Sabtu, 16 Januari 2010

Candi Muaro Jambi Masuk Dalam Daftar Warisan Dunia (World Heritage List)

Anak Tangga Candi Muaro Jambi
Anak tangga dari Candi Tinggi di kompleks Candi Muaro Jambi, yang diperkirakan menjadi akses bagi umat Buddha (pada masa lalu) untuk mengitari tubuh atas candi sebelum melakukan persembahyangan. Umumnya, kondisi semua candi di kompleks Candi Muaro Jambi tidak utuh karena terbuat dari batu bata yang mudah korosi oleh cuaca. Diperkirakan masih terkubur 82 candi di kompleks seluas 2.062 hektar ini. Saat ini, yang telah dan sedang dipugar sekitar 12 candi. (Foto : Kompas/Timbuktu Harthana)***

Desa Wisata Pelengkap Warisan Budaya

Oleh Timbuktu Harthana

Target Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi adalah membawa Candi Muaro Jambi masuk dalam daftar warisan dunia (world heritage list) menyusul Candi Borobudur dan Prambanan, yang 19 tahun lebih awal telah tercatat di daftar itu. Perlahan, kawasan di sekitarnya mulai dibenahi dan disiapkan menjadi desa wisata, dengan harapan cita-cita besar tersebut segera tercapai. Setidaknya, Candi Muaro Jambi harus bersaing dengan kampung Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan sistem subak di Bali yang telah masuk dalam daftar sementara Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yang menilai dan menetapkan sebuah situs layak disebut sebagai warisan dunia. Untuk itu, butuh kerja keras dosir (berkas dan dokumen) tentang Candi Muaro Jambi yang dibuat Pemerintah Provinsi Jambi bersama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, akhir tahun 2009, untuk mampu meyakinkan UNESCO.

Selain itu, banyak hal yang harus disiapkan agar itu terwujud. Salah satunya adalah menata masyarakat sekitar candi supaya lebih peduli dan memanfaatkan Candi Muaro Jambi sebagai bagian dari kegiatan hidup mereka. ”Kami menargetkan, tahun 2015 Candi Muaro Jambi sudah masuk sebagai warisan dunia,” ujar Agus Widiatmoko dari Bagian Publikasi dan Dokumentasi BP3 Jambi.

Sebagai kompleks percandian kuno sisa peninggalan masa keemasan agama Buddha di Nusantara, sekitar abad VII-XIV, Candi Muaro Jambi menyimpan keagungan budaya yang belum tergali. Lebih-lebih kehidupan masyarakatnya, yang kaya nilai-nilai kegotongroyongan, kepedulian sosial, dan kebersamaan. Bahkan, senyum ramah warga Desa Muaro Jambi, desa terdekat dengan kompleks candi, merupakan modal kuat desa tersebut menjadi desa wisata.

Berjarak 35 kilometer arah utara Kota Jambi, atau 45 menit jika ditempuh dengan kendaraan bermotor melewati jalan darat, Candi Muaro Jambi ternyata bisa diakses lewat jalur Sungai Batanghari.

Menggunakan perahu ketek, dari kawasan wisata Tanggo Rajo di pusat Kota Jambi, waktu tempuhnya tak lebih dari 30 menit. Jika ingin merasakan budaya sungai masyarakat Jambi, rute Batanghari bisa menjadi pilihan. Ongkosnya sekitar Rp 200.000-Rp 250.000 per perahu ketek untuk 10-15 orang.

Tidak seperti tiga empat tahun lalu, sekarang ini jalan menuju Candi Muaro Jambi semuanya beraspal. Rute menuju ke candi pun banyak pilihan, yakni melalui daerah Olakkemang, sembari mampir ke pusat perajin batik khas Jambi, atau melalui rute lama, lewat Sengeti. Lebih disarankan lewat rute Olakkemang karena bakal banyak dijumpai rumah panggung berarsitektur kuno dengan ukiran kayu Jambi lama. Tentunya menarik sekali untuk diabadikan dengan kamera foto atau direkam dengan kamera video.

Masuk ke kawasan kompleks percandian, beberapa pemuda desa di pos keamanan menyapa ramah para pengunjung yang datang. Gaya mereka santai, tetapi tetap sopan. Di antaranya adalah Brata dan Abdul Haviz yang tergabung dalam Paguyuban Pemuda Candi Muaro Jambi (PPCMJ). Mereka siap menjadi pemandu bagi wisatawan yang haus informasi tentang candi. Mereka juga mitra dari BP3 Jambi, yang secara tak langsung menjadi garda depan pelestarian candi.

Biasanya, pemandu akan mengantar wisatawan keliling ke lokasi-lokasi candi yang telah dipugar, seperti Candi Gumpung, Candi Tinggi, dan Tinggi I, Candi Kembar Batu, Candi Gedong, hingga ke Candi Astano. Pastinya sedikit melelahkan, apalagi di tengah hari yang terik. Sebab, jarak antarcandi sekitar 200-400 meter dan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan setapak bersemen selebar 1 meter.

Dalam perjalanan menyusuri candi dan menapo yang mengubur reruntuhan candi akan dijumpai sejumlah masyarakat desa yang memiliki kebun buah- buahan di sekitar candi. Pohon durian, rambutan, dan duku paling banyak ditanam di sana. Buah duku Jambi yang berukuran besar dan berasa manis itu kebanyakan dikirim ke Jakarta dan dijual dengan label duku Palembang. Maklum, duku Palembang sudah punya nama, sedangkan duku Jambi belum dikenal orang. Padahal, rasanya sama enaknya. Sruupp....

Sinergi

Kesadaran masyarakat mengelola Candi Muaro Jambi sebagai aset pariwisata sudah membenih. Bahkan, menurut tuo tenganai (tokoh masyarakat) di Desa Muaro Jambi, Adam Huri (63), sebagian warga berkeinginan sektor pariwisata Candi Muaro Jambi dikelola bersama pemerintah daerah dan masyarakat desa sekitar kompleks candi. Harapannya, tidak ada warga yang tergusur dari tanah mereka, tetapi warga malah diajak mengelola dan menciptakan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata.

Adam yang juga mantan guru meminta masyarakat jangan sampai digusur atau hanya sebagai penonton. ”Kami tidak mau seperti kasus warga di sekitar Candi Borobudur yang terabaikan. Masyarakat harus diberdayakan,” kata Adam.

Misalnya, menjadikan bekas pemilik lahan menapo sebagai juru pelihara candi. Sejumlah warga juga mulai menyulap rumahnya menjadi rumah inap (home stay) bagi wisatawan yang ingin bermalam dan mengenal kehidupan penduduk lokal Muaro Jambi. Tarifnya sekitar Rp 250.000 per malam.

Abdul Havis yang biasa disapa Ahok menambahkan, PPCMJ terus mencari model-model kegiatan wisata untuk menarik masyarakat mengunjungi Candi Muaro Jambi. Mulai dari mengundang siswa SD di Kabupaten Muaro Jambi agar mereka bisa bercerita kepada keluarganya di rumah hingga gagasan wisata berburu durian. Paket wisata berburu dan menunggu durian runtuh itu terbilang sederhana, tetapi banyak wisatawan asing yang ternyata suka melakukannya.

Ada dua pondok berbentuk rumah panggung sederhana berukuran 4 x 5 meter yang disiapkan, beserta toilet sederhana, bagi turis yang ingin bermalam di kebun menunggui durian jatuh. ”Turis asing suka mendengar bunyi durian yang jatuh, buukk..., tetapi kalau makan durian, mereka tidak doyan,” kata Ahok.

Soal promosi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi terbilang getol menawarkan Candi Muaro Jambi sebagai obyek wisata unggulannya. Tiap pameran pariwisata sampai kerja sama dengan biro perjalanan wisata juga telah digagas. Kini, kunjungan wisatawan di candi ini mencapai 600 orang per bulan dari yang sebelumnya di bawah 500 orang per bulan. Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi Guntur mengatakan, tamu dinas ataupun swasta yang datang ke Kota Jambi pasti diajaknya ke kompleks percandian.

Mempertahankan tradisi

Gagasan desa wisata tampaknya cocok dikembangkan di perkampungan di sekitar Candi Muaro Jambi. Sebab, perkampungan di pinggir Sungai Batanghari ini masih menyisakan beberapa rumah panggung berarsitektur Jambi lawas, termasuk menyediakan perahu sebagai alat transportasi terpenting mereka saat Sungai Batanghari banjir. Bagi orang luar Jambi, hal ini adalah daya tarik yang tak pernah mereka dapati saban hari.

Tradisi gotong royong tetap terjaga sampai sekarang, mulai dari mengadakan pesta pernikahan, melakukan panen raya, sampai mengurus pemakaman. Jika salah satu keluarga menggelar acara pernikahan, tiap warga desa wajib menjadi panitianya. Entah sebagai juru masak atau hanya sebagai penjemput piring yang dipinjam dari kampung tetangga. Semuanya harus terlibat.

Saat ada warga yang meninggal, keluarga yang ditinggalkan tak perlu repot memikirkan prosesi pemakaman karena semuanya diurus oleh persatuan kematian. Warga yang datang melayat umumnya menolak jika disuguhi makanan dan minuman, sebagai bentuk belasungkawa mereka. Seperti adat di Jawa, para betina, sebutan bagi perempuan Jambi, membawa beras satu kaleng susu, sedangkan kaum jantannya (laki-laki) biasanya menyumbang uang secara sukarela.

Tradisi ini pun mutlak berlaku bagi pendatang yang menetap di desa mereka. ”Dimano tembilang tercacak, di situ tanam tumbuh. (Maksudnya, di mana kita tinggal, kita harus mengikuti tradisi yang berlaku),” kata Adam Huri yang memberi gambaran tradisi masyarakat desanya yang berbenah menjadi desa wisata, seperti desa wisata yang menjamur di Yogyakarta dan Bali. ***

Source : Kompas, Sabtu, 16 Januari 2010 | 03:02 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar