Sabtu, 10 April 2010

Jaya Suprana : "Indonesia dan Ramalan Jayabaya"

Indonesia dan Ramalan Jayabaya

Oleh Jaya Suprana

Saya tak percaya ramalan tentang masa depan akibat terlalu yakin, hanya Yang Maha Tahu yang tahu mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Maka, saya tidak pernah percaya Ramalan Jayabaya.

Meski keyakinan saya tidak tergoyahkan, tetapi segenap malapetaka yang bertubi-tubi menimpa negara dan bangsa Indonesia memilukan sanubari saya sehingga saya mulai tergerak untuk merenungi apa yang disebut sebagai Ramalan Jayabaya. Menurut kesepakatan para ilmuwan sejarah, Jayabaya adalah raja Kediri pada masa 1135-1157 yang bernama lengkap Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Kejayaan Jayabaya sebagai raja tersurat pada bait-bait awal Kitab Musasar gubahan Sunan Giri Prapen.

Penggagas tulisan dan rangkuman ramalan Jayabaya ke dalam kitab Jangka Jayabaya adalah Pangeran Kadilangu II pada lingkup masa tahun 1741-1743. Pangeran Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang berhasil meyakinkan Brawijaya V untuk masuk Islam setelah pertemuan segi empat bersama dua penasihat kerajaan Majapahit: Sabda Palon dan Nayagenggong.

Di samping Jangka Jayabaya, pangeran yang di masa Sri Paku Buwana II juga Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura juga menulis berbagai buku penting mengenai kebudayaan Nusantara, seperti Babad Padjadjaran, Babad Madjapahit, Babad Demak, Babad Padjang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dan lain-lain. Tampaknya memang banyak penggemar ramalan terbukti popularitas Ramalan Jayabaya di khazanah kebudayaan Jawa setara Ramalan Nostradamus di kebudayaan Barat. Akibat terlalu populer, kitab Jangka Jayabaya kemudian berkembang ke permukaan kesadaran umum dan awam dalam beraneka ragam bentuk versi berdasar beraneka ragam tafsir, selera, dan kehendak hingga tidak jelas lagi tentang mana yang otentik mana yang tidak.

Renungan

Menarik, bagaimana rangkaian petilan salah satu versi Ramalan Jayabaya dalam bentuk syair berbahasa Jawa ternyata memiliki kandungan makna visioner selaras dan sesuai dengan berbagai prahara etika, moral, dan akhlak yang sedang melanda negara dan bangsa Indonesia di masa 853 tahun setelah wafatnya Jayabaya:

pancen wolak-waliking jaman, amenangi jaman edan

ora edan ora kumanan /sing waras padha nggagas

wong tani padha ditaleni/ wong dora padha ura-ura

beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha

wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil

sing ora abisa maling digethingi/sing pinter duraka dadi kanca

wong bener sangsaya thenger-thenger/wong salah sangsaya bungah

akeh bandha musna tan karuan larine

akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebab

akeh wong nglanggar sumpahe dhewe/manungsa padha seneng ngalap,

tan anindakake hukuming Allah

barang jahat diangkat- angkat /barang suci dibenci

sing edan padha bisa dandan/ sing ambangkang padha bisa

nggalang omah gedong magrong-magrong

sungguh zaman gonjang-ganjing, menyaksikan zaman gila tidak ikut gila tidak dapat bagian /yang sehat pada olah pikir

para petani dibelenggu/para pembohong bersuka ria

beruntunglah bagi yang lupa/masih lebih beruntung yang ingat dan waspada

orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil yang tidak dapat mencuri dibenci /yang pintar curang jadi teman

orang jujur semakin tak berkutik / orang salah makin pongah

banyak harta musnah tak jelas larinya / pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab

banyak orang berjanji diingkari / banyak orang melanggar sumpahnya sendiri

manusia senang menipu / tidak melaksanakan hukum Allah

barang jahat dipuja-puja / barang suci dibenci

yang gila dapat berdandan

yang membangkang bisa punya rumah-gedung mewah-megah

Tanpa memubazirkan energi untuk terlibat polemik perdebatan tentang klenik atau bukan, sebenarnya ramalan an sich sangat mandraguna untuk didayagunakan sebagai pedoman akhlak dan budi-pekerti. Percaya atau tidak atas ramalan pada hakikatnya kurang penting sebab yang lebih penting adalah menyadari hakikat ramalan siap dimanfaatkan secara kelirumologis sebagai telaah kekeliruan demi mencari kebenaran.

Ramalan Jayabaya layak difaedahkan sebagai bahan renungan lebih mendalam, meluas, dan meninggi oleh bangsa Indonesia demi mawas-diri mendiagnosa kekeliruan. Hasil diagnosa sahih dimanfaatkan untuk menatalaksana upaya membenahi apa saja yang keliru pada das sein sikap dan perilaku peradaban dan kebudayaan bangsa Indonesia di masa kini demi das sollen membentuk masa depan yang lebih baik. ***

Jaya Suprana, Budayawan

Source : Kompas, Sabtu, 10 April 2010 | 03:17 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar