Sabtu, 30 Januari 2010

OTONOMI DAERAH BANTEN (5-HABIS) Berkah Jurus Transparansi

OTONOMI DAERAH BANTEN (5-HABIS)

Berkah Jurus Transparansi

Oleh Anita Yossihara dan C Anto Saptowalyono

Bara Menjadi Daya. Demikian judul buku yang disusun Pemerintah Kabupaten Lebak untuk memperingati hari jadi ke-181 Kabupaten Lebak, Banten, 2 Desember 2009.

Judul buku itu tidaklah berlebihan untuk menceritakan semangat Lebak mengatasi ketertinggalan. Semua energi difokuskan untuk menggali semua potensi demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Pemberlakuan otonomi daerah pada kabupaten/kota tahun 1999 menjadi peluang untuk melepaskan diri dari keterbelakangan.

Sejarah Lebak adalah sejarah penindasan. Kekayaan alam yang berlimpah belum bisa menyejahterakan masyarakatnya. Selama ratusan tahun, sumber daya alam di daerah itu dieksploitasi. Uangnya mengalir ke penguasa dan pemilik modal.

Kandungan emas di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), misalnya, sudah ditambang sejak 1936. Pemerintah Hindia Belanda membangun perusahaan NV Mynbauw Maatchappij Zuid Bantam (NV MMZB) di Cikotok, Lebak, untuk penambangan emas. Tambang emas itu sempat diambil alih Jepang, menyusul kekalahan Belanda pada 1942. Jepang mengganti nama perusahaan itu dengan nama Mitsi Kosha Kabushikikaisha.

Setelah Indonesia merdeka, perusahaan tambang emas itu dikelola PT Aneka Tambang (Antam), salah satu badan usaha milik negara. Setelah 74 tahun ditambang, kandungan emas semakin menipis. Sisa-sisa urat emas semakin sulit ditemukan. Sementara masyarakat Lebak masih tetap terbelit dengan kemiskinan.

Hingga saat ini, Kabupaten Lebak masih terdaftar sebagai salah satu dari 199 daerah tertinggal di Indonesia. Sekitar 51 persen dari 1,2 juta warga Lebak masih tergolong miskin.

Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah mengatakan, kemiskinan di Lebak merupakan kemiskinan struktural karena merupakan peninggalan masa lalu. Kemiskinan terjadi karena masyarakat Lebak tidak memiliki tanah atau lahan untuk digarap. Dari 304.472 hektar tanah di Lebak, sebagian besar dikuasai negara dan perusahaan swasta.

Lahan seluas 43.000 hektar termasuk wilayah TNGHS, seluas 33.000 hektar dikuasai Perhutani, 67.000 hektar dikuasai perkebunan negara dan swasta, serta seluas 5.130 hektar merupakan tanah ulayat masyarakat adat Baduy.

Satu keluarga di Lebak rata-rata memiliki 0,57 hektar atau sekitar 1.200 meter per jiwa. Akibatnya, warga tidak bisa menggarap lahan sebagai sumber mata pencarian. Umumnya, keluarga miskin tinggal di sekitar perkebunan, taman nasional, dan hutan. Mereka bekerja sebagai buruh perkebunan secara turun-temurun.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak sadar betul akan ketertinggalan dan keterbatasan yang mereka miliki. Selain kemiskinan, yang menjadi permasalahan utama Kabupaten Lebak adalah infrastruktur yang minim, sumber daya manusia yang rendah, dan kurang optimalnya pengelolaan sumber daya alam.

Dengan kondisi riil seperti itu, tak mengherankan apabila otonomi daerah dijadikan cambuk bagi Lebak untuk melenyapkan ketertinggalan. Hasilnya pun positif. Produk domestik regional bruto (PDRB) Lebak tumbuh pesat pasca-otonomi daerah. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lebak menyebutkan, PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2004 masih Rp 4,1 triliun.

Angka tersebut terus naik menjadi Rp 5,43 triliun pada 2006, Rp 6,02 triliun pada 2007, Rp 6,74 triliun pada 2008, dan terakhir pada 2009 naik menjadi Rp 7,47 triliun. Meningkatnya PDRB praktis membuat pendapatan asli daerah (PAD) Lebak meningkat.

Pada 2004, PAD Lebak masih Rp 11 miliar, tetapi terus meningkat hingga pada 2009 mencapai Rp 67 miliar. Angka itu jauh di atas PAD Lebak sebelum 1999 yang selalu berkisar Rp 2 miliar-Rp 4 miliar. ”Tetapi, PAD bukanlah tujuan. Tujuan kami adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tutur Amir.

Keterbukaan informasi

Untuk itu, Lebak berupaya menarik investor dengan orientasi pedesaan. Pemkab Lebak meyakini, salah satu cara untuk mengundang investor adalah keterbukaan informasi. ”Transparansi dan akuntabilitas itu menguntungkan. Tidak ada daerah maju yang tidak transparan dan maju,” tutur Amir.

Maka, pada 2004, Pemkab Lebak menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tentang Transparansi dan Partisipasi. Dibentuk pula Komisi Transparansi dan Partisipasi yang menjadi pemantau, pengawas, fasilitator, dan mediator terkait penerapan perda itu.

Perda tersebut menjamin keterbukaan informasi. Tidak seperti daerah lain di Banten yang cenderung menutup-nutupi informasi, Lebak malah membuka semua dokumen pemerintah. Warga juga tidak dilarang mengkritisi dokumen-dokumen pemerintah. Semua pegawai pemerintah dilarang menutup-nutupi informasi.

Langkah lain yang dilakukan adalah peningkatan kinerja pemerintahan dan pelayanan publik. Beberapa waktu lalu, Pemkab Lebak memecat lima pegawai karena bertahun-tahun tidak melakukan kewajibannya.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi target penting. Sebab, rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Untuk itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan akses pendidikan, antara lain, dengan pemberian beasiswa dan pendidikan gratis.

Gali potensi

Upaya peningkatan kesejahteraan itu juga dilakukan dengan menggali atau mengembangkan potensi ekonomi lokal. Sejak tahun lalu, Pemkab mencanangkan gerakan penanaman singkong, juga gerakan penanaman kayu, seperti albasia, jabon, dan lamek. ”Tanaman-tanaman itu banyak dibutuhkan industri,” ujar mantan Kepala Bappeda Lebak tersebut.

Peningkatan ekonomi masyarakat juga perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur. Dengan harapan agar distribusi hasil bumi dari desa makin mudah, Pemkab pun mencanangkan ”hotmix masuk desa”. ”Dulu jalan masih banyak yang batu-batu, sekarang sudah hotmix sampai ke desa-desa,” kata Nia, warga Leuwikawung, Kecamatan Rangkasbitung.

Pada tahap ini, ”pesan” pemerintah tampaknya sampai ke warga. Boleh jadi karena berkah transparansi.

Jika daerah tertinggal seperti Lebak berani transparan, mengapa daerah lain tidak? ***

Source : Kompas, Sabtu, 30 Januari 2010 | 02:46 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar