia.

Persentase jumlah keluarga miskin di kedua kabupaten itu pun tergolong tinggi. Hasil pendataan keluarga Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Banten tahun 2007 diketahui, Pandeglang dan Lebak memiliki jumlah keluarga prasejahtera terbanyak dibandingkan kabupaten/kota lain di Banten. Persentase keluarga prasejahtera di Pandeglang mencapai 30 persen atau 80.756 dari 269.093 keluarga dan di Lebak 25,8 persen (73.750 dari 285.407 keluarga).

Mayoritas penduduk Banten selatan bekerja sebagai petani. Dari 83.275 warga berusia di atas 15 tahun yang bekerja di Pandeglang, 55 persennya sebagai petani. Di Lebak jumlahnya mencapai 56 persen dari 92.978 orang total penduduk bekerja.

Utara maju pesat

Berbeda dengan daerah selatan yang tertinggal, pembangunan di utara Banten maju pesat. Infrastruktur jalan relatif lebih baik dibandingkan selatan. Selain jalan nasional dan provinsi yang kualitasnya cukup baik, kawasan utara juga memiliki akses jalan tol sepanjang lebih-kurang 145 kilometer, yang menghubungkan Tangerang-Merak dan Merak-Tangerang.

Ketersediaan infrastruktur yang memadai pun dengan sendirinya menarik minat investor. Daerah utara dari Cilegon, Serang, dan Tangerang pun menjadi pusat perdagangan dan jasa. Pertumbuhan terlihat dari kian banyaknya pusat perbelanjaan dan jasa yang tumbuh di sepanjang jalan protokol di utara Banten.

Kawasan itu juga menjadi pusat industri di Banten. Sedikitnya terdapat 18 kawasan industri yang berada di sepanjang pesisir utara, dari Anyer, Ciwandan, Cigading, Kragilan, Balaraja, Cikupa, Pasar Kemis, hingga Serpong.

Selama ini sektor industri, perdagangan, dan jasa menjadi penyokong terbesar perekonomian di Banten. Sektor industri rata-rata menyokong 47 persen produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Banten. Sektor perdagangan serta hotel dan restoran menyumbang 19 persen PDRB, jasa 5,32 persen. Penyokong terbesar perekonomian Banten itu terpusat di daerah utara.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Banten, PDRB atas dasar harga berlaku terus mengalami peningkatan. Dari Rp 73,71 triliun pada 2004, naik menjadi Rp 84,62 triliun pada 2005, dan terakhir tahun 2009 mencapai Rp 122,49 triliun.

Pesatnya pertumbuhan industri, perdagangan, dan jasa itu yang mendongkrak tingkat kesejahteraan penduduk di kawasan utara Banten. Persentase warga yang tergolong keluarga prasejahtera di bawah 25 persen. Di Kabupaten Serang (termasuk Kota Serang) tercatat 24 persen keluarga prasejahtera, Kabupaten Tangerang (termasuk Kota Tangerang Selatan) sebesar 19,8 persen, Kota Tangerang (6,13 persen), dan Kota Cilegon (11,7 persen). Mayoritas penduduk di utara masuk kategori sejahtera tahap I hingga tahap III plus.

Mayoritas warga bekerja di sektor produksi sebagai buruh atau staf yang memiliki penghasilan tetap. Dari 536.942 warga berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di Kabupaten Tangerang, 43 persen bekerja di sektor industri. Begitu pula di Kota Serang, 39 persen dari 223.123 penduduk bekerja di sektor produksi. Kota Tangerang sebesar 46 persen (dari 251.064) dan Cilegon (44 persen).

Ibarat siang dan malam, seperti itulah kondisi daerah utara dan selatan Banten. Setelah hampir 10 tahun berpisah dari Jawa Barat, daerah utara makin gemerlap dan selatan masih saja gelap, dengan kemiskinannya. ***

Source : Kompas, Selasa, 26 Januari 2010 | 03:24 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar